Friday, 8 February 2013

Pendidikan Menurut Muhammad Bin Abdul Wahab



Pendidikan Menurut Muhammad Bin Abdul Wahab

Oleh : Ulin Nuha, M.Ag


Pendahuluan
Pengertian pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang belum terdapat pada zaman Nabi Muhammad SAW. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberikan contoh, melatih keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung ide-ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup arti pendidikan pada masa sekarang.
Orang Mekah Arab yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar, dan sombong maka dengan usaha kegiatan Nabi mengIslamkan mereka, lalu tingkah laku mereka berubah menjadi penyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan itu Nabi telah mendidik, membentuk kepribadian yaitu kepribadian muslim dan sekaligus berarti bahwa Nabi SAW adalah seorang pendidik yang berhasil. Perubahan dan tingkah laku yang sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Untuk itu perlu adanya usaha, kegiatan, cara, alat dan lingkungan hidup yang menunjang keberhasilan.
Maka pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.
Pendidikan Islam mengalami beberapa fase perkembangan seiring dengan perkembangan agama Islam itu sendiri. Dimulai dari pada masa Nabi Muhammad SAW, kemudian dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin, dan mencapai masa kegemilangan pada masa Khalifah-Khalifah yang memerintah Negara Islam silih berganti. Sampai akhirnya Islam mengalami kemunduran yang juga turut mempengaruhi pendidikan Islam.
Sejarah mencatat, di setiap masa yang dilalui ummat Islam, banyak tokoh-tokoh Islam yang muncul dan hadir memberikan kontribusinya pada perkembangan Islam di masanya, dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Salah satunya adalah Muhammad bin Abdul Wahab, seorang ulama abad ke-18 yang berda’wah mengembalikan Islam kepada citranya yang asli, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Meskipun Muhammad bin Abdul Wahab telah wafat sekitar tiga abad yang lalu, namun kisah dan ajarannya masih menjadi kontroversi hingga kini. Tapi satu hal yang pasti, kontroversi yang menyelimuti seseorang bukanlah tolak ukur yang ilmiah untuk menyimpulkan keburukan atau kebaikan seseorang tokoh. Untuk itu, melihat sosok Muhamad bin Abdul Wahab harus dengan paradigma ilmiah, bukan dengan paradigma kontroversi yang berujung kepada relativisme.
Kemudian pendidikan Islam mengalami masa kebangkitan kembali pula yang dinamakan fase pembaharuan. Pada fase ini pendidikan Islam mulai naik kembali dengan beberapa tokoh pembaharu Islam.
Untuk lebih fokus dalam pembahasan kalah ini, penulis akan membahas masalah bagaimana pemikiran pendidikan menurut Muhammad Bin Abdul Wahab.

Biografi Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga ‘Musyarraf’ (alu Musyarraf). Alu Musyarraf merupakan cabang dari kabilah Tamin. Sedangkan Musyarraf adalah kakeknya yang ke-9 menurut riwayat yang rajah. Dengan demikian nasabnya adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhamad bin Buraid bin Musyaraf.
Dia dilahirkan di daerah Uyainah pada tahun 1115 H, terletak di wilayah Yamamah yang masih bagian dari Nejd. Uyainah berada di arah barat laut dari kota Riyadh yang berjarak sekitar 70 KM. Ia wafat pada 29 Syawal 1206 H (1793) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri dalam da'wah dan jihad, termasuk memangku jabatan sebagai menteri penerangan kerajaan Arab Saudi.
Dia tumbuh di lingkungan keluarga yang cinta ilmu. Ayahnya adalah seorang ulama besar negara yang memegang jabatan peradilan di beberapa daerah. Kakeknya, Syaikh Sulaiman bin Ali adalah seorang ulama terkemuka dan juga imam dalam ilmu fiqh. Jabatan lain yang juga diemban Syaikh Sulaiman adalah sebagai mufti Negara.
Di bawah bimbingannya, lahir sejumlah ulama dan para murid yang tersebut di seluruh semenanjung Arab. Maka, wajar jika kemudian lahir seorang keturunan yang faqih dan alim pula.
Muhammad bin Abdul Wahab hafal al-Qur'an sebelum usianya mencapai sepuluh tahun, ia belajar fiqh dan hadits dengan ayahnya sendiri, dan belajar tafsir dari guru-guru dari berbagai negeri, terutama di Madinah al-Munawwarah serta memahami Tauhid dari al-Qur'an dan Sunnah.
Ibnu Khadamah, seorang ulama Timur Tengah mengatakan, "Muhammad bin Abdul Wahab telah menerapkan semangat menuntut ilmu sejak usia dini. Dia memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan dengan anak-anak sebayanya. Dia tidak suka bermain-main dan perbuatan yang sia-sia.
Dikatakan juga bahwa dalam diri Muhammad bin Abdul Wahab terlihat adanya perpaduan antara karakter ayah dan pamannya. Ia mempunyai ingatan yang cukup baik dan kecintaan yang luar biasa dalam mencari ilmu, sehingga tidak jarang ia mendebat ayah dan pamannya dalam berbagai masalah. Ia juga sering mendiskusikan kitab al-Syarh al-Kabîr dan kitab al-Mugni wa al-Inshaf.
Ketika berada di Madinah, ia melihat banyak ummat Islam di sana yang tidak menjalankan syari'at dan berbuat syirik, seperti perbuatan mengunjungi makam seorang tokoh agama kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penghuninya.
Hal ini menurut dia sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah. Hal inilah yang mendorong Syekh Muhammad bin Abdul Wahab untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (‘aqîdah sahîhah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri akan berjuang untuk mengembalikan akidah umat Islam di sana sesuai keyakinannya, yaitu kepada akidah Islam yang murni (Tauhid), jauh dari sifat khurâfat, takhayûl, atau bid'ah. Untuk itu, ia pun mulai mempelajari berbagai buku yang ditulis para ulama terdahulu. Lama setelah menetap di Madinah ia pindah ke Basrah. Di sana ia bermukim lebih lama sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehnya, terutama di bidang hadits dan Musthalah-nya, fiqh dan ushl fiqh-nya, serta ilmu gramatika (ilmu qawâ’id).
Lahirnya Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab
Dalam kondisi yang sangat sulit, situasi yang buruk, serta keadaan yang gelap gulita, terbitlah cahaya kebenaran yang menyinari segenap ufuk cakrawala, yaitu ketika Muhammad bin Abdul Wahab berusaha bangkit dengan membawa da'wah tauhid dan sunnah Nabi. Peristiwa monumental tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-20 Hijriyah, ketika ayah ia masih hidup. Demi memikirkan masa depan agama dan ummat, sang ayah ikut merasa prihatin. Namun, ia menyuruh putranya agar tetap tegar. Ketika sang ayah meninggal dunia pada tahun 1153 H, Muhammad Bin Abdul Wahab mulai berani terang-terangan menyingkap kebenaran, memantapkan tauhid, mengibarkan sunnah Nabi saw, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Ia mengingkari berbagai macam bid'ah atau sesuatu yang diada-adakan dalam urusan akidah, ibadah dan istiada. Ia juga menyebarluaskan ilmu, menegakkan hukum, menyingkap kejelekan keadaan orang-orang yang jahil, serta menentang orang-orang yang suka berbuat bid'ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu.
Muhammad Bin Abdul Wahab dan Gerakan Wahabi
Istilah wahabi sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif.
Kata `Wahabi` bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyainah dan belajar Islam dalam mazhab Hanbali. Belliau telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun. Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat sat yaitu pangeran Muhammad bin Su`ud yang berkuasa 1139-1179. Oleh pangeran, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Pokok ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
Sosok Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi pelopor gerakan ishlah (reformasi) yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir pemikiran dunia Islam sekitar 3 abad yang lampau atau tepatnya pada abad ke-12 hijriyah. Dakwah ini menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinya.
Sementara fenomena umat saat itu sungguh memilukan. Mereka telah menjadikan kuburan menjadi tempat pemujaan dan meminta kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam.
Muhammad bin Abdul Wahhab saat itu bangkit mengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini. Beliau menulis beberapa risalah untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah kitabuttauhid yang hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab ini kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang tawassul dengan menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.
Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah lama jumud dan beku akibat kemunduran dunia Islam. Mereka memperhatikan pengajaran dan pendidikan umum serta merangsang para ulama dan tokokh untuk kembali membuka literatur kepada buku induk dan maraji` yang mu`tabar, sebelum menerima sebuah pemikiran.
Mereka tidak mengharamkan taqlid namun meminta agar umat ini mau lebih jauh meneliti dan merujuk kembali kepada nash dan dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW serta pendapat para ulama salafus shalih.
Di antara tokoh ulama salaf yang paling sering mereka jadikan rujukan adalah Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H) juga Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H)
Oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di benua India. Paling tidak, masa hidup Muhammad bin Adbul Wahhab lebih dahuku dari mereka semua. Dalam penjulukan yang kurang tepat, gerakan ini sering dijuluki dengan wahabi.
Pemikiran Pembaharuan Dalam Pendidikan Islam
Pada masa kemunduran Islam abad 13-18, segala warisan filsafat dan ilmu pengetahuan diperoleh Eropa dari Islam, ketika umat Islam larut dalam kegemilangan sehingga tidak memperhatikan lagi pendidikan, maka Eropa tampil mencuri ilmu pengetahuan dan belajar dari Islam. Eropa kemudian bangkit dan Islam mulai dijajah dan mengalami kemunduran. Hampir seluruh wilayah dunia Islam dijajah oleh bangsa Eropa termasuk Indonesia.
Penemuan-penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi muncul di Eropa. Misalnya dalam bidang mesin, listrik, radio, yang semuanya itu menunjang semakin kuatnya Eropa terhadap dunia Timur bahkan sampai ke Indonesia. Dunia jadi berbalik, dunia Timur terpukau dan terbius kemujuan yang dialami Eropa.
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari Bangsa Eropa telah timbul mulai abad ke 11 sampai ke 17 Masehi. Dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh Turki Utsmani dalam peperangan dengan Negara-Negara Eropa. Mereka mulai memperhatikan kemajuan yang dialami Eropa dengan mengirimkan utusan-utusan untuk mempelajari kemajuan Eropa terutama dari Prancis dan didirikan sekolah-sekolah Militer di Turki pada tahun 1734.
Dalam membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan, termasuk usaha-usaha dibidang pendidikan.
Kebangkitan kembali umat Islam khususnya bidang pendidikan Islam adalah dalam rangka untuk pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam dengan pelopor-pelopor di berbagai daerah masing-masing. Adapun mereka mengemukakan opini kebangkitan dengan mengacu kepada tema yang sama yaitu pertama, Mengembalikan ajaran Islam kepada unsur-unsur aslinya, dengan bersumberkan kepada Al-Qur’an, Hadist dan membuang segala bid’ah, khurafat, tahayul, dan mistik. Dan kedua, menyatakan dan membuka kembali pintu ijtihad setelah beberapa abad dinyatakan ditutup.
Pola Pembaharuan Pendidikan Islam Muhammad Bin Abdul Wahab
Secara umum, memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh Bangsa Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah : (1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Eropa, (2) golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni, (3) usaha yang berorientasi pada Nasionalisme.
1. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pendidikan modern di Barat.
Mereka berpandangan, pada dasarnya kekuatan dan kesejahteraan yang dialami Barat adalah hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Golongan ini berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh Barat sekarang ini merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan itu harus dikuasai kembali.
Cara pengembalian itu tidak lain adalah melalui pendidikan, karena pola pendidikan Barat dipandang sukses dan efektif, maka harus meniru pola Barat yang sukses itu. Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat, mulai timbul di Turki Utsmani akhir abad ke 11 H / 17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu.
Pada dasarnya, mereka (golongan ini) berpandangan bahwa pola pendidikan Islam harus meniru pola Barat dan yang dikembangkan oleh Barat, sehingga pendidikan Islam bisa setara dengan pendidikan mereka. Mereka berpandangan bahwa usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan lembaga pendidikan / sekolah dengan pola pendidikan Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Jadi intinya, Islam harus meniru Barat agar bisa maju.
2. Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.
Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Islam itu sendiri merupakan sumber dari kemajuan dan perkembangan peradaban Ilmu Pengetahuan modern. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya. Sebab-sebab kelemahan umat Islam meurut mereka adalah karena tidak lagi melaksanakan ajaran Agama Islam sebagaimana mestinya. Ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi digunakan untuk sumber kemajuan dan kekuatan. Pola ini dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Disamping itu, dengan berhentinya perkembangan ilmu yang ditandai dengan penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman. Pola pembaharuan ini telah dirintasi oleh Muhammad bin Abdul Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afghani (akhir abad 19 M). Menurut Jamaluddin Al-Afghani, pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist dalam artinya yang sesungguhnya, tidaklah mungkin tidak dilakukan. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, zaman dan semua keadaan.
Dalam hal ini, apabila ditemukan adanya pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi yang ada pada perubahan zaman, penyesuaian akan diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru pada ajaran Islam. Oleh karenanya, pintu ijtihad harus dibuka.
Menurut Jamaluddin Al-Afghani, kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap oleh kebanyakan orang karena tidak sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam. Ajaran Islam sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan diatas kertas. Jadi, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam murni yang tidak terkontaminasi oleh ajaran dan paham asing. Kalau manusia berpedoman kepada agama, ia tidak sesat untuk selama-lamanya.
3. Usaha yang berorientasi kepada Nasionalisme.
Golongan ini melihat di Barat rasa Nasionalisme ini timbul bbersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern sehingga mengalami kemajuan yang menimbulkan kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan ini pada umumnya mendorong Bangsa timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme mereka masing-masing. Yang mendorong berkembangnya nasionalisme adalah karena kenyataannya mereka terdiri dari berbagai bangsa dengan latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
Golongan ini berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi objektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha mereka bukan semata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah maju, tetapi juga mengambil unsur dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan. Ide kebangsaan inilah yang akhirnya menimbulkan timbulnya usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri dikalangan pemeluk Islam. Sebagai akibat dari pembaharuan dan kebangkitan kembali pendidikan ini terdapat kecendrungan dualisme sistem pendidikan kebanyakan negara tersebut, yaitu sistem pendidikan modern dan sistem pendidikan tradisional.

Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam
Selain Muhammad Bin Abdul Wahab ada beberapa tokoh pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yang akan Kami kemukakan, antara lain yaitu Jamaluddin Al-Afghani, Pemikiran pembaharuan yang dilakukan Al-Afghani adalah didasari pada pendapatnya bahwa Islam adalah relevan pada setiap zaman, kondisi, dan bangsa. Untuk itu kemunduran umat Islam adalah karena tidak diterapkannya Islam dalam segala segi kehidupan dan meninggalkan ajaran Islam murni. Jalan untuk memperbaiki kemunduran Islam hanyalah dengan membuang segala bentuk pengertian yang bukan berasal dari Islam, dan kembali pada jaran Islam murni.
Kemudian adalah Rasyid Ridha, Pemikiran Pembaharuan Pendidikan
Rasyid Ridha merasa perlu diadakan pembaharuan dibidang pendidikan, dan melihat perlu ditambahkannya kedalam kurikulum mata pelajaran berikut : teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, kesehatan, bahasa asing, disamping fiqih, tafsir, hadist dan lain-lain.
Penutup
Pendidikan Islam mengalami fase kebangkitan kembali yang dinamakan fase pembaharuan. Pada fase ini pendidikan Islam mulai naik dengan beberapa tokoh yang menjadi pelopor. Kebangkitan kembali umat Islam khususnya bidang pendidikan adalah dalm rangka untuk pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam dengan pelopor di berbagai daerah seperti Muhammad Bin Abdul Wahab dan juga tokoh-tokoh pembaharu lainnya seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain.
 Adapun mereka mengemukakan tema kebangkitan dengan opini / ide dasar yaitu :
1. Mengembalikan ajaran Islam kepada unsur aslinya, dengan bersumberkan Al-Qur’an dan Hadist, dan membuang segala bid’ah, khurafat, tahayul dan mistik.
2. Menyatakan dan membuka kembali pintu ijtihad.
Terjadinya tiga pola pembaharuan pemikiran pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut yaitu :
1. Pola pembaharuan yang berorientasi pada pola pendidikan Barat.
2. Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.
3. Usaha yang berorientasi pada Nasionalisme.









































5 comments :