SISTEM
POLITIK DALAM ISLAM
(Studi
Analisis Piagam Madinah)
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.
A.
PENDAHULUAN
Masa kerasulan
Muhammad terbagi dalam dua periode sejarah. Pertama periode Mekkah yaitu sejak
beliau menerima wahyu pertama sampai hijrah ke Madinah tahun 622 M. Kedua,
periode Madinah yaitu sejak hijrah tahun 622 M hingga beliau wafat tahun 632 M.
Selama periode Mekkah pengikut Muhammad hanya sekelompok kecil, belum menjadi
suatu komunitas yang mempunyai wilayah tertentu dan kedaulatan. Tetapi setelah
hijrah ke Madinah, posisi Nabi Muhammad mengalami perubaha besar. Di Madinah,
menurut Harun Nasution, mereka mempunyai posisi yang baik dan segera menjadi
suatu komunitas umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi
pemimpin masyarakat yang baru dibentuk tersebut.[1]
Pembentukan
masyarakat muslim baru itu ditandai dengan pembuatan perjanjian tertulis pada
tahun 622 M antara Nabi dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Madinah
setelah beliau Piagam Madinah. Ia memuat undang-undang yang mengatur
kehidupan sosial politik bersama kaum muslim dan bukan muslim yang menerima dan
mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka.
Inisiatif dari
usaha Nabi Muhammad mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan
lain menjadi masyarakat yang teratur, berdiri sendiri merupakan praktek politik
Nabi. Masyarakat ini dibentuk berdasarkan perjanjian tertulis yang disebut
Piagam Madinah. Ketetapan-ketetapannya sebagai hasil inisiatif dan ketetapan
Nabi, mengandung prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat.
Kelompok-kelompok sosial Madinah menjamin mereka, menetapkan
kewajiban-kewajiban mereka, dan menekankan pada hubungan baik dan kerjasama
serta hidup berdampingan secara damai di antara mereka dalam kehidupan sosial
politik.
Perjanjian
tertulis itu oleh sebagian penulis dan peneliti sejarah serta pakar politik
Islam disebut konstitusi negara Islam pertama.[2]
Akan tetapi bila dirujuk kepada teks Piagam Madinah dan diteliti secara cermat,
di antara ketetapannya tidak ada yang menyebut tentang bentuk pemerintahan,
struktur kekuasaan dan pangkat-pangkat pemerintahan.[3]
Hal inilah yang mendorong penulis mengkaji sistem politik Islam khususnya
mengenai teks Piagam Madinah. Persoalan mendasar dari paper ini adalah
“Apakah Islam mempunyai sistem politik?”
Persoalan tersebut
dilatar belakangi oleh kenyataan historis bahwa wahyu tentang masalah sosial
kemasyarakatan turun ketika Nabi Muhammad di Madinah. Sementara di Madinah saat
itu terdapat komunitas yang teratur, mandiri dalam mewujudkan kemaslahatan
hidup, mereka mengakui Nabi sebagai pemimpinnya dan di semua aspek kehidupan.
Di samping itu istilah politik itu terkait dengan ketatanegaraan seperti sistem
pemerintahan, kebijakan atau siasat mengenai pemerintahan negara atau negara
lain, dan tentang cara bertindak. Sedangkan sistem itu sendiri adalah perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[4]
Yang dimaksud sistem politik di sini adalah unsur-unsur yang saling berkaitan
dalam suatu negara atau pemerintahan, misalnya struktur, perangkat, bentuk
pemerintahan dan lain-lain. Kemudian apakah roda kepemimpinan Nabi Muhammad di
Madinah menunjukkan adanya sistem politik. Dalam hal ini penulis fokuskan pada
Piagam Madinah[5].
B.
MASYARAKAT MADINAH
1. Keadaan Sosial Masyarakat Madinah
Mengetahui keadaan dan peta sosial dan budaya suatu
masyarakat adalah penting, karena kita akan memahami tata cara, pandangan
hidup, dan organisasi sosialnya yang mempengaruhi pola perilaku kehidupan
anggota masyarakat dalam aspek-aspek sosial, ekonomi politik, huum, seni adat
istiadat, tata susila, agama dan keyakinan, khususnya di Madinah. Dengan
pembahasan ini pula, kita dapat memahami sejauh mana kebersihan Nabi Muhammad
membangun masyarakat Arab sesuai dengan cita-cita risalah yang dibawanya dan
melihat makna penting dan posisi Piagam Madinah.
Menjelang hijrah Nabi ke Madinah, kota itu sendiri
dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang terbagi dalam beberapa suku. Suku-suku
terkemuka golongan Arab adalah Aus dan Khazraj. Menurut Watt ada delapan
golongan suku utama Arab.[6]
Adapun golongan Yahudi mempunyai lebih dari dua puluh suku yang menetap di wilayah
itu. Suku-suku terkemuka adalah Bani Quraizhat, Bani Nadhir, Bani Qunaiqa, Bani
Sya’labat dan Bani Hadh.[7]
Orang-orang Arab adalah penyembah berhala. Sedangkan Yahudi adalah penganut
agama Yahudi. Dari aspek politik, menurut sejarah, Madinah tidak terdapat
persatuan dan kesatuan penduduk di bawah satu pemerintahan. Hal ini karena
berasal dari konflik yang terus menerus antara pemimpin dua suku utama Arab,
Aus dan Khazraj serta suku-suku Yahudi.[8]
Kondisi seperti itu menunjukkan, bahwa masyarakat
Madinah sangat tidak teratur, karena penduduknya yang hiterogen itu tidak
berhasil menuju dalam persatuan dan kesatuan yang berada di bawah satu
pemerintahan dan membawahi semua kabilah. Dilihat dari segi sosio-politik
masyarakat yang bercorak demikian menyimpan potensi konflik antar kelompok.
Misalnya, adanya konflik dua suku utama Arab, Aus dan Khazraj di satu pihak dan
konflik di antara kedua kelompok Arab itu dengan suku-suku di lain pihak.
Sampai batas tertentu, Yahudi berhasil menghasut permusuhan kepada Aus dan
Khazraj, sehingga terjadi pertempuran yang dikenal dengan perang Bu’ats.[9]
Ketika itu suku Aus mempunyai aliansi dengan Yahudi Nadhir dan Quraizah, dan
mengalahkan Khazraj.
Tetapi Aus menyadari betul bahaya yang datang setelah
hancurnya Khazraj. Karena hal itu membuka peluang bagi Yahudi untuk menguasai
Yastrib. Akhirnya Aus dan Khazraj berusaha melakukan rekonsiliasi terhadap
perbedaan-perbedaan keduanya. Keduanya sepakat mengangkat salah seorang dari
khazraj sebagai raja Yastrib. Ia adalah Abdullah bin Ubay bin Sahul yang
bersikap netral pada saat perang Bu’ats. Ini menunjukkan keduanya (Aus dan
Khazraj) di samping bermasalah, namun tetap mempunyai mempunyai keinginan kuat
untuk hidup secara damai. Dan hal inilah yang mendorong penerimaan Yastrib terhadap
kedatangan Islam, sebagai lambang persaudaraan dan kedamaian.[10]
Pada tahun kesebelas kenabian, terjadi suatu peristiwa
yang tampaknya sederhana tapi menjadi milik awal era baru bagi Islam dan dunia,
yakni perjumpaan Nabi di Aqabah, Mina, dengan enam orang dari suku Khazraj yang
datang ke Mekkah untuk haji. Hasil perjumpaannya mereka masuk Islam. Mereka
juga menceritakan tentang kehidupan Yatsrib yang selalu dicekam permusuhan
antar suku golongan dan mengharap kepada Nabi untuk mempersatukan mereka. Mereka
berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk Yatsrib masuk Islam. Pada tahun
berikutnya, tahun keduabelas kenabian (621 M), datang pula 10 orang laki-laki Khazraj
dan 2 orang laki-laki Aus. Setelah mereka bertemu Nabi di ‘Aqabat dan
menyatakan diri masuk Islam, mereka juga melakukan Bai’at (sumpah kesetiaan)
kepada Nabi. Bai’atini dikenal dengan Bai’at ‘Aqabat pertama. Kemudian pada
musim haji tahun 622 M, datang serombongan haji sebanyak 73 orang baik yang
sudah Islam maupun yang belum. Kedatangan mereka untuk mengajak Nabi agar
beliau berkenan hijrah ke Yatsrib. Pertemuannya dengan Nabi di tempat yang
sama, sehingga disebut Ba’at ‘Aqabat kedua, di mana mereka mengakui Nabi
sebagai pemimpin mereka dan akan menjaga keselamatan beliau dan pengikutnya.[11]
Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, Ba’at Aqabat pertama dan Ba’at ‘Aqabat
kedua, dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara Islam.
Berdasarkan kedua Ba’at itu Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah
ke Yatsrib pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri
hijrah bergabung dengan mereka.[12]
2. Posisi Nabi Muhammad dalam Masyarakat Madinah
Muhammad adalah seorang Rasul.[13]
Sebagai Rasul beliau bertugas penyampai wahyu yang diterimanya kepada manusia. Di
samping penyampai dan penjelas wahyu Allah, Muhammad juga diberi hak legislatif
atau hak menetapkan hukum bagi manusia dan hak menertibkan kehidupan
masyarakat.[14]
Hal ini terbukti secara historis ketika di Madinah, bahwa di samping sebagai
rasul untuk mengajak beriman kepada Allah juga melakukan tugas-tugas dan
peran-peran sosial politik yaitu memegang kekuasaan politik.
Dari ilustrasi singkat tersebut, yang menjadi
persoalan adalah bagaimana posisi beliau saat itu. Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa Nabi Muhammad mendapat pengakuan pertama ialah sebagai pemimpin dari
kelompok penduduk Madinah pada Ba’at ‘Aqabat pertama (621 M) dan Ba’at ‘Aqabat
kedua (622 M). Menurut J. Suyuthi Pulungan dalam ikrar Ba’at tersebut selain
pengakuan sebagai Nabi dan dan Islam sebagai agama mereka. Juga kesetiaan,
ketaatan dan penyerahan kekuasaan kepada beliau. Dan ketika di Madinah, posisi
Nabi semakin kuat dan mampu mengendalikan Muhajirin dan Anshar.[15]
Akhirnya ia memperoleh pengakuan yang lebih luas dan legal dengan adanya Piagam
Madinah.
Dengan adanya pengakuan itu, berarti kekuatan dan
kekuasaan politik benar-benar telah dimiliki oleh Nabi.[16]
Ini juga berarti, Nabi juga telah memperoleh keabsahan sebagai pemimpin
masyarakat Madinah. Menurut Harun Nasution, sebagaimana dikutip oleh J. Suyuti
Pulungan, bahwa kekuasaan politik diperoleh melalui perjanjian masyarakat.
Artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan legitimasinya diperoleh
melalui perjanjian masyarakat. Lebih labjut watt juga dikutip oleh Suyuti
menyatakan bahwa masyarakat yang dibentuk Nabi Muhammad di Madinah bukan hanya
masyarakat agama tetapi juga masyarakat politik sebagai pengajuwantahan dari
persekutuan suku-suku. Intisari persekutuan itu adalah rakyat Madinah dan Nabi
Muhammad sebagai pemimpinnya sebab disamping sebagai seorang Rasul juga kepala
negara.[17]
Kalau kita teliti bahwa negara adalah organisasi dalam
suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyat dan kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisir di bawah lembaga dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kekuatan
politik dan berdaulat sehingga berhak menentukan tujuannya.[18]
Secara sederhana J. Suyuthi menyatakan bahwa negara adalah sekelompok orang
yang terorganisir yang menetap di wilayah tertentu yang mempunyai kedaulatan dan
kebebasan untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dan menentukan tujuannya di
bawah pemerintah.[19]
Masyarakat yang dipimpin Nabi Muhammad juga adalah
masyarakat yang menetap di suatu wilayah tertentu, yaitu Madinah, bebas dan
merdeka serta berdaulat di bawah pimpinan Nabi untuk mewujudkan ketertiban atau
menetralisir kekuasaan kelompok dan sosial yang sering terlibat dalam konflik
agar mereka hidup dalam suasana damai dan kerjasama berdasarkan perjanjian
tertulis. Senada dengan asumsi ini, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa
masyarakat yang dipimpin oleh Nabi juga merupakan suatu organisasi masyarakat
yang menetap di wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan dan kedaulatan yang
bebas dan merdeka untuk melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
Sedangkan unsur-unsurnya terdiri dari wilayah yaitu Madinah, rakyat yang
terdiri dari golongan-golongan muslim dan non muslim, pemerintah dipegang oleh
Nabi dan dibantu oleh para sahabatnya dan berdaulat yang berdasarkan pada undang-undang
tertulis sebagai kesepakatan antar golongan untuk membagun masyarakat politik
bersama.[20]
Secara umum syarat berdirinya suatu negara adalah adanya wilayah, penduduk
undang-undang dan kepala negara.[21]
Dari syarat-syarat tersebut kalau dikorelasikan dengan kepemimpinan Nabi dapat
dikemukakan bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Nabi juga merupakan suatu
organisasi masyarakat yang menetap di wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan
politik dan kedaulatan yang bebas dan merdeka untuk melaksanakan hukum dan ketertiban
masyarakat. Sedangkan unsur-unsurnya adalah wilayah, yaitu Madinah, rakyat yang
terdiri dari golongan-golongan muslim dan non muslim, pemerintahan dipegang
oleh Nabi dan dibantu para sahabatnya dan berdaulat berdasarkan undang-undang
atau konstitusi Madinah. Denga demikian Muhammad SAW berdasarkan fakta historis
dan dilihat dari konsep politik dan negara mempunyai konsep sebagai kepala
negara di samping sebagai rasul dan pimpinan agama.
C.
PENYUSUNAN PIAGAM MADINAH
Sebagaimana
diuraikan di atas bahwa masyarakat Madinah tampak cukup Hiterogen dalam hal
etnis dan bangsa, asal daerah, ekonomi, agama, keyakinan, serta adat kebiasaan.
Kondisi seperti ini menyebabkan tiap golongan memiliki cara berfikir dan
bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya. Faktor-faktor tersebut
menurut Soerjono Soekanto, mudah menimbulkan konflik, sebab masyarakat yang
terdiri dari berbagai golongan dan mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam
dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya cenderung ingin saling menghancurkan.[22]
Lebih lanjut menurut Soekanto, tipe masryarakat demikian memerlukan penataan
dan pengadilan sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan
yang dapat menciptakan rasa aman dan damai atas dasar keserasian dan keadilan
dan dapat diterima oleh semua golongan.[23]
Nabi Muhammad
memahami kondisi seperti ini, bahwa masyarakat yang beliau hadapi adalah
masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersifat bermusuhan terhadap
golongan lain. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian
sosial untuk mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan agama dengan membut Piagam Madinah.
Penyusunan
naskah Piagam Madinah tidak didapatkan data tentang ketentuan waktu dan tanggal
yang pasti. Menurut Watt, sebagaimana dikutip oleh Suyuti, bahwa para sarjana
umumnya berpendapat bahwa Piagam itu dibuat pada permulaan periode Madinah,
tahun pertama Hijrah.[24]
Kalau memang Piagam Madinah dinggap dimulainya komunitas baru yang teratur
sebagai negara, sebenarnya hal itu dimulai dari dua peristiwa yang menurut
Munawir Sjadzali dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara di
Madinah.[25]
Namun penyusunan Piagam Madinah itu terjadi, karena setibanya Rasul di Madinah,
ia dihadapkan pada persoalan bagaimana menata masyarakat yang majemuk.[26]
Menurut Ali
Syari’ati, meskipun Nabi adalah seorang utusan Allah namun beliau menjalankan
aktivitasnya sebagai seorang pemikir yang berpikiran sehat. Beliau tahu betul,
bahwa titik tolak dari semua tindakan sosial dari pergerakan revolusi yang
radikal, baik politis, teologis, sosial dan moral, tidak bisa tidak harus
dimulai dengan memahami karakter masyarakat yang membentuk medan kerjanya.
Langkah ini baru bisa dilakukan dengan baik, yaitu kota yang telah melahirkan
dua kabilah Arab, Aus dan Khazraj sebagai tiang utama masyarakatnya. Di dalam
perspektif kekabilahan tertanamlah akar-akar permusuhan dari realitas kedua
kabilah tersebut. Di tengah-tengah kedua kabilah tadi, terdapat pula tiga
kelompok orang-orang Yahudi, yaitu Quniqa’, Baani Nadhir, dan Bani Quraidhah.
Kelompok-kelompok
Yahudi ini mendominasi perekonomian kota Yahudi, pertukaran industri, juga
modal pasar dan tanah-tanah pertanian kurma yang subur, berada di tangan
mereka. Sebab pada waktu itu mereka memang orang yang berpendidikan lebih
tinggi dibanding umumnya orang Arab, lebih cerdas, lihai dan tidak segan-segan
melakukan monopoli. Pemelukan mereka terhadap agama Yaahudi telah memberi
posisi yang sangat dekat dengan paraa sahabat nabi, sekaligus bisa menjadikan
musuh yang paling tangguh bagi kaum muslimin. Nabi menyadari dengan baik semua
itu. Itulah sebabnya, hal pertama yang dilakukan adalah menyusun “Piagam” yang
menjadi landasan kehidupan masyarakat yang bersumber dari risalah Islam dengan
menetapkan hak-hak individual dan menyangkut hak-hak berbagai kelompok dan kaum
minoritas.[27]
D.
URGENSI PIAGAM MADINAH SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA
Berawal dari
uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa secara sosiologis, piagam tersebut
merupakan antisipasi dan jawaban terhadap realitas sosial masyarakat madinah.
Secara umum, dalam teks Piagam Madinah, mengatur kehidupan sosial penduduk
Madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukannya sama, masing-masing memiliki
kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktifitas dalam bidang sosial
dan ekonomi. Setiap pihak memiliki hak yang sama untuk membela Madinah tempat
tinggal mereka.
Dengan demikian
Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan
saja bagi kaum muslimin (muhajirin dan Ashar), tetapi seluruh penduduk Madinah
(pasal 23 – 24). Penduduk, ia belum pernah seklipun memaklumatkan diri sebagai
pemimpin. Menurut Dr. A. Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Thaba
bahwa untuk menciptkan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosial
– religius dan budaya selus-luasnya.[28]
Lebih lanjut
Piagam Madinah sering pula disebut dengan Dustur Madinah, Undang-undang Dasar
Madinah, atau Konstitusi Madinah.[29]
Konstitusi, menurut Suyuthi adalah himpunan peraturan-peraturan pokok mengenai
penyelenggaraan dan pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
Yudikatif, hak-hak dan kewajiban negara dan pemerintahan di bidang-bidang
sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya, cita-cita dan ideologi negara dan
sebagainya.[30]
Dalam Piagam Madinah tidak terdapat penjelsan menyeluruh tentang
peraturan-peraturan pokok pemerintah. Namun, ia tetap disebut sebagai
konstitusi karena mempunyai ciri lain yang lebih fundamental yaitu dalam bentuk
tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai
suatu umat, adanya kedaulatan negara yang di pegang oleh nabi, dan adanya
ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengkui
kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan
kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupna
masyarakat Madinah ia bercita-cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua
golongan menjadi satu umat dan hidup berdampingan secara damai sebagai satu
umat yang bermoral, menjunjung tinggi dan keadilan atas dasar iman dan taqwa.
Mengenai
pentingnya Piagam Madinah tersebut, menurut Ja’far Shubani bahwa ia merupakan
dokumen sejarah yang hidup dan dengan jelas menunjukkan betapa nabi menghormati
prinsip-prinsip kebabasan, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan, dan
menciptakan melalui butir-butir persetujuan itu suatu front yang terpadu
menghadapi serangan dari luar.[31]
Lebih lanjut, Nicholson, sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer
mengomentari dokumen tersebut : “Tidak ada seorang penelitipun yang tak
terkesan pada kejeniusan politik penyusunannya. Nyatalah bahwa memperbaharui
dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tak
menyerang secara terbuka independensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan
pengaruhnya dengan pusat kekuatan dari suku ke masyarakat….[32] Wensinch,
melihat konstitusi itu sebagai dekrit yang menetapkan hubungan tiga golongan,
Muhajirin, Anshar dan Yahudi. Terwujudnya konstitusi itu menjadi bukti
kekuasaannya yang besar setelah tinggal dalam waktu yang pendek di Madinah.
Beliau orang baru, mampu meletakkan Undang-undang untuk semua golongan dari
populasi kota itu dan mampu mengendalikan kekuasaan yang ada serta sukses
mempersatukan kota itu secara politik.[33]
Dengan demikian,
Piagam Madinah atau konstitusi Madinah ini merupakan contoh telasan dalam
sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang heterogen. Ide-ide dan
ketetapan-ketetapan yang tertuang dalam teks Piagam Madinah mempunyai revolusi
kuat dalam perkembangan dan keinginan masyarakat sekarang dalam rangka
menegakkan hak asasi manusia.
Tentang isi
pokok Piagam Madinah, terdapat perbedaan rumusan. Munawir Sadjali, menulis
buku-buku dasar yang telah ditetapkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi
kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah sebagai berikut.
Pertama, semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi
merupakan suatu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas
Islam dan antar anggota komunitas Islam dan anggota-anggota komunitas lain di
dasarkan atas lima prinsip, yaitu a) bertetangga baik, b) saling membantu dalam
menghadapi musuh beragama, c) membela yang teraniaya, d) saling menasehati, e)
menghormati kebebasan beragama, dan Piagam itu sebagai konstitusi negara Islam
yang pertama tak menyebut agama negara.[34]
Menurut J.
Suyuti, Piagam memuat 14 prinsip, yaitu 1) prinsip umat, 2) prinsip persatuan
dan persaudaraan, 3) prinsip persamaan, 4) prinsip kebebasan, 5) prinsip
hubungan antar pemeluk agama, 6) prinsip tolong menolong dan membela yang
teraniaya, 7) prinsip hidup bertetangga, 8) prinsip perdamaian, 9) prinsip
pertahanan, 10) prinsip musyawarah, 11) prinsip keadilan, 12) prinsip
pelaksanaan hukum, 13) prinsip kepemimpinan dan 14) prinsip kekuatan, amar
makruf dan nahi munkar.[35]
Bersifat universal, baik menyangkut hak asasi manusia, maupun sosial
kemasyarakat, hukum dan politik. Namun terjadinya berbagai pandangan tentang
ide pokok Piagam Madinah adalah hal yang wajar, karena dipengaruhi oleh pola
pikir masing-masing untuk menonjolkan aspek tertentu dan juga karena
karakteristik Piagam itu sendiri yang bersifat global, sehingga bisa dirumuskan
secara singkat dan bisa pula ditafsirkan secara luas.
E.
PIAGAM MADINAH DAN SISTEM POLITIK ISLAM
Konsep
masyarakat politik dalam islam didasarkan pada ajaran Al-Qur’an, dan sejak
semua Al-Qur’an tidak memberikan konsep negara, melainkan konsep masyarakat.
Perbedaan ini menjadi dasar perdebatan tentang negara Islam. Allah merumuskan
Al-Qur’an lebih bersifat simbolik dari pada diokriptif. Oleh karena itu
validitasnya terletak pada interpretsinya simbolik-simbolik ini, sesuai dengan
pembahasan-pembahasan situasi ruang dan waktu.[36]
Untuk menelaah
hubungan dengan politik, Din Syamsudin dalam memahaminya berangkat dari tiga
paradigma, pertama, memecahkan masalah tersebut dengan mengajukan konsep
bersatunya agama dan negara. Islam dan negara dalam hal ini tak dapat
dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah politik atau negara, oleh
karena itu negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus
pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” karena memang
kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan” Tuhan. Paradigma ini dianut oleh
kelompok syi’ah. Kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara
simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dengan negara
agama akan berkembang dan dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan
etika dan moral. Ketiga, bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik
hubungan integralistik maupun simbiotik antar agama dan negara. Sebagai
gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara.
Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pandangan negara kepada
Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari
negara.[37]
Dari paradigma
pertama dapat kita pahami bahwa sebagai lembaga politik yang didasarkan atas
ligitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan ‘kedaulatan Tuhan”,
negara dalam perspektif ini bersifat teoritis yang mengandung pengertian bahwa
kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan
pada wahyu Tuhan (Syari’ah). Paradigma kedua menegaskan bahwa kepemimpinan
negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama
dan mengatur dunia. Pemeliharaan dan mengatur dunia merupakan dua sifat yang
berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Sedangkan paradigma ketiga, yang
diprakarsai oleh Ali Abd. Al-Raziq, seornag cendekiawan muslim dari Mesir dalam
bukunya “Fundamentalis of government” (al-Islam wa Ushul al-Hukum) sebagaimana
dikutip Asghar Ali, ia berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu
bentuk pemerintahan duniawi, hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas
oleh pemeluknya.[38]
Argumen Ali Al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak mempunyai dasar, baik
Al-Qur’an maupun Hadits, keduanya tidak menyebut istilah khalifah dalam
pengertian kekhalifahan yang pernah ada dalam syari’ah, lebih dari itu tidak
ada petunjuk yang jelas dalam Al-Qur’an dan Al Hadits yang menentukan suatu
bentuk sistem politik.[39]
Persoalan
tersebut sangat kompleks dan sulit dipadukan begitu saja. Namun, untuk memahami
masalah ini, perlu mempertimbangkan kondisi politik pada zaman Nabi SAW di
Madinah untuk menentukan ada atau tidaknya sistem politik Islam. Dalam dokumen
Piagam Madinah, sebagai dasar adanya pemerintahan Madinah, untuk manusia untuk
pertama kali diperkenalkan, antara lain kepada wawasan kebebasan, terutama di
bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya
pertahanan secara bersama.[40]
Dilihat dari
segi fakta sejarah dan ilmu politik masyarakat Madinah adalah mencerminkan
sebuah negara. Karena unsur-unsur negara terdapat di dalamnya. Nabi Muhammad
SAW ketika mengenai sistem politik yang cukup struktur bentuk pemerintahan,
perangkat dan lain-lain tidak terdapat dalam konstitusi Madinah yang ada hanya
prinsip-prinsip dasar saja sebagai landasan berpijak sebuah pemerintahan.
Dengan demikian,
Piagam Madinah dan kehidupan masyarakatnya mencerminkan adanya suatu negara.
Tapi tidak mempunyai sistem politik yang utuh, hanya sebagian saja yang ada,
misalnya adanya kepala negara, para pembantu kepala negara, panglima perang.
Mengenai bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi SAW, tidak jelas
walaupun demikian bukan berarti Islam tidak mempunyai sistem politik. Yang
namanya sebuah sistem ketika dijalankan akan terdapat keteraturan dan
kedamaian. Terbukti dalam roda pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi SAW,
berjalan dengan baik, bahkan berkembang. Hal ini menunjukkan adanya sebuah
sistem yang baik.
Mengenai negara
Madinah walaupun pemerintahan Nabi SAW, mencerminkan suatu negara, bukan
berarti negara Madinah adalah negara Islam. Abd al-Raziq seperti dikutip Din
Syamsuddin, ia menolak keras pendapat bahwa Nabi Muhammad pernah mendirikan
suatu negara Islam di Madinah. Tentunya, Nabi Muhammad adalah semata-mata
utusan Tuhan. Lebih lanjut Al Raziq menyatakan bahwa “adalah masuk akal bagi
seluruh dunia untuk mempunyai suatu negara, dan seluruh kemanusiaan diorganisasi
karena dalam satu kesatuan keagamaan. Tapi bahwa seluruh dunia dipimpin oleh
suatu pemerintahan adalah melampaui watak kemanusiaan dan bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Hal semacam ini merupakan tujuan duniawi yang Tuhan telah
menyatakannya kepada akal kita. Dia telah memberikan manusia kebebasan untuk
mengatur urusan duniawi sesuai dengan arah kecenderungan akal pikiran dan
pengetahuannya. Ketentuan Tuhan adalah bahwa umat manusia harus tetap dalam
kebinekaan”.[41]
Pendapat ini senada dengan Dr. Amin Rais bahwa “Tidak ada negara Islam”
sebagaimana ditulis oleh Muhammad Roem.[42]
Hal ini berarti
negara tidak penting, Islam tidak menganjurkan pembetulan suatu negara.
Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tapi hal ini tidak
berarti bahwa pembentukan negara atau pemerintahan itu merupakan salah satu
ajaran dasar Islam. Kekuasaan politik diperlukan oleh umat Islam, tapi bukan
karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu
sendiri.
F.
PENUTUP
Sebelum
datangnya Nabi Muhammad SAW, Madinah di diami oleh berbagai golongan suku
bangsa Arab dan bangsa yahudi yang menganut agama dan keyakinan yang berbeda.
Corak masyarakat yang majemuk ini bertambah kompleks sejak sebagian penduduk
memeluk Islam dan setelah Nabi Muhammad bersama kaum muslimin Mekkah hijrah ke
kota itu.
Namun sejak Nabi
Muhammad datang dan membuat perjanjian yang disebut Piagam Madinah, telah
membuka era baru kehidupan yang teratur dan damai. Fungsi Piagam Madinah
sebagai konstitusi, sebagai konstitusi pertama umat manusia membuka cakrawala
berpikir tentang wawasan kebebasan, terutama dibidang agama, sosial dan
politik. Adanya masyarakat politik di Madinah juga telah diperkenalkan adanya
sistem politik dalam Islam walau tidak sedetil pemahaman sistem politik
sekarang. Tetapi hal ini bukan berarti pemerintahan Madinah tidak lebih baik
dari pada pemerintahan di negara-negara dunia sekarang. Justru fakta historis
menunjukkan bahwa dengan sistem yang diterapkan Nabi tersebut mampu mengendalikan
dan menentramkan bahkan mengembangkan masyarakat yang menunjukkan pemerintahan
Madinah lebih baik dan patut dijadikan teladan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz Thaba, Drs. M.A., Islam dan Tata Negara dalam Politik Orde
Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Ahmad Husnan, Negara dan Partai dalam Perspektif Islam, Al Husna, Surakarta, 1999
Akram Dhiyouddin Umari, Prof. Dr., Madinah Society at the Time the Prophet :
its Characteristics and Madani : Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi,
Gem Insani Press, 1999
Ali Syari’ati, The Massage, alih bahasa Muhammad Hasyim dan met kieraha, PT.
Lentera Basritama, jakarta, 1999
Aren Jan Wensinch, Muhammad and the Jews of Madinah, Trans and ed. B Wolf gaang Behn,
Klaus Schwarz Verlag, Freiburg in Breisgan, 1975
Asqhar Ali Engineer, Islam and its Relevance to Our Agl, alih
bahasa Hairus Salim HS, Islam dan
Pembebasan. LkiS, Yogyakarta, 1993
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, VI-Press, Jakarta, Jilid I,
1985
Islamika, Jurnal Jawab dan pemikiran, No. II, 1 September - Agustus, 1993
Ja’far Shubani, The Massage, oleh Muhammad Hasyim dan Luth Kieraha, Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah
SAW, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 1996
Montynery Watt, W., Muhammad Prophet and Statesment, Oxford University Press, London,
1974
Muhammad Hamdullah , The First Written Constitution in The World,
Kashmiri Bazar, Lahore, 1968
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Rja Grfindo Persada, jakarta, 1994
Suyuti Pulungan, J., Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam
Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994
Ulumul Qur’an, Jurnal Kebudayaan dan Perdaban, Nomor 2, Vol. II, Jakarta, 1996
Ulumul Qur’an, Jurnal Kebudayaan dan Perdaban, Nomor 2, Vol. IV, Jakarta, 1993
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, VI-Press,
Jakarta, Jilid I, hal. 92.
[2]
Muhammad
Hamdullah misalnya, menulis sutau buku yang berjudul “The First Written Constitution in The World : An Important Document of
TheTime of The Holy Prophet, Drs. Badri Yatim, M.A., juga dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam”, th. 1998,
hal. 26.
[3] J.
Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 9.
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 780 dan 950.
[5] Kata “Piagam” menunjuk kepada naskah atau
lembaran tetrulis (sertifikat), sedangkan kata “Madinah” menunjuk kepada tempat
dibuatnya naskah. Menurut sumber Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Piagam” berarti
“surat resmi … yang berisi pernyataan pemberian hak, … atau berisi pernyataan
dan pengukuhan mengenai sesuatu “(Tim Penyusun Kamus … , hal. 680). Dengan
demikian Piagam Madinah adalah suatu dokumen politik penting yang dibuat oleh
Nabi sebagai perjanjian antara golongan Muhajirin, Ansor dan Yahudi, serta
sekutunya yang mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang
menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban mereka sebagai dasar bagi
kehidupan mereka bersama dalam kehidupan sosial politik.
[6] W. Montgomery Wat,, Muhammad Prophet and Statesment, Oxford University Press, London,
1974, hal. 85.
[7] L. Suyuti Pulungan, Op. Cit., hal. 29.
[8] Ibid,
hal. 38.
[9] Watt, Op.Cit.,
hal. 87
[10] Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, Madinah Society at the Time of the Prophet :
Its Characteristics and Organization, alih bahasa Musi’in A. Sirry, Masyarakat Madani : Tinjauan Historis
Kehidupan Zaman Nabi, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hal. 66.
[11] J. Suyuti Pulunga, Op.Cit., hal. 52
[12] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1993, hal. 9
[13] Q.S. Ali Imran : 114
[14] Q.S. An Nahl : 44, AN Nisa’ : 105, Al A’raf
: 157 dan Al Ahzab : 21
[15] J. Suyuti Pulungan, Op.Cit., hal. 70
[16] Ibid.,
hal. 73
[17] Ibid.,
hal. 77
[18] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit., hal. 79
[19] J. Suyuti, Op.Cit., hal. 79
[20] Dr. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999,
hal. 57
[21] Ahmad Hasan, Negara dan partai dalam Persepektif Islam, Al Husna, Surakarta,
1999, hal. 26-27
[22] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal. 93
[23] Ibid,
hal. 197
[24] J. Suyuti Pulung, Op.Cit., hal. 88
[25] H. Munawir Sjadzali, M.A., Loc. Cit.
[26] Drs. Abdul Aziz Thaba, M.A., Islam dan Negara Dalam Politik Orde Brau,
Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hl. 97.
[27] Ali Syari’ati, Muhammad SAW Khatim an-nabiyyin min al-Hijrh hatta al-Wfat, alih
bahasa Arif Muhammad, Rasulullah SAWsejah
Hijrah hingga Wafat : Tinjauan Kritis Sejarahnabi, Periode Madinah, Pustaka
Hidayah, bandung, 1996, hl. 38 - 39
[28] Dr. Abd. Aziz Thaba, Op.Cit., hal 99
[29] Ibid.,
hal. 98, lihat juga watt, Op.Cit.,
hal 94, dan Munawir, Op.Cit., hal. 10
[30] J. Suyuti Pulungan, Op.Cit., hal 117
[31] Ja’far shubani, The Massage, oleh Muhammad Hasyim dan Luth Kieraha, Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah
SAW, pt. Lentera Basritama, Jakarta, 1996, hal. 297
[32] Asqhar Ali Engineer, Islam and its relevance to Our ge, alih bahasa Hairus Salim HS, Islam dan Pembebasan. LkiS, Yogyakarta,
1993, hal. 19 - 20
[33] A.J. Wensich, Muhammad and the Jews of Medina, trans and ed. By Wolfgong Behu,
Kleus Schwarz, Freiburg In Breisgan, 1975, hal. 70
[34] H. Munawir Sadjali, M.A., Op.Cit., hal 15 - 16
[35] J. Suyuti Pulungan, Op.Cit., hal. 21
[36] Asqhar Ali Engineer, Op.Cit., hal. 17
[37] Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam,
Ulumul Qur’an, Nomor 2, Vol. IV, th. 1993, hal. 5-7
[38] Asqar Ali Engineer, Loc. Cit
[39] Din Syamsuddin, Op.Cit., hal. 7
[40] Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, Ulumul Qur’an, Nomor 2, Vol. VII, 1996,
hal. 51.
[41] Din Syamsuddin, Op.Cit., hal 8
[42] Muhammad Roem, Tidak ada negara Islam, Jurnal dialog Pemikiran Islam “Islamika”,
Mizan, Bandung, No. 1, Juli - September , 1993, hal. 70
0 comments :
Post a Comment