Paradigma Keberagamaan Dalam Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam yang menjadi
tulang punggung terbentuknya masyarakat yang baik, nampaknya memerlukan visi
dan orientasi yang jelas. Sebab bagaimana juga dalam pendidikan Islam bertujuan
membentuk manusia yang akan mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi.
Dengan membentuk dan menumbuhkan wawasan (fikrah), akhlak dan sikap islami, beramal salih serta berjuang untuk
memenuhi kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.. Sehingga mampu memberikan output yang
siap menghadapi setiap tantangan jamannya.
Namun realita menunjukkan
bahwa hingga kini output pendidikan Islam tidak banyak memberikan
kontribusi kalau tidak bisa dikatakan mandul dalam menjawab tantangan jaman dan
menyelesaikan problem kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dan akan
dihadapi. Banyaknya peristiwa kriminalitas dan pelanggaran hukum, seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang meluas dan tingginya angka
kriminalitas, tawuran antar pelajar/pemuda ataupun warga, bahkan narkoba.
Sungguh kejadian
yang mungkin tidak pernah
terbayangkan dalam pikiran kita sebagai banga yang santun. Hal itu merupakan faktor penting krisis
multi dimensi negeri ini dan menandai gagalnya pendidikan moral, khususnya pendidikan Islam. Ironisnya,
pelanggar hukum, pelaku korupsi dan kriminal tersebut mayoritas memeluk Islam yang pernah menjalani
pendidikan formal dan pendidikan Islam. Maka, tidaklah terlalu berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa kebrobrokan moral bangsa
ini adalah tanggung jawab pendidikan khususnya pendidikan Islam. Pendidikan
Islam tidak cukup berhasil bila tidak dikatakan gagal membuat manusia atau
peserta didik yang tercerahi. Padahal
pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi
yang bertaqwa dan berbudi luhur.
Memang, dalam pendidikan Islam
baik lembaga maupun lulusannya semakin menjamur, tetapi mengapa krisis multidimensi khususnya krisis moral negeri ini semakin menjamur pula. Hal ini perlu disadari
oleh para pakar maupun praktis pendidikan akan signifikan pendidikan khususnya
pendidikan Islam dalam kehidupan modern untuk selalu melakukan
perubahan-perubahan fundamental mengenai
pendidikan.
Banyak orang atau putra
bangsa yang cerdas secara akal dan terdidik secara formal serta
berpengetahuan dan berwawasan luas dengan kecerdasan dan pendidikannya tersebut. Namun tidak ada jaminan, bahwa dengan sejumlah kecerdasan dan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya itu mempunyai komitmen moral. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan
sekedar penguasaan ilmu (
transfer of knowledge) dan keniasaan melakukan doktrin-doktrin tertentu
misalnya, salat, puasa, zakat dan lain sebagainya. Karena tak terhitung orang
yang melakukan itu tetapi masih
juga yang melanggar hukum.
Karena itu, persoalan
pendidikan Islam perlu ada reformasi dari tujuan, dasar teoritik dan praktek pembelajaran yang selama ini
dilakukan. Kecerdasan rakyat sebagai orientasi kolektif kebangsaan sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945, memerlukan konsep dan strategi yang jelas, praktis
dan relevan bagi kecerdasan, ketrampilan kerja, peran pblik dan keagamaan.
Pengembangan daya kritis kreatif salah satu kunci pemecahan masalah dalam
pembelajaran yang dibarengi dengan pengkayaan pengalaman spiritual dan bertuhan.
Hal ini terkait dengan gagasan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), otonomi
kampus, quantum learning, teori kecerdasan emosional, pendidikan pembebasan dan lain
sebagainya.
Integrasi Ilmu dan Iman
Praktek pendidikan selain
perlu pembelajaran berorientasi sekolah, terutama pendidikan Islam semestinya
berorientasi pula pada peserta didik sebagai pelaku otonom tentunya harus lebih
diperhatikan. Sehingga dalam pendidikan Islam pengalaman bertuhan bisa di capai
dan dikembangkan melalui proses pembelajaran, misalnya ilmu tauhid, akhlak dan
fikih. Hal ini menunjukkan bahwa industri sebuah pendidikan adalah
bagaimana peserta didik memperoleh pengalaman bertuhan yang nantinya akan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya berpengetahuan tentang
ilmu-ilmu keislaman saja yang telah menjadi sebuah produk atau hasil pemahaman
seseorang, bukan proses itu sendiri. Misalnya bagaimana seseorang bertuhan atau
bertauhid, bagaimana berakhlak, bagaimana seseorang mampu membiasakan diri
mengambil tindakan yang benar dan meninggalkan yang salah dengan berdasar pada
keyakinan akan kekuasaan Tuhan yang mengawasi dan membalas tindakan manusia
dalam keadaan apapun. Yaitu proses menjadi orang beragama yang seharusnya
dengan cara menumbuhkan pengalaman bertuhan.
Tidaklah seseorang dikatakan
menjadi muslim yang baik kalau ia hanya berpengetahuan atau berilmu tanpa
mempraktekkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan praktek tersebut
tidaklah dianggap baik kalau hanya sekedar formalitas belaka, tanpa adanya
penghayatan dan pengalaman religius yang sangat pribadi. Sebagai ilustrasi yang
nyata dalam keberagamaan melalui pengalaman bertuhan pada jaman Nabi Muhammad
SAW., bahwa kesalehan sahabat Nabi Muhammad SAW., dan generasi muslim di awal
sejarah Islam, bukan karena ilmu-ilmu yang muncul sekitar satu abad sesudah
Nabi Muhammad SAW., wafat yang sekarang telah menjadi produk jadi dan dikemas
dalam berbagai macam kemasan, di mana setiap orang sekarang hanya menjadi
konsumen yang hanya siap menerima bukan mengkaji kembali keberadaan ilmu-ilmu
tersebut apalagi menghayatinya.
Di awal sejarah Islam, menjadi
muslimin, muhsinin, atau mukminin, adalah lebih sebagai hasil pengalaman
ketuhanan personal, tidak hanya mengetahui cara beragama, atau cara
melaksanakan doktrin ajaran untuk dekat dengan Tuhan tetapi mengalaminya
sendiri. Dalam hal ini, bukan berarti ilmu pengetahuan itu tak penting, akan
tetapi akan lebih baik lagi kalau seseorang itu di samping berilmu juga beriman
(terdorong melakukan kebaikan) melalui pengalaman bertuhan. Sebab antara ilmu
dan iman merupakan satu kesatuan ibarat dua sisi mata uang yang berbeda (two
in one). Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam surat al-Mujadalah
ayat 11, yang artinya : “.... Allah mengangkat mereka yang beriman di antara
kamu dan mereka yang diberi ilmu pengetahuan ke berbagai tingkat atau derajat”.
Iman mendorong kita berbuat
baik untuk mendapatkan ridla Allah dan ilmu akan melengkapi kita dengan
kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan
dorongan untuk berbuat baik itu. Secara faktual, sering kita lihat bahkan kita
rasakan bahwa iman adalah primer dan ilmu adalah sekunder. Sehingga bisa
dimengerti bila ada yang melukiskan, lebih baik seorang yang jujur meskipun
bodoh daripada seorang jahat meskipun berilmu “atau” lebih baik seorang yang
bodoh tetapi jujur daripada seorang yang pandai tetapi jahat”. Sebab kepandaian
di tangan orang jahat akan menunjang kejahatan itu sehingga berlipat ganda dan
semakin merusak, seperti terbukti di negara kita banyak orang yang pandai,
cerdas, dan terdidik secara formal akan tetapi tidak mempunyai sifat jujur dan
semacamnya, sehingga semakin menambah semrawutnya negeri kita.
Religiusitas Pendidikan
Oleh karena itu, persoalan
pendidikan Islam perlu diperjelas kembali tujuan, dasar teoritik dan praktek
pembelajaran yang selama ini dilakukan. Bagaimana mengelola pembelajaran dalam
sistem pendidikan di samping mampu memberi ilmu pengetahuan juga mampu menumbuhkan
pengalaman ketuhanan sekaligus kemanusiaan. Pengalaman bertuhan sangat penting
karena kemampuan akhlak akan tumbuh jika mempunyai kesadaran akan kekuasaan
Allah SWT.
Dalam konteks keberagamaan,
seseorang yang mempunyai akhlak dan kepekaan sosial tinggi bukan menjadi
representasi kualitas keberagamaannya. Demikian juga orang yang rajin melakukan
doktrin-doktrin ajaran agama seperti salat, puasa, zakat, dan lain-lain, bahkan
haji sampai berkali-kali, belum menjadi representasi keberagamaan atau religiusitasnya.
Karena realita menunjukkan bahwa masih banyak orang yang melaksanakan semua
doktrin tersebut akan tetapi tetap berbuat kriminal atau kejahatan lainnya.
Disisi lain, dalam konteks
pendidikan masih banyak juga lembaga pendidikan yan ghanya mngevaluasi segi
kognisi dan praktek keagamaan formal saja, misalnya praktek salat, pesantren kilat, kuliah ahad pagi dan lain
sebagainya. Sedangkan dimensi yang lain seperti penghayatan dan pengalaman
bertuhan terabaikan, padahal dimensi itulah yang terpenting dalam menumbuhkan
pribadi yang bertaqwa. Sulit memang mengukur kualiatas ketaqwaan seseorang.
Tetapi bagaimapun juga, dimensi itulah yang menjadi tujuan peandidikan Islam
yang diharapkan benar-benar menjadi atulang punggung terbentuknya masyarakat
yang baik.
Sebagai kerangka acuan dalam
memperjelas bagaimana konsep keberagaman seseorang, dapat kita lihat kriteria
yang ditawarkan R. Stark dan C.Y. Glock. Pertama dimensi keyakinan yang
memuat mengenai pengakuan terhadap doktrin-doktrin kebenaran agama kebenaran
agama, misalnya aqidah atau tauhid
(keesaan Allah) dan keimanan yang lain seperti, Muhammad sebagai utusan Allah, adanya
malaikat dan lain-lain. Kedua, dimensi praktek agama, mencakup perilaku
keagamaan seperti salat, zakat, puasa dan lain-lain yang meliputi tindakan
keagamaan formal dan praktek-praktek suci.
Ketiga, dimensi pengalaman yang menunjukkan
adanya penghayatan setiap praktek ritual yang dilaksanakan. Hal inilah menjadi
inti dari ritual formal, yaitu adanya kekhusyukan dalam beribadah ataupun
lainnya sebagai kesadaran bertuhan. Kempat, dimensi pengetahuan agama
yang mengacu perolehan pengetahuan (ilmu pengetahuan) dalam melaksanakan
agamanya. Kelima, dimensi konsekuensi yang merupakan akibat dari
dimensi-dimensi yang lain, yaitu tumbuhnya sikap kemanusiaan atau mempunyai
rasa sosial tinggi dalam berhubungan dengan sesamanya. Secara sederhana dimensi
ini termasuk di dalamnya adalah akhlak. (Roland Roberstson, 1988:295-296).
Kelima dimensi tersebut dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengembangan pendidikan Islam. Bagaimana setiap praktisis
pendidikan mampu menerapkan setiap materi dan metode dengan berpengang teguh
dengan kelima dimensi tersebut. Sehingga diharapkan output pendidikana menjadi
manusia yang benar-benar menjadi taulang punggung terbentuknya masyarakat yang
baik, mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi dan asiap menghadapi
tantangan jamanya serta mempu menjawab kebutauhan masyarakat dengan bekal,
aqidah, praktek ritual ajaran agama, penghayatan atau pengalaman bertuhan,
berilmu pengetahuan dan berakhlak tainggi.
0 comments :
Post a Comment