Membaca tulisan Muhammad Amin yang berjudul “Mengubah Format Shalat Jum’at”
(Suara Merdeka Jum’at tanggal
23 Mei 2003) cukup menarik. Apa yang diungkapkan memang cukup realistis.
Shalat Jum’at yang merupakan salah satu aktivitas ritual ibadah dalam Islam,
dalam praktiknya dari segi fungsi, belum - kalau tidak dikatakan gagal -
membentuk muslim yang bertakwa sebagaimana diserukan khotib setiap kali khutbah,
apalagi menjadi benteng Islam, sekaligus penghalang bagi kaum kafir untuk
menaklukkan Islam.
Banyak sekali memang manfaat dari shalat jumat, kalau umat Islam mau dan mampu melaksanakan dengan
sungguh-sungguh serta dapat mengambil manfaat atau hikmahnya.
Disamping mempunyai manfaat dan hikmah sebagaimana shalat lima waktu,
shalat jumat juga menjadi lambang persatuan umat Islam, bahkan dapat menjadi
penggnati ibadah haji bagi muslim yang tidak mampu.
Dari segi waktu dan sistem pelaksanaanya juga merupakan media yang cukup
efektif menyadarkan umat islam sebagai ummatan wahidah.
Memang realita yang ada shalat jumat belum - kalau tidak dikatakan tidak -
mampu menjadi kontribusi peningkatan ketakwaan umat karena berbagai macam
faktor yang menjadikan jamaah merasa jenuh, mengantuk dan sebagainya.
Namun, fenomena itu bukan berarti kita seenaknya mereformulasi (menawarkan
format lebih baik) tanpa memperhatikan aturan ibadah dalam Islam, mana aturan yang boleh di ubah atau
diinterprestasikan (disesuaikan dengan kondisi atau keadaan) dan mana yang
tidak boleh diinterprestasikan.
Dalam mengkritisi pelaksanaan shalat
jumat selama ini yang bermuara pada perubahan tingkah laku lebih baik bagi
jamaah (peningkatan kualitas keberagamaan), bukan berarti mengesampingkan
batasan normativitas ajaran sebagaimana yang Muhammad Amin tulis. Gagasan
Muhammad Amin tentang format perubahan sistem shalat jumat, yaitu perlunya sistem dialog dalam
pelaksanaan khutbah jumat.
Jamaah boleh menginterupsi, memprotes dan meyanggah dengan asumsi bahwa khatib
tidak selamanya benar, bukan seperti Nabi Muhammad SAW. yang secara kualitas
personel beliau tidak diragukan lagi adalah terlalu berlebihan.
Sebab adanya fenomena shalat jumat yang membuat jamaah mengantuk, terlambat
dan sebagainya karena khotib yang monoton dalam menyampaikan isi khotbahnya hanya
alasan yang dibuat buat oleh orang-orang yang memang sebenarnya malas, dan
menganggap shalat jumat menjadi tidak lebih penting dari aktivitas yang lain.
Bahkan lebih dari itu, shalat jumat kadang dianggap mengganggu aktivitas atau kesibukan pada saat panggilan ibadah itu
datang.
Secara realistis memang shalat jumat tidak efektif sebagaimana alasan
tersebut diatas, akan tetapi masih banyak juga terdapat khutbah yang tidak
monoton dan mampu membangkitkan semangat keislaman dan penghayatan mendalam
baik bagi khatib maupun jamaah serta tidak juga menjenuhkan.
Hal itu, karena secara fiqih khatib maupun jamaah tersebut telah memenuhi hal-hal yang menjadi wajib dan
sunah dalam pelaksanaan shalat jumat. Misalnya, khusyuk, tepat waktu, berpakain
suci, bersih, memakai pakaian yang terbaik yang ia miliki seperti yang
dianjurkan abi SAW, berpakaian putih sebagai lambang kesucian untuk menambah
kekhusyukan dan lain-lain, bukan asal-asalan shalat dengan mempersiapkan diri
seadanya bahkan kadang tergesa-gesa dan keadaan seperti ini, memang seharusnya
diakui.
Semua itu dilakukan karena dalam pelaksanaan shalat jumat, memang
sebenarnya memerlukan keseriusan dan konsentrasi serta kekhusyukan dengan
penyelaman perasaan dengan anggapan bahwa dalam beribadah tersebut tidak hanya sedang
berkomunikasi dengan sesama manusia (antara khatib dan jamaah, tetapi juga
kepada Allah SWT. (antara
hamba dan Tuhannya). Jadi hubungan vertikal juga didapati dalam pelaksanaan
shalat itu.
Oleh karena itulah, khatib pun dalam membawakan atau menyampaikan khatbah
harus memenuhi aturan, baik sebagai khatib (personel) maupun isi materi khutbahnya,
seperti adanya pujian kepada Allah SWT., syahadat, shalawat, ajakan bertakwa,
mengutip ayat Al Qur’an atau Hadis, tidak menyakiti orang lain, menambah kesejukan
hati dan lain sebagainya.
Namun, kalau suasana ibadah seperti itu diubah menjadi sistem dialog, di
mana jamaah boleh menyanggah, memprotes, menginterupsi dan sebagainya, mka
nuansa shalat jumat menjadi tereduksi, bahkan mungkin menjadi hilang.
Rentan
Ceramah yang besifat dialektis rentan terdapat perbedaan yang mungkin saja
berkelanjutan sampai shalat jumat berakhir, padahal setelah khotbah juga masih
ada pelaksanaan shalat yang tentunya memerlukan kondisi hati dan pikiran
bersih.
Disamping itu, dalam pelaksanaan shalat jumat, terdapat jamaah baik secara
personel maupun kelompok atau paham yang cukup heterogen. Sangat mungkin
terjadi perbedaan cara pandang dan daya tangkap yang akhirnya berimbas pada
menurunnya kekhusyukan dan konsentrasi beribadah serta kesejukan hati jamaah.
Bahkan pelaksanaan shalat bisa jadi bukan lagi menjadi sebuah ibadah ritual
yang akan meningkatkan ketakwaan dan keberagaman, akan tetapi menjadi sebuah
forum ilmiah yang sarat akan perdebatan karena perbedaan pandangan dan akibatnya
juga akan menimbulkan keraguan bagi
orang awam.
Keberagaman
Bisa dimaklumi, dengan melihat fenomena pelaksanaan shalatjumat yang masih
kurang efektif dalam mengubah perilaku jamaah dan cenderung menjenuhkan,
sebagian muslim yang sadar akan keislamannya akan memandang perlu untuk
mengadakan perubahan format shalat jumat. Akan tetapi format perubahan tersebut
harus menelaah bahkan cenderung menurun.
Apakah benar karena sistem pelaksanaan shalat jumat itu khususnya khotbah
yang cenderung menolong dan memohon tanpa adanya kekritisan dari jamaah?
Atau karena kualitas khatibnya yang mungkin baik secara keilmuan agama
maupun keahlian retorikanya yang masih minim sehingga menjenuhkan dan membuat
mengantuk ?
Atau karena jamaahnya itu sendiri yang semangat keberagamaannya masih perlu
dipertanyakan ? Masih banyak lagi kemungkinan yang menjadi sebab kurang
efektifnya ibadah Shalat Jumat bagi peningkatan ketakwaan dan persatuan umat
Islam.
Sebagai muslim yang baik memang harus senantiasa melakukan instrospeksi
diri terutama mengenai sejauh mana kualitas keberagaman yang dimilikinya.
Mengutip R Stark dan CY Glok, bahwa kualitas keberagamaan itu ada beberapa
dimensi yang seharusnya dimiliki oleh orang beragama.
Pertama, dimensi keyakinan yang memuat mengenai pengakuan terhadap doktrin
kebenaran agama, misalnya akidah atau tauhid (keesaan Allah) dan keimanan yang
lain seperti Muhammad sebagai utusan Allah, adanya malaikat dan lain
sebagainya.
Kedua, dimensi praktik agama, mencakup perilaku keagamaan seperti shalat,
zakat, puasa, dan lain-lain yang meliputi tindakan keagamaan formal dan praktik
- praktik suci.
Ketiga, dimensi pengalaman yang menunjukkan adanya penghayatan setiap
praktik ritual yang dilaksanakan. Hal inilah yang menjadi inti ritual formal,
yaitu adanya kekhusukan dalam beribadah ataupun lainya sebagai kesadaran
bertuhan, tidak terkecuali dalam pelaksanaan shalat jumat.
Keempat, dimensi pengetahuan agam yang mengacu perolehan pengetahuan (ilmu
pengetahuan ) dalam melaksanakan agamanya. kelima, dimensi konsekuensi yang
merupakan akibat dari dimensi yang lain, yaitu tumbuhnya sikap keberagaman dan
sikap kemanusiaan atau mempunyai rasa sosial tinggi dlaam berhubungan dengan
sesamanya. Secara sederhana dimensi ini termasuk di dalamnya adalah menumbuhkan
akhlakul karimah. (Roland Roberston, 1998:295 -296).
Kelima dimensi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengukur
kualitas keberagaman kita baik sebagai khotib maupun jamaah dan sekaligus
mencari sebab mengapa pelaksanaan shalat jumat sudah sedemikian jauh dari
fungsi dan tujuan sebenarnya.
Misalnya dengan kelima kerangka acuan tersebut, mungkin dapat kita jadikan
syarat ukuran kualitas seorang orang yang akan menjadi khotib, sehingga jamaah
akan merasakan ksejukan dan kekhusukan serta tidak menjenuhkan.
Selain itu juga jamaah akan menganggap sang khatib adalah seorang yang
patut menjadikan uswah, walaupun tidak sepenuhnya seperti Nabi Muhammad SAW.
Paling tidak ia mampu dan layak disebut sebagai pewaris Nabi (Warasatul
anbiya). Hal ini menunjukkan bahwa sang khotib bukan berarti seorang kiai, ustadz atau haju dan lain - lain. Sebab
kualitas keberagamaan seseorang tidak diukur oleh gelar dan status sosial.
Dengan kelima dimensi yang dimiliki khotib, tentunya secara tidak langsung
akan mempengaruhi sistem sang khotib dalam menyampaikan khotbahnya yang tidak
menjenuhkan dengan ide - ide segarnya atau yang disebut dengan bil hikah wal
mauidlotil hasanah.
Itu adalah salah satu saja dari berbagai macam format lainnya tanpa harus
mengesampingkan - yang menurut istilah Dr Amin Abdullah - normativitas ajaran
islam yang di bangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal
- teologis. Akan tetapi melakukan format perubahan melalui aspek historisitas,
yaitu keberagaman seseorang yang ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan
keilmuan sosial - keagamaan yang bersifat historis, filosofis, psikologis,
sosiologis, kultural maupun antropologis (Amin Abdullah, 1996:V).
Hal ini dapat dipahami kalau format perubahan dengan cara sebagaimana
Muhammad Amin sampaikan yaitu dengan metode dialektis dalam khotbah jumat, maka
bisa jadi ritual lainnya yang seakan belum memiliki implikasi nyata, formulasi
ibadah itu akan diubah tanpa memperhatikan mana yang menjadi
wilatahnormativitas ajaran dan mana yang masuk pada wilayah historisitas-nya.
Hal inilah yang disebut dengan “lempar batu sembunyi tangan”. Yang sebenarnya
aturan sudah jelas, tetapi karena faktor kesibukan, kemalasan, kelelahan dan
semacamnya menjadikan seakan aturan ibadah itu yang kurang baik - kalau tidak dikatakan
salah - sehingga aturan ibadah tersebut perlu diubah.
SUARA MERDEKA
HALAMAN VI, JUM’AT 13 JUNI 2003
Tulisan tersebut telah menjadi polemik di Harian Suara Merdeka
Baca Lebih Lanjut :
5. Sia-sia, Mengubah Format Shalat Jumat, Oleh : Prof. Dr. H, Ahmad Rofiq, 20 Juni 2003
6. Menyelesaikan Reformasi Ibadah Jumat. Oleh Muhammad Amin, 27 Juni 2003
6. Menyelesaikan Reformasi Ibadah Jumat. Oleh Muhammad Amin, 27 Juni 2003
Assalamuaaikum, Terima kasih atas informasinya Salam..Blog Pendidikan
ReplyDelete