BERAGAMA
INKLUSIF
(Solusi Problem Keberagaman Masa Depan)
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.
Agama membawa misi
sebagai pembawa perdamaian dan keselarasan hidup bukan saja antar manusia, tapi
juga antar sesama makhluk Tuhan namun demikian, dalam realitas sosial agama
sering tampil dengan wajah yang paradoksal dengan misi keuniversalannya.
Kadang-kadang agama dapat menyatukan
masyarakat yang didalamnya terdapat kemajemukan. Tetapi, terkadang pula
agama sering kali terlibat dalam proses desintegrasi sosial antar umat
beragama.
Problem mendasar
terjadinya paradoksal adalah persoalan hermenutik,
yaitu persoalan yang berkaitan dengan proses pemahaman atas ajaran agama.
Sampai kapan pun, persoalan ini terus berlanjut karena adanya perbedaan yang
mendasar antara watak agama yang paraxcellence dengan realitas sosial manusia. Agama bersifat absolut karena
bersumber dari realitas antologis yang mutlak, yaitu Tuhan.
Sementara manusia
bersifat realatif, sehingga ketika
dikonstruksi oleh manusia, maka absolusitas agama mengalami realitas bahkan
mungkin juga distorsi. Hal inilah yang terkadang memunculkan sikap pemutlakan
terhadap pemahaman agama (truth claim) yang dapat menjerumuskan hubungan
antar umat beragama dalam kemelut perseteruan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Keadaan semacam inilah
yang menjadi sumber pemicu kekerasan dan konflik dalam kehidupan beragama.
Selain itu, ada pendapat lain yang agak simplikatif,bahwa yang menjadi pemicu
munculnya kekerasan dan konflik adalah adanya pluralitas agama.
Sebagai fenomena sosiologi,
pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pluralitas
agama merupakan bagian dari bentuk pluralitas lain yang memperkaya khasanah
kultur manusia. Lebih dari itu, dalam proses modernisasi sekarang ini,
kecenderungan terjadinya perkembangan kearah masyarakat yang lebih pluralistik
tidak dapat dibendung lagi, karena menjadi bagian modenisasi itu sendiri.
Tipologi
beragama
Adanya pluralitas agama
memunculkan seribu satu pertanyaan bagi masing-masing pemeluk agama. Misalnya,
dengan adanya kemajemukan agama, mana diantara agama-agama tersebut yang benar?
Mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan diantara aneka macam
agama? Bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan harmonis antara agama?
Bagaimana seharunys agama yang dianut dan dipercaa kebenarannya dapat
berinteraksi dengan agama lain? Dan masih banyak lagi pertanyaan umat beragama
menghadapi realitas pluralisme tersebut.
Menghadapi realitas
kemajemukan agama dan sikap umat terhadap agamanya, Komaruddin Hidayat membedakan
tipologi sikap berkeagamaan menjadi lima. Pertama, sikap ekslusifisme yang melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah
agama yang dipeluknya. Agama lain sesat dan harus dikikis atau pemeluknya dikonvensi,
baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan tuhan. Kedua, sikap inklusifisme
yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran
meskipun tidak seutuhnya atau tidak sesempurna agama yang dianutnya. Di sini
masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Ketiga, pluralisme
yang cenderung lebih moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis,
pluralisme agama dipandang sebagai suatu realitas yang masing-masing berdiri
sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah tidak relevan. Keempat, ekletivisme adalah suatu sikap
keberagaman yang berusaha mencocok untuk dirinya sehingga format akhir dari
sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektik. Kelima, universalisme
yang beranggapan bahwa dasar agama adalah satu dan sama (Komaruddin Hidayat,
1998 : 119).
Dari kelima bentuk
beragama tersebut, pandangan inklusifisme beragama barangkali lebih mudah
diterima. Karena dalam pemahaman inklusifisme seseorang masih tetap meyakini
bahwa agamanya paling benar dan baik. Namun dalam waktu yang sama memiliki
sikap toleran dan bersahabat dengan pemeluk agama lain. Ketika eksklusifisme
menjadi pandangan hidup beragama, maka biasanya bukannya menjadi sumber
perdamaian, melainkan sumber konflik. Adapun pluralisme sebagai suatu
keniscayaan teologis dan historis, sangat bisa jadi, dengan menganggap semua
agama sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak
serius dalam mendalami ajaran agama.
Problem
Teologis
Apa yang dapat ditangkap
dari uraian diatas, agama masih dihadapkan pada persoalan teologis yang
mengakibatkan antarumat beragama acapkali diwarnai ketegangan yang berujung
konflik sosial.
Adanya persoalan
teologis dalam kehidupan pluralitas agama, disebabkan karena teologis adalah
persoalan nalar. Di sini, teologi
dipandang sebagai salah satu cara penghampiran dalam memahami pesan-pesan Tuhan
yang terdapat dalam kitab suci. Ketika dalam proses pemahaman inilah ygnantinya
terbentuk paham keagamaan dengan intervensi manusia yang dominan.namun
demikian, dengan bertitik tolak bahwa teologi berdasar pada nalar atau rasio
manusia, maka teologi mempunyai keterbatasan dalam menopang dan mengekspresikan
misteri dan kedalaman pengalaman spiritual seseorang.
Di sisi lain, watak
rasional teologi adalah adanya unsur subyektifitas, interpretatif dan
kecenderungan pada pribadi atau kelompok. Kenyataan ini sulit dihindari, sebab
ketika agama telah menjadi fenomena historisitas manusia, upaya
konseptualisasi, kategorisasi dan rasionalisasi lainnya merupakan keniscayaan
agar pesan-pesan Tuhan dapat dipahami. Hal inilah yang menjadi persoalan, bahwa
adanya intervensi kepentingan dan rasionalitas pemeluknya, maka kecenderungan
subyektifitas sulit dihindarkan.
Sebagai contoh ilustrasi
bahwa teologi adalah bertitik tolak dari rasionalitas dan menjadi produk manusia
adalah dalam seluruh Islam itu sendiri. Kita mengenal aliran-aliran yang
mempersoalkan apakah Tuhan itu dapat didiskusikan atau tidak, yang akhirnya
muncul ilmu kalam, ilmu tauhid, teologi dan lain-lain. Dengan munculnya
persoalan tersebut timbullah aliran kalam Asy’ariyah, Mu’tazilah, Murji’ah
Khawarij, Syi’ah dan lain-lain, yang kesemuanya itu adalah produk manusia.
Sikap
inklusif
Dunia sekarang ini
adalah dunia pluralis. Pengaruh globalisasi merupakan kreasi dari perkampungan
global (global village) dimana
masyarakat sangat transparan satu sama lain. Masyarakat yang berasal dari satu
kepercayaan atau agama yg hidup
dalam perkampungan global, haruslah memiliki visi yang religius yang akan berlaku adil terhadap agama
mereka sendiri dan juga terhadap agama yang dimiliki komunitas lain, dengan
sebuah kesadaran yang positif tentang adanya perbedaan berbagai kelompok.
Secara
politis-sosiologis, sering terlihat fenomena pemaksaan suatu agama tertentu.
Keberagaman yang demikian itu bukanlah keberagaman yang sejati. Dan karena
tidak sejati maka akan mendatangkan ketidaktentraman dan akan menurunkan
kualitas spiritual dan penuh kepura-puraan.
Sebenarnya beragama itu
adalah hasil pilihan sadar dan bebas, dan hal ini adalah jalinan subyektif
antara seseorang dengan Tuhannya. Dengan demikian maka pemaksaan agama dan
faham keagamaan adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara
diameteral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang
merdeka.
Walaupun manusia itu
bebas membentuk mekanisme spiritualnya, bebas mengubah lingkungan alami mereka
ke bentuk
yang lebih nyaman, serta bebas menentukan masa depan yang mereka cita-citakan,
mereka terbatas dalam bertindak. Dengan kata lain manusia menikmati kebebasan
relatif yang dibatasi oleh wilayah tertentu yang didalamnya mereka dapat
memiliki masa depan yang sejahtera atau masa depan yang membawa petaka.
Keterbatasan-keterbatasan
itu misalnya, heriditas, dimana
manusia tidak lepas dari pengaruh
turunan seperti warna kulit, keunikan badan dan sebagainya. Manusia tidak dapat
memilih atribut-atribut semacam itu. Kemudian faktor lingkungan alam dan
geografis, yaitu adanya iklim panas atau dingin dan lain-lain yang akan
menyebabkan manusia terlingkup oleh tipe watak dan perilaku yang berbeda.
Faktor lingkungan sosial
yang membentuk nilai-nilai moral dan spiritual manusia. Dan pengaruh sejarah
danfaktor temporal, di mana secara realistis masa lampau dan masa kini adalah
dua rangkaian tunggal yang tak pernah habis.
Namun kaitannya dengan
fenomena kemajemukan agama-agama, manusia memerlukan kebebasan yang sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Sikap paling nyata dalam menanggapi
harkat dan martabat kemanusiaannya tersebut adalah terwujudnya pola hubungan
antara umat beragama yang toleran dan terbuka. Oleh karena itu, iman dan harkat
serta martabat kemanusiaan melandasi keterbukaan, kelapangan, dan melawan
sistem otoriter dan tirani. Baik kekuatan tiranik yang berasal dari diri
sendiri maupun orang lain atau masyarakat yang akan membelenggu kebebasan
kemanusiaannya.
Kekuatan tiranik yang
membelenggu itu adalah merupakan hawa nafsu (dari bahasa Arab hawa al nafas, yang secara harfiah
berarti keinginan diri sendiri). Inilah yang menjadi sumber pribadi untuk
menolak kebenaran, kesombongan dan kecongklakan manusia menghadapi hal-hal yang
tidak sejalan dengan kemauan atau pandanan manusia sendiri, betapapun benarnya
dari luar itu. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan-pandangan subyektif,
yang juga menghalangi dari kemungkinan melihat kebenaran (QS. 45 : 23).
Seseorang disebut menuhankan keinginan diri sendiri jika ia memutlakkan
pandangan atau pikirannya sendiri.
0 comments :
Post a Comment