Wednesday 29 August 2012

Islam dan Politik 3


 

       AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM                    
       Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni 
                                      oleh Nurcholish Madjid
 
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak  mungkin  diingkari
ialah  pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan   dan   perkembangan   sistem    politik    yang
diilhaminya.  Sejak  Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari
Mekkah ke Yatsrib  -yang  kemudian  diubah  namanya  menjadi
Madinah-    hingga    saat    sekarang   ini   dalam   wujud
sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik  Islam
Iran,   Islam  menampilkan  dirinya  sangat  terkait  dengan
masalah kenegaraan.
 
Sesungguhnya, secara  umum,  keterkaitan  antara  agama  dan
negara,  di  masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal
yang baru, apalagi hanya khas  Islam.  Pembicaraan  hubungan
antara  agama  dan  negara  dalam Islam selalu terjadi dalam
suasana yang stigmatis. Ini  disebabkan,  pertama,  hubungan
agama  dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan
sepanjang sejarah umat manusia.  Kedua,  sepanjang  sejarah,
hubungan  antara  kaum  Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen
Eropa) adalah  hubungan  penuh  ketegangan.  Dimulai  dengan
ekspansi  militer-politik  Islam  klasik yang sebagian besar
atas kerugian Kristen (hampir seluruh  Timur  Tengah  adalah
dahulunya    kawasan   Kristen,   malah   pusatnya)   dengan
kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa
dan  dunia  Kristen  saat  itu),  kemudian Perang Salib yang
kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan  oleh
Islam,  lalu  berkembang  dalam  tatanan dunia yang dikuasai
oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam  sebagai
yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia
Islam dan Barat yang traumatik  tersebut,  lebih-lebih  lagi
karena  dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi
"kalah," maka pembicaraan  tentang  Islam  berkenaan  dengan
pandangannya  tentang  negara  berlangsung  dalam  kepahitan
menghadapi Barat sebagai "musuh."
 
Pengalaman Islam  pada  zaman  modern,  yang  begitu  ironik
tentang  hubungan  antara agama dan negara dilambangkan oleh
sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya  sebagai
"kafir"  atau  "musyrik"  seperti  yang  terlihat pada kedua
pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam  Iran.
Saudi  Arabia,  sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali
aliran  Wahabi,  banyak  menggunakan  retorika  yang   keras
menghadapi  Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang
sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.
 
Iran sendiri, melihat Saudi Arabia  sebagai  musyrik  karena
tunduk  kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua
itu memberi gambaran betapa  problematisnya  perkara  sumber
legitimasi  dari  sebuah  negara  yang mengaku atau menyebut
dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan  legitimasi
masing-masing  antara  Saudi Arabia dan Iran mengandung arti
bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi
ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar,
atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah  sesuatu
yang  ketiga.  Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya
itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.
 
Eksperimen Madinah
 
Hubungan  antara  agama  dan  negara  dalam   Islam,   telah
diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah
dari Makkah ke Madinah (al-Madinah,  kota  par  excellence).
Dari  nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya
itu menunjukkan rencana Nabi  dalam  rangka  mengemban  misi
sucinya  dari  Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya
tinggi,   yang   kemudian   menghasilkan    suatu    entitas
sosial-politik, yaitu sebuah negara.
 
Negara  Madinah  pimpinan  Nabi  itu, seperti dikatakan oleh
Robert  Bellah,  seorang  ahli  sosiologi  agama  terkemuka,
adalah  model  bagi  hubungan  antara agama dan negara dalam
Islam.  Muhammad  Arkoun,  salah   seorang   pemikir   Islam
kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai
"Eksperimen Madinah."
 
Menurut  Muhammad  Arkoun,  eksperimen  Madinah  itu   telah
menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik
yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau
kekuasan  tidak  memusat pada tangan satu orang seperti pada
sistem diktatorial, melainkan kepada  orang  banyak  melalui
musyawarah)  dan  kehidupan  berkonstitusi  (artinya, sumber
wewenang dan kekuasaan tidak pada  keinginan  dan  keputusan
lisan  pribadi,  tetapi  pada  suatu  dokumen  tertulis yang
prinsip-prinsipnya   disepakati   bersama).   Karena   wujud
historis  terpenting  dari  sistem sosial-politik eksperimen
Madinah itu ialah  dokumen  yang  termasyhur,  yaitu  Mitsaq
al-Madinah  (Piagam  Madinah), yang di kalangan para sarjana
modern  juga  menjadi  amat  terkenal  sebagai   "Konstitusi
Madinah."    Piagam    Madinah    itu   selengkapnya   telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah  Islam  seperti  Ibn
Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).
 
Menurut   Al-Sayyid   Muhammad   Ma'ruf   al-Dawalibi   dari
Universitas   Islam   Internasional   Paris   "yang   paling
menakjubkan  dari  semuanya  tentang  Konstitusi Madinah itu
ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya  dalam
sejarah,  prinsip-prinsip  dan  kaedah-kaedah kenegaraan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal
umat manusia."
 
Ide  pokok  eksperimen  Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu
tatanan sosial-politik yang diperintah  tidak  oleh  kemauan
pribadi,   melainkan   secara   bersama-sama;   tidak   oleh
prinsip-prinsip  ad  hoc  yang  dapat  berubah-ubah  sejalan
dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang
dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar  semua  anggota
masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
 
Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)
 
Apa  yang  terjadi  pada kaum Muslim penduduk Madinah selama
tiga hari jenazah Nabi s.a.w.  terbaring  di  kamar  A'isyah
menjadi  agak  kabur oleh adanya polemik-polemik yang sengit
antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah.  Kaum  Sunnah  mengklaim
bahwa   dalam   tiga  hari  itu  memang  terjadi  musyawarah
pengganti Nabi, yang kemudian mereka bersepakat memilih  dan
mengangkat  Abu  Bakr.  Kaum  Syi'ah,  mengklaim  bahwa yang
terjadi  ialah  semacam  persekongkolan  kalangan  tertentu,
dipimpin  oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus
tugas suci Nabi.
 
Klaim  adanya  hak  bagi  'Ali   untuk   menggantikan   Nabi
didasarkan   antara   lain  pada  makna  pidato  Nabi  dalam
peristiwa  yang  hakikatnya  tetap  dipertengkarkan,   yaitu
semacam  rapat  umum  di  suatu tempat bernama Ghadir Khumm.
Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi  wafat,
ketika  beliau  dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan
(hijjat  al-wada')  meminta  semua   pengikut   beliau   itu
berkumpul  di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai
arah. Dalam rapat besar itu  beliau  berpidato  yang  sangat
mengharukan,  (karena  memberi  isyarat  bahwa  beliau  akan
segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum  Syi'ah  Nabi
s.a.w.  menegaskan  wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti
sesudah beliau.
                                            

Tapi kaum  Sunni,  sementara  mengakui  adanya  rapat  besar
Ghadir  Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak
klaim Syi'ah bahwa  disitu  Nabi  s.a.w.  menegaskan  wasiat
beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk
kebijaksanaan Nabi  yang  tidak  menunjuk  anggota  keluarga
beliau   sendiri  sebagai  calon  pengganti.  Ibn  Taymiyyah
menilai hal itu sebagai bukti nyata  bahwa  Muhammad  adalah
seorang  Rasul  Allah,  bukan  seorang yang mempunyai ambisi
kekuasaan atau pun kekayaan yang jika  bukan  untuk  dirinya
maka untuk keluarga dan keturunannya.
 
Jika  Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus
Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut  Ibn
Taymiyyah  kewajiban  para  pengikutnya  untuk  taat  kepada
beliau bukanlah karena  beliau  memiliki  kekuasaan  politik
(al-mulk),  melainkan  karena  wewenang  suci beliau sebagai
utusan Tuhan (risalah).
 
Dalam  teori  Ibn  Taymiyyah,  Muhammad  s.a.w.  menjalankan
kekuasaan  tidaklah  atas  dasar  legitimasi politik seorang
"imam." seperti dalam pengertian kaum  Syi'ah  (yang  sangat
banyak  berarti  "kepala negara"), melainkan sebagai seorang
Utusan  Allah  semata.  Karena  itu  ketaatan  kepada   Nabi
bukanlah  berdasarkan  kekuasan  politik de facto (syawkah),
melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban  misi
suci  (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang
hidup di masa beliau atau pun  yang  hidup  sesudah  beliau,
sepanjang  zaman. Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau
menunjuk seseorang yang  bukan  keluarga  sendiri.  Kenabian
atau  nubawwah  telah  berhenti  dengan  wafatnya Rasulullah
s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan  kewenangan  para
khalifah  adalah  berbeda  sama  sekali dari sumber otoritas
Nabi. Abu Bakr, misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul
(Pengganti  Rasulullah)  dalam  hal  melanjutkan pelaksanaan
ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan,
apalagi  hal  baru  (bid'ah),  terhadap ajaran itu. Ia tidak
bertindak sebagai manusia biasa.  Istilah  khalifah  sendiri
sebagai nama jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr
itu, adalah pemberian orang banyak  (rakyat),  tidak  secara
langsung  berasal  dari  Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia
tidak mengandung kesucian  dalam  dirinya,  sebab  ia  hanya
suatu kreasi sosial-budaya saja.
 
Prinsip-prinsip  Islam  diatas itu, yang oleh Bellah disebut
sebagai "nasionalisme partisipatif  egaliter,"  dengan  baik
sekali  dinyatakan  oleh  Abu  Bakr  dalam pidato penerimaan
diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu  oleh  banyak  ahli
sejarah  dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan
yang   pertama   sejenisnya   dengan    semangat    "modern"
(partisipatif-egaliter).
 
Pidato  ini  merupakan manifesto politik yang secara singkat
dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip  tatanan
masyarakat  yang  telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat
lebih  terang   oleh   Amin   Sa'id,   pidato   itu   memuat
prinsip-prinsip,  (1)  pengakuan  Abu Bakr sendiri bahwa dia
adalah  "orang  kebanyakan,"  dan  mengharap   agar   rakyat
membantunya  jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika
ia berbuat keliru; (2)  seruan  agar  semua  pihak  menepati
etika  atau  akhlaq  kejujuran  sebagai  amanat,  dan jangan
melakukan kecurangan yang disebutnya  sebagai  khianat;  (3)
penegasan   atas   persamaan   prinsip   persamaan   manusia
(egalitarianisme)  dan  keadilan  sosial,  dimana   terdapat
kewajiban  yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok
yang lemah yang harus diwujudkan oleh  pimpinan  masyarakat;
(4)  seruan  untuk  tetap  memelihara jiwa perjuangan, yaitu
sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh  ke  masa
depan;   (5)   penegasan  bahwa  kewenangan  kekuasaan  yang
diperolehnya   menuntut   ketaatan   rakyat   tidak   karena
pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena
nilai   universal   prinsip-prinsip    yang    dianut    dan
dilaksanakannya.  Dalam  istilah  modern, kekuasaan Abu Bakr
adalah  kekuasaan  konstitusional,  bukan  kekuasaan  mutlak
perorangan.
 
Menurut  Bellah,  unsur-unsur  struktural  Islam klasik yang
relevan dengan penilaian bahwa sistem  sosial  Islam  klasik
itu   sangat   modern  ialah,  pertama,  faham  Tawhid  atau
Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  (Monotheisme)  yang  mempercayai
adanya  Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam
raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak  berhakikat
menyatu   dengan  alam,  dalam  ilmu  akidah  disebut  sifat
mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta  dan  Hakim
segala  yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab
pribadi dan putusan dari Tuhan  menurut  konsep  Tawhid  itu
melalui  ajaran  Nabi-Nya  kepada  setiap  pribadi  manusia;
ketiga,  adanya  devaluasi  radikal  (penurunan  nilai  yang
mendasar)  -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut
"sekularisasi"- terhadap semua  struktur  sosial  yang  ada,
berhadapan  dengan  hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu.
Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti  penting
suku  dan  kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian
pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam);  keempat,  adanya
konsepsi  tentang  aturan  politik  berdasarkan  partisipasi
semua mereka yang menerima  kebenaran  wahyu  Tuhan,  dengan
etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini
(tidak menghindari dunia seperti dalam  ajaran  rahbaniyyah,
pertapaan),  yang  aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang
membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.
 
Politik  Sunni  melarang   memberontak   kepada   kekuasaan,
betapapun  dzalimnya kekuasaan itu, sekalipun mengeritik dan
mengecam kekuasaan yang  dzalim  adalah  kewajiban,  sejalan
dengan  perintah  Allah  untuk  melakukan  amar  ma'ruf nahi
munkar. Para teoritikus  politik  Sunni  sangat  mendambakan
stabilitas  dan  keamanan,  dengan adagium mereka: "Penguasa
yang dzalim lebih baik daripada tidak ada,"  dan  "Enampuluh
tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada
satu malam tanpa pemimpin."
 
Karena  kebanyakan  umat  Islam  Indonesia   Adalah   Sunni,
pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat
sekali di kalangan para ulama kita.
 
Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya  dalam
hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah
menunjukkan bahwa  agama  Islam  memberi  kelonggaran  besar
dalam    hal    bentuk   dan   pengaturan   teknis   masalah
sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada
sangkut  pautnya  dengan  masalah  legitimasi  politik  para
penguasanya.
 
Yang penting adalah isi  negara  itu  dipandang  dari  sudut
beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.
 
Apa    yang   dikehendaki   oleh   Islam   tentang   tatanan
sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah  apa  yang
dikehendaki   oleh   ide-ide   modern   tentang  negara  dan
pemerintahan  itu,  yang  pokok  pangkalnya  ialah,  menurut
peristilahan    kontemporer    egalitarianisme,   demokrasi,
partisipasi, dan keadilan sosial.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174


0 comments :

Post a Comment