| Tapi kaum Sunni, sementara mengakui adanya rapat besar
Ghadir Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak
klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. menegaskan wasiat
beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk
kebijaksanaan Nabi yang tidak menunjuk anggota keluarga
beliau sendiri sebagai calon pengganti. Ibn Taymiyyah
menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa Muhammad adalah
seorang Rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi
kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan untuk dirinya
maka untuk keluarga dan keturunannya.
Jika Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus
Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut Ibn
Taymiyyah kewajiban para pengikutnya untuk taat kepada
beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik
(al-mulk), melainkan karena wewenang suci beliau sebagai
utusan Tuhan (risalah).
Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan
kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik seorang
"imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat
banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang
Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi
bukanlah berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah),
melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban misi
suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang
hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau,
sepanjang zaman. Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau
menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri. Kenabian
atau nubawwah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah
s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para
khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas
Nabi. Abu Bakr, misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul
(Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan
ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan,
apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak
bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri
sebagai nama jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr
itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara
langsung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia
tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya
suatu kreasi sosial-budaya saja.
Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut
sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik
sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan
diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli
sejarah dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan
yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern"
(partisipatif-egaliter).
Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat
dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan
masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat
lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat
prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia
adalah "orang kebanyakan," dan mengharap agar rakyat
membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika
ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati
etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan
melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3)
penegasan atas persamaan prinsip persamaan manusia
(egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat
kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok
yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat;
(4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu
sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa
depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang
diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena
pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena
nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan
dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr
adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak
perorangan.
Menurut Bellah, unsur-unsur struktural Islam klasik yang
relevan dengan penilaian bahwa sistem sosial Islam klasik
itu sangat modern ialah, pertama, faham Tawhid atau
Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme) yang mempercayai
adanya Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam
raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat
menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah disebut sifat
mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta dan Hakim
segala yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab
pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu
melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia;
ketiga, adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang
mendasar) -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut
"sekularisasi"- terhadap semua struktur sosial yang ada,
berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu.
Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti penting
suku dan kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian
pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam); keempat, adanya
konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi
semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan
etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini
(tidak menghindari dunia seperti dalam ajaran rahbaniyyah,
pertapaan), yang aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang
membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.
Politik Sunni melarang memberontak kepada kekuasaan,
betapapun dzalimnya kekuasaan itu, sekalipun mengeritik dan
mengecam kekuasaan yang dzalim adalah kewajiban, sejalan
dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi
munkar. Para teoritikus politik Sunni sangat mendambakan
stabilitas dan keamanan, dengan adagium mereka: "Penguasa
yang dzalim lebih baik daripada tidak ada," dan "Enampuluh
tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada
satu malam tanpa pemimpin."
Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah Sunni,
pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat
sekali di kalangan para ulama kita.
Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya dalam
hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah
menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar
dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah
sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada
sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para
penguasanya.
Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut
beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.
Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan
sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang
dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan
pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut
peristilahan kontemporer egalitarianisme, demokrasi,
partisipasi, dan keadilan sosial.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
0 comments :
Post a Comment