Sunday 13 May 2012

Beragama Inklusif


BERAGAMA INKLUSIF
(Solusi Problem Keberagaman Masa Depan)

Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.


Agama membawa misi sebagai pembawa perdamaian dan keselarasan hidup bukan saja antar manusia, tapi juga antar sesama makhluk Tuhan namun demikian, dalam realitas sosial agama sering tampil dengan wajah yang paradoksal dengan misi keuniversalannya. Kadang-kadang agama dapat menyatukan  masyarakat yang didalamnya terdapat kemajemukan. Tetapi, terkadang pula agama sering kali terlibat dalam proses desintegrasi sosial antar umat beragama.
Problem mendasar terjadinya paradoksal adalah persoalan hermenutik, yaitu persoalan yang berkaitan dengan proses pemahaman atas ajaran agama. Sampai kapan pun, persoalan ini terus berlanjut karena adanya perbedaan yang mendasar antara watak agama yang  paraxcellence dengan realitas  sosial manusia. Agama bersifat absolut karena bersumber dari realitas antologis yang mutlak, yaitu Tuhan.
Sementara manusia bersifat realatif, sehingga ketika dikonstruksi oleh manusia, maka absolusitas agama mengalami realitas bahkan mungkin juga distorsi. Hal inilah yang terkadang memunculkan sikap pemutlakan terhadap pemahaman agama (truth claim) yang dapat menjerumuskan hubungan antar umat beragama dalam kemelut perseteruan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Keadaan semacam inilah yang menjadi sumber pemicu kekerasan dan konflik dalam kehidupan beragama. Selain itu, ada pendapat lain yang agak simplikatif,bahwa yang menjadi pemicu munculnya kekerasan dan konflik adalah adanya pluralitas agama.
Sebagai fenomena sosiologi, pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pluralitas agama merupakan bagian dari bentuk pluralitas lain yang memperkaya khasanah kultur manusia. Lebih dari itu, dalam proses modernisasi sekarang ini, kecenderungan terjadinya perkembangan kearah masyarakat yang lebih pluralistik tidak dapat dibendung lagi, karena menjadi bagian modenisasi itu sendiri.

Tipologi beragama
Adanya pluralitas agama memunculkan seribu satu pertanyaan bagi masing-masing pemeluk agama. Misalnya, dengan adanya kemajemukan agama, mana diantara agama-agama tersebut yang benar? Mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan diantara aneka macam agama? Bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan harmonis antara agama? Bagaimana seharunys agama yang dianut dan dipercaa kebenarannya dapat berinteraksi dengan agama lain? Dan masih banyak lagi pertanyaan umat beragama menghadapi realitas pluralisme tersebut.
Menghadapi realitas kemajemukan agama dan sikap umat terhadap agamanya, Komaruddin Hidayat membedakan tipologi sikap berkeagamaan menjadi lima. Pertama, sikap ekslusifisme yang melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat dan harus dikikis atau pemeluknya dikonvensi, baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan tuhan. Kedua, sikap inklusifisme yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran meskipun tidak seutuhnya atau tidak sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Ketiga, pluralisme yang cenderung lebih moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis, pluralisme agama dipandang sebagai suatu realitas yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah tidak relevan. Keempat, ekletivisme adalah suatu sikap keberagaman yang berusaha mencocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektik. Kelima, universalisme yang beranggapan bahwa dasar agama adalah satu dan sama (Komaruddin Hidayat, 1998 : 119).
Dari kelima bentuk beragama tersebut, pandangan inklusifisme beragama barangkali lebih mudah diterima. Karena dalam pemahaman inklusifisme seseorang masih tetap meyakini bahwa agamanya paling benar dan baik. Namun dalam waktu yang sama memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan pemeluk agama lain. Ketika eksklusifisme menjadi pandangan hidup beragama, maka biasanya bukannya menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber konflik. Adapun pluralisme sebagai suatu keniscayaan teologis dan historis, sangat bisa jadi, dengan menganggap semua agama sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius dalam mendalami ajaran agama.

Problem Teologis
Apa yang dapat ditangkap dari uraian diatas, agama masih dihadapkan pada persoalan teologis yang mengakibatkan antarumat beragama acapkali diwarnai ketegangan yang berujung konflik sosial.
Adanya persoalan teologis dalam kehidupan pluralitas agama, disebabkan karena teologis adalah persoalan  nalar. Di sini, teologi dipandang sebagai salah satu cara penghampiran dalam memahami pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam kitab suci. Ketika dalam proses pemahaman inilah ygnantinya terbentuk paham keagamaan dengan intervensi manusia yang dominan.namun demikian, dengan bertitik tolak bahwa teologi berdasar pada nalar atau rasio manusia, maka teologi mempunyai keterbatasan dalam menopang dan mengekspresikan misteri dan kedalaman pengalaman spiritual seseorang.
Di sisi lain, watak rasional teologi adalah adanya unsur subyektifitas, interpretatif dan kecenderungan pada pribadi atau kelompok. Kenyataan ini sulit dihindari, sebab ketika agama telah menjadi fenomena historisitas manusia, upaya konseptualisasi, kategorisasi dan rasionalisasi lainnya merupakan keniscayaan agar pesan-pesan Tuhan dapat dipahami. Hal inilah yang menjadi persoalan, bahwa adanya intervensi kepentingan dan rasionalitas pemeluknya, maka kecenderungan subyektifitas sulit dihindarkan.
Sebagai contoh ilustrasi bahwa teologi adalah bertitik tolak dari rasionalitas dan menjadi produk manusia adalah dalam seluruh Islam itu sendiri. Kita mengenal aliran-aliran yang mempersoalkan apakah Tuhan itu dapat didiskusikan atau tidak, yang akhirnya muncul ilmu kalam, ilmu tauhid, teologi dan lain-lain. Dengan munculnya persoalan tersebut timbullah aliran kalam Asy’ariyah, Mu’tazilah, Murji’ah Khawarij, Syi’ah dan lain-lain, yang kesemuanya itu adalah produk manusia.

Sikap inklusif
Dunia sekarang ini adalah dunia pluralis. Pengaruh globalisasi merupakan kreasi dari perkampungan global (global village) dimana masyarakat sangat transparan satu sama lain. Masyarakat yang berasal dari satu kepercayaan atau agama yg hidup dalam perkampungan global, haruslah memiliki visi yang religius yang akan berlaku adil terhadap agama mereka sendiri dan juga terhadap agama yang dimiliki komunitas lain, dengan sebuah kesadaran yang positif tentang adanya perbedaan berbagai kelompok.
Secara politis-sosiologis, sering terlihat fenomena pemaksaan suatu agama tertentu. Keberagaman yang demikian itu bukanlah keberagaman yang sejati. Dan karena tidak sejati maka akan mendatangkan ketidaktentraman dan akan menurunkan kualitas spiritual dan penuh kepura-puraan.
Sebenarnya beragama itu adalah hasil pilihan sadar dan bebas, dan hal ini adalah jalinan subyektif antara seseorang dengan Tuhannya. Dengan demikian maka pemaksaan agama dan faham keagamaan adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara diameteral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka.
Walaupun manusia itu bebas membentuk mekanisme spiritualnya, bebas mengubah lingkungan alami mereka ke bentuk yang lebih nyaman, serta bebas menentukan masa depan yang mereka cita-citakan, mereka terbatas dalam bertindak. Dengan kata lain manusia menikmati kebebasan relatif yang dibatasi oleh wilayah tertentu yang didalamnya mereka dapat memiliki masa depan yang sejahtera atau masa depan yang membawa petaka.
Keterbatasan-keterbatasan itu misalnya, heriditas, dimana manusia tidak lepas dari pengaruh turunan seperti warna kulit, keunikan badan dan sebagainya. Manusia tidak dapat memilih atribut-atribut semacam itu. Kemudian faktor lingkungan alam dan geografis, yaitu adanya iklim panas atau dingin dan lain-lain yang akan menyebabkan manusia terlingkup oleh tipe watak dan perilaku yang berbeda.
Faktor lingkungan sosial yang membentuk nilai-nilai moral dan spiritual manusia. Dan pengaruh sejarah danfaktor temporal, di mana secara realistis masa lampau dan masa kini adalah dua rangkaian tunggal yang tak pernah habis.
Namun kaitannya dengan fenomena kemajemukan agama-agama, manusia memerlukan kebebasan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Sikap paling nyata dalam menanggapi harkat dan martabat kemanusiaannya tersebut adalah terwujudnya pola hubungan antara umat beragama yang toleran dan terbuka. Oleh karena itu, iman dan harkat serta martabat kemanusiaan melandasi keterbukaan, kelapangan, dan melawan sistem otoriter dan tirani. Baik kekuatan tiranik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain atau masyarakat yang akan membelenggu kebebasan kemanusiaannya.
Kekuatan tiranik yang membelenggu itu adalah merupakan hawa nafsu (dari bahasa Arab hawa al nafas, yang secara harfiah berarti keinginan diri sendiri). Inilah yang menjadi sumber pribadi untuk menolak kebenaran, kesombongan dan kecongklakan manusia menghadapi hal-hal yang tidak sejalan dengan kemauan atau pandanan manusia sendiri, betapapun benarnya dari luar itu. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan-pandangan subyektif, yang juga menghalangi dari kemungkinan melihat kebenaran (QS. 45 : 23). Seseorang disebut menuhankan keinginan diri sendiri jika ia memutlakkan pandangan atau pikirannya sendiri.

Wallahu a’lam....

0 comments :

Post a Comment