|
Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya (1/2)
oleh Kautsar Azhari Noer Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN
Jakarta, Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
PADA suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun berapa
persisnya) di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, Departemen Agama
Republik Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta,
seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat
berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu
dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan
kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang
Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan.
Siddharta Gautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan.
Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah "memiskinkan"
Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang
jelas tentang Tuhan.
Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang
Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu
kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada
pemahaman dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan
"begitu". Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau
mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci,
Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan
banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang
Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan
Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas.
Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah
Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau
gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan
Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan
bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami,
dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat
dikatakan "begini" dan "begitu".
Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya.
Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan
penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme,
Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu
tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap "pukulan
keras" itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi
mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut.
Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana
manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana
pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai,
dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan
berhubungan dengan-Nya?
A. Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik
orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya kepada
Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan
menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang
dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang
dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan
yang dipercayai manusia
"Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah
al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan
kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq
al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq
al-makhluq fi al-i'tiqad).
Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan
"kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul,
mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan,
menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan,
memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan,
mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata
i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti
menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah
suatu "ikatan" yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah
keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah
sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak
Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan
berlangsung dalam subyek manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh
kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada
"kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu hamba
sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad al-kulli) atau
"kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada sejak azali dalam
"entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk
penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya
kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan
tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan dalam
kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan
yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya.
Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik dengan
kepercayaannya.
Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia
memberi segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab
antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya;
jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata
tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan
yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu;
itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka
mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163
"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep,
ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau
taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan
pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai
dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu
adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau
gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk", "gambar",
atau "wajah" Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan,
penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa
yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan
al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana yang
ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui
sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku"
(Ana 'inda zhann 'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata
lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan
tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang
dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku"
(Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan
melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan sangkaan
kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah
"pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan
galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong
kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi
s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan
buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya
berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam
kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita
kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap
antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil,
ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai
menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai
kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian
mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada
mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek,
sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan
berambut merah.166
Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan
manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn
al-'Arabi berkata:
Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia
adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah
pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan
orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan
berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu
adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh
orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd,
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan apa
yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam
setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167
Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah
hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari
kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan
diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan
ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap
orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa
sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu
dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para
sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau
di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat
mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak
terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa
"sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri
pernah berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh
siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang
dimaksud dengan "siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan
berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam
kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena
surga berada di langit] ("the Heavenly God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi"
("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan,
keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol
bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar
dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih
tepatnya, disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam,
seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa
("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan
kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau
memahami Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi
feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai
"Tuhan Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana
dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person,"
seorang "pribadi". Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama
monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan
dalam arti ini bukan "impersonal", bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia
bukan "Itu" ("It").
Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan,
terhadap "Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam
kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang
berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan
dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang
berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi
adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak
mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang
rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah
Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam
kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai
simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering
dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada
kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari
langit, sering disebut "agama-agama samawi", "agama-agama langit?" Dalam ketiga
agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka ungkapan-ungkapan simbolis,
seperti "turun dari langit", "naik ke langit", dan "berada di langit", lazim
digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman
spritual.
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang
menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan
kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit,
matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada
Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela
kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan
dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang
disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui
hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan
mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan
yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang
berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus
konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain
yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan
orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang
berbeda agama.
Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan
('aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari
ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan
kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar
tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya
semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan
terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata:
"Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa
menyebutkan arah tertentu mana pun.170
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah
pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu.
Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu,
"para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan,
sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam
semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn
al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak
akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah
diri-Nya."171
B. Tuhan Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh
Ibn al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God" (al-ilah al-haqq)
"Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God" (al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang
Tidak Diketahui", "the Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini
adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda
dengan alam, transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya"
(Q., s. al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia
mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak
bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan.
Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan
relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah "yang paling tidak tentu dari
semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak
diketahui" (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang
oleh Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" (al-ghayb al-muthlaq) atau
"Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan
diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah
pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka
Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau
bersabda: "Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang
Dzat Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari
ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang
berbunyi: "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28).
Ibn al-'Arabi menegaskan sebagai berikut:
Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam
[mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut
Syara'. Syara' telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung
oleh firman-Nya, "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu
'Imran/3: 28] yaitu "Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini
ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat
al-khalq.172
Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah
lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang
menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan.
Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk
mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada
yang mengetahui Allah kecuali Allah.173
Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang
Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl
(melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa
upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah
satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan
manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi
Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang
menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk
menghadapi Fir'awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu,
Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya,
Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari
ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku
akan jadi Aku" ("I will be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana
terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran
Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, "Wujud ('Being')
yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang adalah Wujud" ("Being that is
Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia
juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip
eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam
Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah disebut Ain, "Ketiadaan"
ilahi (the divine "Nothingness").174
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman
(incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang
Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia Yang adalah Bukan" ("He Who is
Not")-- yaitu untuk mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan
bahwa Tuhan ada [dan tentu pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan
tidak ada], karena mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang
tidak dapat dideskripsikan.175
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak
dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan agar
tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Catatan kaki:
163 Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian
(Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121.
164 Fushush, 1:225-226.
165 Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut: Daral-Fikr,
t.th.), 4:446.
166 H. Diels W. Kram, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und
Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. Kedua fragmen ini dikutip oleh
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1989), h. 40.
167 Fushush,1:226.
168 Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali
Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat, 1:314;
2:311; idem, Fushush, 1:184.
169 Raffaele Pettazzoni, "The Supreme Being: Phenomenological Structure and
Historical Development," dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The
History of Religion: Essays in Methodology (Chicago & London: The University
of Chicago Press, 1959, Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur Dister,
Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama (Jakarta:
Leppenas,1982), h. 36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu sebagai Simbol
Allah (Yogyakarta & Jakarta: Gunung Mulia & Kanisius,1983), h.
43-45.
170 Fushush,1:113.
171 Fushush, 1:121.
172 Futuhat, 2:30.
173 Futuhat, 2:69.
174 Leo Schaya, "Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf
Ibish and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World Religions
(Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165.
175 Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to Believe (London: Vallentine,
Mitchell, 1965), h.14.
|
BAGIAN II |
|
|
| Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya
Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui
melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada
diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia
berfirman:
"Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang
yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat
dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat,
maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi
engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku,
dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat"
(Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas,
mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan:
"Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada
Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri.
Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah
melihat-Nya" (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang
ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh
pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths, menyatakan transendensi
absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam
konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam,
bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme
dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah,
dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang
tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia
dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah
itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak
dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah itu adalah
Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh
mata tetapi dengan-Nya mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman
bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi
dengan-Nya telinga mendengar --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah
wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya
nafas ditarik --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang
disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik
kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang
anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai
Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena
Upanisad).
Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar
kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa
Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan ini,
bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak
bersifat ("nirguna"). Karena itu, Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna
Brahman". Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh
Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang
sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang
sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat
SM, dengan nada yang sama mengatakan:
- Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan;
- Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak
dibicarakan;
- Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
- Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
- Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang;
- Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.
- (Chuang-Tze, Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan
dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang
sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu
oleh Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri" ("hsuan chih yu
hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa",
"No-No-Nothing", atau "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being"
("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa
metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana, tetapi suatu
TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud' sebagaimana
biasanya dipahami".177 Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam
Sufisme Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling
Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam tradisi Hindu
disebut "nirguna Brahman".
C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda
untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita
dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin
Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam
dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia
adalah immanen dalam alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968),
seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog
mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan "mengatakan apa yang
sesungguhnya tidak dapat dikatakan" ("saying what cannot really be said").178
Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal
lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking of the
unspeakable"),179 "mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the
Unknowable God"),180 "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang
tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181 "mengungkapkan yang tidak
dapat diungkapkan" ("expressing the inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak
dapat dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"), "memahami yang tidak dapat
dipahami" ("comprehending the incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat
dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan "melukiskan yang tidak dapat
dilukiskan" ("describing the indescribable").
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu
teologi yang disebut "teologi apofatik" ("apophatic theology"), teologi "tidak
mengetahui" (the theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman transenden
tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak mengetahui"
("knowing by unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing that is
not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad
keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh
terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan
bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita dapat mengetahui
lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia"
("we can know much more about what God is not than about what He is").184
Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal
"mengetahui" dan "tidak mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia
menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius
orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang
paling saleh [paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan
tidak mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of God
is that which is known by unknowing'").185
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik
tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak
mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya
dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".186 Bagi penulis The Cloud of
the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun
jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia
dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat
dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat
dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187 Menurut mistikus Inggris
anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan
segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" ("the
blind stirring of love") yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan
ketidaktahuan" ("The Cloud of Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu
pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang
Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang
hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius
memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif
maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia
menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis,
yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh
melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan
mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan.
Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga
diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi.
Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan
penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan
intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat
menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera
dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan
tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya yang
tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua
daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa
suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang membawanya kepada klimaks,
yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188
Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung
dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau "ketidaktahuan" ("ignorance"), yang
berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi
untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak
mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan
dengan menerima suatu sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang
pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama,
pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan
menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan
ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak
mengetahui".
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di
kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus
Sang "Confessor", Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante,
dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini?
Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia
yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani
manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas
dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia
mencapai pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah demi selangkah
sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan".189 Ketika itu Musa menutup
matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan
penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran
dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh
pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy, "kemusnahan
eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran
manusiawi dan "kontemplasi tentang Ketiadaan"190 Pengalaman spiritual seperti
itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan
Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan
pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu
bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar mengetahui Brahman
adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira
bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman
diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena).
Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan
negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya."
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya,
Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan".
Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan
positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai
pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena
"pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan
tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui
bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak
mengetahui".191
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-'Arabi berkata:
"Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi" ["Ketidakmampuan mencapai
pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan
ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala
sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia
tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya;
itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah
orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah
berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia
mempersepsi semua penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?
D. Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan
sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan
tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau
"ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini
tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada
hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan
penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan
bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan
dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk
dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu
(qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta
seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang
mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan
panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu benar-benar
mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu
'Imran/3:31). "Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu
orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6).
Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam
cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam
cinta-Nya" (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak
disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti
disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau
akan dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain beliau berkata:
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli
Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri." (Lukas 10:
27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau
aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh
perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap
kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa
mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada
diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan
menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang
yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai
tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut
pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi.
Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan "kotak"
akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran
"kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk
lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan
akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi,
adalah "hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).
Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.
Catatan kaki:
176 Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield, Illinois:
Templegate,1990), h. 163-164.
177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosiphical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983), 376,
379; idem, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of
Cultural and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
178 Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston, The Mysticism of The
Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire, England: Anthony Clarke,
1978), h. viii.
179 Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford: Oxford University
Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse, The Silence of God: Meditations on
Prayer (New York: Macmillan, 1985), h. 9.
180 David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina, Maimonides,
Aquinas (Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press, 1986).
181 Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann, ed.,
Naming God (New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.
182 Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element,
1993), h. 3; James P. Carse, The Silence of God, h. 9.
183 Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik" ("apophatic") digunakan oleh
Dionysius yang membicarakan "teologi negatif," sebagai lawan "teologi
positif".
184 W. Johnston, op.cit., h.1.
185 The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann (London: Burns and Oates,
Ltd., 1952), 125:11.
186 W. Johnston, op.cit, h.17.
187 The Cloud of Unknowing, 26;3.
188 W. Johnston, op.cit, h. 33-34.
189 Leo Schaya, op.cit, h.166.
190 Ibid.
191 Futuhat, 2:552.
192 Futuhat, 2:619; 3:132. |
|
Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro
Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp.
(021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174 |
|
0 comments :
Post a Comment