TRADISI RITUAL BUKA LUWUR
(Sebuah Media nilai-nilai Islam dan Sosial
Masyarakat Kudus)
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag
Abstract :
The Aim of this research is
to study Buka Luwur ritual as a media of religious value and culture, and to
know its functions and factors that make
it a tradition. In this research the writer use sociological approach,
interview in gathering data and
interpretative analysis. From this research we can find fourth aspects.
Firstly, this tradition has good model values, therefore it is necessary to be
continued and bequeathed from generation to generation. Secondly, the
understanding of muslim society on the holy Quran relates to the content of
local tradition and also the non muslim influence. Thirdly, Buka Luwur
tradition in Kudus is religious ceremony used to celebrate Khaul as well as
ziarah for Sunan Kudus. Fourthly, the united in society runs well if their existences
are tied up and supported by living culture. Buka Luwur tradition in Kudus has
a big function to unite many group in society, to be social glue, to strenghten
the faith to the invisible things and to keep the balance and the harmony from
periode to periode.
A. Pendahuluan
Islam dan
budaya adalah dua entitas yang berbeda. Namun keduanya dapat saling
mempengaruhi. Islam sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah
mempengaruhi pola budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Akan tetapi aspek
sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis.
Dalam
konteks budaya, Indonesia mengalami apa yang dinamakan dualisme kebudayaan,
yaitu antara budaya keraton dan budaya populer[1].
Islam dan budaya keraton terdapat tarik menarik dalam interaksinya. Misalnya,
dalam hubungannya dengan konsep tentang kekuasaan, terdapat perbedaan besar
antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan konsep
raja absolut, Islam justru menekankan konsep mengenai raja yang adil. Begitu
juga dalam sejarah disebutkan pula bahwa Demak ternyata lebih memilih syariat
untuk menjaga kewibawaan keraton dan pengaruh sufisme yang melecehkan kekuasaan
kerajaan[2].
Dari sini dapat dipahami bahwa penerimaan yang dilakukan oleh keraton Jawa
terhadap pengaruh Islam cenderung bersifat defensif, yaitu menerima
pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh-pengaruh tersebut dapat
diadopsi untuk status quo kekuasaan Jawa.
Sedangkan
dalam budaya populer, ketika berhadapan dengan Islam terkadang juga berwarna
mitos, seperti cerita mengenai Walisongo (sembila wali). Tetapi dalam
perkembangan berikutnya kebudayaan populer banyak sekali menyerap
konsep-konsepa dan simbol-simbol Islam sehingga sering kali tampak bahwa Islam
muncul sebagai sumber kebudayaan yang terpenting. Pengaruh Islam juga sangat
terasa dalam upacara-upacara sosial budaya populer. Misalnya di Sumatra ada
upacara Tabut untuk memperingati maulud nabi (kelahiran nabi), begitu
juga di Jawa dengan Sekaten, kemudian ada Grebeg di Demak dan Buka
Luwur di Kudus.
Buka Luwur
merupakan salah satu wujud dari hubungan Islam dengan tradisi setempat.
Masyarakat Kudus mempunyai banyak sekali upacara tradisional yang khas.
Misalnya, Dhandhangan, Bulusan, Tradisi Hutan Masin dan Buka Luwur. Buka Luwur
di Kudus terdapat di dua tempat yaitu di Muria dan di Masjid Menara. Buka Luwur
di Muria dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Muria sedangkan Buka Luwur di
Masjid Menara dalam rangka peringatan wafatnya Sunan Kudus. Namun, supaya tidak
terlalu luas dalam pembahasan paper ini hanya akan dibahas mengenai tradisi
Buka Luwur. Hal ini, disebabkan karena dalam tradisi Buka Luwur mempunyai
perbedaan dengan tradisi yang lain khususnya di Kudus. Diantaranya adalah
terdapat rentetan acara yang panjang dan mempunyai fungsi nyata dalam kehidupan
sosial. Di samping itu juga terdapat simbol-simbol yang masih erat hubungannya dengan
nilai-nilai tradisi setempat yang berlaku. Ada prosesi penyucian pusaka yang
diyakini milik Sunan Kudus yang diangap akan mendatangkan berkah.
Fenomena
keagamaan seperti ini adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang
menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan berasal dari sesuatu yang
ghaib.[3]
Di samping itu juga terdapat ziarah dan penggantian kain penutup makam Sunan
Kudus, yang kesemuanya itu dikemas dalam sebuah ceremony yang menarik. Untuk
mengetahui lebih jauh bagaimana upacara Buka Luwur di Kudus yang dikenal dengan
kota kretek karena memang terdapat industri rokok. Dalam penulisan paper ini
akan dibahas mengenai bagaimana Buka Luwur dapat menjadi media nilai-nilai
Islam dan budaya bagi masyarakat, dan bagaimana fungsi dan faktor-faktor sosial
Buka Luwur dapat ditafsirkan.
B. Kudus : Dalam Perspektif
Sosial, Budaya dan Demografi
Kota Kudus
lahir pada abad XVI yakni seputar masa Sunan Kudus yang hidup pada pertengahan
abad enam belas. Piegaud dalam bukunya yang berjudul Chienese Muslim in Java
sebagaimana di kutip oleh Dr. H. Abdul Jamil, M.A. menyatakan bahwa : “He
had it engraved on a stone plate placed in the mihravb of mosque bearing the
data A.H 956 (A.D.1544)”[4].
Namun demikian ada juga indikasi bahwa berdasarkan penelitian terhadap panel
relief pada tangga masuk serambi Langgardalem mengandung Sengkalan Memet,
Trisula Piamlet Naga (trisula dililit naga) yang menunjukkan anagka tahun 863
H. Bertepatan dengan 1458 H.
Prasasti di
atas Mihrab Menara yang berbahasa Arab
yang apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia adalah : Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, telah mendirikan Al Masjid Al-Aqsa ini
dan negeri Kudus Khalifah pada zaman ulama dari keturunan Muhammad untuk
memberi kemuliaan sorga yang kekal. Untuk mendekati Allah di negeri Kudus, membina
masjid al Manar yang dinamakan al Aqsha Khalifatullah di bumi in dengan
pemeliahaan al Qadli Ja’far Shadiq pada tahun 956 H. Bertepatan dengan 1959 M[5].
Instrumen
inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar penetepan hari jadi kota Kudus
yang kemudian dijadikan sebagai peraturan daerah nomor 11 tahun 1990 tanggal 6
Juli 1990, yang menetapkan tanggal 1 Ramadhan 956 H atau bertepatan dengan
tanggal 23 September 1549 M. Sebagai hari jadi kota Kudus.
Secara
geografis, kabupaten Kudus sebagai salah satu di kabupaten di Jawa Tengah,
letaknya berbatasan dengan empat Kabupaten yaitu Jepara, Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan
dan Kabupaten Demak. Luas Kabupaten
Kudus sebesar 42.575,654 hektra, secara administrataif terbagai menjadi
9 keacamatan dan 124 desa serta 7 kelurahan[6].
Kabupaten Kudus merupakan kota Industri dan Perdagangan yang memiliki banyak
potensi dalam menunjang laju pertumbuhan ekonomi yang penyebarannya secara
merata telah sampai ke plosok-plosok desa, sehingga mampu menumbuhkan
produktifitas, distribusi dan konsumsi barang dan jasa untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat baik secara
individu maupun kelompok[7].
Budaya
wirausaha tercermin dari perbandingan antara jumlah penduduk yang bekerja di
berbagai lapangan usaha, yaitu sebanyak 381.176 orang denagan dominasi pada
sektor industri, perdagangan dan pertanian, dengan jumlah seluruh penduduk
sebanyak 714.444 orang atau sebesar 35.35 %. Selain itu aktifitaas wirausaha
tersebut juga telihat dari banyaknya kegiatan industri keacil dan kerajinan tumah
tangga yang menacakup 12.831 unit usaha dengan tenaga kerja sebanyak 41.994
orang. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan
kabupaten Kudus sebanyak 8.163 orang[8].
Adapun mengenai industri spesifik yang telah menjadi trade mark daerah Kudus
antara lain :
1. Industri rokok
Djarum, Sukun, Nojorono, Jambu Bol, dan lain-lain.
2. Industri percetakan
dan kertas PT. Pura Baratama.
3. Industri elektronik
PT. Hartono Istana Elektronik.
4. Kerajinan Bordir,
konveksi dan perajutan.
5. Industri jenang
6. Industri kerajinan
ukir kudusan dan rotan.
7. Industri kerajinan
logam dan sangkar burung.
8. Industri pertanian :
Dukuh Sumber, Mangga Menara, Kopi Dawe, Gula Tumbu, Kapuk randu dan Sapi Potong[9].
Secara
historis, kota Kudus sejak masa inisiasinya memang telah mengindikasikan diri
sebagai kantong santri tulen dengan Sunan Kudus sebagai figur sentralnya
ditopang oleh komunitas lain yang terpencar-pencar mulai dari Langgaedalem,
Jipang, Hadiwarno dan Loram yang kini masih menyimpan prasasti sejarah lama
Kudus. Namun kantong santri sekarang hanya tinggal di kawasan menara secara
kultural membentuk komunitas “wong ngisor menoro” yang memiliki sensitifitas
tinggi dalam soal syariat Islam[10].
Dalam
sejarah, sunan Kudus yang dianggap sebagai figur sentral masyarakat Kudus terutama
“wong ngisor menoro” telah bersusah
payah membina kota Kudus dengan warna yang sangat toleran dengan pemeluk lain
(antar agama) disamping juga sangat religius[11].
Warisan sejarah Sunan Kudus yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya
masjid yang membentuk menara yang menyerupai candi Hindu atau kulkus Bali yang
menunjukkan adanya toleransi sunan Kudus dengan orang lain. Berkaitan dengan
hal ini pula, penulis Belanda G.F Pijper sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul
Jamil, M.A., mengatakan :
“......The
Menara of Kudus does nt seem to me be a minaret, but rather a Hindu structure
corresponding instyle and a purpose to the present, and indeed for less
bautifull, gapura of east Java, wich in its turn in again related to the kulkul
tower of Bali”[12].
Disisi lain
secara ekonomis, santri Kudus mampu membantah asumsi umum dan streotyping yang
mengatakan bahwa kerja keras tidak dimiliki kaum santri, dan bahwa kaum santri
yang selama ini memperoleh stigma tradisionalis[13]
hanya ewarisi kerja rendahan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman
Mas’ud :
“Kudus muslim myth and ethics
are mostly inherited by their ideal leader Sunan Kudus. Santri dan Dagang are
al most identical in this community. This could be interpreted from their
‘Ulama doctrine in wich most of Kudus muslim recall : “Seek for our living as
though you would live forever, and antaim your heaven as thaoug you wold die
tomorrow”. Shortly, to work hard and to worship at the some time is out of
question. This habit which could be attributed to their ideology has been
historically and culturally institutionalized[14].
Artinya :
(Mitos muslim Kudus dan
etikanya sangat diwarisi oleh pimpinan Kudus yang idela yaitu Sunan Kudus.
Santri dan dagang agaknya hampir serupa dalam komunitas ini. Hal ini bisa
diterjemahkan dari ajaran-ajaran ulamanya dimana hampir setiap muslim Kudus
hapal diluar kepala : “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau hidup
selamanya, dan berusahalah untuk akhiratmu seolah olah engkau akan meninggal
esok hari”. Pendeknya, untuk bekerja keras dan beribadah tidak perlu diragukan
lagi di sini. Kebiasaan yang sudah merupakan bagian dari ideologi mereka ini
telah lama menyejarah dan terlembaga secara kultural).
Mengenai
pemahaman agama yang merupakan fakator yang sangat penting alam menetukan cara
beragama seseorang. Dimana penampilan beragama, pelaksanaan ritual dan ibadah,
sosialisasi dan inkulturasi agama,
kepemimpinan agama dan pengetahuan agama sangat dipengaruhi bagaimana
seseorang memberikan makna dalam dirinya.
Dari segi
entitas budaya, Kudus yang semula santri tulen, dengan hadirnya pemerintahan
kolonial yang mendirikan pabrik gula, lalu terbelah menjadi dua entitas budaya,
yaitu Kudus kulon yang santri yang berada di sekitar menara dan Kudus Wetan
yang mewarisi tradisi priayi yang cenderung abangan, khusunya di sekitar pabrik
gula. Sehingga terdapat perbeadaan pemahaman agama antara Kudus Kulon dan Kudus
Wetan.
Kudus
Kulon, yang berada di sekitar menara (yang menjadi kajian dalam paper ini yaitu
Buka Luwur), mempunyai tradisi kuat dalam beragama Islam. Melimpahnya jumlah
sholat rawatib dan peringatan hari-hari besar Islam masih diperingati oleh
banyak kelompok. Misalnya, khaul, yasinan, pengajian di masjid-masjid dan
lain-lain merupakan indikator dari kuatnya tradiasi islam di Kudus, khusunya
Kudus Kulon[15]. Demikianlah
kesan santri tulen di Kudus Kulon yang masih terasa. Bahkan antara tradisi dan
ajaran agama sulit dibedakan. Demikian juga anatara ritual dan ibadah.
Meninggalkan tradisi sering dianggap meninggalkan ajaran agama. Demikianlah
juga kalau seseorang meninggalkan ritual sering dianggap meninggalkan ibadah.
Ajaran bagi
masyarakat Kudusa adalah instituasi ibadah dan benteng bagi moralitas manusia.
Bisa mereka bayangkan apa yang akan terjadi kalau agama telah hilang di
masyarakat. Agama merupakan antara Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatur hidup di
dunia ini. Oleh karena itu manusia tidak boleh meninggalkannya. Manusia harus
percaya kepada Tuhan yang Maha Esa dan berkomunikasi denaganya. Betapapun
modern ya sebuah kehidupan, manusia tidak boleh melepaskan agama.
C. Prosesi Buka Luwur
Penyelenggaraan
upacara peringatan terhadap orang-orang yang sudah meninggal menjadi tradisi
yang sangat kuat, terutama orang yang asuadah meninggal tersebut adalah seorang
tokoh terkenal dalam bidang agama dan kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti
dengan adanya sebuah upacara yang dianggap sakral oleh masyarakat Kudus, yaitu
upacara tradisional Buka Luwur.
Buka luwur
merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul”
yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada sebagian
masyarakat yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur diadakan
tanggala 10 Syuro atau 10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal
tersebut dianggap keramat. Akan tetapi menurut seorang sesepuh Kudus yang
menjadi ulama yang disegani oleh masyarakat Kudu, yaitu KH. Ma’ruf Asnawi yang
telah berusiaa kurang lebih 90 tahun mengatakan bahwa upacara Buka Luwur itu sebenarnya
adalah dalama rangka Khaul Mbah Sunan Kudus, yang memang tanggal 10 Muharram
atau 10 Syura adalah tanggal wafat beliau[16].
Secara
kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur diawali dengan penyuCian
pusaka yang berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh
sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum sebelum
bulan Syura). Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa
jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk
mencuci kerisnya, karena enghrap “berkah” dari sunan Kudus. Kemudian pada
tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih dan makam yang
sudah tahun digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan
Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan
masyarakat karena untuk mendapatkan “berkah”. Menurut K.H. Ma’ruf Asnawi,
pernah pada waktu dulu kelambu atau kain putih penutup makam tidak diganti,
kemudian timbul kebakaran pada kelambu tersebut.
Pada malam
tanggal 9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang
merupakan ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9
Muharram setelah Shalat Subuh diadakan khataman (pembacaan Al Quran dari awal
sampai akhir). Sementara khataman berlangsung dibuatlah “bubur suro” yaitu
makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam
rempah-rempah. Hal ini dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah
habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut
diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit. Di samping pembuatan
“bubur suro” pada saat khataman Al Quran berlangsung, juga diadakan
penyembelihan hewan yang biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah
seorang yang pernah menjadi panitia dalam acara tersebut kambing yang
disembelih bisa mencapai 80 hingga 100 kambing. Kemudian pada malam harinya,
yaitu malam tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai perjuangan
dan kepribadian Sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.
Pada pagi
hari tanggal 10 Muharram setelah Shalat Subuh dimulailah acara penggantian
kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan
tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan
kelambu. Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan
daging yang sudah dimasak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati.
Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab
makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat
menyembuhkan penyakit, walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa
disebut dengan “sego mbah sunan” (nasinya sunan kudus). Setelah acara penggantian
kelambu dan pembagian nasia tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.
D. Buka Luwur Sebagai
Upacara Keagamaan
Dalam
masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur instaitusional
penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama
berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim menyangkut alokasi
serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan masalah ekonomi yang berkaitan
dengan kerja produksi dan pertukaran. Dan juga berbeda dengan lembaga keluarga
yang mengatur serta memolakan hubungan antara jenis kelamin, antar generasi
yang diantaranya berkaitan dengan pertalianketurunan serta kekerabatan.
Masalah
inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat
diraba, yang realitas empirisnya sama sekali belum jelas. Ia menyangkut dunia
luar (the byond), hubungan manusia dengan sikap terhadap dunia luar itu,
dan dengan apa yang dianggap manusia sebagai implikasi praktisa daru dunia luar
tersebut terhadap kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa agama berkaitan
dengan keyakinan atau kepercayaan manusia kepada yang ghaib[17].
Semua
keyakinan agama yang diketahui, baik sederhana maupun kompleks mempunyai satu
ciri yang sama, semuanya berisikan suatu sistem penggolongan mengenai segala
seasuatu yang baik nyata maupun yang ideal mengenai apa yang dipikirkan manusia
kedalam dua golongan yang saling bertentanganm, yang umumnya ditandai dengan
dua isatilah yang berbeda yang diterjemahkan menjadi fana dan ghaib. E,
Durkhein memahaminya dengan sebutan profana dan sacred[18].
Yang sacred berisikan unsur distinktif pemikiran agama : kepercayaan, mite,
dogma dan legenda yang menjadi representasi atau sistem representasi hakikat
hal-hal yang sacred, kebaikan-kebaikan diletakan padanya. Semata-mata memiliki
konsep yang sacred saja orang tidak dengan sendirinya memahami suatu zat yang
disebut dengan tuhan atau roh. Tetapi memebutuhkan yang protan, misalnya
sebongkah batu, sebatang pohon atau sebuah buku dan lain-lain dapata disebut
sacred.
Agam
merupakan hubungan antara manusia dengan transeden. Oleh karena itu dalam
ungkapan-ungkapan agama meurpakan upaya ke arah realisasi hubungan itu.
Bentuk hubungan itu bisa berupa mitos,
atau ritual yang secara khusus tampak dalam insiasi penerimaan dan pendeawasaan
anggota kemudian diutarakan indikator atau perantara suci yang mempunyai peran
penting dalam hubungan itu. Dengan
demikian dongeng, adat istiada atau tradiasi[19]
tertentu dianggap sebagai sarana pandangan dunia yang sah pada saat dilahirkan
di masayarakatnya.
Tidak
terkecuali tradisi Buka Luwur yang merupakan upacara Keagamaan dalam rangka mendoakan,
menghormati dan meancari keberkahan dari seseorang yang dikenal dan diyakini
sebagai wali dan sangat dengan Tuhan serta memiliki kesaktian dan
kebaikan-kebaikan lain yang ada dan melekat poda dirinya yaitu Sunan Kudus.
Bagi mayoritas umat beragama, keterkaitan dengan bentuk hubungan yang
diartikulasikan dengan simbol keramat merupakan mekanisme utama yang
memungkinkan mereka tidak saja menghadapi suatu pangdangan hidup bahkan
menerima dan menghayati sebagai bagian dari kepribadian mereka.
E. Pengaruh Buka
Luwur Terhadap Masyarakat
Berbicaralah
masalah upacara tradisional Buka Luwur tentu tidak terlepas dari konteks
kebudayaan. Keterkaitan antara kebudayaan dan masyarakat tampak jelas. Secara
esensial kebudayaan mengatur kehidupan manusia agar mengerti dan mampu memahami
bagaimana ia harus bertindak, berbuat dan menentukan sikap dalam hubungan
dengan orang lain. Masyarakat dan kebudayaan senantiasa berkembang dan
mengalami perubahan seiring dengan peradaban manusia.
Dalam
mengatur hubungan antara manusia, kebudayaan dinamakan pula struktaur normatif
atau menurut istilah Ralp Linton sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto
disebut design for living (garis-garis atau penunjuk dalam hirup)[20].
Artinya kebudayaan adalah garis-garis pokok tentang perilaku atau blueprint dor
behaviour yang mennetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus
dilakukan apa yang dilarang dan lain-lain.
Konsep dan
definisi kebudayaan mengisyaratkan bahwa kebudayaan akan terus berubah seiring
dengan perubahan tempat dan waktu. Dalam pembentukan kebudayaan, perbuatan atau
kerja merupakan realisasi dari akal. Alat bekerja untuk memahami kebenaran
secara utuh melalui pikiran yang memikirkan alam manusia dan sejarah, sedangkan
kalbu memahami firman Tuhan dan sunnah Allah dalam pengertian kebudayaan adalah
proses mewujudkan konsep-konsep, serta rencana-rencana dalam kenyataan.
Sedangkan kelangsungan dan perubahan rkspresi budaya dalam kebudayaan Islam
tetap mengarah pada tauhid.
Buka Luwur
merupakan sebuah ekspresi dari kepercayaan melalui akal yang mencoba memahami
realita kebenaran mengenai manusia dan sejarah serta kalbu yang digunakan untuk
memahami pesan firman-firman Tuhan melalui perasaan. Hal ini menghasilkan
rentetan ceremony atau upacara yang berlangsung secara kronologis dan berjalan
secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang menjadi ekpresi perasaan
masyarakat dalan dinamika tindakannya. Untuk itu tradisi Buka Luwur Kudus perlu
dilestarikan karena di dalamnya terkandung makna dan simbol nilai-nilai luhur
dan nilai edukatif yang tinggi yang dapat mempengaruhi masyarakat pendukungnya
dan berinteraksi secara positif dan efektif sehingga mampu membina budi pekerti
luhur dan mengekang perbuatan negatif.
F. Refleksi dan Pemaknaan
Ritual Buka Luwur
1. Makna Sakral
Sesuatu
yang sakral lebih mudah dikenal daripada didefinisikan. Makhluk-makluk dan
wujud-wujud sakral yang gahib antara lain misalnya, dewa-dewa, roh-roh,
malaikat-malaikat, setan-setan dan hantu-hantu yang disembah karena menakjubkan
atau suci jadi sakral itu dapat diaratikan sebagai sesuatu yang disisihkan dari
sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Artinya
yang sakral itu tidak dipahami dengan akal sehat yang bersifat empirik untuk
memnuhi kebutuhan praktias.
Untuk menghindari
kemungkinan timbulnya pencemaran terhadap yang sakral dipagari dengan
larangan-larangan atau tabu-tabu. Beda-benda sakral tidak boleh disentuh,
dimakan akan didekati, kecuali pada saat tertentu oleh orang-orang khusus yang
diberi otoritas. Sebagai contoh penggantaian Luwur (kain putih penutup makam),
apabila tidak diganti akan terjadi suatu yang tidka diinginkan bersama,
misalnya waktu buka luwur tidak diganti pernah terjadi kebakaran di makam Sunan
Kudus. Maka untuk menghindari hal-hal tersebut maka harus diadakan penggantian
Luwur[21].
2. Religius Magis
Magis
adalah suatu fenomena yang sangat dikenal dan umumnya dipahami, namun nampaknya
sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis dapat dikatakan bahwa magis
adalah kepercayaan dan praktik untuk memperoleh kekuatan alam dan antar mereka
sendiri dalam memanupulasi daya-daya yang lebih tinggi.
Meskipun
perbedaan magis dan agama harus diterima, kita dapaat menetukan suatu pemisahan
antara keduanya karena memang ada kasus terjadinya peristiwa dimana magis
merupakan isi dari fenomena religius. Unsur magis merupakan isi dari fenomena
religius. Unsur magis tidak semata-mata
manipulatif, unsur religiuspun tidak semata-mata lepas dari manupulatif.
Mengenai
magis dan agama, P. Worsley mengatakan : “Para ahli antropologi mempunyai
alasan yang benar ketika menolak perbedaan lama antara “magik” dan “agama” dimana
magik dianggap sebagai kontrol melalui supranatural, sedangkan agama adalah
do,aim kekuatan di luar manusia di luar pencapaian manusia. Perbedaan ini dengan
mudah dapat dihilangkan : tindak magik perlu mengimplikasikan teori tertentu
mengenai Tuhan, roh-roh yang jauh – yang biasanya antropormofik : kehidupan
dalam alam atau fase keberadaan yang lain”[22].
Secara
sosiologis magis maupun agama dapat dikatakan mempunyai dua tujuan, yaitu instrumental dan ekspresif.
Dengan instrumen dimaksudkan bahwa orang menggunakannya untuk mencapai
tujuan-tujuan khusus. Dengan ekspresif dimaksudkan bahwa mereka menggunakannya
untuk menyatakan dan menyeimbangkan hubungan-hubungan sosial dan kosmologis tertentu.
Kepercayaan dan praktek magis mempunyai arti, terutama karena berrungsi sebagai
sarana utama namun peran ekspresifnya kecil, sebaliknya makna religius hampir
seluruhnya bersifat ekspresif dan simbolis.
Berdasarkan
uraian tersebut, religius magis nampak dengan jelas pada nasi dan daging yang
dibagikan pada saat pemasangan Luwur yaitu tanggal 10 Muharra pada waktu pagi.
Dan wajar kalau masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mendapatkan nasi
terasebut meskipun hanya sedikit, karena untuk mendapatkan berkah. Kemudian adanya
ziarah dengan membaca tahlil yang dilakukan oleh khusus para kiyai, merupakan
perwujudan dari religius magis.
3. Nilai Normal
Peringatan
Buka Luwur yang dilaksanakan dalam rangka memperingati wafatnya sunan Kudus
mempunyai nilai yang cukup tinggia nilai-nilai dari perjuangan para wali
khususnya Sunan Kudus menjadi teladan dalam hidup bermasyarakat.
Secara
hostoris, dalam menyebarkan agama Islam para Walisongo menggunakan berbagai
macam cara yang disesuaikan dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Akhirnya agama Islam dapat diterima
oleh masyarakat Jawa. Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan
budaya setempat memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi.
Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut menjadi
jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama
baru. Mereka sadar, apabila menginginkan Islam diterima oleh suatu komunitas
tertentu haruslah bersifat akomodatif terhadap budaya lokal setempat tanpa
harus kehilangan esensi keislamannya. Cara inilah yang nampaknya dilakukan oleh
sunan Kudus. Hal ini dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam kehidupan
masyarakat, dengan bentuk masjidnya yang menyerupai kulkul di Bali yang
mencerminkan toleransinya terhadap pemeluk agama Hindu.
Di samping
itu, pesan-pesan yang terkandung dalam upacara Buka Luwur dan Ziarah di makam
Sunan Kudus, yaitu supaya orang-orang dapat mengikuti keteladanan sunan kudus,
juga meningkatkan agar orang-orang membiasakan diri untuk bersedekah.
G. Kesimpulan
Kehidupan
masyarakat Jawa pada umumnya di masa lampau dan saat ini telah diresepi
unsur-unsur ajaran Islam sebelum mereka berkesempatan untuk mengerti dan
memahami secara sadar akan ajaran-ajaran Islam. Berkaitan dengan hal ini,
J.W.B. Bakker dalam pengkajiannya yang berjudul “Agama Ali Jawa” sebagaimana
dikutip oleh Simuh menyimpulkan walaupun bagian besar orang Indonesia mengaku
beragama Islam, namun sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, dijiwai
dalam hatinya oleh agama asli Indonesia yang kaya raya isinya, yang dipelihara
dengan khusuk, yang tidak mau “dirombak” oleh agama asing[23].
Hal ini
terlihat dalam upacara ritual keagamaan Buka Luwur yang terjadi di Kudus telah
diresapi unsur ajaran Islam. Kehidupan bersama yang membentuk masyarakat dapat
berjalan baik eksistensinya apabila kehidupan itu diikat dan disangga oleh
tradisi yang hidup dan dipatuhi yaitu, seluruh kepercayaaan, anggapan dan
tingkah laku yang terlembangakan, diwariskan dan diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya.
Hubungan
yang erta antara ajaran Islam dengan masyarakat Jawa umumnya selain berkaitan
juga terjadi perpaduan nilai menjadi tradisi sehingga dalam banyak hal sulit
memisahkan antara unsur Islam dengan Jawa asli. Pola hubungan simbolik antara
teks suci dan situasi historis umat Islam sangat penting artinya dalam memahami
Islam. Sehingga masuknya unsur tradisi lokal dan budaya dari luar Islam tidak
dapat dihindari. Cara pemahaman terhadap kitab suci tidak dapat dipisahkan dari
muatan tradisi lokal serta pengaruh luas Islam yang ada dalam diri masyarakat
Muslim.
Berbagai
ungkapan simbolis dalam Buka Luwur sebenarnya banyak mengandung nilai-nilai
sosial budaya yang sudah terbukti sangat berfungsi untuk menjaga keseimbangan
keselamatan kehidupan dari masa ke masa.
END NOTE
[1] Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam :
Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1999, hal. 228.
[2] Mengenai konflik antara Syeh Siti Jenar
dengan seorang raja dari Demak. Syeh Siti Jenar dikenal sebagai seorang wali
yang mempunyai kecenderungan mistik yang sangat kuat. Jalan tarekat yang
ditempuh sering menimbulkan ketegangan dengan ketentuan-ketentuan syariat yang
baku. Seringkali paham mistiknya yang kuat itu menimbulkan ia diremehkan
hukum-hukum yang sedang dihadapi oleh kerajaan. Oleh karena itulah penguasa
Islam Jawa di Demak kemudian berusaha keras untuk meniadakan pengaruh mistik,
sufi, dan tarekat demi ketertiban kekuasaan. (Lihat, Dr. Kuntowijoyo, hal.
232).
[3] Matulada, Studi Islam Kontemporer,
Sintesa Pendekatan Sosiologi dan Antropologi Dalam Menghadapi Fenomena
Keagamaan, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi
Penelitian Agama : Suatu Pengantar, Yogyakarta Tiara Wacana, 1989, hal 2-3.
[4] Dr. H. Abdul Jamil, M.A., Potensi
Terabaikan di tengah Persaingan Makro : Pengamatan Wong Kuddus di Peranatauan,
Makalah, disampaikan dalam acara Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang
(KMKS), di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002, hal 2.
[5] Ibid.,
hal.2
[6]
Muhammad Amin Munadjat, S. Ip, M.Si., Mencermati
Potensi dan Kondisi Daerah Untuk membangun Kabupaten Kudus di Masa Mendatang,
Pemerintah daerah (Pemda), Makalah Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di
Semarang (KMKS), di Kudus tanggal 11 Agustus 2002, hal.. 1.
[7]
Letkol. Cam (K) Murdjinem, BA., Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kudus, Mengukur
Kesiapan Kudus Menghadapi Era Globalisasi Pengembangan Potensi, makalah
dalam Sarasehan Keluarga mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal
11 Agustus 2002, hal.1.
[8]
Muhammad Amin Munadjat, S.Ip.,M.Si., Op. Cit.,hal
4.
[9] Ibid.,
hal.5.
[10]
Ketika penguasa Kudus diisi oleh orang yang berbau priayi (bukan santri) maka
gap wong menoro dengan pemerintah menjadi semakin menganga dan pada gilirannya
mencapai antiklimaks ketika seorang pejabat yang sedang berpidato terpaksa
harus disarankan turun podium karena tidak dapat menyesuaikan dengan kultur
santri.
[11]
Namun sikap toleran yang diantarkan oleh sunan Kudus tersebut tidak bisa
berlanjut sampai sekarang. Hal juga seperti disampaikan oleh Dr. Abdurrahman
Mas’ud, M.A., “bahwa salah satu budaya Kudus yang kurang kondusif adalah
kecenderungan ketertutupan komunikasi, exlusivisness, dimana ada perasaan bahwa
dirinya yang paling benar dan kuat dan “memandang rendah” pihak lain, atau
paling tidak budaya mendengar orang lain belum berjalan semestinya”. (Lihat,
Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Kudus Dalam Menghadapi Era Globalisasi, makalah
dalam Sarasehan Keluaraga Mahasiswa Kudus di Semarang, di Kudus, tanggal 11
Agustus 2002, hal. 3.Lihat juga, Dr.H.Abdul Jamil, M.A.,op.Cit.,hal.4)
[12] Dr.H.Abdul
Jamil,M.A.,Op.Cit.,hal.4.
[13]
Berkaitan dengan stigma ini, bahkan ada yang menyimpulkan bahwa para kiyai
telah menjadi penghambat bagi lajunya proses modernisasi. Menurut Zamakhsyari
Dhofier stigma itu muncul disebabkan dua hal, pertama, mereka mengira
bahwa nilai-nilai spiritual yang dipegang dan dianjurkan oleh para kyai tidak
lagi relevan dengan kehidupan modern. Kedua, mereka mengira bahwa para
kyai tidak mampu menerjemahkan nilai-nilai spiritual tradisional bagi pemuasan
kebutuhan kehidupan modern. Padahal dalam kenyataannya di tengah-tengah gejolak
ekonomi di Indonesia
dewasa ini, para kyai tetap merupakan sekelompok orang-orang yang bersedia
membangun kesejahteraan spiritual bangasanya. (lihat Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta,
1982, hal. 173).
[14] Dr.
Abdurrahman Mas’ud, Op. Cit., hal. 2.
[15]
Seperti Pengajian setiap jum’at pagi ba’da subuh di masjid menara oleh KH.
Muhammad Sya’roni Ahmadi, yang selalu
dihadiri oleh ribuan orang yang tidak hanya berasal dari Kudus saja
melainkan dari Pati, Jepara, Demak, Semarang
dan lain-lain, dengan materi tafsir Al-Qur’an. Dan pengajian setiap senin malam
( malam selasa) ba’dal maghrib juga di tempat yang sama KH. Ma’ruf Irsyad. Dan
masih banyak lagi pengajian-pengajian di masjid-masjid sekitarnya, begitu juga
jama’ah yasinan maupun al berjanji oleh jam’iyah thoriqoh, ormas Islam seperti
Fatayat, IPNU, IPPNU maupun pengurus NU sendiri dan lain-lain.
[16] Hasil
wawancara dengan salah satu anggota keluarga KH. Ma’ruf Asnawi,
di rumah beliau di Dukuh Jumutan desa Demangan Kudus,pada hari Selasa tanggal 4
Januari 2003
[17]
Thomas F. O’ Dea, The Sociology of Religion, alih bahasa Team
penerjemah Yasogama, Sosiologi Agama : Suatu Pengantar Awal, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1006, hal. 2.
[18]
E. Durkhein, Dasar-dasar Sosiologi Agama, dalam Roland Robertson,
(ed.), Agama Dalam Analisa dan Interprestasi Sosiologis, CV.
Rajawali, Jakarta,
1998, hal. 35.
[19]
Adat biasanya didefinisikan sebagai kebiasaan setempat yang mengatur interaksi
sesama anggota suatu masyarakat ….. Adat berdasarkan arti yang kedua adalah
seluruh sistem nilai, dasar dari seluruh penilaian etis dan hukum, juga sumber
dari harapan sosial. Adat digunakan untuk mencakup seluruh kebiasaan,
peraturan, kepercayaan dan etiket turun menurun sejak dulu kala….. Sementara
tradisi adalah suatu kebiasaan dari aktifitas keagamaan yang telah berakar
dalam kondisi sosial budaya sehingga menjadi semacam rutinitas. (Lihat , Taufiq
Abdullah, Adat dan Islam : Suatu Tinjauan Tentang Konflik di Minangkabau,
dalam Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis Islam
di Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta,
1987, hal. 104)a Lihat juga Foot Note no 3 dalam buku dan judul yang sama.
[20] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 198
[21] Hasil
Wawancara dengan salah satu anggota keluarga KH. Ma’ruf Asnawi,
dirumahnya dukuh Jumutan desa Demangan, tanggal 4 Januari 2003
[22]
P. Worsley, Agama Sebagai Kategori , dalam Roland Roberson (ed.),
Agama : Dalam Analisa dan Interperstasi Sosiologis, CV. Rajawali,
Jakarta, 1988,
hal.258
[23]
Simuh, Interaksi Islam dan Budaya Jawa, Jurnal DEWARUCI,
diberikan oleh Pusat Pengkajian Islam Strategis (PPIS) : Dinamika Islam dan
Budaya Jawa, IAIN Walisongo Semarang Nomor 1, tahun 1999, hal.2.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Jamia, Dr. H. M.A., Potensi Terabaikan di tengah Persaingan Makro :
Pengamatan Wong Kuddus di Peranatauan, Makalah, disampaikan dalam acara
Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal 11
Agustus 2002.
Abdurrahman
Mas’ud, Dr., M.A., Kudus Dalam Menghadapi Era Globalisasi,
makalah dalam Sarahsehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang, di Kudus,
tanggal 11 Agustus 2002.
Durkhein E., Dasar-dasar Sosiologi Agama,
dalam Roland Robertson, (ed.), Agama Dalam Analisa dan Interprestasi
Sosiologis, CV. Rajawali, Jakarta,
1998.
Hasil wawancara
dengan salah satu anggota keluarga KH. Ma’ruf Asnawi, di rumah beliau
di Dukuh Jumutan desa Demangan Kudus, pada hari Selasa tanggal 4 Januari 2003
Kuntowijoyo, Dr.
, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1999.
Letkol. Cam (K) Murdjinem, BA., Wakil Ketua DPRD
Kabupaten Kudus, Mengukur Kesiapan Kudus Menghadapi Era Globalisasi
Pengembangan Potensi, makalah dalam Sarasehan Keluarga mahasiswa Kudus
di Semarang (KMKS), di Kudus, tanggal 11 Agustus 2002
Matulada,
Studi Islam Kontemporer, Sintesa Pendekatan Sosiologi dan Antropologi
Dalam Menghadapi Fenomena Keagamaan, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli
Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar, Yogyakarta
Tiara Wacana, 1989
Muhammad
Amin Munadjat, S. Ip, M.Si., Mencermati Potensi dan Kondisi Daerah Untuk
membangun Kabupaten Kudus di Masa Mendatang, Pemerintah daerah (Pemda),
Makalah Sarasehan Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS), di Kudus tanggal
11 Agustus 2002.
Simuh, Interaksi Islam dan Budaya Jawa,
Jurnal DEWARUCI, diberikan oleh Pusat Pengkajian Islam Strategis (PPIS) :
Dinamika Islam dan Budaya Jawa, IAIN Walisongo Semarang Nomor 1, tahun 1999
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,
PT. Grafindo Persada, Jakarta,
1994
Taufiq Abdullah, Adat dan Islam : Suatu
Tinjauan Tentang Konflik di Minangkabau, dalam Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah
dan Masyarakat : Lintasan Historis Islam di Indonesia, Pustaka
Firdaus, Jakarta,
1987
0 comments :
Post a Comment