Tuesday 15 May 2012

Kematian




                                       KEMATIAN

   

Sebelum  membicarakan  wawasan  Al-Quran  tentang  kematian,

terlebih  dahulu  perlu  digarisbawahi  bahwa kematian dalam

pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi  sekali,  tetapi  dua

kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan

ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:



     "Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah

     mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan

     kami dua kali (pula), lalu kami menyadari

     dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk

     keluar (dari siksa neraka)?"



Kematian  oleh   sementara   ulama   didefinisikan   sebagai

"ketiadaan  hidup,"  atau  "antonim  dari  hidup."  Kematian

pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat

sebelum  Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang

kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia  yang  fana  ini.

Kehidupan  pertama  dialami  oleh  manusia pada saat manusia

menarik dan menghembuskan nafas di dunia,  sedang  kehidupan

kedua  saat  ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia

hidup kekal di hari akhirat.



Al-Quran  berbicara  tentang  kematian  dalam  banyak  ayat,

sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan

ayat yang berbicara  tentang  berbagai  aspek  kematian  dan

kehidupan sesudah kematian kedua.



KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN



Secara   umum  dapat  dikatakan  bahwa  pembicaraan  tentang

kematian bukan  sesuatu  yang  menyenangkan.  Namun  manusia

bahkan  ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan

hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran  pun  melukiskan

keinginan  sekelompok  manusia  untuk hidup selama itu (baca

surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil  merayu  Adam  dan

Hawa   melalui   "pintu"   keinginan   untuk   hidup   kekal

selama-lamanya.



     "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup)

     dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha

     [20]: 120).



DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM.



Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada  orang

yang  enggan  mati  karena ia tidak mengetahui apa yang akan

dihadapinya setelah kematian; mungkin  juga  karena  menduga

bahwa  yang  dimiliki  sekarang  lebih  baik  dari yang akan

didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa

sulit  dan  pedih  pengalaman  mati  dan  sesudah mati. Atau

mungkin karena khawatir  memikirkan  dan  prihatin  terhadap

keluarga  yang  ditinggalkan,  atau  karena tidak mengetahui

makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya

merasa cemas dan takut menghadapi kematian.



Dari   sini   lahir   pandangan-pandangan   optimistis   dan

pesimistis terhadap  kematian  dan  kehidupan,  bahkan  dari

kalangan para pemikir sekalipun.



Manusia,   melalui   nalar  dan  pengalamannya  tidak  mampu

mengetahui hakikat kematian,  karena  itu  kematian  dinilai

sebagai  salah  satu  gaib nisbi yang paling besar. Walaupun

pada  hakikatnya  kematian  merupakan  sesuatu  yang   tidak

diketahui,   namun  setiap  menyaksikan  bagaimana  kematian

merenggut nyawa yang hidup manusia semakin  terdorong  untuk

mengetahui  hakikatnya  atau,  paling tidak, ketika itu akan

terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika  ia  pun  pasti

mengalami nasib yang sama.



Manusia  menyaksikan  bagaimana  kematian tidak memilih usia

atau tempat, tidak  pula  menangguhkan  kehadirannya  sampai

terpenuhi  semua  keinginan.  Di  kalangan  sementara orang,

kematian menimbulkan kecemasan,  apalagi  bagi  mereka  yang

memandang  bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.

Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai  kehidupan

ini  sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,

mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan  menghindari

sedapat  mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan

jalan melakukan apa saja secara bebas  tanpa  kendali,  demi

mewujudkan  eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari

segala sesuatu? Kilah mereka.



Sebenarnya akal dan perasaan  manusia  pada  umumnya  enggan

menjadikan  kehidupan  atau  eksistensi mereka terbatas pada

puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa  mereka

harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia

bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian

sebagai  kepunahan  tercermin antara lain melalui penciptaan

berbagai cara  untuk  menunjukkan  eksistensinya.  Misalnya,

dengan  menyediakan  kuburan,  atau  tempat-tenapat tersebut

dikunjunginya dari saat ke  saat  sebagai  manifestasi  dari

keyakinannya  bahwa  yang telah meninggalkan dunia itu tetap

masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.



Hubungan antara yang hidup dan  yang  telah  meninggal  amat

berakar  pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala,

bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut  oleh

umat  manusia  dewasa  ini.  Sedemikian berakar hal tersebut

sehingga orang-orang Mesir  Kuno  misalnya,  meyakini  benar

keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik

yang dapat mengawetkan  mayat-mayat  mereka  ratusan  bahkan

ribuan tahun lamanya.



Konon  Socrates  pernah  berkata,  sebagaimana  dikutip oleh

Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),



     "Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)

     kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian,

     namun ketika aku menemukan kematian, aku pun

     menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus

     prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira

     dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati

     untuk hidup."



Demikian  gagasan  keabadian  hidup  manusia  hadir  bersama

manusia   sepanjang  sejarah  kemanusiaan.  Kalau  keyakinan

orang-orang Mesir Kuno mengantar  mereka  untuk  menciptakan

teknik  pengawetan  jenazah  dan  pembangunan  piramid, maka

dalam pandangan pemikir-pemikir  modern,  keabadian  manusia

dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.



Abdul  Karim  Al-Khatib  dalam  bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah

(I:214)  mengutip  tulisan   Goethe   (1749-1833   M)   yang

menyatakan:



     "Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir

     dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti

     yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah

     mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya,

     maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk

     menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan

     saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul

     beban jiwa."



Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini

sebagai  arena  untuk  bekerja keras, dan kematian merupakan

pintu  gerbang  menuju   kehidupan   baru   guna   merasakan

ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.



PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN



Agama,  khususnya  agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada

kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal  dari  satu

perjalanan   panjang   dalam   evolusi   manusia,   di  mana

selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam

kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.



Kematian  dalam  agama-agama  samawi  mempunyai peranan yang

sangat    besar    dalam    memantapkan     akidah     serta

menumbuhkembangkan   semangat  pengabdian.  Tanpa  kematian,

manusia tidak akan berpikir tentang apa  sesudah  mati,  dan

tidak  akan  mempersiapkan  diri  menghadapinya. Karena itu,

agama-agama  menganjurkan  manusia  untuk  berpikir  tentang

kematian.    Rasul   Muhammad   Saw.,   misalnya   bersabda,

"Perbanyaklah mengingat pemutus  segala  kenikmatan  duniawi

(kematian)."



Dapat  dikatakan  bahwa  inti  ajakan  para  Nabi  dan Rasul

setelah kewajiban percaya  kepada  Tuhan,  adalah  kewajiban

percaya akan adanya hidup setelah kematian.



Dari  Al-Quran  ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya

bermacam-macam   dan   bertingkat-tingkat.   Ada   kehidupan

tumbuhan,  binatang,  manusia,  jin, dan malaikat, sampai ke

tingkat tertinggi  yaitu  kehidupan  Yang    Mahahidup   dan

Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya

bahwa ada kehidupan di  dunia  dan  ada  pula  kehidupan  di

akhirat.  Yang  pertama  dinamai  Al-Quran al-hayat ad-dunya

(kehidupan yang rendah),  sedangkan  yang  kedua  dinamainva

al-hayawan (kehidupan yang sempurna).



     "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan

     (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]:

     64).



Dijelaskan pula bahwa,



     "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang

     akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan

     kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak

     akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77)



Di lain ayat dinyatakan,



     "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika

     dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang

     di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin

     tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan

     kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di

     akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini

     dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi

     dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat

     hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).



Betapa kehidupan  ukhrawi  itu  tidak  sempurna,  sedang  di

sanalah  diperoleh  keadilan  sejati  yang  menjadi  dambaan

setiap manusia, dan di sanalah  diperoleh  kenikmatan  hidup

yang tiada taranya.



Satu-satunya   jalan   untuk   mendapatkan   kenikmatan  dan

kesempurnaan itu, adalah  kematian,  karena  menurut  Raghib

Al-Isfahani:



     "Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh

     dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia

     menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah

     perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,

     sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya

     kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian

     harus berpindah dan satu negen ke negen (yang

     lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."

     (Abdul Karim AL-Khatib, I:217)



Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada

hakikatnya  adalah  kelahiran  yang  kedua. Kematian manusia

dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur.  Anak  ayam

yang   terkurung   dalam   telur,   tidak   dapat   mencapai

kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian

juga  manusia,  mereka  tidak  akan mencapai kesempurnaannya

kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).



Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk  menunjuk

kepada   kematian,   antara  lain  al-wafat  (wafat),  imsak

(menahan).



Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,



     "Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan

     jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka

     Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan

     baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang

     yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."



Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai  salah

satu  isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan

menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang  lebih

mulia  dan  baik  dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah

kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta  imsak

yang berarti menahan (di sisi-Nya)?



Memang,  Al-Quran  juga  menyifati  kematian sebagai musibah

malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi  agaknya

istilah  ini  lebih  banyak  ditujukan  kepada  manusia yang

durhaka, atau terhadap mereka  yang  ditinggal  mati.  Dalam

arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang

yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi  mereka  yang  mati

tanpa  membawa  bekal  yang  cukup  untuk  hidup  di  negeri

seberang.



                                           

  



  

  

  

Kematian  juga  dikemukakan  oleh  Al-Quran  dalam   konteks

menguraikan  nikmat-nikmat-Nya  kepada  manusia. Dalam surat

Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan  kepada  orang-orang

kafir.

     "Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu

     tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya),

     kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya

     kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya."

Nikmat yang diakibatkan  oleh  kematian,  bukan  saja  dalam

kehidupan   ukhrawi   nanti,  tetapi  juga  dalam  kehidupan

duniawi, karena tidak dapat  dibayangkan  bagaimana  keadaan

dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua

manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.

Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil  sama  sekali  bagi

makhluk  manusia  yang  mengalami perkembangan jutaan tahun,

untuk  dilemparkan  begitu  saja  bagai  barang  yang  tidak

berharga.  Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu

menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa  itu

dengan  jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan

jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

     "Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman

     kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa

     atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan

     hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu

     yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia

     Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]:

     1-2).1

Demikian  terlihat  bahwa  kematian  dalam  pandangan  Islam

bukanlah  sesuatu  yang  buruk,  karena di samping mendorong

manusia untuk  meningkatkan  pengabdiannya  dalam  kehidupan

dunia  ini,  ia  juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki

kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA

Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian

bukanlah  ketiadaan  hidup  secara  mutlak, tetapi ia adalah

ketiadaan hidup di dunia,  dalam  arti  bahwa  manusia  yang

meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan

dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

     "Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang

     gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu

     hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS

     Ali-'Imran [3]: 169).

  

     "Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang

     yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu

     telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu

     tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara'  bin

Azib,  bahwa  Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau,

Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia  (Ibrahim)

ada seseorang yang menyusukannya di surga."

Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika

orang-orang  musyrik  yang  tewas  dalam  peperangan   Badar

dikuburkan    dalam    satu    perigi    oleh    Nabi    dan

sahabat-sahabatnya, beliau  "bertanya"  kepada  mereka  yang

telah  tewas  itu,  "Wahai  penghuni perigi, wahai Utbah bin

Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai  Abu

Jahl   bin   Hisyam,  (seterusnya  beliau  menyebutkan  nama

orang-orang yang di dalam perigi itu satu per  satu).  Wahai

penghuni  perigi!  Adakah  kamu  telah  menemukan  apa  yang

dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku  telah  mendapati

apa yang telah dijanjikan Tuhanku."

"Rasul. Mengapa  Anda  berbicara  dengan  orang  yang  sudah

tewas?"  Tanya  para  sahabat.  Rasul menjawab: "Ma antum hi

asma' mimma aqul minhum,  walakinnahum  la  yastathi'una  an

yujibuni  (Kamu  sekalian tidak lebih mendengar dari mereka,

tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2

Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk

membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran

dan kehidupan baru.

MENGAPA TAKUT MATI?

Di atas telah dikemukakan beberapa faktor  yang  menyebabkan

seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian.

Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian

dari  faktor-faktor  tersebut  pada  hakikatnya  bukan  pada

tempatnya.

Al-Quran  seperti  dikemukakan  berusaha menggambarkan bahwa

hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia.

     "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu

     daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4).

Musthafa  Al-Kik  menulis  dalam   bukunya   Baina   Alamain

bahwasanya  kematian  yang dialami oleh manusia dapat berupa

kematian mendadak seperti serangan  jantung,  tabrakan,  dan

sebagainya,  dan  dapat  juga merupakan kematian normal yang

terjadi melalui proses  menua  secara  perlahan.  Yang  mati

mendadak  maupun  yang normal, kesemuanya mengalami apa yang

dinamai sakarat al-maut (sekarat)  yakni  semacam  hilangnya

kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.

Dalam  keadaan  mati  mendadak,  sakarat  al-maut  itu hanya

terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa

sangat  sakit  karena  kematian  yang dihadapinya ketika itu

diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada  dalam

kapas,  dan  yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir

menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang

mencabut  nyawa  dengan  keras)  (QS  An-Nazi'at  [79]:  1),

sebagai isyarat  kematian  mendadak.  Sedang  lanjutan  ayat

surat     tersebut     yaitu    Wan    nasyithati    nasytha

(malaikat-malaikat yang mencabut ruh  dengan  lemah  lembut)

sebagai   isyarat   kepada   kematian  yang  dialami  secara

perlahan-lahan.3

Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang  dinyatakan

oleh  ayat  di  atas  sebagai "dicabut dengan lemah lembut,"

sama keadaannya dengan proses yang  dialami  seseorang  pada

saat  kantuk  sampai  dengan  tidur. Surat Al-Zumar (39): 42

yang  dikutip   sebelum   ini   mendukung   pandangan   yang

mempersamakan  mati  dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan

bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa  yang

diajarkan  Rasulullah  Saw.  untuk  dibaca  pada saat bangun

tidur adalah:

     "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami

     (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami

     (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan

     (kelak)."

Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar

(39): 42 sebagai berikut:

     "Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua

     hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian

     adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang

     tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna

     dilihat dari beberapa segi."

Kalau  demikian.  mati  itu  sendiri  "lezat  dan   nikmat,"

bukankah   tidur   itu   demikian?  Tetapi  tentu  saja  ada

faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan  kematian  lebih

lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi

ngerinya   mimpi-mimpi   buruk   yang    dialami    manusia.

Faktor-faktor  ekstern  tersebut muncul dan diakibatkan oleh

amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Imam   Ahmad   menjelaskan   bahwa,  "Seorang  mukmin,  saat

menjelang kematiannya, akan didatangi oleh  malaikat  sambil

menyampaikan  dan  memperlihatkan  kepadanya  apa yang bakal

dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih

disenanginya  kecuali  bertemu  dengan Tuhan (mati). Berbeda

halnya  dengan  orang  kafir  yang   juga   diperlihatkannya

kepadanya  apa  yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak

ada sesuatu yang lebih dibencinya  daripada  bertemu  dengan

Tuhan."

Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman,

     "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa

     Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan

     pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada

     mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa

     takut dan jangan pula bersedih, serta

     bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah

     kepada kamu.'"

Turunnya  malaikat  tersebut  menurut  banyak  pakar  tafsir

adalah  ketika  seseorang  yang sikapnya seperti digambarkan

ayat di atas sedang menghadapi  kematian.  Ucapan  malaikat,

"Janganlah  kamu  merasa  takut"  adalah  untuk  menenangkan

mereka menghadapi maut  dan  sesudah  maut,  sedang  "jangan

bersedih"   adalah   untuk  menghilangkan  kesedihan  mereka

menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan  seperti  anak,

istri, harta, atau hutang.

Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang

kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:

     "Kalau sekuanya kamu dapat melihat

     malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang

     kafir seraya memukul muka dan belakang mereka

     serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka

     yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat

     ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)

  

     "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di

     waktu orang-orang yang zalim berada dalam

     tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para

     malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata,

     'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas

     dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu

     selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang

     tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan

     diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]:

     93).

Di  sisi  lain,  manusia  dapat  "menghibur"  dirinya  dalam

menghadapi   kematian  dengan  jalan  selalu  mengingat  dan

meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak  seorang

pun  akan  luput  darinya,  karena  "kematian  adalah risiko

hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa,

     "Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali

     'Imran [3]: 183)

  

     "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk

     seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu

     meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS

     Al-Anbiya' [21]: 34)

Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa   dapat

membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti

diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan,

semakin   besar   pengaruh   kegembiraan   itu   pada  jiwa;

sebaliknya,  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat

musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."

Demikian  Al-Quran  menggambarkan kematian yang akan dialami

oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci  irõi

menginformasikan   tentang  kematian  yang  dapat  mengantar

seorang mukmin agar  tidak  merasa  khawatir  menghadapinya.

Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk

bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.

Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.

[]

Catatan kaki:

1 Tajdid Al-Fikr Al-lslami, 134.

2 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259.

3 Musthafa Al-Kik, hlm. 67

  

WAWASAN AL-QURAN

Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Penerbit Mizan

Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net

  


 




Kematian  juga  dikemukakan  oleh  Al-Quran  dalam   konteks
menguraikan  nikmat-nikmat-Nya  kepada  manusia. Dalam surat
Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan  kepada  orang-orang
kafir.

     "Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu
     tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya),
     kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
     kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya."

Nikmat yang diakibatkan  oleh  kematian,  bukan  saja  dalam
kehidupan   ukhrawi   nanti,  tetapi  juga  dalam  kehidupan
duniawi, karena tidak dapat  dibayangkan  bagaimana  keadaan
dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua
manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.

Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil  sama  sekali  bagi
makhluk  manusia  yang  mengalami perkembangan jutaan tahun,
untuk  dilemparkan  begitu  saja  bagai  barang  yang  tidak
berharga.  Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu
menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa  itu
dengan  jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan
jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

     "Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman
     kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa
     atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan
     hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu
     yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia
     Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]:
     1-2).1

Demikian  terlihat  bahwa  kematian  dalam  pandangan  Islam
bukanlah  sesuatu  yang  buruk,  karena di samping mendorong
manusia untuk  meningkatkan  pengabdiannya  dalam  kehidupan
dunia  ini,  ia  juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki
kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA

Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian
bukanlah  ketiadaan  hidup  secara  mutlak, tetapi ia adalah
ketiadaan hidup di dunia,  dalam  arti  bahwa  manusia  yang
meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan
dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

     "Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang
     gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu
     hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS
     Ali-'Imran [3]: 169).
    
     "Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
     yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu
     telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu
     tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara'  bin
Azib,  bahwa  Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau,
Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia  (Ibrahim)
ada seseorang yang menyusukannya di surga."

Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika
orang-orang  musyrik  yang  tewas  dalam  peperangan   Badar
dikuburkan    dalam    satu    perigi    oleh    Nabi    dan
sahabat-sahabatnya, beliau  "bertanya"  kepada  mereka  yang
telah  tewas  itu,  "Wahai  penghuni perigi, wahai Utbah bin
Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai  Abu
Jahl   bin   Hisyam,  (seterusnya  beliau  menyebutkan  nama
orang-orang yang di dalam perigi itu satu per  satu).  Wahai
penghuni  perigi!  Adakah  kamu  telah  menemukan  apa  yang
dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku  telah  mendapati
apa yang telah dijanjikan Tuhanku."

"Rasul. Mengapa  Anda  berbicara  dengan  orang  yang  sudah
tewas?"  Tanya  para  sahabat.  Rasul menjawab: "Ma antum hi
asma' mimma aqul minhum,  walakinnahum  la  yastathi'una  an
yujibuni  (Kamu  sekalian tidak lebih mendengar dari mereka,
tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2

Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk
membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran
dan kehidupan baru.

MENGAPA TAKUT MATI?

Di atas telah dikemukakan beberapa faktor  yang  menyebabkan
seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian.

Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian
dari  faktor-faktor  tersebut  pada  hakikatnya  bukan  pada
tempatnya.

Al-Quran  seperti  dikemukakan  berusaha menggambarkan bahwa
hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia.

     "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu
     daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4).

Musthafa  Al-Kik  menulis  dalam   bukunya   Baina   Alamain
bahwasanya  kematian  yang dialami oleh manusia dapat berupa
kematian mendadak seperti serangan  jantung,  tabrakan,  dan
sebagainya,  dan  dapat  juga merupakan kematian normal yang
terjadi melalui proses  menua  secara  perlahan.  Yang  mati
mendadak  maupun  yang normal, kesemuanya mengalami apa yang
dinamai sakarat al-maut (sekarat)  yakni  semacam  hilangnya
kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.

Dalam  keadaan  mati  mendadak,  sakarat  al-maut  itu hanya
terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa
sangat  sakit  karena  kematian  yang dihadapinya ketika itu
diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada  dalam
kapas,  dan  yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir
menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang
mencabut  nyawa  dengan  keras)  (QS  An-Nazi'at  [79]:  1),
sebagai isyarat  kematian  mendadak.  Sedang  lanjutan  ayat
surat     tersebut     yaitu    Wan    nasyithati    nasytha
(malaikat-malaikat yang mencabut ruh  dengan  lemah  lembut)
sebagai   isyarat   kepada   kematian  yang  dialami  secara
perlahan-lahan.3

Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang  dinyatakan
oleh  ayat  di  atas  sebagai "dicabut dengan lemah lembut,"
sama keadaannya dengan proses yang  dialami  seseorang  pada
saat  kantuk  sampai  dengan  tidur. Surat Al-Zumar (39): 42
yang  dikutip   sebelum   ini   mendukung   pandangan   yang
mempersamakan  mati  dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan
bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa  yang
diajarkan  Rasulullah  Saw.  untuk  dibaca  pada saat bangun
tidur adalah:

     "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami
     (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami
     (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan
     (kelak)."

Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar
(39): 42 sebagai berikut:

     "Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua
     hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian
     adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang
     tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna
     dilihat dari beberapa segi."

Kalau  demikian.  mati  itu  sendiri  "lezat  dan   nikmat,"
bukankah   tidur   itu   demikian?  Tetapi  tentu  saja  ada
faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan  kematian  lebih
lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi
ngerinya   mimpi-mimpi   buruk   yang    dialami    manusia.
Faktor-faktor  ekstern  tersebut muncul dan diakibatkan oleh
amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam   Ahmad   menjelaskan   bahwa,  "Seorang  mukmin,  saat
menjelang kematiannya, akan didatangi oleh  malaikat  sambil
menyampaikan  dan  memperlihatkan  kepadanya  apa yang bakal
dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih
disenanginya  kecuali  bertemu  dengan Tuhan (mati). Berbeda
halnya  dengan  orang  kafir  yang   juga   diperlihatkannya
kepadanya  apa  yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak
ada sesuatu yang lebih dibencinya  daripada  bertemu  dengan
Tuhan."

Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman,

     "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa
     Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan
     pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
     mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa
     takut dan jangan pula bersedih, serta
     bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah
     kepada kamu.'"

Turunnya  malaikat  tersebut  menurut  banyak  pakar  tafsir
adalah  ketika  seseorang  yang sikapnya seperti digambarkan
ayat di atas sedang menghadapi  kematian.  Ucapan  malaikat,
"Janganlah  kamu  merasa  takut"  adalah  untuk  menenangkan
mereka menghadapi maut  dan  sesudah  maut,  sedang  "jangan
bersedih"   adalah   untuk  menghilangkan  kesedihan  mereka
menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan  seperti  anak,
istri, harta, atau hutang.

Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang
kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:

     "Kalau sekuanya kamu dapat melihat
     malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang
     kafir seraya memukul muka dan belakang mereka
     serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka
     yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat
     ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)
    
     "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di
     waktu orang-orang yang zalim berada dalam
     tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para
     malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata,
     'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas
     dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu
     selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang
     tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan
     diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]:
     93).

Di  sisi  lain,  manusia  dapat  "menghibur"  dirinya  dalam
menghadapi   kematian  dengan  jalan  selalu  mengingat  dan
meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak  seorang
pun  akan  luput  darinya,  karena  "kematian  adalah risiko
hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa,

     "Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali
     'Imran [3]: 183)
    
     "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk
     seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu
     meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS
     Al-Anbiya' [21]: 34)

Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa   dapat
membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti
diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan,
semakin   besar   pengaruh   kegembiraan   itu   pada  jiwa;
sebaliknya,  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat
musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."

Demikian  Al-Quran  menggambarkan kematian yang akan dialami
oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci  irõi
menginformasikan   tentang  kematian  yang  dapat  mengantar
seorang mukmin agar  tidak  merasa  khawatir  menghadapinya.
Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk
bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.

Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.
[]

Catatan kaki:
1 Tajdid Al-Fikr Al-lslami, 134.
2 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259.
3 Musthafa Al-Kik, hlm. 67


WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net



0 comments :

Post a Comment