Tuesday, 12 February 2013

DIALOG DALAM SHALAT JUMAT




Membaca tulisan Muhammad Amin yang berjudul “Mengubah Format Shalat Jum’at” (Suara Merdeka Jum’at tanggal 23 Mei 2003) cukup menarik. Apa yang diungkapkan memang cukup realistis.
Shalat Jum’at yang merupakan salah satu aktivitas ritual ibadah dalam Islam, dalam praktiknya dari segi fungsi, belum - kalau tidak dikatakan gagal - membentuk muslim yang bertakwa sebagaimana diserukan khotib setiap kali khutbah, apalagi menjadi benteng Islam, sekaligus penghalang bagi kaum kafir untuk menaklukkan Islam.
Banyak sekali memang manfaat dari shalat jumat, kalau umat Islam mau dan mampu melaksanakan dengan sungguh-sungguh serta dapat mengambil manfaat atau hikmahnya.
Disamping mempunyai manfaat dan hikmah sebagaimana shalat lima waktu, shalat jumat juga menjadi lambang persatuan umat Islam, bahkan dapat menjadi penggnati ibadah haji bagi muslim yang tidak mampu.
Dari segi waktu dan sistem pelaksanaanya juga merupakan media yang cukup efektif menyadarkan umat islam sebagai ummatan wahidah.
Memang realita yang ada shalat jumat belum - kalau tidak dikatakan tidak - mampu menjadi kontribusi peningkatan ketakwaan umat karena berbagai macam faktor yang menjadikan jamaah merasa jenuh, mengantuk dan sebagainya.
Namun, fenomena itu bukan berarti kita seenaknya mereformulasi (menawarkan format lebih baik) tanpa memperhatikan aturan ibadah dalam Islam, mana aturan yang boleh di ubah atau diinterprestasikan (disesuaikan dengan kondisi atau keadaan) dan mana yang tidak boleh diinterprestasikan.
Dalam  mengkritisi pelaksanaan shalat jumat selama ini yang bermuara pada perubahan tingkah laku lebih baik bagi jamaah (peningkatan kualitas keberagamaan), bukan berarti mengesampingkan batasan normativitas ajaran sebagaimana yang Muhammad Amin tulis. Gagasan Muhammad Amin tentang format perubahan sistem shalat jumat, yaitu perlunya sistem dialog dalam pelaksanaan khutbah jumat.
Jamaah boleh menginterupsi, memprotes dan meyanggah dengan asumsi bahwa khatib tidak selamanya benar, bukan seperti Nabi Muhammad SAW. yang secara kualitas personel beliau tidak diragukan lagi adalah terlalu berlebihan.
Sebab adanya fenomena shalat jumat yang membuat jamaah mengantuk, terlambat dan sebagainya karena khotib yang monoton dalam menyampaikan isi khotbahnya hanya alasan yang dibuat buat oleh orang-orang yang memang sebenarnya malas, dan menganggap shalat jumat menjadi tidak lebih penting dari aktivitas yang lain.
Bahkan lebih dari itu, shalat jumat kadang dianggap mengganggu aktivitas atau kesibukan pada saat panggilan ibadah itu datang.
Secara realistis memang shalat jumat tidak efektif sebagaimana alasan tersebut diatas, akan tetapi masih banyak juga terdapat khutbah yang tidak monoton dan mampu membangkitkan semangat keislaman dan penghayatan mendalam baik bagi khatib maupun jamaah serta tidak juga menjenuhkan.
Hal itu, karena secara fiqih khatib maupun jamaah tersebut telah memenuhi hal-hal yang menjadi wajib dan sunah dalam pelaksanaan shalat jumat. Misalnya, khusyuk, tepat waktu, berpakain suci, bersih, memakai pakaian yang terbaik yang ia miliki seperti yang dianjurkan abi SAW, berpakaian putih sebagai lambang kesucian untuk menambah kekhusyukan dan lain-lain, bukan asal-asalan shalat dengan mempersiapkan diri seadanya bahkan kadang tergesa-gesa dan keadaan seperti ini, memang seharusnya diakui.
Semua itu dilakukan karena dalam pelaksanaan shalat jumat, memang sebenarnya memerlukan keseriusan dan konsentrasi serta kekhusyukan dengan penyelaman perasaan dengan anggapan bahwa dalam beribadah tersebut tidak hanya sedang berkomunikasi dengan sesama manusia (antara khatib dan jamaah, tetapi juga kepada Allah SWT. (antara hamba dan Tuhannya). Jadi hubungan vertikal juga didapati dalam pelaksanaan shalat itu.
Oleh karena itulah, khatib pun dalam membawakan atau menyampaikan khatbah harus memenuhi aturan, baik sebagai khatib (personel) maupun isi materi khutbahnya, seperti adanya pujian kepada Allah SWT., syahadat, shalawat, ajakan bertakwa, mengutip ayat Al Qur’an atau Hadis, tidak menyakiti orang lain, menambah kesejukan hati dan lain sebagainya.
Namun, kalau suasana ibadah seperti itu diubah menjadi sistem dialog, di mana jamaah boleh menyanggah, memprotes, menginterupsi dan sebagainya, mka nuansa shalat jumat menjadi tereduksi, bahkan mungkin menjadi hilang.
Rentan
Ceramah yang besifat dialektis rentan terdapat perbedaan yang mungkin saja berkelanjutan sampai shalat jumat berakhir, padahal setelah khotbah juga masih ada pelaksanaan shalat yang tentunya memerlukan kondisi hati dan pikiran bersih.
Disamping itu, dalam pelaksanaan shalat jumat, terdapat jamaah baik secara personel maupun kelompok atau paham yang cukup heterogen. Sangat mungkin terjadi perbedaan cara pandang dan daya tangkap yang akhirnya berimbas pada menurunnya kekhusyukan dan konsentrasi beribadah serta kesejukan hati jamaah.
Bahkan pelaksanaan shalat bisa jadi bukan lagi menjadi sebuah ibadah ritual yang akan meningkatkan ketakwaan dan keberagaman, akan tetapi menjadi sebuah forum ilmiah yang sarat akan perdebatan karena perbedaan pandangan dan akibatnya juga akan  menimbulkan keraguan bagi orang awam.
Keberagaman
Bisa dimaklumi, dengan melihat fenomena pelaksanaan shalatjumat yang masih kurang efektif dalam mengubah perilaku jamaah dan cenderung menjenuhkan, sebagian muslim yang sadar akan keislamannya akan memandang perlu untuk mengadakan perubahan format shalat jumat. Akan tetapi format perubahan tersebut harus menelaah bahkan cenderung menurun.
Apakah benar karena sistem pelaksanaan shalat jumat itu khususnya khotbah yang cenderung menolong dan memohon tanpa adanya kekritisan dari jamaah?
Atau karena kualitas khatibnya yang mungkin baik secara keilmuan agama maupun keahlian retorikanya yang masih minim sehingga menjenuhkan dan membuat mengantuk ?
Atau karena jamaahnya itu sendiri yang semangat keberagamaannya masih perlu dipertanyakan ? Masih banyak lagi kemungkinan yang menjadi sebab kurang efektifnya ibadah Shalat Jumat bagi peningkatan ketakwaan dan persatuan umat Islam.
Sebagai muslim yang baik memang harus senantiasa melakukan instrospeksi diri terutama mengenai sejauh mana kualitas keberagaman yang dimilikinya. Mengutip R Stark dan CY Glok, bahwa kualitas keberagamaan itu ada beberapa dimensi yang seharusnya dimiliki oleh orang beragama.
Pertama, dimensi keyakinan yang memuat mengenai pengakuan terhadap doktrin kebenaran agama, misalnya akidah atau tauhid (keesaan Allah) dan keimanan yang lain seperti Muhammad sebagai utusan Allah, adanya malaikat dan lain sebagainya.
Kedua, dimensi praktik agama, mencakup perilaku keagamaan seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain yang meliputi tindakan keagamaan formal dan praktik - praktik suci.
Ketiga, dimensi pengalaman yang menunjukkan adanya penghayatan setiap praktik ritual yang dilaksanakan. Hal inilah yang menjadi inti ritual formal, yaitu adanya kekhusukan dalam beribadah ataupun lainya sebagai kesadaran bertuhan, tidak terkecuali dalam pelaksanaan shalat jumat.
Keempat, dimensi pengetahuan agam yang mengacu perolehan pengetahuan (ilmu pengetahuan ) dalam melaksanakan agamanya. kelima, dimensi konsekuensi yang merupakan akibat dari dimensi yang lain, yaitu tumbuhnya sikap keberagaman dan sikap kemanusiaan atau mempunyai rasa sosial tinggi dlaam berhubungan dengan sesamanya. Secara sederhana dimensi ini termasuk di dalamnya adalah menumbuhkan akhlakul karimah. (Roland Roberston, 1998:295 -296).
Kelima dimensi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengukur kualitas keberagaman kita baik sebagai khotib maupun jamaah dan sekaligus mencari sebab mengapa pelaksanaan shalat jumat sudah sedemikian jauh dari fungsi dan tujuan sebenarnya.
Misalnya dengan kelima kerangka acuan tersebut, mungkin dapat kita jadikan syarat ukuran kualitas seorang orang yang akan menjadi khotib, sehingga jamaah akan merasakan ksejukan dan kekhusukan serta tidak menjenuhkan.
Selain itu juga jamaah akan menganggap sang khatib adalah seorang yang patut menjadikan uswah, walaupun tidak sepenuhnya seperti Nabi Muhammad SAW. Paling tidak ia mampu dan layak disebut sebagai pewaris Nabi (Warasatul anbiya). Hal ini menunjukkan bahwa sang khotib bukan berarti seorang kiai,  ustadz atau haju dan lain - lain. Sebab kualitas keberagamaan seseorang tidak diukur oleh gelar dan status sosial.
Dengan kelima dimensi yang dimiliki khotib, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem sang khotib dalam menyampaikan khotbahnya yang tidak menjenuhkan dengan ide - ide segarnya atau yang disebut dengan bil hikah wal mauidlotil hasanah.
Itu adalah salah satu saja dari berbagai macam format lainnya tanpa harus mengesampingkan - yang menurut istilah Dr Amin Abdullah - normativitas ajaran islam yang di bangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal - teologis. Akan tetapi melakukan format perubahan melalui aspek historisitas, yaitu keberagaman seseorang yang ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial - keagamaan yang bersifat historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis (Amin Abdullah, 1996:V).
Hal ini dapat dipahami kalau format perubahan dengan cara sebagaimana Muhammad Amin sampaikan yaitu dengan metode dialektis dalam khotbah jumat, maka bisa jadi ritual lainnya yang seakan belum memiliki implikasi nyata, formulasi ibadah itu akan diubah tanpa memperhatikan mana yang menjadi wilatahnormativitas ajaran dan mana yang masuk pada wilayah historisitas-nya. Hal inilah yang disebut dengan “lempar batu sembunyi tangan”. Yang sebenarnya aturan sudah jelas, tetapi karena faktor kesibukan, kemalasan, kelelahan dan semacamnya menjadikan seakan aturan ibadah itu yang kurang baik - kalau tidak dikatakan salah - sehingga aturan ibadah tersebut perlu diubah.

SUARA MERDEKA

1 comments :