|
Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam
Pendahuluan
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik
secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya
pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1).
Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam
bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori
politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase
pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah
Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi
dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain.
Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran
itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula
kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan
pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari
kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan
melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya.
Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka
jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan
yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan
mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan
dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya
---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami
hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas
pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya
masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah
metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak
Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT
hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era
"kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang
membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya
ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua
fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang
diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase
yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat
Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara
general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil
dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan
secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan
prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan
prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya
secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan
dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya,
dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih
'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat
diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri
terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase
'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas
yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan
sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya
sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas
pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap
pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan
pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama
lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab
yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya
pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika
objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform
kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau
analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap
masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat
personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu
tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan
kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga
adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan
keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang
berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan
prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan
adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka
menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja
yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat
individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan
pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik,
dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan
ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis'
saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang
jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era
tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong
timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di
antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial
yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan
berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk
merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan
beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang
faktor-faktor ini.
Islam dan Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama
beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan
variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan
bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama,
juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius,
jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat
sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus.
Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani,
dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan
akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal
pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan
kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara
solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta
tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja
keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta
sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat.
Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka
sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!.
Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka
adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu
dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan
urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini.
Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan
yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah:
"agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan
pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga
kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka
dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip
beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan
hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para
'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para
orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam
menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di
antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
- Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion),
namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun
pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang
mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan
kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas
fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak
dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
- Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu
bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial
negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
- Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga
mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang
lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama
dan negara secara bersamaan".
- Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan
politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus
yang bijaksana, atau "negarawan".
- Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam
yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
- Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang
kepala agama dan kepala negara".
- Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah
sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu
bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem
kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara
fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya
dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai
identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu
undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju
kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang
baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan
solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur
tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang
dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu,
selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan
tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah,
bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya,
dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis
menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan
kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah
pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw
dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para
faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang
berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam
(11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua
peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah
dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ
akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at
itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh
sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi
bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial'
yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi,
sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua
kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam
berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang
diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi
yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk
mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan
pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu
tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali
dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat
untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan,
menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar
negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang
mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta
sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh
seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan--
terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di
samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat
politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami
gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka
terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran
politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya,
hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat
ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor
yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan
berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang
beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini
untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki:
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam
buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah
satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu,
ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung
pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan
bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang
ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga
mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law",
p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui
oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke,
dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan
perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang
--secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka,
atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak
orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru.
Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang
tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung
setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip
yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan
tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi
antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah
dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita
cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode
kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak
lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak
pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena
tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan
Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh
orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang
berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949,
sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju
era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara
mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal
dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela
aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan
dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu.
Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal
itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan
pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran
Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang
masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan
suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah
dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu
menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini
(pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh
Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah--
berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase
praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali
Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri
perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al
Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat
ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan
atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat,
terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas
klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory,
New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam
buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi:
pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal.
35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari,
juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu.
Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa
hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan
yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang
kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang
masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah
itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki
dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping
point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu
daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri
itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela
kebenaran.
Catatan Penterjemah:
Date: Thu, 10 Aug 2000 00:55:20 +0300
From: "alkattani"
<alkattani@yahoo.com>
To: <is-lam@isnet.org>
Assalamu'alaikum wr. wb.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan telah menyelesaikan
penerjemahan buku Nazhariyyat as Siyasiyyah al Islamiyyah (Teori Politik Islam)
yang cukup tebal, yang ditulis oleh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, Guru Besar dan
Ketua Jurusan Sejarah Islam Fakultas Darul Ulum -- Universitas Kairo. Banyak
orang yang mengatakan bahwa buku ini adalah buku terbaik yang pernah ditulis
dalam bidang Teori Politik Islam. Mudah-mudahan dalam beberapa bulan mendatang
GIP bisa segera menerbitkan buku tersebut, sehingga bisa segera memberikan
manfaat bagi kaum Muslimin Indonesia yang sedang amat membutuhkan guidance dalam
berpolitik. Sebagai bahan sementara, berikut ini saya kirimkan beberapa halaman
dari buku tersebut (dalam dua postingan). Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani |
0 comments :
Post a Comment