By. Ulin Nuha, M.Ag.
Wayne K. Hor dan Cecil G. Miskel dalam
bukunya Educational Administration Theory, Research and Practice,
menjelaskan ada empat elemen yang menentukan dalam membangun performance sebuah organisasi sekolah,
yaitu struktur, individu, budaya atau iklim dan power atau politik.
Semua itu berinteraksi dalam sebuah
proses belajar mengajar (PBM). Dan keempat elemen tersebut mengambil input dari environment (lingkungan). Bentuk sistem transformasi elemen dan
interaksi tersebut dibatasi oleh tuntutan-tuntutan lingkungan. Mekanisme timbal
balik internal dan eksternal memungkinkan sistem tersebut untuk mengevaluasi
kualitas seluruh sistem dan input.
Ketidaksesuaian antara aktualisasi dan harapan dapat ditemukan. Sehingga,
dengan timbal balik tersebut memungkinkan sistem tersebut untuk diatur.
Struktur atau Birokrasi
Struktur birokrasi adalah organisasi
formal spesifik yang dibangun untuk mencapai tujuan yang jelas dan membawa
tugas-tugas adminsitrasi. Dalam sebuah struktur birokrasi terdapat peraturan,
hirarkhi, dan pembagian kerja, yang sengaja didesain untuk mencapai tujuan.
Menurut Weber, idealnya dalam suatu
birokrasi pembuatan keputusan diambil secara rasional dan penuh efesiensi,
sedangkan keputusan yang rasional didasarkan pada fakta. Henry Mitzberg memberikan kerangka lain mengenai struktur
birokrasi. Ia mendeskripsikan secara sederhana sebagai cara-cara dalam
bagian-bagian organisasi yang bekerja dalam tugas-tugas dan adanya koordinasi,
kebersamaan, supervisi yang langsung, dan standarisasi.
Individu
Sebuah organisasi formal, individu
merupakan sebuah elemen kunci dari seluruh sistem sosial. Siswa, guru dan
administrator dalam sebuah organisasi sekolah mempunyai kebutuhan, tujuan dan
kepercayaan mengembangkan orientasi dan pemenuhan peran atau tugas mereka yang
mana semua itu membutuhkan motivasi yang baik.
Motivasi kerja adalah sekelompok
kekuatan yang asli yang ada dalam individu. Tujuan dan latar belakang individu
adalah unsur kunci motivasi personal. Kekuatan-kekuatan (tujuan) tersebut
adalah memprakarsai hubungan kerja tingkah laku dan menentukan bentuk,
kehebatan dan lamanya motivasi.
Demikian juga kepercayaan, merupakan
kekuatan motivasi yang penting Administrator, guru dan murid memungkinkan untuk
kerja keras dan sungguh-sungguh jika mereka percaya bahwa keberhasilan adalah
ditentukan oleh kecakapan/bakat atau kemampuan dan usaha mereka. Sebab
keberhasilan adalah dibawah kontrol mereka, usaha ekstra akan memperbaiki performance. Performance yang baik akan
di perhatikan dan di beri “hadiah”. Mereka akan disenangkan secara fair dengan
rasa hormat oleh pimpinan atau atasan mereka. Jadi motivasi tersebut datang
dari diri sendiri. Motivasi yang datang dari perhatian an tantangan aktivitas
diri sendiri tersebut disebut motivasi intrinsik. Oleh karena itu,
motivasi intrinsik adalah didasarkan pada reward
dan punishman. Dalam hal ini,
motivasi intrinsik adalah tipe yang lebih efektif. Meskipun perlu juga adanya
motivasi ekstrinsik (dari luar).
Menurut Wayne dan Cecil, individu
mempunyai peran penting dalam mencapai suatu tujuan. Motivasi, baik intrinsik
maupun ekstrinsik juga menjadi kekuatan penting dalam menumbuhkan semangat
seseorang untuk mencapai tujuan dan membangun performance.
Namun, menurut penulis ada hal lain yang
diperlukan dalam memotivasi individu dalam rangka membangun dan meningkatkan performance, khususnya yang berkaitan
dengan individudalam proses belajar mengajar.
Dalam realita, bahwa proses sekolah
dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu, sekolah
tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai
dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir
studi, semua itu merupakan tugas individual. Dalam persaingan untuk mencapai
prestasi diantara siswa ini, sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat
kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia
ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan.
Penekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan
hasil pendidikan.
Sejalan dengan perlunya dikembangkannya
solidaritas sosial di kalangan siswa, pendekatan individu dalam dunia
pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama.
Kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama
dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil
keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbasis
kelompok adalah Cooperative Learning,
yaitu kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di
antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama.
Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu
memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan
penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Dengan
demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa kurang pandai
demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya
bertanggung jawab atas keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas
keberhasilan dan kemajuan kelompoknya. Hasil yang diharapkan adalah generasi
baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki
kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.
Kultur dan Suasana atau Iklim Di Sekolah
Ciri dari suatu budaya adalah adanya
sistem yang efektif dan kerjasama yang kuat. Sehingga melahirkan kerukunan,
kepercayaan, kerjasama dan kesamaan serta kebersamaan. Dalam hal ini budaya
atau iklim di sekolah dapat mempengaruhi atau menghalangi fungsi efektif sebuah
sekolah.
Iklim atau suasana organisasi adalah
sebuah kualitas yang bersifat relatif di lingkungan sekolah yang dialami oleh
guru-guru yang mempengaruhi tingkah laku mereka dan didasarkan pada persepsi
tingkah laku kolektif di sekolah. Sebuah suasana atau iklim muncul karena
interaksi anggota dan pertukaran perasaan diantara mereka.
Iklim atau suasana di sekolah juga
bersifat personal. Ketika sekolah mempunyai iklim yang terbuka, kita
mendapatkan bahwa suasana yang asli tanpa rekayasa akan terasa. Tetapi ketika
iklim itu ditutup, setiap orang akan melakukan gerakan pendidikan tanpa
dedikasidan komitmen.
Sekolah sebagai suatu sistem terkait
dengan kultur atau iklim. Keduanya yang merupakan pandangan hidup yang diakui
bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku,
sikap, nilai tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga
dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk
melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang
persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan
diwariskan oleh generasi ke generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga
utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi
tersebut.
Namun, kultur yang dipaparkan oleh Wayne
dan Cecil tersebut, masih membutuhkan kejelasan. Sebab kultur dalam hal ini
meliputi dua hal, yaitu kultur yang mengenai suatu bangsa dan kultur sekolah.
Sebenarnya ada indikasi bahwa dalam karya ini, kultur yang dimaksud adalah
kultur sekolah. Dan apa yang Wayne dan cecil jelaskan dalam karya ini senada
dengan apa yang ditulis oleh Dr. Zamroni. Bahwa pengaruh-pengaruh kultur
sekolah atas prestasi siswa di Amerika telah dibuktikan lewat penelitian
empiris. Kultur yang “sehat” memiliki korelasi yang tinggi dengan prestasi dan
motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi kerja guru dan
produktifitas dan kepuasan kerja guru (Zamroni, 2000:145).
Mengenai kultur suatu bangsa sebenarnya
juga mempunyai pengaruh terhadap prestasi siswa, namun tidak sebesar kultur
sekolah. Berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap
prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti tetrakhir,
hasil TIMSS (The Third International Math
and Selence Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang dan Belgia sama-sama
menempati pada rengking atas untuk pelajaran Matemarika. Oleh karena itu, para
peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur
masyarakat secara umum, sebagai penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai
dengan temuan-temuan mutakhir “faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya
dalam wujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan
laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik, yakni
berupa kultur sekolah” (Farid Elashmawi and Philip R.Harris,1944 :1-20).
Selain itu, kaitannya dengan kultur
sekolah yang berkaitan dengan bagaimana sekolah tersebut menciptakan kultur
yang mampu memotivasi siswa dalam rangka mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya. Misalnya persoalan yang memerlukan perhatian untuk dikaji dan
dijadikan dasar pertimbangan baik bagi para pakar maupun para praktisi
pendidikan. Yaitu tentang pembelajaran yang bersifat kognitif yang melibatkan
otak siswa. Sebab berbagai kebiajan dan inovasi pendidikan dewasa ini, sadar
atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang memiliki IQ
relatif tinggi. Contohnya, sistem pengajaran yang bersifat klasikal tanpa
membedakan perbedaan individu yang menyebabkan anak yang berotakencer akan
semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan tetap
ketinggalan.
Demikian juga masalah sistem dan materi
yang hanya menekankan kecerdasan intelektual tanpa mempedulikan kecerdasan
emosional. Padahal sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan, sehingga
meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya,
sebagaimana yang ditulis oleh Goleman dalam bukunya “Emotinal Intelligence”.
Dimana EQ merupakan kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan
mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan
emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi
dengan baik.
Power dan Politik di Sekolah
Power atau kekuatan
menjadi sebuah pusat pengaruh dalam suatu sistem. Power adalah suatu bentuk yang besar meliputi dua hal, yaitu sah-tidak
sah dan formal-informal. Ada empat macam yang menjadi basis keberadaan
power dalam organisasi, dua bentuk kekuatan yang sah (legitimate) yaitu keahlian formal dan informal. Dan dua macam power atau kekuatan yang tdksah (illegitimate) yaitu paksaan dan kekuatan
politik.
Power atau kekuatan, dalam hal ini yang
dimaksud adalah pemimpin yang legitimate
akan menciptakan koordinasi dan pemenuhan kebutuhan secara kerelaan dan juga
membantu bagi pencapaian tujuan secara formal. Kekuatan yang legitimate datang dari norma dan
nilai-nilai budaya yang normal dan dari keahlian individu dalam suatu sistem.
Sebuah pemimpin yang dihasilkan dari
politik, memungkinkan pemimpin tersebut tidak didukung oleh keahlian dari
budaya formal, yang tidak pernah menghasilkan akibat yang positif. Namun, pada
sisi lain politik juga dapat membawa perubahan yang dapat mendorong terjadinya
perdebatan antarabermacam-macam bakat atau posisi dan dapat juga membantu dalam
pelaksanaan keputusan.
Politik adalah fakta kehidupan
organisasi yang timbul karena adanya koalisi individu-individu dan kelompok.
Strategi politik berdasarkan sebuah sistem permainan politik untuk membangun
basis kekuatan, untuk mengalahkan lawan dan untuk merubah organisasi.
Mengenai pemimpin dalam sebuah sekolah,
dalam konteks pendidikan agama kitamengenal adanya pesantren dan madrasah.
Kedua lembaga tersebut secara otomatis memerlukan pendekatan manajemen yang
berbeda. Misalnya, dalam pendidikan agama terdapat multi-paradigma atau dengan kata lain beban yang diemban pendidikan
Islam mencakup aspek ygsangat kompleks. Yaitu dimensi intelektual, kultural,
nilai-nilai transendental dan pembinaan kepribadian manusia itu secara otomatis
membutuhkan format pendekatan manajemen organisasi yang berbedan dengan
sekolah-sekolah “umum” misalnya pesantren. Dalam kepemimpinan pesantren
dipegang oleh kyai yang kekharismaannya tidak didasarnya pada kepemimpinan yang
legitimate secara formal, akan tetapi
mampu menghasilkan lulusan yang berkepribadian. Berbeda dengan kecenderungan
sekolah-sekolah “umum”, dengan adanya pengaruh perkembangan teknologi,
pendidikan telah mengalami degradasi
fungsional, karena pendidikan semakin berorientasi materialistik.
Keempat elemen yang diungkapkan oleh
tersebut Wayne K. Hor dan Cecil G. Miskel dalam bukunya Educational Administration
Theory, Research and Practice tersebut dapat dijadikan pertimbangan dan
membangun sebuah performance sebuah madrasah.
0 comments :
Post a Comment