Friday, 22 February 2013

PENGENALAN KITAB MUWATHTHA’ DAN MUSNAD AHMAD










PENGENALAN KITAB MUWATHTHA’
DAN MUSNAD AHMAD
Oleh : Ulin Nuha

A.    PENDAHULUAN
Sunnah Rasulullah saw merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setelah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan undang-undang yang memuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah mendasar bagi Islam yang mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak mu’amalah, dll. Sedangkan Sunnah Rasulullah saw atau hadits nabi saw merupakan penjelas teoritis dan praktis aplikatip bagi    Al Qur’an.[1]
Al Qur’an dan Hadits adalah pedoman umat Islam yang harus dilestarikan. Pelestarian Al Qur’an, sudah dilakukan pada masa Usman bin Affan yang disebut dengan Mushaf Usmani. Namun, pelestarian Hadits nabi tidak seperti pembukuan Al Qur’an yang sama sampai sekarang. Hadits nabi yang telah dibukukan bermacam-macam versi, baik bentuk maupun pengarangnya. Di antaranya adalah kitab Hadits al Muwaththa’ dan Musnad Ahmad.
Makalah ini, secara sederhana akan menguraikan tentang siapa pengarangnya, bagaimana kitab tersebut dan sejauh mana derajat kitab hadits tersebut di antara kitab-kitab hadits-hadits yang lain.

B.     BIOGRAFI
1.      Imam Malik bin Anas
Ia adalah tokoh pendiri madzhab Maliki, seorang imam dan mujtahid besar dalam Islam, yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashari.[2] Dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah dan wafat pada tahun 179 H/795 M.[3]
Sejak lahir sampai wafatnya beliau menetap di Madinah                         al Munawaroh, yang pada masanya kota ini menjadi sentral perkembangan sunah dan hadits Rasulullah saw dan menjadi salah seorang tokoh perawi hadits yang termasyhur oleh sebab itu, ia terkenal dengan sebutan “Imam Dar al Hijrah”.[4]
Pendidikan beliau dimulai dengan menulis hadits, sehingga dalam hal penerimaan hadits, beliau hanya menerima dari orang yang dipandang ahli hadits dan terpercaya (tsiqat), da redaksi (matan) haditsnya tidak bertentangan dengan Al Qur’an. Di samping itu, matan hadits itu sejalan dengan amalan penduduk Madinah.[5] Dalam meriwayatkan hadits, ia tidak mengandalkan kekuatan hafalan saja, tetapi juga tulisan.[6] Guru yang sekaligus menjadi sumber penerimaan hadits Imam Malik adalah Nafi’ bin Ali Nu’aim, Ibnu Syihab az-Suhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Sa’id al Ansari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdur Rahman bin Hurmuz (seorang tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat). Adapun murid-muridnya antara lain : Asy-Syarbani, Imam Syafi’i, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Abdurrahman bin Karim di Mesir, dan Asad al-Furat at-Tunisi.[7]
Di samping ahli hadits, Imam Malik juga ahli di bidang hukum Islam/Fiqh. Pada mulanya, ia mencurahkan studinya pada ilmu hadits (riwayat), fatwa sahabat dan tabi’in. Selanjutnya, aspek-aspek ini menjadi pilar pokok bagi bangunan fiqhnya. Kerka Imam Malik yang terbesar adalah Kitab al Muwaththa’ dari beberapa karya yang diatribusikan kepadanya yaitu risalah Ila Ibn Wahib Fil Qadr, kitab an-Nujum, Risalah Fil Aqdiya, Tafsir Li Ghrib al Qur’an, Risalah ila al-laith b. Said, Risalah ila Abu Ghassan, kitab al-Syiar, Kitab Al-Manasik dan Kitab                           Al Muwatta.[8]
2.      Imam Ahmad bin Hambal
Ahmad bin Hambal adalah Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi berasal dari Maru, tetapi ketika ibunya sedang mengandungnya pergi ke Baghdad sehingga beliau dilahirkan di sana pada bulan Rabi’ul Awal 164 Hijriyah atau Nopember 780 M.[9]
Ahmad mulai menuntut ilmu semenjak kecil. Kemudian, dalam rangka menuntut ilmu itu, ia mengembara ke negeri Siria, Hijaz dan Yaman ia mendengar (mempelajari hadits) dari Sufyan bin Uyaiman dan ulama lain yang segenarasi dengannya. Lalu berguru kepada Imam Syafi’i selama Sayfi’i menetap di Baghdad As-Syafi’i pernah berkata tentang Ahmad sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Ar Rahbawi. “Saya keluar dari Baghdad dan tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling takwa, paling zuhud, paling wara’ dan paling berilmu, melebihi Ahmad bin Hambal.[10] Beliau menghafal berjuta-juta hadits sepanjang hidupnya. Beliau adalah salah seorang pelopor dalam sejarah Islam yang mengkombinasikan antara ilmu hadits dan fiqh.
Ia meriwayatkan hadits dari Basyar ibn al Mufadldlal, Ismail ibn ‘Ulaiyah, Sufyan ibn ‘Uyainah, Yahya ibn Said al Qaththan, Abu Daud ath Thayalidy, Asy Syafi’i Abdul Wahid, Abdur Razzaq, Wakte’, Yahya bin Ma’ien, “Ali Ibnul Madiny dan Al Husain ibn Manshur.[11]
Beliau telah berhasil mengarang sejumlah buku. Banyak di antaranya telah diterbitkan. Sedangkan yang lainnya telah hilang. Karya-karya beliau adalah Al Hal wa Ma’rifat al-Rijal, Tarikh, An Nasikh wal Mansukh. Al Tafsir, Al Manasik, Al Asyribah, Al Zuhud, Al Radd’ Ala Al Zanadiqah wal-Juhmiyah dan Al Musnad.[12]
Ahmad bin Hambal paling dikenal sebagai pengarang “Al Musnad” yang berisi 40.000 buah hadits. Pada akhirnya, sesudah mencapai derajat al Imam, kemudian ia mengundurkan diri dari tugasnya dan masuk dalam kehidupan Zuhud. Beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 241 H/          31 Juli 855 M pada usia ke 75 di Baghdad.[13]

C.    KITAB Al MUWATHTHA’
Al Muwaththa’ adalah kitab hadits yang disusun oleh Imam Malik yang dimasyarakat biasa disebut Muwaththa’ Malik.[14] Kitab ini adalah kitab hadits dan sekaligus kita fiqh, karena berisi hadits-hadits yang disusun sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam kitab fiqh.
Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa’ tidak seluruh sanadnya bersambung, karena disamping hadits, di dalamnya terdapat pula fatwa para sahabat dan tabi’in. Kitab ini ditulis pada tahun 144 H atas permintaan khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al Manshur (754-775 M). dinamakan Al Muwaththa’ (yang disepakati), karena sebelumnya kitab ini disebarluaskan kepada masyarakat, pengarangnya telah meminta 70 ulama terkemuka saat itu untuk menilainya. Ternyata mereka semua menyetujuinya.[15]
Imam Malik mengumpulkan sejumlah materi hadits dan menyeleksinya menjadi beberapa ribu saja. Semua materi dipelajari Malik selama kurang lebih empat puluh tahun. Beliau berkali-kali merevisi karyanya. Oleh karena itu, kitab ini disajikan dalam banyak versi,[16] kitab Al Muwaththa’ yang beredar dewasa ini berasal dari naskah yang ditulis atau diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya al-Andalusi (151 H/152 H-233 H/234 H), ulama besar dan Maghrib (sebutan negara-negara Islam di Afrika Utara) yang meriwayatkannya langsung dari Imam Malik pada akhir hayatnya.[17] Versi ini berisikan hadits nabi, Atsar-atsar dari sahabat dan atsar-atsar dari ulama berikutnya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ belum dicantumkan urutan-urutan periwayatannya sebagaimana terdapat pada kitab-kitab hadits (Bukhari dan Muslim). Sebab kebutuhan kejelasan tentang periwayat  hadits pada saat itu belum muncul/ hadits-hadits dalam Al Muwaththa’ terdiri dari 600 hadits musnad (sanadnya sambung sampai Nabi saw). 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf dan 285 hadits maqtu.[18] Akan tetapi, menurut Ash-Syuyuthi sebagaimana dikutip dalam Ensiklipedi Islam, bahwa semua hadits mursal atau munqati’ yang terdapat dalam al Muwatho’ dapat diperkuat keberadaannya dengan riwayat lain.[19]
Mengenai keberadaa hadits-hadits dalam Al Muwaththa’ menurut sebagian ulama menempati peringkat pertama dalam kesahihan hadits setelah shahih Bukhari dan Muslim, karena hampir semua riwayat yang ada dalam kitab itu terdapat dalam Kutubus Sittah.
Kitab Al Muwaththa’ merupakan kitab hadits yang cukup banyak mendapat perhatian para ulama dengan memberikan syarah (penjelasan) kepada kitab tersebut. Pensyarah-pensyarah itu di antaranya adalah Ibn Abdul Barr yang menyusun dua syarah At Tahmid dan Al Istidzhkar, Al Baji, Sulaiman bin Khalaf (424 H). Menyusun dua buah syarah : Al Istifa’ dan Muntaqa yang berjumlah 7 jilid, Al Zarqani, Muhammad Abdul Baqi (122 H). Sebanyak 4 jilid, Al Kandahlawi, Muhammad Zakaria (1315 H) menulis Awjaz Al Masalik Syarh Muwaththa’ of Imam Malik.[20]

D.    KITAB MUSNAD AHMAD
Kitab Musnad Ahmad disusun oleh Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibani al Mawarzi atau Ahmad bin Habal Musnad Ahmad adalah sebuah kitab hadits yang tersusun berdasarkan nama-nama sahabat periwayat hadits da bukan berdasarkan topik masalah. Musnad ini dipandang kitab hadits induk yang ketujuh. Isinya berjumlah 40.000 buah hadits, 10.000 di antaranya berulang-ulang.[21] Berbeda dengan kitab Al Muwaththa’ yang disusun berdasarkan bab-bab yang ada dalam fiqh, kitab Musnad Ahmad disusun berdasarkan perawi pertama dan diurutkan sesuai dengan huruf hijaiyah.
Penyusunan kitab Musnad Ahmad dilanjutkan oleh putranya yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hambal da Abu Bakar Al Qath’iy yang sebelum beliau menyusun dengan rapi dan baik, beliau sudah meninggal dunia, sehingga di dalamnya terdapat hadits dhaif dan empat hadits maudhu’.[22]
Sebagaimana kitab Muwaththa’, Musnad Ahmad juga mendapat perhatian besar dari ulama, dengan cara menyusun berdasarkan bab-bab hukum misalnya Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Sa’ati, orang tua Hasan Al Banna. Ia menyusun karya Musnad Asli berdasarka bab hukum. Karya ini mempunyai syarah yang baik dan merujuk kepada hadits-hadits karya lainnya. Buku ini telah dipublikasikan dalam dua puluh empat jilid. Ulama lainnya adalah Ahmad Syakir yang berminat untuk mempublikasikan sebuah edisi kritis tentang musnad asli yang dikarang oleh Ibnu Hambal.[23]
Untuk memperjelas tentang derajat kitab hadits, Ad Dahlawi sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddiqi, membagi derajat kitab hadits kepada empat tingkatan: Pertama, shahih Bukhari, shahih Muslim, dan Al Muwaththa’. Kedua, Sunan yang empat (Abu Daud, An Nasai, At Turmudzi, dan Ibnu Majah), sementara Musnad Ahmad berdekatan kepada tingkatan yang kedua. Ketiga, seluruh musnad selain Musnad Ahmad, yang kandungannya bercampur baur, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dhaif bahkan ada yang munkar (Musnad Abu Ya’la Sunan Al Baihaqy, kitab-kitab At Thahawy dan kitab Ats Thabarany). Keempat, kitab-kitab yang semaksud oleh penyusunnya mengumpulkan segala rupa hadits, untuk kepentingan mereka masing-masing dan membantu pendirian dan faham.[24]

E.     KOMENTAR
Imam Malik di samping seorang tokoh ahli hadits juga tokoh ulama ahli fiqh. Ia termasuk penghulu madzhab Maliki. Yang dalam hukum Islam menjadi salah satu aliran terkemuka.
Pemikiran Imam Malik, baik dalam bidang hadits maupun hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungan, Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasul dan sunnah sahabat, sejak lahir sampai wafat. Terbukti dalam kitab Al Muwaththa’, ia  tidak hanya memasukkan hadits-hadits yang musnad (sampai pada nabi) tapi juga memasukkan hadits yang mauquf (perkataan, perbuatan atau taqrir yang dinisbatkan kepada sahabat nabi). Hal ini menunjukkan, bahwa Imam Malik tidak menghilangkan bahkan tetap melestarikan sunnah-sunnah atau kebiasaan-kebiasaan para sahabat. Sehingga dalam Muwaththa’ berisi tentang hadits Nabi dan atsar sahabat.
Isi kitab Muwaththa’ tersebut, berimplikasi pada pemikiran beliau dalam bidang hukum Islam, yaitu bila terjadi perbedaan serta sunnah dengan sunnah lainnya, maka ia berpegang kepada tradisi yang biasa berlaku di Madinah yang dianggap berasal dari sahabat nabi saw.
Mengenai kitab Musnad Ahmad, karena cara penyusunannya, terdapat hadits-hadits dhaif dan maudhu dan disusun berdasarkan perawi, bukan bab, maka tidak semua orang bisa begitu saja mengambil salah satu hadits untuk dijadikan hujjah. Sebab membutuhkan ketelitian atau kecermatan untuk menilai kekuatan haditsnya sebagai sumber hukum. Walau demikian, kitab tersebut tetap menjadi kitab induk ketujuh dari Kutubus Sittal, yang bukan berarti kita tidak atau jarang menggunakannya.

F.     PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Malik adalah seorang ahli hadits dan ahli fiqh. Karyanya yang sangat terkenal dan cukup mendapat perhatian banyak ulama adalah kitab Al Muwaththa’ yang berisi hadits nabi saw. Dan atsar para sahabat dan disusun berdasarkan bab-bab dalam bidag fiqh.kitab Al Muwaththa’ kedudukannya di bawah Bukhari-Muslim, sedangkan Musnad Ahmad penyusunannya tidak berdasarkan bab-bab tertentu, tetapi perawi, berdasarkan huruf hijaiyah. Kedudukannya Musnad Ahmad di bawah Kutubus Sittah atau buku induk yang ketujuh.










DAFTAR PUSTAKA


Abdul Qadir Ar-Rahbawi, As-Shalatu Alal Mazahibil ‘Arba’ah, alih bahasa, Zeid Husein Al-Hamid dan Drs. M Hasanuddin, Salaf Empat Mazhab, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1995.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1993, cet. Kedua, Jilid III.

Endang Soetari, Drs. H. AD., M.Si., Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997.


Muhamma Mustafa Azami, Prof. Dr., Studies in Early Hadith Literature, alih bahasa H. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

-----------------------------------------------, Studies In Hadith Methodology and Literature, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, t.t.

Syuhudi Ismail, Dr. M., Cara Praktis Mencari Hadits, PT. Karya Unipress, Jakarta, 1991.

Tengku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Penghantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997.

Yusuf Qardawi, Dr., Al Marju’iyyah al ‘Ulya Fil Islam lil Qur’an was Sunnah Dhawabith dalam Mahadzir Fil Fahmi wat Tafsir alih bahasa Bahruddin Faunani, Al Qur’an dan As Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam: Beberapa Kaidah dan Rambu dalam Memahami dan Menafsirkan, Robbari Press, Jakarta, 1997.




[1] Yusuf Qardawi, Dr., Al Marju’iyyah al ‘Ulya Fil Islam lil Qur’an was Sunnah Dhawabith dalam Mahadzir Fil Fahmi wat Tafsir alih bahasa Bahruddin Faunani, Al Qur’an dan As Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam: Beberapa Kaidah dan Rambu dalam Memahami dan Menafsirkan, Robbari Press, Jakarta, 1997, hal. 62.
[2] Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si., Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997, hal. 281.
[3] Prof. Dr. M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, alih bahasa H. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 402.
[4] Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si., Loc.Cit.
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. MM. Azami. Op.Cit., hal. 403.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1993, cet. Kedua, Jilid III, hal. 140.
[8] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Studies In Hadith Methodology and Literature, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, t.t., hal. 82.
[9] Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si., Op.Cit., hal. 300.
[10] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, As-Shalatu Alal Mazahibil ‘Arba’ah, alih bahasa, Zeid Husein Al-Hamid dan Drs. M Hasanuddin, Salaf Empat Mazhab, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1995, hal. 7.
[11] Tengku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Penghantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hal. 291.
[12] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Op.Cit., hal. 85.
[13] Drs. M. Endang Soetari AD, M.Si., Op.Cit., hal. 302.
[14] Dr. M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, PT. Karya Unipress, Jakarta, 1991, hal. 12.
[15] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal. 318.
[16] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Op.Cit., hal. 83.
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Op.Cit., hal. 319.
[18] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hal. 285.
[19] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Op.Cit., hal. 318.
[20] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Loc.Cit.
[21] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit., hal. 911.
[22] Ibid.
[23] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Op.Cit., hal.86.
[24] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Op.Cit., hal. 120.

0 comments :

Post a Comment