Tuesday, 12 February 2013

TRADISI RITUAL BUKA LUWUR



TRADISI RITUAL BUKA LUWUR
(Sebuah Media nilai-nilai Islam dan Sosial Masyarakat Kudus)

Oleh : Ulin Nuha, M.Ag

Abstract :
The Aim of this research is to study Buka Luwur ritual as a media of religious value and culture, and to know its functions and factors that  make it a tradition. In this research the writer use sociological approach, interview in gathering data and  interpretative analysis. From this research we can find fourth aspects. Firstly, this tradition has good model values, therefore it is necessary to be continued and bequeathed from generation to generation. Secondly, the understanding of muslim society on the holy Quran relates to the content of local tradition and also the non muslim influence. Thirdly, Buka Luwur tradition in Kudus is religious ceremony used to celebrate Khaul as well as ziarah for Sunan Kudus. Fourthly, the united in society runs well if their existences are tied up and supported by living culture. Buka Luwur tradition in Kudus has a big function to unite many group in society, to be social glue, to strenghten the faith to the invisible things and to keep the balance and the harmony from periode to periode.

A.    Pendahuluan
Islam dan budaya adalah dua entitas yang berbeda. Namun keduanya dapat saling mempengaruhi. Islam sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pola budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Akan tetapi aspek sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis.
Dalam konteks budaya, Indonesia mengalami apa yang dinamakan dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer[1]. Islam dan budaya keraton terdapat tarik menarik dalam interaksinya. Misalnya, dalam hubungannya dengan konsep tentang kekuasaan, terdapat perbedaan besar antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan konsep raja absolut, Islam justru menekankan konsep mengenai raja yang adil. Begitu juga dalam sejarah disebutkan pula bahwa Demak ternyata lebih memilih syariat untuk menjaga kewibawaan keraton dan pengaruh sufisme yang melecehkan kekuasaan kerajaan[2]. Dari sini dapat dipahami bahwa penerimaan yang dilakukan oleh keraton Jawa terhadap pengaruh Islam cenderung bersifat defensif, yaitu menerima pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh-pengaruh tersebut dapat diadopsi untuk status quo kekuasaan Jawa.
Sedangkan dalam budaya populer, ketika berhadapan dengan Islam terkadang juga berwarna mitos, seperti cerita mengenai Walisongo (sembila wali). Tetapi dalam perkembangan berikutnya kebudayaan populer banyak sekali menyerap konsep-konsepa dan simbol-simbol Islam sehingga sering kali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang terpenting. Pengaruh Islam juga sangat terasa dalam upacara-upacara sosial budaya populer. Misalnya di Sumatra ada upacara Tabut untuk memperingati maulud nabi (kelahiran nabi), begitu juga di Jawa dengan Sekaten, kemudian ada Grebeg di Demak dan Buka Luwur di Kudus.
Buka Luwur merupakan salah satu wujud dari hubungan Islam dengan tradisi setempat. Masyarakat Kudus mempunyai banyak sekali upacara tradisional yang khas. Misalnya, Dhandhangan, Bulusan, Tradisi Hutan Masin dan Buka Luwur. Buka Luwur di Kudus terdapat di dua tempat yaitu di Muria dan di Masjid Menara. Buka Luwur di Muria dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Muria sedangkan Buka Luwur di Masjid Menara dalam rangka peringatan wafatnya Sunan Kudus. Namun, supaya tidak terlalu luas dalam pembahasan paper ini hanya akan dibahas mengenai tradisi Buka Luwur. Hal ini, disebabkan karena dalam tradisi Buka Luwur mempunyai perbedaan dengan tradisi yang lain khususnya di Kudus. Diantaranya adalah terdapat rentetan acara yang panjang dan mempunyai fungsi nyata dalam kehidupan sosial. Di samping itu juga terdapat simbol-simbol yang masih erat hubungannya dengan nilai-nilai tradisi setempat yang berlaku. Ada prosesi penyucian pusaka yang diyakini milik Sunan Kudus yang diangap akan mendatangkan berkah.
Fenomena keagamaan seperti ini adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan berasal dari sesuatu yang ghaib.[3] Di samping itu juga terdapat ziarah dan penggantian kain penutup makam Sunan Kudus, yang kesemuanya itu dikemas dalam sebuah ceremony yang menarik. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana upacara Buka Luwur di Kudus yang dikenal dengan kota kretek karena memang terdapat industri rokok. Dalam penulisan paper ini akan dibahas mengenai bagaimana Buka Luwur dapat menjadi media nilai-nilai Islam dan budaya bagi masyarakat, dan bagaimana fungsi dan faktor-faktor sosial Buka Luwur dapat ditafsirkan.

B.     Kudus : Dalam Perspektif Sosial, Budaya dan Demografi
Kota Kudus lahir pada abad XVI yakni seputar masa Sunan Kudus yang hidup pada pertengahan abad enam belas. Piegaud dalam bukunya yang berjudul Chienese Muslim in Java sebagaimana di kutip oleh Dr. H. Abdul Jamil, M.A. menyatakan bahwa : “He had it engraved on a stone plate placed in the mihravb of mosque bearing the data A.H 956 (A.D.1544)[4]. Namun demikian ada juga indikasi bahwa berdasarkan penelitian terhadap panel relief pada tangga masuk serambi Langgardalem mengandung Sengkalan Memet, Trisula Piamlet Naga (trisula dililit naga) yang menunjukkan anagka tahun 863 H. Bertepatan dengan 1458 H.
Prasasti di atas  Mihrab Menara yang berbahasa Arab yang apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia adalah : Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, telah mendirikan Al Masjid Al-Aqsa ini dan negeri Kudus Khalifah pada zaman ulama dari keturunan Muhammad untuk memberi kemuliaan sorga yang kekal. Untuk mendekati Allah di negeri Kudus, membina masjid al Manar yang dinamakan al Aqsha Khalifatullah di bumi in dengan pemeliahaan al Qadli Ja’far Shadiq pada tahun 956 H. Bertepatan dengan 1959 M[5].
Instrumen inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar penetepan hari jadi kota Kudus yang kemudian dijadikan sebagai peraturan daerah nomor 11 tahun 1990 tanggal 6 Juli 1990, yang menetapkan tanggal 1 Ramadhan 956 H atau bertepatan dengan tanggal 23 September 1549 M. Sebagai hari jadi kota Kudus.
Secara geografis, kabupaten Kudus sebagai salah satu di kabupaten di Jawa Tengah, letaknya berbatasan dengan empat Kabupaten yaitu  Jepara, Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak. Luas Kabupaten  Kudus sebesar 42.575,654 hektra, secara administrataif terbagai menjadi 9 keacamatan dan 124 desa serta 7 kelurahan[6]. Kabupaten Kudus merupakan kota Industri dan Perdagangan yang memiliki banyak potensi dalam menunjang laju pertumbuhan ekonomi yang penyebarannya secara merata telah sampai ke plosok-plosok desa, sehingga mampu menumbuhkan produktifitas, distribusi dan konsumsi barang dan jasa untuk meningkatkan taraf  hidup masyarakat baik secara individu maupun kelompok[7].
Budaya wirausaha tercermin dari perbandingan antara jumlah penduduk yang bekerja di berbagai lapangan usaha, yaitu sebanyak 381.176 orang denagan dominasi pada sektor industri, perdagangan dan pertanian, dengan jumlah seluruh penduduk sebanyak 714.444 orang atau sebesar 35.35 %. Selain itu aktifitaas wirausaha tersebut juga telihat dari banyaknya kegiatan industri keacil dan kerajinan tumah tangga yang menacakup 12.831 unit usaha dengan tenaga kerja sebanyak 41.994 orang. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan kabupaten Kudus sebanyak 8.163 orang[8]. Adapun mengenai industri spesifik yang telah menjadi trade mark daerah Kudus antara lain :
1.      Industri rokok Djarum, Sukun, Nojorono, Jambu Bol, dan lain-lain.
2.      Industri percetakan dan kertas PT. Pura Baratama.
3.      Industri elektronik PT. Hartono Istana Elektronik.
4.      Kerajinan Bordir, konveksi dan perajutan.
5.      Industri jenang
6.      Industri kerajinan ukir kudusan dan rotan.
7.      Industri kerajinan logam dan sangkar burung.
8.      Industri pertanian : Dukuh Sumber, Mangga Menara, Kopi Dawe, Gula Tumbu, Kapuk randu dan Sapi Potong[9].
Secara historis, kota Kudus sejak masa inisiasinya memang telah mengindikasikan diri sebagai kantong santri tulen dengan Sunan Kudus sebagai figur sentralnya ditopang oleh komunitas lain yang terpencar-pencar mulai dari Langgaedalem, Jipang, Hadiwarno dan Loram yang kini masih menyimpan prasasti sejarah lama Kudus. Namun kantong santri sekarang hanya tinggal di kawasan menara secara kultural membentuk komunitas “wong ngisor menoro” yang memiliki sensitifitas tinggi dalam soal syariat Islam[10].
Dalam sejarah, sunan Kudus yang dianggap sebagai figur sentral masyarakat Kudus terutama “wong ngisor menoro” telah  bersusah payah membina kota Kudus dengan warna yang sangat toleran dengan pemeluk lain (antar agama) disamping juga sangat religius[11]. Warisan sejarah Sunan Kudus yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya masjid yang membentuk menara yang menyerupai candi Hindu atau kulkus Bali yang menunjukkan adanya toleransi sunan Kudus dengan orang lain. Berkaitan dengan hal ini pula, penulis Belanda G.F Pijper sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Jamil, M.A., mengatakan :
“......The Menara of Kudus does nt seem to me be a minaret, but rather a Hindu structure corresponding instyle and a purpose to the present, and indeed for less bautifull, gapura of east Java, wich in its turn in again related to the kulkul tower of Bali”[12].
Disisi lain secara ekonomis, santri Kudus mampu membantah asumsi umum dan streotyping yang mengatakan bahwa kerja keras tidak dimiliki kaum santri, dan bahwa kaum santri yang selama ini memperoleh stigma tradisionalis[13] hanya ewarisi kerja rendahan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud :
“Kudus muslim myth and ethics are mostly inherited by their ideal leader Sunan Kudus. Santri dan Dagang are al most identical in this community. This could be interpreted from their ‘Ulama doctrine in wich most of Kudus muslim recall : “Seek for our living as though you would live forever, and antaim your heaven as thaoug you wold die tomorrow”. Shortly, to work hard and to worship at the some time is out of question. This habit which could be attributed to their ideology has been historically and culturally institutionalized[14].
Artinya :
(Mitos muslim Kudus dan etikanya sangat diwarisi oleh pimpinan Kudus yang idela yaitu Sunan Kudus. Santri dan dagang agaknya hampir serupa dalam komunitas ini. Hal ini bisa diterjemahkan dari ajaran-ajaran ulamanya dimana hampir setiap muslim Kudus hapal diluar kepala : “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau hidup selamanya, dan berusahalah untuk akhiratmu seolah olah engkau akan meninggal esok hari”. Pendeknya, untuk bekerja keras dan beribadah tidak perlu diragukan lagi di sini. Kebiasaan yang sudah merupakan bagian dari ideologi mereka ini telah lama menyejarah dan terlembaga secara kultural).
Mengenai pemahaman agama yang merupakan fakator yang sangat penting alam menetukan cara beragama seseorang. Dimana penampilan beragama, pelaksanaan ritual dan ibadah, sosialisasi dan inkulturasi agama,  kepemimpinan agama dan pengetahuan agama sangat dipengaruhi bagaimana seseorang memberikan makna dalam dirinya.
Dari segi entitas budaya, Kudus yang semula santri tulen, dengan hadirnya pemerintahan kolonial yang mendirikan pabrik gula, lalu terbelah menjadi dua entitas budaya, yaitu Kudus kulon yang santri yang berada di sekitar menara dan Kudus Wetan yang mewarisi tradisi priayi yang cenderung abangan, khusunya di sekitar pabrik gula. Sehingga terdapat perbeadaan  pemahaman agama antara Kudus Kulon dan Kudus Wetan.
Kudus Kulon, yang berada di sekitar menara (yang menjadi kajian dalam paper ini yaitu Buka Luwur), mempunyai tradisi kuat dalam beragama Islam. Melimpahnya jumlah sholat rawatib dan peringatan hari-hari besar Islam masih diperingati oleh banyak kelompok. Misalnya, khaul, yasinan, pengajian di masjid-masjid dan lain-lain merupakan indikator dari kuatnya tradiasi islam di Kudus, khusunya Kudus Kulon[15]. Demikianlah kesan santri tulen di Kudus Kulon yang masih terasa. Bahkan antara tradisi dan ajaran agama sulit dibedakan. Demikian juga anatara ritual dan ibadah. Meninggalkan tradisi sering dianggap meninggalkan ajaran agama. Demikianlah juga kalau seseorang meninggalkan ritual sering dianggap meninggalkan ibadah.
Ajaran bagi masyarakat Kudusa adalah instituasi ibadah dan benteng bagi moralitas manusia. Bisa mereka bayangkan apa yang akan terjadi kalau agama telah hilang di masyarakat. Agama merupakan antara Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatur hidup di dunia ini. Oleh karena itu manusia tidak boleh meninggalkannya. Manusia harus percaya kepada Tuhan yang Maha Esa dan berkomunikasi denaganya. Betapapun modern ya sebuah kehidupan, manusia tidak boleh melepaskan agama.

C.    Prosesi Buka Luwur      
Penyelenggaraan upacara peringatan terhadap orang-orang yang sudah meninggal menjadi tradisi yang sangat kuat, terutama orang yang asuadah meninggal tersebut adalah seorang tokoh terkenal dalam bidang agama dan kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah upacara yang dianggap sakral oleh masyarakat Kudus, yaitu upacara tradisional Buka Luwur.         
Buka luwur merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur diadakan tanggala 10 Syuro atau 10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut dianggap keramat. Akan tetapi menurut seorang sesepuh Kudus yang menjadi ulama yang disegani oleh masyarakat Kudu, yaitu KH. Ma’ruf Asnawi yang telah berusiaa kurang lebih 90 tahun mengatakan bahwa upacara Buka Luwur itu sebenarnya adalah dalama rangka Khaul Mbah Sunan Kudus, yang memang tanggal 10 Muharram atau 10 Syura adalah tanggal wafat beliau[16].
Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur diawali dengan penyuCian pusaka yang berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum sebelum bulan Syura). Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya, karena enghrap “berkah” dari sunan Kudus. Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih dan makam yang sudah tahun digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena untuk mendapatkan “berkah”. Menurut K.H. Ma’ruf Asnawi, pernah pada waktu dulu kelambu atau kain putih penutup makam tidak diganti, kemudian timbul kebakaran pada kelambu tersebut.
Pada malam tanggal 9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang merupakan ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah Shalat Subuh diadakan khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir). Sementara khataman berlangsung dibuatlah “bubur suro” yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam rempah-rempah. Hal ini dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit. Di samping pembuatan “bubur suro” pada saat khataman Al Quran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi panitia dalam acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80 hingga 100 kambing. Kemudian pada malam harinya, yaitu malam tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai perjuangan dan kepribadian Sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.
Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah Shalat Subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu. Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah dimasak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit, walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa disebut dengan “sego mbah sunan” (nasinya sunan kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasia tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.

D.    Buka Luwur Sebagai Upacara Keagamaan
Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur instaitusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim menyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan masalah ekonomi yang berkaitan dengan kerja produksi dan pertukaran. Dan juga berbeda dengan lembaga keluarga yang mengatur serta memolakan hubungan antara jenis kelamin, antar generasi yang diantaranya berkaitan dengan pertalianketurunan serta kekerabatan.
Masalah inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, yang realitas empirisnya sama sekali belum jelas. Ia menyangkut dunia luar (the byond), hubungan manusia dengan sikap terhadap dunia luar itu, dan dengan apa yang dianggap manusia sebagai implikasi praktisa daru dunia luar tersebut terhadap kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa agama berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan manusia kepada yang ghaib[17].
Semua keyakinan agama yang diketahui, baik sederhana maupun kompleks mempunyai satu ciri yang sama, semuanya berisikan suatu sistem penggolongan mengenai segala seasuatu yang baik nyata maupun yang ideal mengenai apa yang dipikirkan manusia kedalam dua golongan yang saling bertentanganm, yang umumnya ditandai dengan dua isatilah yang berbeda yang diterjemahkan menjadi fana dan ghaib. E, Durkhein memahaminya dengan sebutan profana dan sacred[18]. Yang sacred berisikan unsur distinktif pemikiran agama : kepercayaan, mite, dogma dan legenda yang menjadi representasi atau sistem representasi hakikat hal-hal yang sacred, kebaikan-kebaikan diletakan padanya. Semata-mata memiliki konsep yang sacred saja orang tidak dengan sendirinya memahami suatu zat yang disebut dengan tuhan atau roh. Tetapi memebutuhkan yang protan, misalnya sebongkah batu, sebatang pohon atau sebuah buku dan lain-lain dapata disebut sacred.
Agam merupakan hubungan antara manusia dengan transeden. Oleh karena itu dalam ungkapan-ungkapan agama meurpakan upaya ke arah realisasi hubungan itu. Bentuk  hubungan itu bisa berupa mitos, atau ritual yang secara khusus tampak dalam insiasi penerimaan dan pendeawasaan anggota kemudian diutarakan indikator atau perantara suci yang mempunyai peran penting  dalam hubungan itu. Dengan demikian dongeng, adat istiada atau tradiasi[19] tertentu dianggap sebagai sarana pandangan dunia yang sah pada saat dilahirkan di masayarakatnya.
Tidak terkecuali tradisi Buka Luwur yang merupakan upacara Keagamaan dalam rangka mendoakan, menghormati dan meancari keberkahan dari seseorang yang dikenal dan diyakini sebagai wali dan sangat dengan Tuhan serta memiliki kesaktian dan kebaikan-kebaikan lain yang ada dan melekat poda dirinya yaitu Sunan Kudus. Bagi mayoritas umat beragama, keterkaitan dengan bentuk hubungan yang diartikulasikan dengan simbol keramat merupakan mekanisme utama yang memungkinkan mereka tidak saja menghadapi suatu pangdangan hidup bahkan menerima dan menghayati sebagai bagian dari kepribadian mereka.

E.     Pengaruh Buka Luwur Terhadap Masyarakat
Berbicaralah masalah upacara tradisional Buka Luwur tentu tidak terlepas dari konteks kebudayaan. Keterkaitan antara kebudayaan dan masyarakat tampak jelas. Secara esensial kebudayaan mengatur kehidupan manusia agar mengerti dan mampu memahami bagaimana ia harus bertindak, berbuat dan menentukan sikap dalam hubungan dengan orang lain. Masyarakat dan kebudayaan senantiasa berkembang dan mengalami perubahan seiring dengan peradaban manusia.
Dalam mengatur hubungan antara manusia, kebudayaan dinamakan pula struktaur normatif atau menurut istilah Ralp Linton sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto disebut design for living (garis-garis atau penunjuk dalam hirup)[20]. Artinya kebudayaan adalah garis-garis pokok tentang perilaku atau blueprint dor behaviour yang mennetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan apa yang dilarang dan lain-lain.
Konsep dan definisi kebudayaan mengisyaratkan bahwa kebudayaan akan terus berubah seiring dengan perubahan tempat dan waktu. Dalam pembentukan kebudayaan, perbuatan atau kerja merupakan realisasi dari akal. Alat bekerja untuk memahami kebenaran secara utuh melalui pikiran yang memikirkan alam manusia dan sejarah, sedangkan kalbu memahami firman Tuhan dan sunnah Allah dalam pengertian kebudayaan adalah proses mewujudkan konsep-konsep, serta rencana-rencana dalam kenyataan. Sedangkan kelangsungan dan perubahan rkspresi budaya dalam kebudayaan Islam tetap mengarah pada tauhid.
Buka Luwur merupakan sebuah ekspresi dari kepercayaan melalui akal yang mencoba memahami realita kebenaran mengenai manusia dan sejarah serta kalbu yang digunakan untuk memahami pesan firman-firman Tuhan melalui perasaan. Hal ini menghasilkan rentetan ceremony atau upacara yang berlangsung secara kronologis dan berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang menjadi ekpresi perasaan masyarakat dalan dinamika tindakannya. Untuk itu tradisi Buka Luwur Kudus perlu dilestarikan karena di dalamnya terkandung makna dan simbol nilai-nilai luhur dan nilai edukatif yang tinggi yang dapat mempengaruhi masyarakat pendukungnya dan berinteraksi secara positif dan efektif sehingga mampu membina budi pekerti luhur dan mengekang perbuatan negatif.

F.     Refleksi dan Pemaknaan Ritual Buka Luwur
1.      Makna Sakral
Sesuatu yang sakral lebih mudah dikenal daripada didefinisikan. Makhluk-makluk dan wujud-wujud sakral yang gahib antara lain misalnya, dewa-dewa, roh-roh, malaikat-malaikat, setan-setan dan hantu-hantu yang disembah karena menakjubkan atau suci jadi sakral itu dapat diaratikan sebagai sesuatu yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Artinya yang sakral itu tidak dipahami dengan akal sehat yang bersifat empirik untuk memnuhi kebutuhan praktias.
Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran terhadap yang sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu. Beda-benda sakral tidak boleh disentuh, dimakan akan didekati, kecuali pada saat tertentu oleh orang-orang khusus yang diberi otoritas. Sebagai contoh penggantaian Luwur (kain putih penutup makam), apabila tidak diganti akan terjadi suatu yang tidka diinginkan bersama, misalnya waktu buka luwur tidak diganti pernah terjadi kebakaran di makam Sunan Kudus. Maka untuk menghindari hal-hal tersebut maka harus diadakan penggantian Luwur[21].
2.      Religius Magis
Magis adalah suatu fenomena yang sangat dikenal dan umumnya dipahami, namun nampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis dapat dikatakan bahwa magis adalah kepercayaan dan praktik untuk memperoleh kekuatan alam dan antar mereka sendiri dalam memanupulasi daya-daya yang lebih tinggi.
Meskipun perbedaan magis dan agama harus diterima, kita dapaat menetukan suatu pemisahan antara keduanya karena memang ada kasus terjadinya peristiwa dimana magis merupakan isi dari fenomena religius. Unsur magis merupakan isi dari fenomena religius. Unsur  magis tidak semata-mata manipulatif, unsur religiuspun tidak semata-mata lepas dari manupulatif.
Mengenai magis dan agama, P. Worsley mengatakan : “Para ahli antropologi mempunyai alasan yang benar ketika menolak perbedaan lama antara “magik” dan “agama” dimana magik dianggap sebagai kontrol melalui supranatural, sedangkan agama adalah do,aim kekuatan di luar manusia di luar pencapaian manusia. Perbedaan ini dengan mudah dapat dihilangkan : tindak magik perlu mengimplikasikan teori tertentu mengenai Tuhan, roh-roh yang jauh – yang biasanya antropormofik : kehidupan dalam alam atau fase keberadaan yang lain”[22].
Secara sosiologis magis maupun agama dapat dikatakan mempunyai  dua tujuan, yaitu instrumental dan ekspresif. Dengan instrumen dimaksudkan bahwa orang menggunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan khusus. Dengan ekspresif dimaksudkan bahwa mereka menggunakannya untuk menyatakan dan menyeimbangkan hubungan-hubungan sosial dan kosmologis tertentu. Kepercayaan dan praktek magis mempunyai arti, terutama karena berrungsi sebagai sarana utama namun peran ekspresifnya kecil, sebaliknya makna religius hampir seluruhnya bersifat ekspresif dan simbolis.
Berdasarkan uraian tersebut, religius magis nampak dengan jelas pada nasi dan daging yang dibagikan pada saat pemasangan Luwur yaitu tanggal 10 Muharra pada waktu pagi. Dan wajar kalau masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mendapatkan nasi terasebut meskipun hanya sedikit, karena untuk mendapatkan berkah. Kemudian adanya ziarah dengan membaca tahlil yang dilakukan oleh khusus para kiyai, merupakan perwujudan dari religius magis.
3.      Nilai Normal
Peringatan Buka Luwur yang dilaksanakan dalam rangka memperingati wafatnya sunan Kudus mempunyai nilai yang cukup tinggia nilai-nilai dari perjuangan para wali khususnya Sunan Kudus menjadi teladan dalam hidup bermasyarakat.
Secara hostoris, dalam menyebarkan agama Islam para Walisongo menggunakan berbagai macam cara yang disesuaikan dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Akhirnya agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi. Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama baru. Mereka sadar, apabila menginginkan Islam diterima oleh suatu komunitas tertentu haruslah bersifat akomodatif terhadap budaya lokal setempat tanpa harus kehilangan esensi keislamannya. Cara inilah yang nampaknya dilakukan oleh sunan Kudus. Hal ini dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam kehidupan masyarakat, dengan bentuk masjidnya yang menyerupai kulkul di Bali yang mencerminkan toleransinya terhadap pemeluk agama Hindu.
Di samping itu, pesan-pesan yang terkandung dalam upacara Buka Luwur dan Ziarah di makam Sunan Kudus, yaitu supaya orang-orang dapat mengikuti keteladanan sunan kudus, juga meningkatkan agar orang-orang membiasakan diri untuk bersedekah.

G.    Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya di masa lampau dan saat ini telah diresepi unsur-unsur ajaran Islam sebelum mereka berkesempatan untuk mengerti dan memahami secara sadar akan ajaran-ajaran Islam. Berkaitan dengan hal ini, J.W.B. Bakker dalam pengkajiannya yang berjudul “Agama Ali Jawa” sebagaimana dikutip oleh Simuh menyimpulkan walaupun bagian besar orang Indonesia mengaku beragama Islam, namun sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, dijiwai dalam hatinya oleh agama asli Indonesia yang kaya raya isinya, yang dipelihara dengan khusuk, yang tidak mau “dirombak” oleh agama asing[23].
Hal ini terlihat dalam upacara ritual keagamaan Buka Luwur yang terjadi di Kudus telah diresapi unsur ajaran Islam. Kehidupan bersama yang membentuk masyarakat dapat berjalan baik eksistensinya apabila kehidupan itu diikat dan disangga oleh tradisi yang hidup dan dipatuhi yaitu, seluruh kepercayaaan, anggapan dan tingkah laku yang terlembangakan, diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Hubungan yang erta antara ajaran Islam dengan masyarakat Jawa umumnya selain berkaitan juga terjadi perpaduan nilai menjadi tradisi sehingga dalam banyak hal sulit memisahkan antara unsur Islam dengan Jawa asli. Pola hubungan simbolik antara teks suci dan situasi historis umat Islam sangat penting artinya dalam memahami Islam. Sehingga masuknya unsur tradisi lokal dan budaya dari luar Islam tidak dapat dihindari. Cara pemahaman terhadap kitab suci tidak dapat dipisahkan dari muatan tradisi lokal serta pengaruh luas Islam yang ada dalam diri masyarakat Muslim.
Berbagai ungkapan simbolis dalam Buka Luwur sebenarnya banyak mengandung nilai-nilai sosial budaya yang sudah terbukti sangat berfungsi untuk menjaga keseimbangan keselamatan kehidupan dari  masa ke masa.

END NOTE

[1] Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1999, hal. 228.
[2] Mengenai konflik antara Syeh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Syeh Siti Jenar dikenal sebagai seorang wali yang mempunyai kecenderungan mistik yang sangat kuat. Jalan tarekat yang ditempuh sering menimbulkan ketegangan dengan ketentuan-ketentuan syariat yang baku. Seringkali paham mistiknya yang kuat itu menimbulkan ia diremehkan hukum-hukum yang sedang dihadapi oleh kerajaan. Oleh karena itulah penguasa Islam Jawa di Demak kemudian berusaha keras untuk meniadakan pengaruh mistik, sufi, dan tarekat demi ketertiban kekuasaan. (Lihat, Dr. Kuntowijoyo, hal. 232).
[3] Matulada, Studi Islam Kontemporer, Sintesa Pendekatan Sosiologi dan Antropologi Dalam Menghadapi Fenomena Keagamaan, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar, Yogyakarta Tiara Wacana, 1989, hal 2-3.
[4] Dr. H. Abdul Jamil, M.A., Potensi Terabaikan di tengah Persaingan Makro : Pengamatan Wong Kuddus di Peranatauan, Makalah, disampaikan dalam acara Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002, hal 2.
[5] Ibid., hal.2
[6] Muhammad Amin Munadjat, S. Ip, M.Si., Mencermati Potensi dan Kondisi Daerah Untuk membangun Kabupaten Kudus di Masa Mendatang, Pemerintah daerah (Pemda), Makalah Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus tanggal 11 Agustus 2002, hal.. 1.
[7] Letkol. Cam (K) Murdjinem, BA., Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kudus, Mengukur Kesiapan Kudus Menghadapi Era Globalisasi Pengembangan Potensi, makalah dalam Sarasehan Keluarga mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002, hal.1.
[8] Muhammad Amin Munadjat, S.Ip.,M.Si., Op. Cit.,hal 4.
[9] Ibid., hal.5.
[10] Ketika penguasa Kudus diisi oleh orang yang berbau priayi (bukan santri) maka gap wong menoro dengan pemerintah menjadi semakin menganga dan pada gilirannya mencapai antiklimaks ketika seorang pejabat yang sedang berpidato terpaksa harus disarankan turun podium karena tidak dapat menyesuaikan dengan kultur santri.
[11] Namun sikap toleran yang diantarkan oleh sunan Kudus tersebut tidak bisa berlanjut sampai sekarang. Hal juga seperti disampaikan oleh Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A., “bahwa salah satu budaya Kudus yang kurang kondusif adalah kecenderungan ketertutupan komunikasi, exlusivisness, dimana ada perasaan bahwa dirinya yang paling benar dan kuat dan “memandang rendah” pihak lain, atau paling tidak budaya mendengar orang lain belum berjalan semestinya”. (Lihat, Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Kudus Dalam Menghadapi Era Globalisasi, makalah dalam Sarasehan Keluaraga Mahasiswa Kudus di Semarang, di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002, hal. 3.Lihat juga, Dr.H.Abdul Jamil, M.A.,op.Cit.,hal.4)
[12] Dr.H.Abdul Jamil,M.A.,Op.Cit.,hal.4.
[13] Berkaitan dengan stigma ini, bahkan ada yang menyimpulkan bahwa para kiyai telah menjadi penghambat bagi lajunya proses modernisasi. Menurut Zamakhsyari Dhofier stigma itu muncul disebabkan dua hal, pertama, mereka mengira bahwa nilai-nilai spiritual yang dipegang dan dianjurkan oleh para kyai tidak lagi relevan dengan kehidupan modern. Kedua, mereka mengira bahwa para kyai tidak mampu menerjemahkan nilai-nilai spiritual tradisional bagi pemuasan kebutuhan kehidupan modern. Padahal dalam kenyataannya di tengah-tengah gejolak ekonomi di Indonesia dewasa ini, para kyai tetap merupakan sekelompok orang-orang yang bersedia membangun kesejahteraan spiritual bangasanya. (lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hal. 173).
[14] Dr. Abdurrahman Mas’ud, Op. Cit., hal. 2.
[15] Seperti Pengajian setiap jum’at pagi ba’da subuh di masjid menara oleh KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi, yang selalu  dihadiri oleh ribuan orang yang tidak hanya berasal dari Kudus saja melainkan dari Pati, Jepara, Demak, Semarang dan lain-lain, dengan materi tafsir Al-Qur’an. Dan pengajian setiap senin malam ( malam selasa) ba’dal maghrib juga di tempat yang sama KH. Ma’ruf Irsyad. Dan masih banyak lagi pengajian-pengajian di masjid-masjid sekitarnya, begitu juga jama’ah yasinan maupun al berjanji oleh jam’iyah thoriqoh, ormas Islam seperti Fatayat, IPNU, IPPNU maupun pengurus NU sendiri dan lain-lain.
[16] Hasil wawancara dengan salah satu anggota keluarga KH. Ma’ruf Asnawi, di rumah beliau di Dukuh Jumutan desa Demangan Kudus,pada hari Selasa tanggal 4 Januari 2003
  [17] Thomas F. O’ Dea, The Sociology of Religion, alih bahasa Team penerjemah Yasogama, Sosiologi Agama : Suatu Pengantar Awal, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1006, hal. 2.
[18] E. Durkhein, Dasar-dasar Sosiologi Agama, dalam Roland Robertson, (ed.), Agama Dalam Analisa dan Interprestasi Sosiologis, CV. Rajawali, Jakarta, 1998, hal. 35.
[19] Adat biasanya didefinisikan sebagai kebiasaan setempat yang mengatur interaksi sesama anggota suatu masyarakat ….. Adat berdasarkan arti yang kedua adalah seluruh sistem nilai, dasar dari seluruh penilaian etis dan hukum, juga sumber dari harapan sosial. Adat digunakan untuk mencakup seluruh kebiasaan, peraturan, kepercayaan dan etiket turun menurun sejak dulu kala….. Sementara tradisi adalah suatu kebiasaan dari aktifitas keagamaan yang telah berakar dalam kondisi sosial budaya sehingga menjadi semacam rutinitas. (Lihat , Taufiq Abdullah, Adat dan Islam : Suatu Tinjauan Tentang Konflik di Minangkabau, dalam Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hal. 104)a Lihat juga Foot Note no 3 dalam buku dan judul yang sama.
[20] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 198
[21] Hasil Wawancara dengan salah satu anggota keluarga KH. Ma’ruf Asnawi, dirumahnya dukuh Jumutan desa Demangan, tanggal 4 Januari 2003
[22] P. Worsley, Agama Sebagai Kategori , dalam Roland Roberson (ed.), Agama : Dalam Analisa dan Interperstasi Sosiologis, CV. Rajawali, Jakarta, 1988, hal.258
[23] Simuh, Interaksi Islam dan Budaya Jawa, Jurnal DEWARUCI, diberikan oleh Pusat Pengkajian Islam Strategis (PPIS) : Dinamika Islam dan Budaya Jawa, IAIN Walisongo Semarang Nomor 1, tahun 1999, hal.2.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jamia, Dr. H. M.A., Potensi Terabaikan di tengah Persaingan Makro : Pengamatan Wong Kuddus di Peranatauan, Makalah, disampaikan dalam acara Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002.

Abdurrahman Mas’ud, Dr., M.A., Kudus Dalam Menghadapi Era Globalisasi, makalah dalam Sarahsehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang, di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002.

Durkhein E., Dasar-dasar Sosiologi Agama, dalam Roland Robertson, (ed.), Agama Dalam Analisa dan Interprestasi Sosiologis, CV. Rajawali, Jakarta, 1998.

Hasil wawancara dengan salah satu anggota keluarga KH. Ma’ruf Asnawi, di rumah beliau di Dukuh Jumutan desa Demangan Kudus, pada hari Selasa tanggal 4 Januari 2003

Kuntowijoyo, Dr. , Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1999.

Letkol. Cam (K) Murdjinem, BA., Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kudus, Mengukur Kesiapan Kudus Menghadapi Era Globalisasi Pengembangan Potensi, makalah dalam Sarasehan Keluarga mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002

Matulada, Studi Islam Kontemporer, Sintesa Pendekatan Sosiologi dan Antropologi Dalam Menghadapi Fenomena Keagamaan, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar, Yogyakarta Tiara Wacana, 1989

Muhammad Amin Munadjat, S. Ip, M.Si., Mencermati Potensi dan Kondisi Daerah Untuk membangun Kabupaten Kudus di Masa Mendatang, Pemerintah daerah (Pemda), Makalah Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus tanggal 11 Agustus 2002.

Simuh, Interaksi Islam dan Budaya Jawa, Jurnal DEWARUCI, diberikan oleh Pusat Pengkajian Islam Strategis (PPIS) : Dinamika Islam dan Budaya Jawa, IAIN Walisongo Semarang Nomor 1, tahun 1999


Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1994

Taufiq Abdullah, Adat dan Islam : Suatu Tinjauan Tentang Konflik di Minangkabau, dalam Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987

0 comments :

Post a Comment