Sunday, 9 September 2012

Dialog Sunni dan Syi'ah 1 (Sebuah Prngantar)

 

Dialog Tentang Sunni-Syiah

 Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

AP 1. Dalam "perjalanan" Bapak untuk "memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah", adakah pernah Bapak temui sekte Syi'ah kontemporer yang memiliki keyakinan semisal sekte Syi'ah di masa "awal" nya dahulu seperti tergambar dalam ungkapan Bapak di atas (= mengakui keabsahan syar'i atas kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta tidak bersikeras tentang "nash" dan "washiyat" sebagaimana sikap Imam Ali k.w. kepada tiga pendahulunya itu)?
Alkattani: Barangkali, Syi'ah Zaidiah dapat kita masukkan dalam kategori itu. Karena dalam masalah kekhalifahan, mereka mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a. dan tidak mengimani dogma 'nash' dan 'washiat' itu. Bahkan jabatan imam Zaidiah, pada suatu waktu, dipegang oleh orang semacam Qasim ar Rassi, yang merupakan seorang keturunan Hasan. Sementara Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali, imam pertama Zaidiah, adalah keturunan Husain. Artinya, dalam masalah ini mereka boleh dikatakan amat moderat. Bagi mereka, keimamahan (pemimpin negara) tidak ditentukan oleh nash atau warisan, namun oleh adanya bai'at manusia. Dengan begitu, mereka berbeda jauh dengan Itsna Asyariah. Sekte ini juga telah mampu mendirikan negara dengan pimpinan imam. Atau bisa dinamakan dengan negara Zaidiah. Pertama di wilayah Dailam, arah selatan lautan Khazar pada tahun 250 H, oleh Hasan bin Zaid. Yang kedua adalah di Yaman, didirikan oleh al Hadi ilal Haqq Yahya bin Husein. Negara yang kedua ini berumur panjang, dan baru berakhir pada tahun 1962 M, dengan digantikan oleh negara Republik Yaman.
AP: 2. Tentang common platform yang bapak kemukakan (yakni Tauhid); adakah "kesamaan" ini --menurut hemat Bapak-- "cukup" untuk mengantarkan pada kesatuan dalam wilayah yang paling sensitif, semisal "kepemimpinan" dan "pemerintahan"? (saya melihat salah satu pra-syarat mutlak untuk itu adalah menemukan sekte Syi'ah seperti yang saya tanyakan di atas, dalam jumlah yang cukup memadai/dominan di kalangan penganut Syi'i. Yakni penganut Syi'ah yang bersikap seperti Imam Ali k.w. pada ketiga khalifah pendahulunya).
Alkattani: Dalam segala hal, alhamdulillah, saya selalu optimis. Terutama tentang hal ini. Karena, secara empirik, kita justru mendapati banyak manusia yang disatukan oleh hal-hal yang sepele. Lantas mengapa kemudian justru ada orang yang tidak mau disatukan oleh faktor pemersatu yang besar dan agung? Kita sering menyaksikan adanya orang yang dipersatukan oleh fanatisme klub sepakbola, angkatan, daerah, suku dan sebagainya. Bahkan tak jarang kita menemukan orang yang rela menyabung nyawa demi membela kehormatan 'faktor persatuan'nya itu. Untuk itu, saya optimis sekali jika tauhid ini bisa dijadikan faktor pemersatu umat Islam. Yang terpenting adalah adanya 'will' untuk bersatu pada semua pihak. Jika sudah ada kehendak, insya Allah segala jalan akan terbuka. Sementara jika tidak ada keinginan dan sengaja menghindar, maka jalan yang ada pun malah menjadi rusak. Hal ini terutama pada diri pemimpin dan tetuanya. Saat berdialog tentang Syi'ah dengan teman-teman, saya seringkali tersentak dan kesal: mengapa yang dibicarakan melulu tentang sahabat a salah, sahabat b brengsek, sahabat c penghianat dan sebagainya. Apakah setelah habis membicarakan segala keburukan itu lantas tiba-tiba kita menjadi lebih baik? suci? menjadi pahlawan? dan telah berbuat sesuatu yang baik bagi umat ini? Malah, saking kesalnya karena terlalu sering diberikan pertanyaan tentang perseteruan antar sahabat, saya jawab seseorang yang bertanya seperti itu dengan berguyon: "seandainya bapak adalah keturunan Ken Arok dan saya adalah keturunan Jayakatwang, apakah kita layak bertengkar setiap hari untuk membela kebenaran sudut pandang masing-masing pihak; apalagi jika kita kemudian mengajak teman, saudara, tetangga, orang sekampung, dan pengikut kita semua untuk saling mengecam orang-orang yang berada nun jauh di belakang sejarah kita itu. Artinya, perdebatan-perdebatan kosong seperti itu amat tidak produktif, dan malah bisa menjadi indikasi kebodohan seseorang. Cuma masalahnya, untuk menciptakan pengikut yang setia dan membentuk loyalitas in group yang kuat, orang membutuhkan sentimen-sentimen yang dapat 'membakar' mereka, dan melebur mereka dalam kesatuan group itu. Contohnya, kebencian rakyat Indonesia terhadap penjajah dapat menghantarkan bangsa ini untuk berjuang menyabung nyawung demi mendapatkan kemerdekaannya. Nah, pemimpin yang baik, dalam kondisi seperti itu adalah pemimpin yang dapat mengobarkan kebencian itu sedemikian rupa, hingga meledak-ledak, dan siap untuk dimuntahkan. Oleh karena itu, pemimpin yang laku pada masa itu adalah pemimpin yang dapat membakar semangat massa, seperti Soekarno dan sebangsanya. Dalam kontek pembicaraan kita, sayangnya fenomena semacam itu masih ada. Dan dimanfaatkan betul. Sehingga setiap orang seakan-akan membawa dosa warisannya masing-masing: artinya pihak yang mengaku syi'ah membawa dosa warisan sebagai pihak tukang kecam sahabat, pencaci maki, dan pemecah belah umat; sementara pihak yang mengaku sebagai ahli sunnah membawa dosa warisan sebagai penindas, pembunuh, oportunis, perampas kekuasaan dan sebagainya. Selanjutnya, masing-masing pihak seakan-akan berhak untuk saling menghunuskan lidah dan pedangnya. Padahal, pada kenyataannya, keduanya sedang diperbudak oleh fatamorgana sejarah semata. Kesadaran seperti inilah yang patut disebarkan kepada seluruh umat Islam. Sehingga semuanya dapat saling berjabat erat dengan mesra tanpa 'direcoki' oleh beban sejarah. Pristiwa-peristwa tragis yang sudah berlalu, kita sesali, namun itu bukan salah kita, sehingga kita tidak perlu merasa dibebani, tetapi kita berusaha agar peristiwa semacam itu jangan sampai terulang kembali.
AP: 3. Masih tentang common platform (Tauhid); adakah "pra-syarat" lain --menurut Bapak-- agar ajakan pada "kalimatun-sawa" ini (yang dalam nash Al-Qur'an ditujukan - bahkan - kepada Ahlul Kitab di luar Islam) dapat terwujud dalam penataan sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam meyakini konsep-rujukannya? (dalam konsep fiqhul-ikhtilaf yang saya pahami, terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara "ikhtilaf al-masyru'" dengan "tafarruq al-madzmum". Dan perbedaan itu - disamping persoalan yg bersumber dari isu moral/akhlaq - sangat terkait dengan persoalan "kesamaan-konsep-rujukan". Tanpa kesamaan di level konsep rujukan, betapa musykilnya terjadi "ikhtilaf" yang produktif dalam arti yang sebenarnya.
Alkattani: Kembali saya ulang, pada intinya semua itu terletak pada kemauan. Jika kita ingin bersatu, niscaya kita akan mencari faktor-faktor persamaan yang menyatukan kita. Sementara jika kita ingin berpisah, tentu yang kita cari-cari adalah kesalahannya. Insya Allah kita akan menemukan banyak faktor pemersatu. Tidak hanya satu. Tauhid itu tok.
Katakanlah kita menyenangi seseorang, niscaya kita akan memfokuskan perhatian kita pada 'sisi manis' orang itu. Dan jika kemudian sesuatu yang 'pahit dan menjengkelkan' dari dirinya, secara reflek diri kita akan menghapus dan mentolerirnya dengan menampilkan kembali 'sisi manis' itu. Begitu juga sebaliknya.
Perbedaan tauhid yang menyatukan sunni dengan syi'ah dengan tauhid yang menyatukan muslim dengan Ahli Kitab adalah: jika antara sunni dan syi'ah, maka keduanya berada dalam lingkup tauhid itu. Sebagai sesama pemeluk tauhid. Sementara terhadap Ahli Kitab, mereka masih berada di luar area tauhid. Dan oleh karenanya, Islam mengajak mereka untuk masuk ke area tauhid, sehingga bertemu dalam kesatuan agama.
Tauhid dapat menjadi common platform yang baik jika ia dijadikan sebagai poros atau aksis kehidupan umat Islam. Artinya masing-masing orang harus melepaskan dulu ikatan-ikatan emosionalnya, untuk kemudian secara berkesadaran meletakkan tauhid itu sebagai inti kehidupannya. Dengan landasan tauhid itulah ia berpikir, melihat, mengecap, bertindak, berreaksi, dan bergaul. Dengan frame of reference tahuid pula ia membaca, menimbang, merenungkan, dan membuat suatu keputusan. Nah, dengan tauhid sebagai frame of reference ini, insya Allah tidak ada sesuatu pun yang membedakan kita satu sama lain, sesama kaum Muslimin. Baru setelah kita melebarkan frame of reference kita, akan ditemukan perbedaan-perbedaan itu. Misalnya perbedaan mazhab, kecenderungan ruhani, aliran teologi, dan sebagainya. Namun tetap berada dalam kesatuan sebagai 'anak-anak tauhid' itu.
Dalam titik-titik perbedaan itulah kita membutuhkan kesadaran berfiqh ikhtilaf. Artinya masing-masing mentolerir sebesar mungkin perbedaan-perbedaan yang ada, selama masih berada dalam kerangka tauhid. Dan saling bantu-membantu pada titik-titik persamaan.
Contohnya, saat ini Bapak berada di Indonesia, dan saya berada di Mesir. Apa yang menyatukan kita? apa yang menghubungkan kita? Yang menyatukan kita adalah kesamaan kehendak untuk berdialog dengan baik, dan kebetulan ada sarana mailing list. Di sini, faktor pemersatu kita khan kecil sekali. Bisa saja faktor pemersatu ini kita perbesar (dalam kontek ini bisa dengan mengirim japri, mencari titik-titik persamaan, dan sebagainya), dan dapat pula kita hancurkan (misalnya dengan saling caci-caci maki, dan kemudian masing-masing unsubscribe).
Ikhtilaf atau perbedaan itu masih dibenarkan (masyru') selama berada dalam koridor frame of reference Islam. Dan semata untuk memperkaya wacana keislaman, serta sebagai manifestasi dari keniscayaan adanya perbedaan antar manusia. Bukan untuk saling berhadap-hadapan, saling menyalahkan, saling membinasakan. Jika yang terakhir, maka hal itu menjadi perbedaan yang tercela dan terlarang (tafarruq madzmum).
Oleh karena itu, marilah kita sesama umat Islam mulai mengkalkulasikan persatuan kita dengan dimulai dari lingkar tauhid. Kemudian diperlebar-diperlebar dan diperlebar. Sambil mulai mengikis perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan oleh ke-'khilapan' sedikit demi sedikit.
Insya Allah, masa depan persatuan kita akan cerah.

Terima Kasih

Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani

0 comments :

Post a Comment