Thursday, 24 January 2013

MEMBANGUN PERFORMANCE MADRASAH ATAU SEKOLAH



MEMBANGUN PERFORMANCE MADRASAH
By. Ulin Nuha, M.Ag.

Wayne K. Hor dan Cecil G. Miskel dalam bukunya Educational Administration Theory, Research and Practice, menjelaskan ada empat elemen yang menentukan dalam membangun performance sebuah organisasi sekolah, yaitu struktur, individu, budaya atau iklim dan power atau politik.
Semua itu berinteraksi dalam sebuah proses belajar mengajar (PBM). Dan keempat elemen tersebut mengambil input dari environment (lingkungan). Bentuk sistem transformasi elemen dan interaksi tersebut dibatasi oleh tuntutan-tuntutan lingkungan. Mekanisme timbal balik internal dan eksternal memungkinkan sistem tersebut untuk mengevaluasi kualitas seluruh sistem dan input. Ketidaksesuaian antara aktualisasi dan harapan dapat ditemukan. Sehingga, dengan timbal balik tersebut memungkinkan sistem tersebut untuk diatur.

Struktur atau Birokrasi
Struktur birokrasi adalah organisasi formal spesifik yang dibangun untuk mencapai tujuan yang jelas dan membawa tugas-tugas adminsitrasi. Dalam sebuah struktur birokrasi terdapat peraturan, hirarkhi, dan pembagian kerja, yang sengaja didesain untuk mencapai tujuan. Menurut Weber, idealnya dalam suatu birokrasi pembuatan keputusan diambil secara rasional dan penuh efesiensi, sedangkan keputusan yang rasional didasarkan pada fakta. Henry Mitzberg memberikan kerangka lain mengenai struktur birokrasi. Ia mendeskripsikan secara sederhana sebagai cara-cara dalam bagian-bagian organisasi yang bekerja dalam tugas-tugas dan adanya koordinasi, kebersamaan, supervisi yang langsung, dan standarisasi.

Individu
Sebuah organisasi formal, individu merupakan sebuah elemen kunci dari seluruh sistem sosial. Siswa, guru dan administrator dalam sebuah organisasi sekolah mempunyai kebutuhan, tujuan dan kepercayaan mengembangkan orientasi dan pemenuhan peran atau tugas mereka yang mana semua itu membutuhkan motivasi yang baik.
Motivasi kerja adalah sekelompok kekuatan yang asli yang ada dalam individu. Tujuan dan latar belakang individu adalah unsur kunci motivasi personal. Kekuatan-kekuatan (tujuan) tersebut adalah memprakarsai hubungan kerja tingkah laku dan menentukan bentuk, kehebatan dan lamanya motivasi.
Demikian juga kepercayaan, merupakan kekuatan motivasi yang penting Administrator, guru dan murid memungkinkan untuk kerja keras dan sungguh-sungguh jika mereka percaya bahwa keberhasilan adalah ditentukan oleh kecakapan/bakat atau kemampuan dan usaha mereka. Sebab keberhasilan adalah dibawah kontrol mereka, usaha ekstra akan memperbaiki performance. Performance yang baik akan di perhatikan dan di beri “hadiah”. Mereka akan disenangkan secara fair dengan rasa hormat oleh pimpinan atau atasan mereka. Jadi motivasi tersebut datang dari diri sendiri. Motivasi yang datang dari perhatian an tantangan aktivitas diri sendiri tersebut disebut motivasi intrinsik. Oleh karena itu, motivasi intrinsik adalah didasarkan pada reward dan punishman. Dalam hal ini, motivasi intrinsik adalah tipe yang lebih efektif. Meskipun perlu juga adanya motivasi ekstrinsik (dari luar).
Menurut Wayne dan Cecil, individu mempunyai peran penting dalam mencapai suatu tujuan. Motivasi, baik intrinsik maupun ekstrinsik juga menjadi kekuatan penting dalam menumbuhkan semangat seseorang untuk mencapai tujuan dan membangun performance.
Namun, menurut penulis ada hal lain yang diperlukan dalam memotivasi individu dalam rangka membangun dan meningkatkan performance, khususnya yang berkaitan dengan individudalam proses belajar mengajar.
Dalam realita, bahwa proses sekolah dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu, sekolah tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir studi, semua itu merupakan tugas individual. Dalam persaingan untuk mencapai prestasi diantara siswa ini, sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Penekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil pendidikan.
Sejalan dengan perlunya dikembangkannya solidaritas sosial di kalangan siswa, pendekatan individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama. Kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbasis kelompok adalah Cooperative Learning, yaitu kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama.
Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya. Hasil yang diharapkan adalah generasi baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.

Kultur dan Suasana atau Iklim Di Sekolah
Ciri dari suatu budaya adalah adanya sistem yang efektif dan kerjasama yang kuat. Sehingga melahirkan kerukunan, kepercayaan, kerjasama dan kesamaan serta kebersamaan. Dalam hal ini budaya atau iklim di sekolah dapat mempengaruhi atau menghalangi fungsi efektif sebuah sekolah.
Iklim atau suasana organisasi adalah sebuah kualitas yang bersifat relatif di lingkungan sekolah yang dialami oleh guru-guru yang mempengaruhi tingkah laku mereka dan didasarkan pada persepsi tingkah laku kolektif di sekolah. Sebuah suasana atau iklim muncul karena interaksi anggota dan pertukaran perasaan diantara mereka.
Iklim atau suasana di sekolah juga bersifat personal. Ketika sekolah mempunyai iklim yang terbuka, kita mendapatkan bahwa suasana yang asli tanpa rekayasa akan terasa. Tetapi ketika iklim itu ditutup, setiap orang akan melakukan gerakan pendidikan tanpa dedikasidan komitmen.
Sekolah sebagai suatu sistem terkait dengan kultur atau iklim. Keduanya yang merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh generasi ke generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.
Namun, kultur yang dipaparkan oleh Wayne dan Cecil tersebut, masih membutuhkan kejelasan. Sebab kultur dalam hal ini meliputi dua hal, yaitu kultur yang mengenai suatu bangsa dan kultur sekolah. Sebenarnya ada indikasi bahwa dalam karya ini, kultur yang dimaksud adalah kultur sekolah. Dan apa yang Wayne dan cecil jelaskan dalam karya ini senada dengan apa yang ditulis oleh Dr. Zamroni. Bahwa pengaruh-pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang “sehat” memiliki korelasi yang tinggi dengan prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi kerja guru dan produktifitas dan kepuasan kerja guru (Zamroni, 2000:145).
Mengenai kultur suatu bangsa sebenarnya juga mempunyai pengaruh terhadap prestasi siswa, namun tidak sebesar kultur sekolah. Berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti tetrakhir, hasil TIMSS (The Third International Math and Selence Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang dan Belgia sama-sama menempati pada rengking atas untuk pelajaran Matemarika. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir “faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya dalam wujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah” (Farid Elashmawi and Philip R.Harris,1944 :1-20).
Selain itu, kaitannya dengan kultur sekolah yang berkaitan dengan bagaimana sekolah tersebut menciptakan kultur yang mampu memotivasi siswa dalam rangka mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Misalnya persoalan yang memerlukan perhatian untuk dikaji dan dijadikan dasar pertimbangan baik bagi para pakar maupun para praktisi pendidikan. Yaitu tentang pembelajaran yang bersifat kognitif yang melibatkan otak siswa. Sebab berbagai kebiajan dan inovasi pendidikan dewasa ini, sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang memiliki IQ relatif tinggi. Contohnya, sistem pengajaran yang bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu yang menyebabkan anak yang berotakencer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan tetap ketinggalan.
Demikian juga masalah sistem dan materi yang hanya menekankan kecerdasan intelektual tanpa mempedulikan kecerdasan emosional. Padahal sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan, sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya, sebagaimana yang ditulis oleh Goleman dalam bukunya “Emotinal Intelligence”. Dimana EQ merupakan kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik.

Power dan Politik di Sekolah
Power atau kekuatan menjadi sebuah pusat pengaruh dalam suatu sistem. Power adalah suatu bentuk yang besar meliputi dua hal, yaitu sah-tidak sah dan formal-informal. Ada empat macam yang menjadi basis keberadaan power dalam organisasi, dua bentuk kekuatan yang sah (legitimate) yaitu keahlian formal dan informal. Dan dua macam power atau kekuatan yang tdksah (illegitimate) yaitu paksaan dan kekuatan politik.
Power atau kekuatan, dalam hal ini yang dimaksud adalah pemimpin yang legitimate akan menciptakan koordinasi dan pemenuhan kebutuhan secara kerelaan dan juga membantu bagi pencapaian tujuan secara formal. Kekuatan yang legitimate datang dari norma dan nilai-nilai budaya yang normal dan dari keahlian individu dalam suatu sistem.
Sebuah pemimpin yang dihasilkan dari politik, memungkinkan pemimpin tersebut tidak didukung oleh keahlian dari budaya formal, yang tidak pernah menghasilkan akibat yang positif. Namun, pada sisi lain politik juga dapat membawa perubahan yang dapat mendorong terjadinya perdebatan antarabermacam-macam bakat atau posisi dan dapat juga membantu dalam pelaksanaan keputusan.
Politik adalah fakta kehidupan organisasi yang timbul karena adanya koalisi individu-individu dan kelompok. Strategi politik berdasarkan sebuah sistem permainan politik untuk membangun basis kekuatan, untuk mengalahkan lawan dan untuk merubah organisasi.
Mengenai pemimpin dalam sebuah sekolah, dalam konteks pendidikan agama kitamengenal adanya pesantren dan madrasah. Kedua lembaga tersebut secara otomatis memerlukan pendekatan manajemen yang berbeda. Misalnya, dalam pendidikan agama terdapat multi-paradigma atau dengan kata lain beban yang diemban pendidikan Islam mencakup aspek ygsangat kompleks. Yaitu dimensi intelektual, kultural, nilai-nilai transendental dan pembinaan kepribadian manusia itu secara otomatis membutuhkan format pendekatan manajemen organisasi yang berbedan dengan sekolah-sekolah “umum” misalnya pesantren. Dalam kepemimpinan pesantren dipegang oleh kyai yang kekharismaannya tidak didasarnya pada kepemimpinan yang legitimate secara formal, akan tetapi mampu menghasilkan lulusan yang berkepribadian. Berbeda dengan kecenderungan sekolah-sekolah “umum”, dengan adanya pengaruh perkembangan teknologi, pendidikan telah mengalami degradasi fungsional, karena pendidikan semakin berorientasi  materialistik.
Keempat elemen yang diungkapkan oleh tersebut Wayne K. Hor dan Cecil G. Miskel dalam bukunya Educational Administration Theory, Research and Practice tersebut dapat dijadikan pertimbangan dan membangun sebuah performance sebuah madrasah.  

Wallahu A’lam.



0 comments :

Post a Comment