MANUSIA
Quraish
Shihab
Dalam bukunya, Man the
Unknown, Dr. A. Carrel
menjelaskan tentang
kesukaran yang dihadapi
untuk mengetahui hakikat manusia. Dia
mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum
lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan
lainnya. Selanj utnya ia menulis:
Sebenarnya manusia telah
mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun
kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para
ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para
ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu
mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia
secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari
bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata
cara kita sendiri. Pada hakikatnya,
kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari
manusia –kepada diri mereka-- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Keterbatasan pengetahuan
manusia tentang dirinya
itu disebabkan oleh:
1.
Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan, karena pada mulanya
perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada
zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk menundukkan atau menjinakkan
alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata-senjata melawan
binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian, peternakan, dan sebagainya
sehingga mereka tidak mempunyai waktu
luang untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada
Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh penemuan-penemuan
baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan publik
secara umum karena penemuan-penemuan tersebut mempermudah dan memperindah
kehidupan ini.
2. Ciri
khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks.
Ini disebabkan oleh sifat aka1 kita seperti yang dinyatakan oleh Bergson tidak
mampu mengetahui hakikat hidup.
3.
Multikompleksnya masalah manusia. Dari penjelasan di atas, agamawan
dapat berkomentar, bahwa pengetahuan tentang
manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah
satu-satunya makhluk yang
dalam unsur penciptaannya terdapat
ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali
sedikit (QS Al-Isra'
[17]: 85).
Jika
apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka
satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik
siapa manusia, adalah merujuk
kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya.
Untuk maksud tersebut tentu
tidak cukup dengan hanya merujuk kepada satu
dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Al-Quran
(atau paling tidak
ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang
masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya
masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya
baik dari penjelasan Rasul,
maupun hakikat-hakikat ilmiah yang telah mapan. Cara ini
dikenal dalam disiplin
ilmu Al-Quran dengan metode
maudhu'i (tematis).
Istilah Manusia dalam Al-Quran
Ada
tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada
manusia.
l. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf
alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
2.
Menggunakan kata basyar.
3.
Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
Uraian ini akan mengarahkan pandangan
secara khusus kepada kata basyar dan kata insan.
Kata basyar terambil dari akar kata yang
pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar
kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena
kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan
kulit binatang yang lain.
Al-Quran menggunakan
kata ini sebanyak 36 kali dalam
bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari
sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Karena itu Nabi
Muhammad Saw. diperintahkan
untuk menyampaikan bahwa,
Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu
yang diberi wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat
Al-Quran yang menggunakan kata basyar
yang
mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui
tahap-tahap sehingga mencapai tahap
kedewasaan.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
(Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu
bertebaran (QS Al-Rum [30]: 20).
Bertebaran di
sini bisa diartikan
berkembang biak akibat hubungan
seks atau bertebaran mencari rezeki.
Kedua hal ini tidak
dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan
tanggung jawab. Karena itu pula
Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal
dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang
mampu berhubungan seks) (QS Ali 'Imran [3]: 47). Kata basyiruhunna
yang digunakan oleh Al-Quran sebanyak dua kali (QS Al-Baqarah [2]: 187), juga diartikan dengan
hubungan seks.
Demikian terlihat
basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia,
yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan
karena itu pula,
tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar {perhatikan QS Al-Hijr 115):
28 yang menggunakan kata basyar),
dan QS Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya
mengandung pemberitaan Allah
kepada malaikat tentang manusia.
Kata insan
terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis,
dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau
dari sudut pandang Al-Quran
lebih tepat dari yang berpendapat
bahwa ia terambil dan kata
nasiya (lupa), atau
nasa-yanusu (berguncang).
Kitab Suci
Al-Quran --seperti tulis
Bint Al-Syathi' dalam Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan-- seringkali
memperhadapkan insan dengan
jin/jan. Jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan
manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah.
Kata insan, digunakan
Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan
raga. Manusia yang berbeda antara
seseorang dengan yang lain, akibat
perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.
Produksi dan Reproduksi Manusia
Al-Quran menguraikan produksi dan
reproduksi manusia. Ketika berbicara tentang
penciptaan manusia pertama,
Al-Quran menunjuk kepada sang
Pencipta dengan menggunakan
pengganti nama berbentuk tunggal:
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan
tanah (QS Shad [38]: 71).
Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud
kepada apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (0S Shad [38]: 75).
Tetapi ketika
berbicara tentang reproduksi
manusia secara umum, Yang
Maha Pencipta ditunjuk dengan
menggunakan bentuk jamak. Demikian kesimpulan kita kalau
membaca surat At-Tin ayat 4:
Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Ha1 itu untuk menunjukkan perbedaan proses
kejadian manusia secara umum
dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum,
melalui proses keterlibatan
Tuhan bersama selain-Nya, yaitu
ibu dan bapak. Keterlibatan ibu
dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan
psikis anak, sedangkan dalam
penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan
bapak.
Al-Quran tidak menguraikan
secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh
mayoritas ulama dinamai
manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya:
a. Bahan awal manusia adalah
tanah.
b. Bahan tersebut disempurnakan.
c. Setelah
proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh Ilahi (QS Al-Hijr [15]: 28-29;
Shad [38]: 71-72).
Apa dan bagaimana penyempurnaan
itu, tidak disinggung
oleh Al-Quran. Dari sini,
terdapat sekian banyak cendekiawan dan ulama Islam, jauh sebelum Darwin
yang melakukan penyelidikan dan analisis
sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui fase
atau evolusi tertentu,
dan bahwa ada tingkat-tingkat tertentu
menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu
Miskawaih (Wafat 1030 M), Muhammad bin
Syakir Al-Kutubi (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M)
dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham
evolusi sebelum lahirnya teori
evolusi Darwin (1804-1872 M).
Perlu ditambahkan bahwa kesimpulan
ulama-ulama tersebut tidak sepenuhnya sama
dalam rincian teori evolusi yang
dirumuskan oleh Darwin.
Dari sini pula dapat dimengerti
uraian pakar tafsir
Syaikh Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin
tentang proses penciptaan
manusia dapat dibuktikan kebenarannya secara
ilmiah, maka tidak
ada alasan dari Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya menguraikan
proses pertama, pertengahan, dan
akhir. Apa yang
terjadi antara proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan
dan akhir, tidak dijelaskannya
Abbas Al-Aqad,
seorang ilmuwan dan ulama Mesir
kontemporer, dalam bukunya Al-Insan fi Al-Quran
(Manusia dalam Al-Quran) mempersilakan setiap
Muslim, untuk --menerima atau menolak teori itu--
berdasarkan penelitian ilmiah, tanpa
melibatkan Al-Quran sedikit pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara rinci
tentang proses kejadian manusia pertama.
Potensi Manusia
Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran
tentang manusia adalah sifat-sifat dan
potensinya. Dalam hal ini,
ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia,
seperti pernyataan tentang terciptanya
manusia dalam bentuk
dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]:
5), dan penegasan
tentang dimuliakannya
makhluk ini dibanding
dengan kebanyakan makhluk-makhluk
Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di samping
itu sering pula
manusia mendapat celaan Tuhan karena
ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34), sangat
banyak membantah (QS
Al-Kahf [18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS
Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih banyak
lagi lainnya.
Ini bukan
berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya,
akan tetapi ayat-ayat
tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya.
Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini
mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati
tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat
yang rendah sehingga ia tercela.
Seperti dikemukakan
di atas, Al-Quran
menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya
Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72) .
Dari sini jelas bahwa
manusia merupakan kesatuan
dua unsur pokok, yang tidak dapat
dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia lagi. Sebagaimana
halnya air yang merupakan perpaduan antara
oksigen dan hidrogen
dalam kadar-kadar tertentu. Bila
kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan,
maka ia tidak akan menjadi air lagi.
Potensi manusia
dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS
Al-Baqarah [2]: 30-39).
Dalam ayat itu dijelaskan
bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah
merencanakan agar manusia
memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud
tersebut di samping tanah (jasmani) dan
Ruh Ilahi (akal
dan ruhani), makhluk
ini dianugerahi pula:
a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi
benda-benda alam. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa
manusia adalah makhluk yang
berkemampuan untuk menyusun
konsep-konsep, mencipta,
mengembangkan, dan mengemukakan
gagasan, serta melaksanakannya. Potensi
ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar
untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia
sujud kepada Adam.
b. pengalaman hidup di surga, baik yang
berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat
buruknya.Pengalaman di surga adalah
arah yang harus
dituju dalam membangun dunia
ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman
terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9),
sekaligus arah terakhir bagi
kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan
akibat yang sangat
fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam
menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang
belum masuk, yang sudah
masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.
c. Petunjuk-petunjuk
keagamaan. Masih banyak ayat-ayat lain
yang dapat dikemukakan
tentang sifat dan potensi manusia serta arah yang harus ia tuju. Dari kitab
suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. Diperoleh informasi serta
isyarat-isyarat yang boleh
jadi dapat mengungkap sebagian
misteri makhluk ini.
Namun demikian, pemahaman atau
informasi dan isyarat
tersebut tidak dapat dilepaskan dari
subjektivitas manusia, sehingga
ia tetap mengandung kemungkinan
benar atau salah, seperti halnya yang dikemukakan oleh tulisan ini.
Secara
tegas Al-Quran mengemukakan
bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi
melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia,
walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut
lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
Isyarat yang
menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam
uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fithrah,
nafs, qalb, dan ruh
yang menghiasi makhluk manusia. Berikut
dicoba untuk memahami
istilah-istilah tersebut.
Fithrah
Dari
segi bahasa, kata fithrah terambil
dari akar kata al-fathr yang
berarti belahan, dan
dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain
"penciptaan" atau "kejadian".
Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas
tidak tahu persis makna
kata fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan
langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentan
kepemilikan satu sumur. Salah
seorang berkata, "Ana
fathar tuhu". Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti,
"Saya yang membuatnya pertama kali."
Dan dari situ Ibnu Abbas memahami
bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Fithrah
manusia adalah kejadiannya sejak
semula atau bawaan sejak lahirnya.
Dalam Al-Quran
kata ini dalam
berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas
diantaranya dalam konteks uraian
tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks
penciptaan manusia baik dari
sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah
Allah, maupun dari
segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali
yaitu pada surat Al-Rum ayat 30:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
atas fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya.
Merujuk kepada fitrah yang
dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia sejak asal
kejadiannya, membawa potensi
beragama yang lurus, dan dipahami
oleh para ulama sebagai tauhid.
Selanjutnya dipahami
juga, bahwa fitrah
adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah.
Kalau kita memahami kata la pada
ayat tersebut dalam
arti "tidak",
maka ini berarti
bahwa seseorang tidak
dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah
keagamaan akan melekat pada diri
manusia untuk selama lamanya, walaupun
boleh jadi tidak
diakui atau diabaikannya.
Tetapi apakah
fitrah manusia hanya
terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena
redaksi ayat ini tidak
dalam bentuk pembatasan
tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang
penciptann potensi manusia --walaupun
tidak menggunakan kata fitrah,
seperti misalnya:
Telah dihiaskan kepada manusia
kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari
perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang
ternak dan sawah ladang (QS Ali 'Imran [3]: 14).
Karena itu agaknya tepat
kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang
surat Al-Rum (30):
30, yang menyatakan bahwa:
Fitrah adalah bentuk dan
sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani dan akalnya (serta ruhnya).
Manusia berjalan dengan kakinya
adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik
kesimpulan melalui premis-premis
adalah fitrah akliahnya. Senang
menerima nikmat dan
sedih bila ditimpa musibah juga
adalah fitrahnya.
Nafs
Kata nafs
dalam Al-Quran
mempunyai aneka makna,
sekali diartikan sebagai totalitas
manusia, seperti antara
lain maksud surat Al-Maidah
ayat 32, di
kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia
yang menghasilkan tingkah laku seperti
maksud kandungan firman Allah.
Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan satumasyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat
dalam diri mereka (QS
Al-Ra'd [13]: 11)
Kata nafs digunakan
juga untuk menunjuk kepada
"diri Tuhaan" (kalau istilah
ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-An'am {6):
19:
Allah
mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat.
Secara
umum dapat dikatakan
bahwa nafs dalam
konteks pembicaraan tentang manusia,
menunjuk kepada sisi
dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Dalam pandangan Al-Quran, nafs
diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dar1
keburukan, dan karena itu
sisi dalam manusia inilah
yang oleh Al-Quran
dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
Demi nafs serta
penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS Al-Syams [91]: 7-8).
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar
manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat
mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di sini antara lain
terlihat perbedaan pengertian
kata ini menurut Al-Quran
dengan terminologi kaum
sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa,
"Nafs dalam pengertian kaum
sufi adalah sesuatu
yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian kaum
sufi ini sama dengan
penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain,
menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk
berbuat kurang baik".
Walaupun Al-Quran menegaskan
bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula
isyarat bahwa pada
hakikatnya potensi positif manusia
lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan
lebih kuat dari
daya tarik kebaikan. Karena itu
manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,
Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10)
Bahwa kecenderungannya
kepada kebaikan lebih
kuat dipahami dari isyarat
beberapa ayat, antara lain firman-Nya:
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan
apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Kata kasabat yang dalam ayat
di atas
menunjuk kepada usaha baik
sehingga memperoleh ganjaran,
adalah patron yang digunakan bahasa
Arab untuk menggambarkan
pekerjaan yang dilakukan dengan
mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk
kepada hal-hal yang sulit lagi berat. Ini
--menurut pakar Al-Quran Muhammad
Abduh—mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan
hal-hal yang baik daripada
melakukan kejahatan, dan
pada gilirannya mengisyaratkan
bahwa manusia pada dasarnya diciptakan
Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain
yang sejalan dengan
isyarat di atas, adalah firman-Nya
Wahai manusia! Apa yang
memperdayakanmu (berbuat dosa) terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan
engkau, menyempurnakan kejadianmu, dan
menjadikan engkau "adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS Al-Infithar [82): 6-7).
Kata "menjadikan engkau adil"
dipahami oleh sementara
pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini
cukup beralasan, karena dengan
pemahaman semacam itu, menjadi
amat lurus kecaman
Allah terhadap manusia
yang mendurhakainya.
Al-Quran juga
mengisyaratkan
keanekaragaman nafs
serta peringkat-peringkatnya,
secara eksplisit disebutkan tentang an-nafs al-lawamah,
ammarah, dan muthmainnah.
Di sisi lain ditemukan
pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah.Firman Allah
dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan bahwa nafs menampung
paling tidak gagasan dan kemauan.
Suatu kaum tidak dapat berubah
keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang
ada dalam wadah nafs-nya.
Yang ada di sini antara lain adalah gagasan dan
kemauan atau tekad untuk berubah.
Gagasan yang benar, yang disertai dengan kemauan satu kelompok
masyarakat, dapat mengubah keadaan masyarakat
itu. Tetapi gagasan
saja tanpa kemauan, atau
kemauan saja tanpa gagasan tidak akan menghasilkan
perubahan.
Yang terdapat dalam wadah nafs
bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung
sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari ingatan pemiliknya.
Al-Quran mengisyaratkan hal
tersebut,
Dan jika kamu mengeraskan
ucapanmu, maka sesungguh nya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS Thaha [20]: 7).
Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang
terdapat dalam "bawah sadar
manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang disadari manusia
namun dirahasiakannya."
Khalifah keempat Ali bin Abi
Thalib pernah berkata:
Tidak seorangpun
menyembunyikan sesuatu kecuali tampak pada salah ucapnya atau air mukanya.
Apa yang ada dalam nafs dapat
juga muncul dalam mimpi,
yang oleh Al-Quran pada
garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertamaa
dinamainya ru'ya dan
kedua dinamainya adhghatsu ahlam.
Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang
telah, sedang, atau akan dialami, dan
yang belum atau
tidak terlintas dalam
benak yang memimpikannya. Yang
kedua lahir dan keresahan atau perhatian manusia terhadap
sesuatu dan hal-hal
yang telah berada di bawah sadarnya.
Dalam wadah nafs
terdapat qalb.
Qalb
Kata qalb terambil dari
akar kata yang
bermakna membalik karena seringkali
ia berbolak-balik, sekali
senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat berpotensi untuk tidak
konsisten. Al-Quran pun
menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa
contoh.
a. Sesungguhnya yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi
saksi (QS Qaf [50]: 37)
b. Kami jadikan dalam kalbu orang-orang
yang mengikuti (Isa a.s ) kasih sagang dan rahmat (QS Al-Hadid [57]:
27).
c. Kami akan mencampakkan ke dalam hati
orang-orang kafir rasa takut (QS Ali
'Imran [3]: 151).
d. Dia (Allah) menjadikan kamu cinta
kepada keimanan, dan menghiasinya indah
dalam kalbumu (QS Al-Hujurat [49]: 7).
Dari ayat-ayat di atas
terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi
kalbu yang dijelaskan oleh
ayat-ayat di atas
(demikian juga ayat-ayat lainnya),
dapat ditarik kesimpulan
bahwa kalbu memang menampung
hal-hal yang disadari oleh pemiliknya.
Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah seperti
yang dinyatakan sebelumnya bahwa
nafs menampung apa yang
berada di bawah
sadar, dan atau
sesuatu yang tidak diingat lagi?
Dari sini
dapat dipahami mengapa
yang dituntut untuk dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu
bukan isi nafs,
Allah menuntut
tanggungjawab kau menyangkut apa yang dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225).
Namun dinyatakan bahwa,
Allah lebih mengetahui
(dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25)
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs
adalah "sisi
dalam" manusia, kalbu
pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak tersendiri yang
berada dalam kotak besar nafs.
Dalam keadaannya sebagai
kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya, seperti yang
digambarkan ayat-ayat berikut
ini:
Kami cabut apa yang
terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara
duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]: 47)
Belum lagi masuk keimanan
ke dalam kalbu kamu (QS Al-Hujurat [49]: 14).
Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu
yang disegel: Allah telah
mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran
menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu
(QS Muhammad [47]:24).
Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau
dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal
kebajikan serta olah
jiwa. Al-Quran mengatakan, "mereka
itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung
takwa" (QS Al-Hujurat [49]:
3). Bukankah kami
telah memperluas dadamu? (QS Alam
Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit
lagi sesak (QS Al-An'am [6]: 125).
Perlu ditambahkan bahwa
Al-Quran --sesuai dengan kaidah bahasa Arab--
seringkali menggunakan bagian
dari sesuatu untuk menunjuk keseluruhan
bagian-bagiannya, seperti menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang
mencakup berdiri, rukuk, dan lain-lain.
Al-Quran juga biasa
menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang
dimaksud hanyalah salah satu
bagiannya seperti firman-Nya
"mereka memasukkan
jari-jari mereka ke
dalam telinganya" (QS Al-Baqarah [2]: 19)
dalam arti ujung
jari-jari. Al-Quran terkadang menggunakan
kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga menyebut tempat sesuatu tetapi
yang dimaksud adalah
isinya, seperti
"tanyakanlah
kampung" (QS Yusuf
[12]: 82), yang dimaksud adalah penghuninya, demikian
seterusnya.
Kata dada dalam ayat di atas
adalah tempat kalbu sebagai mana ditegaskan
Sesungguhnya bukan mata
yang buta, tetapi kalbu yang berada di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).
Dalam beberapa ayat, kata qalb yang
merupakan wadah itu, dipahami
dalam arti "alat" seperti dalam firman-Nya:
Mereka mempunyai kalbu, tetapi tidak
dõgunakan untuk memahami
(QS Al-A'raf [7]: 179). Kalbu sebagai alat, dilukiskan pula dengan fu'ad
(seperti dalam firman-Nya: Allah mengeluarkan
kamu dan perut ibumu
da1am keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu
(alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan, serta (banyak) hati agar kamu bersyukur
(menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78) .
Membersihkan kalbu, adalah
salah satu cara untuk
memperoleh pengetahuan. Imam Al-Ghazali
memberi contoh mengenai kalbu sebagai
wadah pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau kita membayangkan satu
kolam yang digali
di tanah, maka untuk mengisinya dapat
dilakukan dengan mengalirkan
air sungai --dari atas--
ke dalam kolam itu.
Tetapi bisa juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata
air. Jika itu dilakukan, maka air
akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih
jernih dari air sungai yang
mengalir dari atas.
Kolam adalah kalbu,
air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah
yang berada di kolam (kalbu)
dibersihkan agar air
(pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam). Al-Quran juga
menegaskan bahwa Allah Swt. dapat mendinding manusia dengan
kalbunya.
Dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya (0S Al-Anfal [8]: 24).
Salah satu makna ayat ini
adalah bahwa Allah menguasai kalbu manusia, sehingga
mereka yang merasakan
kegundahan dan kesulitan dapat
bermohon kepada-Nya untuk
menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini
sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28:
Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan tenteram.
Demikian sekelumit dari
pengertian dan peranan
hati yang diperoleh dari
isyarat-isyarat Al-Quran.
Ruh
Berbicara tentang
ruh, Al-Quran mengingatkan
kita akan firman-Nya:
Dan mereka bertanya kepadamu
tentang ruh. Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi
ilmu kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85)
Apa yang dimaksud dengan
pertanyaan tentang ruh
di sini? Apakah substansinya?
Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan atau kesengsaraannya? Tidak
jelas. Selain itu,
apa yang dimaksud dengan
"kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit"? Yang sedikit itu apa?
Apakah yang berkaitan dengan ruh?
Sehingga ada informasi sedikit
tentang ruh, misalnya gejala-gejalanya? Ataukah "yang sedikit itu"
adalah ilmu pengetahuan kita, tidak termasuk di dalamnya ruh, karena ilmu kita
hanya sedikit.
Yang menambah
sulitnya persoalan adalah
bahwa kata ruh terulang di dalam Al-Quran
sebanyak dua puluh
empat kali dengan berbagai
konteks dan berbagai makna, dan
tidak semua berkaitan dengan manusia.
Dalam surat Al-Qadar
misalnya dibicarakan tentang turunnya
malaikat dan ruh
pada malam Lailat Al-Qadr. Ada
juga uraian tentang
ruh yang membawa Al-Quran.
Kata ruh yang dikaitkan dengan
manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang
hanya dianugerahkan Allah
kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara
pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang
dianugerahkannya kepada orang-orang
Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22)
dan di sini dipahami sebagai dukungan dan
peneguhan hati atau
kekuatan batin; dan ada juga yang
dianugerahkannya kepada seluruh manusia,
Kemudian Kuhembuskan kepadanya
dan ruh-Ku.
Apakah
di sini dia
berarti nyawa? Ada
yang berpendapat demikian, ada
juga yang menolak pendapat ini, karena dalam Surat
Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan
ditiupkannya ruh maka menjadilah
makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk
lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang
utan, misalnya. Kalau demikian
nyawa bukan unsur yang menjadikan manusia makhluk yang unik.
Demikian terlihat Al-Quran
berbicara tentang ruh dalam makna yang
beraneka ragam, sehingga sungguh
sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.
Dalam beberapa hadis, ada disinggung
tentang ruh, misalnya sabda Nabi Saw.,
Ruh-ruh adalah himpunan
yang terorganisasi, yang saling mengenal akan bergabung, dan yang tidak
saling mengenal akan berselisih.
Hadis di atas seringkali dirangkaikan
dengan ungkapan yang dikenal luas dalam literatur keagamaan:
Burung-burung akan bergabung dengan
jenisnya.
Hadis ini, sekali lagi tidak
membicarakan apa yang disebut ruh tersebut?
Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, dan setiap pemilik
kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.
Demikian kembali kita
bertanya, "Apa ruh itu
dan bagaimana ia?" Penulis
lebih tenang dan mantap menjawab,
Katakanlah, "Ruh
adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit.
'Aql
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan
dalam Al-Quran, yang
ada adalah bentuk kata
kerja --masa kini,
dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya
berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran
menggunakannya bagi "sesuatu
yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak
menjelaskannya secara eksplisit, namun
dari konteks ayat-ayat
yang menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
a. Daya untuk memahami dan menggambarkan
sesuatu, seperti firman-Nya dalam QS
Al-'Ankabut (29): 43.
Demikian itulah
perumpamaan-perumpamaan yang Kami
berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali
orang-orang alim (berpengetahuan) (QS Al-'Ankabut [29]: 43)
Daya manusia dalam hal
ini berbeda-beda. Ini
diisyaratkan Al-Quran antara lain
dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan
sebagai bukti-bukti keesaan Allah Swt. bagi
"orang-orang
berakal" (QS Al-Baqarah
[2]: 164), dan ada
juga bagi Ulil Albab yang juga dengan makna sama,
tetapi mengandung pengertian lebih
tajam dari sekadar memiliki pengetahuan.
Keanekaragaman akal
dalam konteks menarik
makna dan menyimpulkannya
terlihat juga dari penggunaan
istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur,
tadabbur, dan sebagainya
yang semuanya mengandung
makna mengantar kepada
pengertian dan kemampuan
pemahaman.
b. Dorongan moral, seperti
firman-Nya,
... dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan
jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar.
Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral
untuk meninggalkannya (QS Al-'Anam
[6]: 151).
c. Daya
untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta "hikmah"
Untuk maksud ini biasanya
digunakan kata rusyd.
Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung
daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan
berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki
daya nalar yang kuat,
dan boleh jadi juga seseorang
yang memiliki daya pikir yang kuat,
tidak memiliki dorongan
moral, tetapi seseorang yang
memiliki rusyd, maka dia telah
menggabungkan kedua keistimewaan tersebut.
Dari sini dapat
dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata,
Seandainya kami mendengar
dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka (QS Al-Mulk [67]: l0)
Demikian sekilas tentang
pengertian kata-kata yang boleh jadi dapat menggambarkan
sekilas tentang manusia dalam
pandangan Al-Quran. Penulis sepenuhnya sadar bahwa uraian di atas
amat terbatas. Uraian yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan kerja
sama pakar-pakar Al-Quran dengan
Pakar dalam berbagai disiplin ilmu lain. []
0 comments :
Post a Comment