Friday, 22 February 2013

SISTEM POLITIK DALAM ISLAM (Studi Analisis Piagam Madinah)







SISTEM POLITIK DALAM ISLAM
(Studi Analisis Piagam Madinah)
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.

A.    PENDAHULUAN
Masa kerasulan Muhammad terbagi dalam dua periode sejarah. Pertama periode Mekkah yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sampai hijrah ke Madinah tahun 622 M. Kedua, periode Madinah yaitu sejak hijrah tahun 622 M hingga beliau wafat tahun 632 M. Selama periode Mekkah pengikut Muhammad hanya sekelompok kecil, belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai wilayah tertentu dan kedaulatan. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, posisi Nabi Muhammad mengalami perubaha besar. Di Madinah, menurut Harun Nasution, mereka mempunyai posisi yang baik dan segera menjadi suatu komunitas umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi pemimpin masyarakat yang baru dibentuk tersebut.[1]
Pembentukan masyarakat muslim baru itu ditandai dengan pembuatan perjanjian tertulis pada tahun 622 M antara Nabi dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Madinah setelah beliau Piagam Madinah. Ia memuat undang-undang yang mengatur kehidupan sosial politik bersama kaum muslim dan bukan muslim yang menerima dan mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka.
Inisiatif dari usaha Nabi Muhammad mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan lain menjadi masyarakat yang teratur, berdiri sendiri merupakan praktek politik Nabi. Masyarakat ini dibentuk berdasarkan perjanjian tertulis yang disebut Piagam Madinah. Ketetapan-ketetapannya sebagai hasil inisiatif dan ketetapan Nabi, mengandung prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat. Kelompok-kelompok sosial Madinah menjamin mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban mereka, dan menekankan pada hubungan baik dan kerjasama serta hidup berdampingan secara damai di antara mereka dalam kehidupan sosial politik.
Perjanjian tertulis itu oleh sebagian penulis dan peneliti sejarah serta pakar politik Islam disebut konstitusi negara Islam pertama.[2] Akan tetapi bila dirujuk kepada teks Piagam Madinah dan diteliti secara cermat, di antara ketetapannya tidak ada yang menyebut tentang bentuk pemerintahan, struktur kekuasaan dan pangkat-pangkat pemerintahan.[3] Hal inilah yang mendorong penulis mengkaji sistem politik Islam khususnya mengenai teks Piagam Madinah. Persoalan mendasar dari paper ini adalah “Apakah Islam mempunyai sistem politik?”
Persoalan tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan historis bahwa wahyu tentang masalah sosial kemasyarakatan turun ketika Nabi Muhammad di Madinah. Sementara di Madinah saat itu terdapat komunitas yang teratur, mandiri dalam mewujudkan kemaslahatan hidup, mereka mengakui Nabi sebagai pemimpinnya dan di semua aspek kehidupan. Di samping itu istilah politik itu terkait dengan ketatanegaraan seperti sistem pemerintahan, kebijakan atau siasat mengenai pemerintahan negara atau negara lain, dan tentang cara bertindak. Sedangkan sistem itu sendiri adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[4] Yang dimaksud sistem politik di sini adalah unsur-unsur yang saling berkaitan dalam suatu negara atau pemerintahan, misalnya struktur, perangkat, bentuk pemerintahan dan lain-lain. Kemudian apakah roda kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah menunjukkan adanya sistem politik. Dalam hal ini penulis fokuskan pada Piagam Madinah[5].

B.     MASYARAKAT MADINAH
1.      Keadaan Sosial Masyarakat Madinah
Mengetahui keadaan dan peta sosial dan budaya suatu masyarakat adalah penting, karena kita akan memahami tata cara, pandangan hidup, dan organisasi sosialnya yang mempengaruhi pola perilaku kehidupan anggota masyarakat dalam aspek-aspek sosial, ekonomi politik, huum, seni adat istiadat, tata susila, agama dan keyakinan, khususnya di Madinah. Dengan pembahasan ini pula, kita dapat memahami sejauh mana kebersihan Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab sesuai dengan cita-cita risalah yang dibawanya dan melihat makna penting dan posisi Piagam Madinah.
Menjelang hijrah Nabi ke Madinah, kota itu sendiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang terbagi dalam beberapa suku. Suku-suku terkemuka golongan Arab adalah Aus dan Khazraj. Menurut Watt ada delapan golongan suku utama Arab.[6] Adapun golongan Yahudi mempunyai lebih dari dua puluh suku yang menetap di wilayah itu. Suku-suku terkemuka adalah Bani Quraizhat, Bani Nadhir, Bani Qunaiqa, Bani Sya’labat dan Bani Hadh.[7] Orang-orang Arab adalah penyembah berhala. Sedangkan Yahudi adalah penganut agama Yahudi. Dari aspek politik, menurut sejarah, Madinah tidak terdapat persatuan dan kesatuan penduduk di bawah satu pemerintahan. Hal ini karena berasal dari konflik yang terus menerus antara pemimpin dua suku utama Arab, Aus dan Khazraj serta suku-suku Yahudi.[8]
Kondisi seperti itu menunjukkan, bahwa masyarakat Madinah sangat tidak teratur, karena penduduknya yang hiterogen itu tidak berhasil menuju dalam persatuan dan kesatuan yang berada di bawah satu pemerintahan dan membawahi semua kabilah. Dilihat dari segi sosio-politik masyarakat yang bercorak demikian menyimpan potensi konflik antar kelompok. Misalnya, adanya konflik dua suku utama Arab, Aus dan Khazraj di satu pihak dan konflik di antara kedua kelompok Arab itu dengan suku-suku di lain pihak. Sampai batas tertentu, Yahudi berhasil menghasut permusuhan kepada Aus dan Khazraj, sehingga terjadi pertempuran yang dikenal dengan perang Bu’ats.[9] Ketika itu suku Aus mempunyai aliansi dengan Yahudi Nadhir dan Quraizah, dan mengalahkan Khazraj.
Tetapi Aus menyadari betul bahaya yang datang setelah hancurnya Khazraj. Karena hal itu membuka peluang bagi Yahudi untuk menguasai Yastrib. Akhirnya Aus dan Khazraj berusaha melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan-perbedaan keduanya. Keduanya sepakat mengangkat salah seorang dari khazraj sebagai raja Yastrib. Ia adalah Abdullah bin Ubay bin Sahul yang bersikap netral pada saat perang Bu’ats. Ini menunjukkan keduanya (Aus dan Khazraj) di samping bermasalah, namun tetap mempunyai mempunyai keinginan kuat untuk hidup secara damai. Dan hal inilah yang mendorong penerimaan Yastrib terhadap kedatangan Islam, sebagai lambang persaudaraan dan kedamaian.[10]
Pada tahun kesebelas kenabian, terjadi suatu peristiwa yang tampaknya sederhana tapi menjadi milik awal era baru bagi Islam dan dunia, yakni perjumpaan Nabi di Aqabah, Mina, dengan enam orang dari suku Khazraj yang datang ke Mekkah untuk haji. Hasil perjumpaannya mereka masuk Islam. Mereka juga menceritakan tentang kehidupan Yatsrib yang selalu dicekam permusuhan antar suku golongan dan mengharap kepada Nabi untuk mempersatukan mereka. Mereka berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk Yatsrib masuk Islam. Pada tahun berikutnya, tahun keduabelas kenabian (621 M), datang pula 10 orang laki-laki Khazraj dan 2 orang laki-laki Aus. Setelah mereka bertemu Nabi di ‘Aqabat dan menyatakan diri masuk Islam, mereka juga melakukan Bai’at (sumpah kesetiaan) kepada Nabi. Bai’atini dikenal dengan Bai’at ‘Aqabat pertama. Kemudian pada musim haji tahun 622 M, datang serombongan haji sebanyak 73 orang baik yang sudah Islam maupun yang belum. Kedatangan mereka untuk mengajak Nabi agar beliau berkenan hijrah ke Yatsrib. Pertemuannya dengan Nabi di tempat yang sama, sehingga disebut Ba’at ‘Aqabat kedua, di mana mereka mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka dan akan menjaga keselamatan beliau dan pengikutnya.[11] Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, Ba’at Aqabat pertama dan Ba’at ‘Aqabat kedua, dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara Islam. Berdasarkan kedua Ba’at itu Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yatsrib pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah bergabung dengan mereka.[12]
2.      Posisi Nabi Muhammad dalam Masyarakat Madinah
Muhammad adalah seorang Rasul.[13] Sebagai Rasul beliau bertugas penyampai wahyu yang diterimanya kepada manusia. Di samping penyampai dan penjelas wahyu Allah, Muhammad juga diberi hak legislatif atau hak menetapkan hukum bagi manusia dan hak menertibkan kehidupan masyarakat.[14] Hal ini terbukti secara historis ketika di Madinah, bahwa di samping sebagai rasul untuk mengajak beriman kepada Allah juga melakukan tugas-tugas dan peran-peran sosial politik yaitu memegang kekuasaan politik.
Dari ilustrasi singkat tersebut, yang menjadi persoalan adalah bagaimana posisi beliau saat itu. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad mendapat pengakuan pertama ialah sebagai pemimpin dari kelompok penduduk Madinah pada Ba’at ‘Aqabat pertama (621 M) dan Ba’at ‘Aqabat kedua (622 M). Menurut J. Suyuthi Pulungan dalam ikrar Ba’at tersebut selain pengakuan sebagai Nabi dan dan Islam sebagai agama mereka. Juga kesetiaan, ketaatan dan penyerahan kekuasaan kepada beliau. Dan ketika di Madinah, posisi Nabi semakin kuat dan mampu mengendalikan Muhajirin dan Anshar.[15] Akhirnya ia memperoleh pengakuan yang lebih luas dan legal dengan adanya Piagam Madinah.
Dengan adanya pengakuan itu, berarti kekuatan dan kekuasaan politik benar-benar telah dimiliki oleh Nabi.[16] Ini juga berarti, Nabi juga telah memperoleh keabsahan sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Menurut Harun Nasution, sebagaimana dikutip oleh J. Suyuti Pulungan, bahwa kekuasaan politik diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan legitimasinya diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Lebih labjut watt juga dikutip oleh Suyuti menyatakan bahwa masyarakat yang dibentuk Nabi Muhammad di Madinah bukan hanya masyarakat agama tetapi juga masyarakat politik sebagai pengajuwantahan dari persekutuan suku-suku. Intisari persekutuan itu adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya sebab disamping sebagai seorang Rasul juga kepala negara.[17]
Kalau kita teliti bahwa negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat dan kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kekuatan politik dan berdaulat sehingga berhak menentukan tujuannya.[18] Secara sederhana J. Suyuthi menyatakan bahwa negara adalah sekelompok orang yang terorganisir yang menetap di wilayah tertentu yang mempunyai kedaulatan dan kebebasan untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dan menentukan tujuannya di bawah pemerintah.[19]
Masyarakat yang dipimpin Nabi Muhammad juga adalah masyarakat yang menetap di suatu wilayah tertentu, yaitu Madinah, bebas dan merdeka serta berdaulat di bawah pimpinan Nabi untuk mewujudkan ketertiban atau menetralisir kekuasaan kelompok dan sosial yang sering terlibat dalam konflik agar mereka hidup dalam suasana damai dan kerjasama berdasarkan perjanjian tertulis. Senada dengan asumsi ini, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Nabi juga merupakan suatu organisasi masyarakat yang menetap di wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan dan kedaulatan yang bebas dan merdeka untuk melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Sedangkan unsur-unsurnya terdiri dari wilayah yaitu Madinah, rakyat yang terdiri dari golongan-golongan muslim dan non muslim, pemerintah dipegang oleh Nabi dan dibantu oleh para sahabatnya dan berdaulat yang berdasarkan pada undang-undang tertulis sebagai kesepakatan antar golongan untuk membagun masyarakat politik bersama.[20] Secara umum syarat berdirinya suatu negara adalah adanya wilayah, penduduk undang-undang dan kepala negara.[21] Dari syarat-syarat tersebut kalau dikorelasikan dengan kepemimpinan Nabi dapat dikemukakan bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Nabi juga merupakan suatu organisasi masyarakat yang menetap di wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan politik dan kedaulatan yang bebas dan merdeka untuk melaksanakan hukum dan ketertiban masyarakat. Sedangkan unsur-unsurnya adalah wilayah, yaitu Madinah, rakyat yang terdiri dari golongan-golongan muslim dan non muslim, pemerintahan dipegang oleh Nabi dan dibantu para sahabatnya dan berdaulat berdasarkan undang-undang atau konstitusi Madinah. Denga demikian Muhammad SAW berdasarkan fakta historis dan dilihat dari konsep politik dan negara mempunyai konsep sebagai kepala negara di samping sebagai rasul dan pimpinan agama.

C.    PENYUSUNAN PIAGAM MADINAH
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa masyarakat Madinah tampak cukup Hiterogen dalam hal etnis dan bangsa, asal daerah, ekonomi, agama, keyakinan, serta adat kebiasaan. Kondisi seperti ini menyebabkan tiap golongan memiliki cara berfikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, mudah menimbulkan konflik, sebab masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan dan mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya cenderung ingin saling menghancurkan.[22] Lebih lanjut menurut Soekanto, tipe masryarakat demikian memerlukan penataan dan pengadilan sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan damai atas dasar keserasian dan keadilan dan dapat diterima oleh semua golongan.[23]
Nabi Muhammad memahami kondisi seperti ini, bahwa masyarakat yang beliau hadapi adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersifat bermusuhan terhadap golongan lain. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama dengan membut Piagam Madinah.
Penyusunan naskah Piagam Madinah tidak didapatkan data tentang ketentuan waktu dan tanggal yang pasti. Menurut Watt, sebagaimana dikutip oleh Suyuti, bahwa para sarjana umumnya berpendapat bahwa Piagam itu dibuat pada permulaan periode Madinah, tahun pertama Hijrah.[24] Kalau memang Piagam Madinah dinggap dimulainya komunitas baru yang teratur sebagai negara, sebenarnya hal itu dimulai dari dua peristiwa yang menurut Munawir Sjadzali dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara di Madinah.[25] Namun penyusunan Piagam Madinah itu terjadi, karena setibanya Rasul di Madinah, ia dihadapkan pada persoalan bagaimana menata masyarakat yang majemuk.[26]
Menurut Ali Syari’ati, meskipun Nabi adalah seorang utusan Allah namun beliau menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pemikir yang berpikiran sehat. Beliau tahu betul, bahwa titik tolak dari semua tindakan sosial dari pergerakan revolusi yang radikal, baik politis, teologis, sosial dan moral, tidak bisa tidak harus dimulai dengan memahami karakter masyarakat yang membentuk medan kerjanya. Langkah ini baru bisa dilakukan dengan baik, yaitu kota yang telah melahirkan dua kabilah Arab, Aus dan Khazraj sebagai tiang utama masyarakatnya. Di dalam perspektif kekabilahan tertanamlah akar-akar permusuhan dari realitas kedua kabilah tersebut. Di tengah-tengah kedua kabilah tadi, terdapat pula tiga kelompok orang-orang Yahudi, yaitu Quniqa’, Baani Nadhir, dan Bani Quraidhah.
Kelompok-kelompok Yahudi ini mendominasi perekonomian kota Yahudi, pertukaran industri, juga modal pasar dan tanah-tanah pertanian kurma yang subur, berada di tangan mereka. Sebab pada waktu itu mereka memang orang yang berpendidikan lebih tinggi dibanding umumnya orang Arab, lebih cerdas, lihai dan tidak segan-segan melakukan monopoli. Pemelukan mereka terhadap agama Yaahudi telah memberi posisi yang sangat dekat dengan paraa sahabat nabi, sekaligus bisa menjadikan musuh yang paling tangguh bagi kaum muslimin. Nabi menyadari dengan baik semua itu. Itulah sebabnya, hal pertama yang dilakukan adalah menyusun “Piagam” yang menjadi landasan kehidupan masyarakat yang bersumber dari risalah Islam dengan menetapkan hak-hak individual dan menyangkut hak-hak berbagai kelompok dan kaum minoritas.[27]

D.    URGENSI PIAGAM MADINAH SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA
Berawal dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa secara sosiologis, piagam tersebut merupakan antisipasi dan jawaban terhadap realitas sosial masyarakat madinah. Secara umum, dalam teks Piagam Madinah, mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktifitas dalam bidang sosial dan ekonomi. Setiap pihak memiliki hak yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka. 
Dengan demikian Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslimin (muhajirin dan Ashar), tetapi seluruh penduduk Madinah (pasal 23 – 24). Penduduk, ia belum pernah seklipun memaklumatkan diri sebagai pemimpin. Menurut Dr. A. Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Thaba bahwa untuk menciptkan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosial – religius dan budaya selus-luasnya.[28]
Lebih lanjut Piagam Madinah sering pula disebut dengan Dustur Madinah, Undang-undang Dasar Madinah, atau Konstitusi Madinah.[29] Konstitusi, menurut Suyuthi adalah himpunan peraturan-peraturan pokok mengenai penyelenggaraan dan pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan Yudikatif, hak-hak dan kewajiban negara dan pemerintahan di bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya, cita-cita dan ideologi negara dan sebagainya.[30] Dalam Piagam Madinah tidak terdapat penjelsan menyeluruh tentang peraturan-peraturan pokok pemerintah. Namun, ia tetap disebut sebagai konstitusi karena mempunyai ciri lain yang lebih fundamental yaitu dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan negara yang di pegang oleh nabi, dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengkui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupna masyarakat Madinah ia bercita-cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan hidup berdampingan secara damai sebagai satu umat yang bermoral, menjunjung tinggi dan keadilan atas dasar iman dan taqwa.
Mengenai pentingnya Piagam Madinah tersebut, menurut Ja’far Shubani bahwa ia merupakan dokumen sejarah yang hidup dan dengan jelas menunjukkan betapa nabi menghormati prinsip-prinsip kebabasan, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan, dan menciptakan melalui butir-butir persetujuan itu suatu front yang terpadu menghadapi serangan dari luar.[31] Lebih lanjut, Nicholson, sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer mengomentari dokumen tersebut : “Tidak ada seorang penelitipun yang tak terkesan pada kejeniusan politik penyusunannya. Nyatalah bahwa memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tak menyerang secara terbuka independensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan pusat kekuatan dari suku ke masyarakat….[32] Wensinch, melihat konstitusi itu sebagai dekrit yang menetapkan hubungan tiga golongan, Muhajirin, Anshar dan Yahudi. Terwujudnya konstitusi itu menjadi bukti kekuasaannya yang besar setelah tinggal dalam waktu yang pendek di Madinah. Beliau orang baru, mampu meletakkan Undang-undang untuk semua golongan dari populasi kota itu dan mampu mengendalikan kekuasaan yang ada serta sukses mempersatukan kota itu secara politik.[33]
Dengan demikian, Piagam Madinah atau konstitusi Madinah ini merupakan contoh telasan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang heterogen. Ide-ide dan ketetapan-ketetapan yang tertuang dalam teks Piagam Madinah mempunyai revolusi kuat dalam perkembangan dan keinginan masyarakat sekarang dalam rangka menegakkan hak asasi manusia.
Tentang isi pokok Piagam Madinah, terdapat perbedaan rumusan. Munawir Sadjali, menulis buku-buku dasar yang telah ditetapkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah sebagai berikut. Pertama, semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan suatu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antar anggota komunitas Islam dan anggota-anggota komunitas lain di dasarkan atas lima prinsip, yaitu a) bertetangga baik, b) saling membantu dalam menghadapi musuh beragama, c) membela yang teraniaya, d) saling menasehati, e) menghormati kebebasan beragama, dan Piagam itu sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tak menyebut agama negara.[34]
Menurut J. Suyuti, Piagam memuat 14 prinsip, yaitu 1) prinsip umat, 2) prinsip persatuan dan persaudaraan, 3) prinsip persamaan, 4) prinsip kebebasan, 5) prinsip hubungan antar pemeluk agama, 6) prinsip tolong menolong dan membela yang teraniaya, 7) prinsip hidup bertetangga, 8) prinsip perdamaian, 9) prinsip pertahanan, 10) prinsip musyawarah, 11) prinsip keadilan, 12) prinsip pelaksanaan hukum, 13) prinsip kepemimpinan dan 14) prinsip kekuatan, amar makruf dan nahi munkar.[35] Bersifat universal, baik menyangkut hak asasi manusia, maupun sosial kemasyarakat, hukum dan politik. Namun terjadinya berbagai pandangan tentang ide pokok Piagam Madinah adalah hal yang wajar, karena dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing untuk menonjolkan aspek tertentu dan juga karena karakteristik Piagam itu sendiri yang bersifat global, sehingga bisa dirumuskan secara singkat dan bisa pula ditafsirkan secara luas.

E.     PIAGAM MADINAH DAN SISTEM POLITIK ISLAM
Konsep masyarakat politik dalam islam didasarkan pada ajaran Al-Qur’an, dan sejak semua Al-Qur’an tidak memberikan konsep negara, melainkan konsep masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar perdebatan tentang negara Islam. Allah merumuskan Al-Qur’an lebih bersifat simbolik dari pada diokriptif. Oleh karena itu validitasnya terletak pada interpretsinya simbolik-simbolik ini, sesuai dengan pembahasan-pembahasan situasi ruang dan waktu.[36]
Untuk menelaah hubungan dengan politik, Din Syamsudin dalam memahaminya berangkat dari tiga paradigma, pertama, memecahkan masalah tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Islam dan negara dalam hal ini tak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah politik atau negara, oleh karena itu negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan” Tuhan. Paradigma ini dianut oleh kelompok syi’ah. Kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dengan negara agama akan berkembang dan dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Ketiga, bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antar agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pandangan negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.[37]
Dari paradigma pertama dapat kita pahami bahwa sebagai lembaga politik yang didasarkan atas ligitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan ‘kedaulatan Tuhan”, negara dalam perspektif ini bersifat teoritis yang mengandung pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (Syari’ah). Paradigma kedua menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan dan mengatur dunia merupakan dua sifat yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Sedangkan paradigma ketiga, yang diprakarsai oleh Ali Abd. Al-Raziq, seornag cendekiawan muslim dari Mesir dalam bukunya “Fundamentalis of government” (al-Islam wa Ushul al-Hukum) sebagaimana dikutip Asghar Ali, ia berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi, hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluknya.[38] Argumen Ali Al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak mempunyai dasar, baik Al-Qur’an maupun Hadits, keduanya tidak menyebut istilah khalifah dalam pengertian kekhalifahan yang pernah ada dalam syari’ah, lebih dari itu tidak ada petunjuk yang jelas dalam Al-Qur’an dan Al Hadits yang menentukan suatu bentuk sistem politik.[39]
Persoalan tersebut sangat kompleks dan sulit dipadukan begitu saja. Namun, untuk memahami masalah ini, perlu mempertimbangkan kondisi politik pada zaman Nabi SAW di Madinah untuk menentukan ada atau tidaknya sistem politik Islam. Dalam dokumen Piagam Madinah, sebagai dasar adanya pemerintahan Madinah, untuk manusia untuk pertama kali diperkenalkan, antara lain kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama.[40]
Dilihat dari segi fakta sejarah dan ilmu politik masyarakat Madinah adalah mencerminkan sebuah negara. Karena unsur-unsur negara terdapat di dalamnya. Nabi Muhammad SAW ketika mengenai sistem politik yang cukup struktur bentuk pemerintahan, perangkat dan lain-lain tidak terdapat dalam konstitusi Madinah yang ada hanya prinsip-prinsip dasar saja sebagai landasan berpijak sebuah pemerintahan.
Dengan demikian, Piagam Madinah dan kehidupan masyarakatnya mencerminkan adanya suatu negara. Tapi tidak mempunyai sistem politik yang utuh, hanya sebagian saja yang ada, misalnya adanya kepala negara, para pembantu kepala negara, panglima perang. Mengenai bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi SAW, tidak jelas walaupun demikian bukan berarti Islam tidak mempunyai sistem politik. Yang namanya sebuah sistem ketika dijalankan akan terdapat keteraturan dan kedamaian. Terbukti dalam roda pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi SAW, berjalan dengan baik, bahkan berkembang. Hal ini menunjukkan adanya sebuah sistem yang baik.
Mengenai negara Madinah walaupun pemerintahan Nabi SAW, mencerminkan suatu negara, bukan berarti negara Madinah adalah negara Islam. Abd al-Raziq seperti dikutip Din Syamsuddin, ia menolak keras pendapat bahwa Nabi Muhammad pernah mendirikan suatu negara Islam di Madinah. Tentunya, Nabi Muhammad adalah semata-mata utusan Tuhan. Lebih lanjut Al Raziq menyatakan bahwa “adalah masuk akal bagi seluruh dunia untuk mempunyai suatu negara, dan seluruh kemanusiaan diorganisasi karena dalam satu kesatuan keagamaan. Tapi bahwa seluruh dunia dipimpin oleh suatu pemerintahan adalah melampaui watak kemanusiaan dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Hal semacam ini merupakan tujuan duniawi yang Tuhan telah menyatakannya kepada akal kita. Dia telah memberikan manusia kebebasan untuk mengatur urusan duniawi sesuai dengan arah kecenderungan akal pikiran dan pengetahuannya. Ketentuan Tuhan adalah bahwa umat manusia harus tetap dalam kebinekaan”.[41] Pendapat ini senada dengan Dr. Amin Rais bahwa “Tidak ada negara Islam” sebagaimana ditulis oleh Muhammad Roem.[42]
Hal ini berarti negara tidak penting, Islam tidak menganjurkan pembetulan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tapi hal ini tidak berarti bahwa pembentukan negara atau pemerintahan itu merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Kekuasaan politik diperlukan oleh umat Islam, tapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.

F.     PENUTUP
Sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW, Madinah di diami oleh berbagai golongan suku bangsa Arab dan bangsa yahudi yang menganut agama dan keyakinan yang berbeda. Corak masyarakat yang majemuk ini bertambah kompleks sejak sebagian penduduk memeluk Islam dan setelah Nabi Muhammad bersama kaum muslimin Mekkah hijrah ke kota itu.
Namun sejak Nabi Muhammad datang dan membuat perjanjian yang disebut Piagam Madinah, telah membuka era baru kehidupan yang teratur dan damai. Fungsi Piagam Madinah sebagai konstitusi, sebagai konstitusi pertama umat manusia membuka cakrawala berpikir tentang wawasan kebebasan, terutama dibidang agama, sosial dan politik. Adanya masyarakat politik di Madinah juga telah diperkenalkan adanya sistem politik dalam Islam walau tidak sedetil pemahaman sistem politik sekarang. Tetapi hal ini bukan berarti pemerintahan Madinah tidak lebih baik dari pada pemerintahan di negara-negara dunia sekarang. Justru fakta historis menunjukkan bahwa dengan sistem yang diterapkan Nabi tersebut mampu mengendalikan dan menentramkan bahkan mengembangkan masyarakat yang menunjukkan pemerintahan Madinah lebih baik dan patut dijadikan teladan.













DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Thaba, Drs. M.A., Islam dan Tata Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Ahmad Husnan, Negara dan Partai dalam Perspektif Islam, Al Husna, Surakarta, 1999
Akram Dhiyouddin Umari, Prof. Dr., Madinah Society at the Time the Prophet : its Characteristics and Madani : Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Gem Insani Press, 1999
Ali Syari’ati, The Massage, alih bahasa Muhammad Hasyim dan met kieraha, PT. Lentera Basritama, jakarta, 1999
Aren Jan Wensinch, Muhammad and the Jews of Madinah, Trans and ed. B Wolf gaang Behn, Klaus Schwarz Verlag, Freiburg in Breisgan, 1975
Asqhar Ali Engineer, Islam and its Relevance to Our Agl, alih bahasa Hairus Salim HS, Islam dan Pembebasan. LkiS, Yogyakarta, 1993
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, VI-Press, Jakarta, Jilid I, 1985
Islamika, Jurnal Jawab dan pemikiran, No. II, 1 September - Agustus, 1993
Ja’far Shubani, The Massage, oleh Muhammad Hasyim dan Luth Kieraha, Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 1996
Montynery Watt, W., Muhammad Prophet and Statesment, Oxford University Press, London, 1974
Muhammad Hamdullah , The First Written Constitution in The World, Kashmiri Bazar, Lahore, 1968
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Rja Grfindo Persada, jakarta, 1994
Suyuti Pulungan, J., Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994
Ulumul Qur’an, Jurnal Kebudayaan dan Perdaban, Nomor 2, Vol. II, Jakarta, 1996
Ulumul Qur’an, Jurnal Kebudayaan dan Perdaban, Nomor 2, Vol. IV, Jakarta, 1993


[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, VI-Press, Jakarta, Jilid I, hal. 92.
[2] Muhammad Hamdullah misalnya, menulis sutau buku yang berjudul “The First Written Constitution in The World : An Important Document of TheTime of The Holy Prophet, Drs. Badri Yatim, M.A., juga dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam”, th. 1998, hal. 26.
[3] J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 9.
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 780 dan 950.
[5] Kata “Piagam” menunjuk kepada naskah atau lembaran tetrulis (sertifikat), sedangkan kata “Madinah” menunjuk kepada tempat dibuatnya naskah. Menurut sumber Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Piagam” berarti “surat resmi … yang berisi pernyataan pemberian hak, … atau berisi pernyataan dan pengukuhan mengenai sesuatu “(Tim Penyusun Kamus … , hal. 680). Dengan demikian Piagam Madinah adalah suatu dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi sebagai perjanjian antara golongan Muhajirin, Ansor dan Yahudi, serta sekutunya yang mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan mereka bersama dalam kehidupan sosial politik.
[6] W. Montgomery Wat,, Muhammad Prophet and Statesment, Oxford University Press, London, 1974, hal. 85.
[7] L. Suyuti Pulungan, Op. Cit., hal. 29.
[8] Ibid, hal. 38.
[9] Watt, Op.Cit., hal. 87
[10] Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, Madinah Society at the Time of the Prophet : Its Characteristics and Organization, alih bahasa Musi’in A. Sirry, Masyarakat Madani : Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hal. 66.
[11] J. Suyuti Pulunga, Op.Cit., hal. 52
[12] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1993, hal. 9
[13] Q.S. Ali Imran : 114
[14] Q.S. An Nahl : 44, AN Nisa’ : 105, Al A’raf : 157 dan Al Ahzab : 21
[15] J. Suyuti Pulungan, Op.Cit., hal. 70
[16] Ibid., hal. 73
[17] Ibid., hal. 77
[18] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit., hal. 79
[19] J. Suyuti, Op.Cit., hal. 79
[20] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999, hal. 57
[21] Ahmad Hasan, Negara dan partai dalam Persepektif Islam, Al Husna, Surakarta, 1999, hal. 26-27
[22] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal. 93
[23] Ibid, hal. 197
[24] J. Suyuti Pulung, Op.Cit., hal. 88
[25] H. Munawir Sjadzali, M.A., Loc. Cit.
[26] Drs. Abdul Aziz Thaba, M.A., Islam dan Negara Dalam Politik Orde Brau, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hl. 97.
[27] Ali Syari’ati, Muhammad SAW Khatim an-nabiyyin min al-Hijrh hatta al-Wfat, alih bahasa Arif Muhammad, Rasulullah SAWsejah Hijrah hingga Wafat : Tinjauan Kritis Sejarahnabi, Periode Madinah, Pustaka Hidayah, bandung, 1996, hl. 38 - 39
[28] Dr. Abd. Aziz Thaba, Op.Cit., hal 99
[29] Ibid., hal. 98, lihat juga watt, Op.Cit., hal 94, dan Munawir, Op.Cit., hal. 10
[30] J. Suyuti Pulungan, Op.Cit., hal 117
[31] Ja’far shubani, The Massage, oleh Muhammad Hasyim dan Luth Kieraha, Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, pt. Lentera Basritama, Jakarta, 1996, hal. 297
[32] Asqhar Ali Engineer, Islam and its relevance to Our ge, alih bahasa Hairus Salim HS, Islam dan Pembebasan. LkiS, Yogyakarta, 1993, hal. 19 - 20
[33] A.J. Wensich, Muhammad and the Jews of Medina, trans and ed. By Wolfgong Behu, Kleus Schwarz, Freiburg In Breisgan, 1975, hal. 70
[34] H. Munawir Sadjali, M.A., Op.Cit., hal 15 - 16
[35] J. Suyuti Pulungan, Op.Cit., hal. 21
[36] Asqhar Ali Engineer, Op.Cit., hal. 17
[37] Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, Ulumul Qur’an, Nomor 2, Vol. IV, th. 1993, hal. 5-7
[38] Asqar Ali Engineer, Loc. Cit
[39] Din Syamsuddin, Op.Cit., hal. 7
[40] Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, Ulumul Qur’an, Nomor 2, Vol. VII, 1996, hal. 51.
[41] Din Syamsuddin, Op.Cit., hal 8
[42] Muhammad Roem, Tidak ada negara Islam, Jurnal dialog Pemikiran Islam “Islamika”, Mizan, Bandung, No. 1, Juli - September , 1993, hal. 70

0 comments :

Post a Comment