Tuesday, 12 February 2013

Paradigma Keberagamaan Dalam Pendidikan Islam


Paradigma Keberagamaan Dalam Pendidikan Islam
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag




Pendidikan Islam yang menjadi tulang punggung terbentuknya masyarakat yang baik, nampaknya memerlukan visi dan orientasi yang jelas. Sebab bagaimana juga dalam pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang akan mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi. Dengan membentuk dan menumbuhkan wawasan (fikrah), akhlak dan sikap islami, beramal salih serta berjuang untuk memenuhi kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.. Sehingga mampu memberikan output yang siap menghadapi setiap tantangan jamannya.
Namun realita menunjukkan bahwa hingga kini output pendidikan Islam tidak banyak memberikan kontribusi kalau tidak bisa dikatakan mandul dalam menjawab tantangan jaman dan menyelesaikan problem kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dan akan dihadapi. Banyaknya peristiwa kriminalitas dan pelanggaran hukum, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang meluas dan tingginya angka kriminalitas, tawuran antar pelajar/pemuda ataupun warga, bahkan narkoba. Sungguh   kejadian    yang mungkin tidak pernah  terbayangkan dalam pikiran kita sebagai banga yang santun. Hal itu merupakan faktor penting krisis multi dimensi negeri ini dan menandai gagalnya pendidikan moral,  khususnya pendidikan Islam. Ironisnya, pelanggar hukum, pelaku korupsi dan kriminal tersebut mayoritas memeluk Islam yang pernah menjalani pendidikan formal dan pendidikan Islam. Maka, tidaklah  terlalu berlebihan jika ada  yang mengatakan bahwa kebrobrokan moral bangsa ini adalah tanggung jawab pendidikan khususnya pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak cukup berhasil bila tidak dikatakan gagal membuat manusia atau peserta didik  yang tercerahi. Padahal pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi  yang bertaqwa dan berbudi luhur.
Memang, dalam pendidikan Islam baik lembaga maupun lulusannya semakin menjamur, tetapi mengapa  krisis multidimensi khususnya  krisis moral negeri ini  semakin menjamur pula. Hal ini perlu disadari oleh para pakar maupun praktis pendidikan akan signifikan pendidikan khususnya pendidikan Islam dalam kehidupan modern untuk selalu melakukan perubahan-perubahan fundamental  mengenai pendidikan.
Banyak orang atau putra bangsa  yang cerdas  secara akal dan terdidik secara formal serta berpengetahuan dan berwawasan luas dengan kecerdasan dan pendidikannya  tersebut. Namun tidak ada jaminan,  bahwa dengan sejumlah kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu mempunyai komitmen moral. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekedar penguasaan ilmu ( transfer of knowledge) dan keniasaan melakukan doktrin-doktrin tertentu misalnya, salat, puasa, zakat dan lain sebagainya. Karena tak terhitung orang yang melakukan  itu tetapi masih juga  yang melanggar hukum.
Karena itu, persoalan pendidikan Islam perlu ada reformasi dari tujuan, dasar teoritik dan praktek pembelajaran yang selama ini dilakukan. Kecerdasan rakyat sebagai orientasi kolektif kebangsaan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, memerlukan konsep dan strategi yang jelas, praktis dan relevan bagi kecerdasan, ketrampilan kerja, peran pblik dan keagamaan. Pengembangan daya kritis kreatif salah satu kunci pemecahan masalah dalam pembelajaran yang dibarengi dengan pengkayaan pengalaman spiritual dan bertuhan. Hal ini terkait dengan gagasan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), otonomi kampus, quantum learning, teori kecerdasan emosional, pendidikan pembebasan dan lain sebagainya.
Integrasi Ilmu dan Iman
Praktek pendidikan selain perlu  pembelajaran berorientasi sekolah,  terutama pendidikan Islam semestinya berorientasi pula pada peserta didik sebagai pelaku otonom tentunya harus lebih diperhatikan. Sehingga dalam pendidikan Islam pengalaman bertuhan bisa di capai dan dikembangkan melalui proses pembelajaran, misalnya ilmu tauhid, akhlak dan fikih.  Hal ini menunjukkan  bahwa industri sebuah pendidikan adalah bagaimana peserta didik memperoleh pengalaman bertuhan yang nantinya akan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya berpengetahuan tentang ilmu-ilmu keislaman saja yang telah menjadi sebuah produk atau hasil pemahaman seseorang, bukan proses itu sendiri. Misalnya bagaimana seseorang bertuhan atau bertauhid, bagaimana berakhlak, bagaimana seseorang mampu membiasakan diri mengambil tindakan yang benar dan meninggalkan yang salah dengan berdasar pada keyakinan akan kekuasaan Tuhan yang mengawasi dan membalas tindakan manusia dalam keadaan apapun. Yaitu proses menjadi orang beragama yang seharusnya dengan cara menumbuhkan pengalaman bertuhan.
Tidaklah seseorang dikatakan menjadi muslim yang baik kalau ia hanya berpengetahuan atau berilmu tanpa mempraktekkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan praktek tersebut tidaklah dianggap baik kalau hanya sekedar formalitas belaka, tanpa adanya penghayatan dan pengalaman religius yang sangat pribadi. Sebagai ilustrasi yang nyata dalam keberagamaan melalui pengalaman bertuhan pada jaman Nabi Muhammad SAW., bahwa kesalehan sahabat Nabi Muhammad SAW., dan generasi muslim di awal sejarah Islam, bukan karena ilmu-ilmu yang muncul sekitar satu abad sesudah Nabi Muhammad SAW., wafat yang sekarang telah menjadi produk jadi dan dikemas dalam berbagai macam kemasan, di mana setiap orang sekarang hanya menjadi konsumen yang hanya siap menerima bukan mengkaji kembali keberadaan ilmu-ilmu tersebut apalagi menghayatinya.
Di awal sejarah Islam, menjadi muslimin, muhsinin, atau mukminin, adalah lebih sebagai hasil pengalaman ketuhanan personal, tidak hanya mengetahui cara beragama, atau cara melaksanakan doktrin ajaran untuk dekat dengan Tuhan tetapi mengalaminya sendiri. Dalam hal ini, bukan berarti ilmu pengetahuan itu tak penting, akan tetapi akan lebih baik lagi kalau seseorang itu di samping berilmu juga beriman (terdorong melakukan kebaikan) melalui pengalaman bertuhan. Sebab antara ilmu dan iman merupakan satu kesatuan ibarat dua sisi mata uang yang berbeda (two in one). Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam surat al-Mujadalah ayat 11, yang artinya : “.... Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu pengetahuan ke berbagai tingkat atau derajat”.
Iman mendorong kita berbuat baik untuk mendapatkan ridla Allah dan ilmu akan melengkapi kita dengan kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan dorongan untuk berbuat baik itu. Secara faktual, sering kita lihat bahkan kita rasakan bahwa iman adalah primer dan ilmu adalah sekunder. Sehingga bisa dimengerti bila ada yang melukiskan, lebih baik seorang yang jujur meskipun bodoh daripada seorang jahat meskipun berilmu “atau” lebih baik seorang yang bodoh tetapi jujur daripada seorang yang pandai tetapi jahat”. Sebab kepandaian di tangan orang jahat akan menunjang kejahatan itu sehingga berlipat ganda dan semakin merusak, seperti terbukti di negara kita banyak orang yang pandai, cerdas, dan terdidik secara formal akan tetapi tidak mempunyai sifat jujur dan semacamnya, sehingga semakin menambah semrawutnya negeri kita.
Religiusitas Pendidikan
Oleh karena itu, persoalan pendidikan Islam perlu diperjelas kembali tujuan, dasar teoritik dan praktek pembelajaran yang selama ini dilakukan. Bagaimana mengelola pembelajaran dalam sistem pendidikan di samping mampu memberi ilmu pengetahuan juga mampu menumbuhkan pengalaman ketuhanan sekaligus kemanusiaan. Pengalaman bertuhan sangat penting karena kemampuan akhlak akan tumbuh jika mempunyai kesadaran akan kekuasaan Allah SWT.
Dalam konteks keberagamaan, seseorang yang mempunyai akhlak dan kepekaan sosial tinggi bukan menjadi representasi kualitas keberagamaannya. Demikian juga orang yang rajin melakukan doktrin-doktrin ajaran agama seperti salat, puasa, zakat, dan lain-lain, bahkan haji sampai berkali-kali, belum menjadi representasi keberagamaan atau religiusitasnya. Karena realita menunjukkan bahwa masih banyak orang yang melaksanakan semua doktrin tersebut akan tetapi tetap berbuat kriminal atau kejahatan lainnya.
Disisi lain, dalam konteks pendidikan masih banyak juga lembaga pendidikan yan ghanya mngevaluasi segi kognisi dan praktek keagamaan formal saja, misalnya praktek salat,  pesantren kilat, kuliah ahad pagi dan lain sebagainya. Sedangkan dimensi yang lain seperti penghayatan dan pengalaman bertuhan terabaikan, padahal dimensi itulah yang terpenting dalam menumbuhkan pribadi yang bertaqwa. Sulit memang mengukur kualiatas ketaqwaan seseorang. Tetapi bagaimapun juga, dimensi itulah yang menjadi tujuan peandidikan Islam yang diharapkan benar-benar menjadi atulang punggung terbentuknya masyarakat yang baik.
Sebagai kerangka acuan dalam memperjelas bagaimana konsep keberagaman seseorang, dapat kita lihat kriteria yang ditawarkan R. Stark dan C.Y. Glock. Pertama dimensi keyakinan yang memuat mengenai pengakuan terhadap doktrin-doktrin kebenaran agama kebenaran agama, misalnya aqidah atau  tauhid (keesaan Allah) dan keimanan yang lain seperti, Muhammad sebagai utusan Allah, adanya malaikat dan lain-lain. Kedua, dimensi praktek agama, mencakup perilaku keagamaan seperti salat, zakat, puasa dan lain-lain yang meliputi tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci.
Ketiga, dimensi pengalaman yang menunjukkan adanya penghayatan setiap praktek ritual yang dilaksanakan. Hal inilah menjadi inti dari ritual formal, yaitu adanya kekhusyukan dalam beribadah ataupun lainnya sebagai kesadaran bertuhan. Kempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu perolehan pengetahuan (ilmu pengetahuan) dalam melaksanakan agamanya. Kelima, dimensi konsekuensi yang merupakan akibat dari dimensi-dimensi yang lain, yaitu tumbuhnya sikap kemanusiaan atau mempunyai rasa sosial tinggi dalam berhubungan dengan sesamanya. Secara sederhana dimensi ini termasuk di dalamnya adalah akhlak. (Roland Roberstson, 1988:295-296).
Kelima dimensi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan pendidikan Islam. Bagaimana setiap praktisis pendidikan mampu menerapkan setiap materi dan metode dengan berpengang teguh dengan kelima dimensi tersebut. Sehingga diharapkan output pendidikana menjadi manusia yang benar-benar menjadi taulang punggung terbentuknya masyarakat yang baik, mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi dan asiap menghadapi tantangan jamanya serta mempu menjawab kebutauhan masyarakat dengan bekal, aqidah, praktek ritual ajaran agama, penghayatan atau pengalaman bertuhan, berilmu pengetahuan dan berakhlak tainggi.



0 comments :

Post a Comment