|
Dialog Tentang Sunni-Syiah
Oleh : Abdul Hayyie al Kattani
AP 1. Dalam "perjalanan" Bapak untuk "memberikan kontribusi pemikiran
bagi hubungan Sunnah-Syi'ah", adakah pernah Bapak temui sekte Syi'ah kontemporer
yang memiliki keyakinan semisal sekte Syi'ah di masa "awal" nya dahulu seperti
tergambar dalam ungkapan Bapak di atas (= mengakui keabsahan syar'i atas
kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta tidak bersikeras tentang "nash"
dan "washiyat" sebagaimana sikap Imam Ali k.w. kepada tiga pendahulunya
itu)?
Alkattani: Barangkali, Syi'ah Zaidiah dapat kita masukkan dalam
kategori itu. Karena dalam masalah kekhalifahan, mereka mengakui Abu Bakar, Umar
dan Utsman r.a. dan tidak mengimani dogma 'nash' dan 'washiat' itu. Bahkan
jabatan imam Zaidiah, pada suatu waktu, dipegang oleh orang semacam Qasim ar
Rassi, yang merupakan seorang keturunan Hasan. Sementara Zaid bin Ali Zainal
Abidin bin Husein bin Ali, imam pertama Zaidiah, adalah keturunan Husain.
Artinya, dalam masalah ini mereka boleh dikatakan amat moderat. Bagi mereka,
keimamahan (pemimpin negara) tidak ditentukan oleh nash atau warisan, namun oleh
adanya bai'at manusia. Dengan begitu, mereka berbeda jauh dengan Itsna Asyariah.
Sekte ini juga telah mampu mendirikan negara dengan pimpinan imam. Atau bisa
dinamakan dengan negara Zaidiah. Pertama di wilayah Dailam, arah selatan lautan
Khazar pada tahun 250 H, oleh Hasan bin Zaid. Yang kedua adalah di Yaman,
didirikan oleh al Hadi ilal Haqq Yahya bin Husein. Negara yang kedua ini berumur
panjang, dan baru berakhir pada tahun 1962 M, dengan digantikan oleh negara
Republik Yaman.
AP: 2. Tentang common platform yang bapak kemukakan (yakni Tauhid);
adakah "kesamaan" ini --menurut hemat Bapak-- "cukup" untuk mengantarkan pada
kesatuan dalam wilayah yang paling sensitif, semisal "kepemimpinan" dan
"pemerintahan"? (saya melihat salah satu pra-syarat mutlak untuk itu adalah
menemukan sekte Syi'ah seperti yang saya tanyakan di atas, dalam jumlah yang
cukup memadai/dominan di kalangan penganut Syi'i. Yakni penganut Syi'ah yang
bersikap seperti Imam Ali k.w. pada ketiga khalifah pendahulunya).
Alkattani: Dalam segala hal, alhamdulillah, saya selalu optimis.
Terutama tentang hal ini. Karena, secara empirik, kita justru mendapati banyak
manusia yang disatukan oleh hal-hal yang sepele. Lantas mengapa kemudian justru
ada orang yang tidak mau disatukan oleh faktor pemersatu yang besar dan agung?
Kita sering menyaksikan adanya orang yang dipersatukan oleh fanatisme klub
sepakbola, angkatan, daerah, suku dan sebagainya. Bahkan tak jarang kita
menemukan orang yang rela menyabung nyawa demi membela kehormatan 'faktor
persatuan'nya itu. Untuk itu, saya optimis sekali jika tauhid ini bisa dijadikan
faktor pemersatu umat Islam. Yang terpenting adalah adanya 'will' untuk bersatu
pada semua pihak. Jika sudah ada kehendak, insya Allah segala jalan akan
terbuka. Sementara jika tidak ada keinginan dan sengaja menghindar, maka jalan
yang ada pun malah menjadi rusak. Hal ini terutama pada diri pemimpin dan
tetuanya. Saat berdialog tentang Syi'ah dengan teman-teman, saya seringkali
tersentak dan kesal: mengapa yang dibicarakan melulu tentang sahabat a salah,
sahabat b brengsek, sahabat c penghianat dan sebagainya. Apakah setelah habis
membicarakan segala keburukan itu lantas tiba-tiba kita menjadi lebih baik?
suci? menjadi pahlawan? dan telah berbuat sesuatu yang baik bagi umat ini?
Malah, saking kesalnya karena terlalu sering diberikan pertanyaan tentang
perseteruan antar sahabat, saya jawab seseorang yang bertanya seperti itu dengan
berguyon: "seandainya bapak adalah keturunan Ken Arok dan saya adalah keturunan
Jayakatwang, apakah kita layak bertengkar setiap hari untuk membela kebenaran
sudut pandang masing-masing pihak; apalagi jika kita kemudian mengajak teman,
saudara, tetangga, orang sekampung, dan pengikut kita semua untuk saling
mengecam orang-orang yang berada nun jauh di belakang sejarah kita itu. Artinya,
perdebatan-perdebatan kosong seperti itu amat tidak produktif, dan malah bisa
menjadi indikasi kebodohan seseorang. Cuma masalahnya, untuk menciptakan
pengikut yang setia dan membentuk loyalitas in group yang kuat, orang
membutuhkan sentimen-sentimen yang dapat 'membakar' mereka, dan melebur mereka
dalam kesatuan group itu. Contohnya, kebencian rakyat Indonesia terhadap
penjajah dapat menghantarkan bangsa ini untuk berjuang menyabung nyawung demi
mendapatkan kemerdekaannya. Nah, pemimpin yang baik, dalam kondisi seperti itu
adalah pemimpin yang dapat mengobarkan kebencian itu sedemikian rupa, hingga
meledak-ledak, dan siap untuk dimuntahkan. Oleh karena itu, pemimpin yang laku
pada masa itu adalah pemimpin yang dapat membakar semangat massa, seperti
Soekarno dan sebangsanya. Dalam kontek pembicaraan kita, sayangnya fenomena
semacam itu masih ada. Dan dimanfaatkan betul. Sehingga setiap orang seakan-akan
membawa dosa warisannya masing-masing: artinya pihak yang mengaku syi'ah membawa
dosa warisan sebagai pihak tukang kecam sahabat, pencaci maki, dan pemecah belah
umat; sementara pihak yang mengaku sebagai ahli sunnah membawa dosa warisan
sebagai penindas, pembunuh, oportunis, perampas kekuasaan dan sebagainya.
Selanjutnya, masing-masing pihak seakan-akan berhak untuk saling menghunuskan
lidah dan pedangnya. Padahal, pada kenyataannya, keduanya sedang diperbudak oleh
fatamorgana sejarah semata. Kesadaran seperti inilah yang patut disebarkan
kepada seluruh umat Islam. Sehingga semuanya dapat saling berjabat erat dengan
mesra tanpa 'direcoki' oleh beban sejarah. Pristiwa-peristwa tragis yang sudah
berlalu, kita sesali, namun itu bukan salah kita, sehingga kita tidak perlu
merasa dibebani, tetapi kita berusaha agar peristiwa semacam itu jangan sampai
terulang kembali.
AP: 3. Masih tentang common platform (Tauhid); adakah "pra-syarat"
lain --menurut Bapak-- agar ajakan pada "kalimatun-sawa" ini (yang dalam nash
Al-Qur'an ditujukan - bahkan - kepada Ahlul Kitab di luar Islam) dapat terwujud
dalam penataan sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam meyakini
konsep-rujukannya? (dalam konsep fiqhul-ikhtilaf yang saya pahami, terdapat
perbedaan yang sangat fundamental antara "ikhtilaf al-masyru'" dengan "tafarruq
al-madzmum". Dan perbedaan itu - disamping persoalan yg bersumber dari isu
moral/akhlaq - sangat terkait dengan persoalan "kesamaan-konsep-rujukan". Tanpa
kesamaan di level konsep rujukan, betapa musykilnya terjadi "ikhtilaf" yang
produktif dalam arti yang sebenarnya.
Alkattani: Kembali saya ulang, pada intinya semua itu terletak pada
kemauan. Jika kita ingin bersatu, niscaya kita akan mencari faktor-faktor
persamaan yang menyatukan kita. Sementara jika kita ingin berpisah, tentu yang
kita cari-cari adalah kesalahannya. Insya Allah kita akan menemukan banyak
faktor pemersatu. Tidak hanya satu. Tauhid itu tok.
Katakanlah kita menyenangi seseorang, niscaya kita akan memfokuskan perhatian
kita pada 'sisi manis' orang itu. Dan jika kemudian sesuatu yang 'pahit dan
menjengkelkan' dari dirinya, secara reflek diri kita akan menghapus dan
mentolerirnya dengan menampilkan kembali 'sisi manis' itu. Begitu juga
sebaliknya.
Perbedaan tauhid yang menyatukan sunni dengan syi'ah dengan tauhid yang
menyatukan muslim dengan Ahli Kitab adalah: jika antara sunni dan syi'ah, maka
keduanya berada dalam lingkup tauhid itu. Sebagai sesama pemeluk tauhid.
Sementara terhadap Ahli Kitab, mereka masih berada di luar area tauhid. Dan oleh
karenanya, Islam mengajak mereka untuk masuk ke area tauhid, sehingga bertemu
dalam kesatuan agama.
Tauhid dapat menjadi common platform yang baik jika ia dijadikan sebagai
poros atau aksis kehidupan umat Islam. Artinya masing-masing orang harus
melepaskan dulu ikatan-ikatan emosionalnya, untuk kemudian secara berkesadaran
meletakkan tauhid itu sebagai inti kehidupannya. Dengan landasan tauhid itulah
ia berpikir, melihat, mengecap, bertindak, berreaksi, dan bergaul. Dengan frame
of reference tahuid pula ia membaca, menimbang, merenungkan, dan membuat suatu
keputusan. Nah, dengan tauhid sebagai frame of reference ini, insya Allah tidak
ada sesuatu pun yang membedakan kita satu sama lain, sesama kaum Muslimin. Baru
setelah kita melebarkan frame of reference kita, akan ditemukan
perbedaan-perbedaan itu. Misalnya perbedaan mazhab, kecenderungan ruhani, aliran
teologi, dan sebagainya. Namun tetap berada dalam kesatuan sebagai 'anak-anak
tauhid' itu.
Dalam titik-titik perbedaan itulah kita membutuhkan kesadaran berfiqh
ikhtilaf. Artinya masing-masing mentolerir sebesar mungkin perbedaan-perbedaan
yang ada, selama masih berada dalam kerangka tauhid. Dan saling bantu-membantu
pada titik-titik persamaan.
Contohnya, saat ini Bapak berada di Indonesia, dan saya berada di Mesir. Apa
yang menyatukan kita? apa yang menghubungkan kita? Yang menyatukan kita adalah
kesamaan kehendak untuk berdialog dengan baik, dan kebetulan ada sarana mailing
list. Di sini, faktor pemersatu kita khan kecil sekali. Bisa saja faktor
pemersatu ini kita perbesar (dalam kontek ini bisa dengan mengirim japri,
mencari titik-titik persamaan, dan sebagainya), dan dapat pula kita hancurkan
(misalnya dengan saling caci-caci maki, dan kemudian masing-masing
unsubscribe).
Ikhtilaf atau perbedaan itu masih dibenarkan (masyru') selama berada dalam
koridor frame of reference Islam. Dan semata untuk memperkaya wacana keislaman,
serta sebagai manifestasi dari keniscayaan adanya perbedaan antar manusia. Bukan
untuk saling berhadap-hadapan, saling menyalahkan, saling membinasakan. Jika
yang terakhir, maka hal itu menjadi perbedaan yang tercela dan terlarang
(tafarruq madzmum).
Oleh karena itu, marilah kita sesama umat Islam mulai mengkalkulasikan
persatuan kita dengan dimulai dari lingkar tauhid. Kemudian
diperlebar-diperlebar dan diperlebar. Sambil mulai mengikis perbedaan-perbedaan
yang ditimbulkan oleh ke-'khilapan' sedikit demi sedikit.
Insya Allah, masa depan persatuan kita akan cerah.
Terima Kasih
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani |
0 comments :
Post a Comment