POLITIK
Dr. M.
Quraish Shihab, M.A.
Kata politik pada mulanya
terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin
politicos atau politõcus
yang berarti relating
to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
kata politik sebagai "segala urusan
dan tindakan (kebijakan,
siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan negara atau terhadap negara
lain." Juga dalam
arti "kebijakan, cara
bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."
Dalam kamus-kamus bahasa Arab
modern, kata politik
biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang
biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur,
dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti
penuh kuman, kutu, atau rusak.
Dalam Al-Quran
tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun
ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.
Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya
ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan
Al-Quran dan sunnah
Nabi sebagai rujukan. Bahkan
Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya
dengan As-siyasah Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan).
Uraian Al-Quran
tentang politik secara
sepintas dapat ditemukan pada
ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti
"menghalangi atau melarang
dalam rangka perbaikan".
Dari akar kata yang sama terbentuk
kata hikmah yang pada
mulanya berarti kendali. Makna
ini sejalan dengan asal makna kata
sasa-yasusu-sais siyasat, yang
berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukm
dalam bahasa Arab tidak selalu
sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia
yang oleh kamus
dinyatakan antara lain berarti
"putusan". Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian,
yang bisa mengandung berbagai
makna, bukan hanya bisa
digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan
atasnya hukum, tetapi
juga ia dapat
berarti perbuatan dan sifat.
Sebagai "perbuatan"
kata hukm berarti membuat atau
menjalankan putusan, dan
sebagai sifat yang menunjuk
kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami
sebagai "membuat atau menjalankan
keputusan", maka tentu pembuatan
dan upaya menjalankan
itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang
terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya
politik.
Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di
atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.
Di sisi lain terdapat
persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara
ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu
masalah sehingga mendatangkan manfaat
atau menghindarkan mudarat.
Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang
dikemukakan Kamus Besar Bahasa
Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.
Dalam Al-Quran
ditemukan dua puluh
kali kata hikmah, kesemuanya dalam
konteks pujian. Salah
satu di antaranya adalah surat
Al-Baqarah (2): 269:
Siapa yang dianugerahi
hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.
WAWASAN POLITIK DALAM AL-QURAN
Dalam Al-Quran ditemukan
sekian banyak ayat
yang berbicara tentang hukm (Arab).
Pengamatan sepintas, boleh
jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran yang secara
tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat
yang menyatakan,
Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah (QS
Al-An'am [6]: 57)
Kelompok Khawarij yang tidak
menyetujui kebiiaksanaan Khalifah keempat
Ali bin Abi
Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan
redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan
berkata,
Kalimat yang benar, tetapi
yang dimaksudkan adalah batil.
Memang ada
empat ayat Al-Quran
yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada dua hal
yang harus digarisbawahi
dalam hubungan ini.
Pertama, keempat
ayat yang menggunakan
redaksi tersebut dikemukakan dalam
konteks tertentu. Perhatikan
ayat-ayat berikut:
Katakanlah,
"Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain
Allah". Katakanlah, "Aku tidak
akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah
aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk". Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di atas
bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang
kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).
Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks
ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi
hukum yang berkaitan
dengan wewenang Allah.
Dalam surat
Yusuf (12): 40,
dan 67 redaksi
serupa juga ditemukan Ayat 40 berbicara
dalam konteks mengesakan
Allah dalam ibadah:
Menetapkan hukum hanyalah
hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Sedangkan ayat 67
berbicara tentang kewajiban
berusaha dan keterlibatan takdir Allah.
Wahai anak-anakku, jangan
masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang
berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit
pun dari takdir Allah. Keputusan
menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah Kepada-Nya aku berserah diri dan
hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.
Ayat keempat dan terakhir menggunakan
redaksi yang sedikit berbeda, yang terdapat dalam surat
Al-An'am (6): 62,
Kemudian (setelah kematian)
mereka dikembalikan kepada (putusan,) A11ah, Penguasa mereka yang sebenarnya.
Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah
pembuat perhitungan yang paling cepat.
Sebagaimana terbaca, ayat
ini berbicara tentang
ketetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari
kiamat.
Di sisi lain, ditemukan sekian
banyak ayat yang
menisbahkan hukum kepada manusia,
baik dalam kedudukannya sebagai
nabi maupun manusia biasa.
Perhatikan firman Allah
dalam Surat Al-Baqarah (2):
213 yang berbicara
tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka
dengan tujuan --menurut redaksi Al-Quran:
Agar masing-masing Nabi
memberi putusan tentang perselisihan antar manusia.
Di samping
perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada
seluruh manusia yang berbunyi:
Dan apabita kamu berhukum
(menjatuhkan putusan) di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan
adil (QS Al-Nisa' [4]:
58).
Kedua, kalaupun ayat-ayat
yang berbicara tentang
kekhususan Allah dalam menetapkan
hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari
konteksnya, maka kekhususan tersebut
bersifat relatif, atau apa yang
diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran dengan
hashr idhafi. Dengan
memperhatikan keseluruhan ayat-ayat
yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah
telah memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan
kebijaksanaan atas dasar
pelimpahan dari Allah Swt., dan karena
itu manusia yang
baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang
itu.
KEKUASAAN POLITIK
Allah Swt. adalah pemilik
segala sesuatu,
Allah adalah pemilik
kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (QS Al-Ma-idah [5]: 18).
Demikian satu dan sekian
banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kekuasaan Allah yang
meliputi segala sesuatu.
Benar, kita juga membaca,
Pemilik hari kebangkitan (QS Al-Fatihah [1]: 4).
Ayat ini boleh jadi mengantar
seseorang untuk menduga
bahwa Dia bukan pemilik hari-hari duniawi, namun ini tidaklah benar. Ayat Al-Fatihah
ini, menekankan bahwa
kepemilikannya menyangkut
hari kemudian adalah
mutlak serta amat nyata, sehingga --ketika itu-- jangankan
bertindak, berbicara pun hanya berbisik:
Dan rendahkanlah semua
suara kepada Tuhan Yang Maha pemurah
sehingga kamu tidak mendengar kecuali bisikan (QS Thaha
[20]: 108).
Itu pun harus dengan
seizin-Nya, jangankan manusia, malaikat pun
demikian, seperti firman-Nya dalam surat Al-Naba' (78): 38.
Mereka tidak bercakap
kecuali seizin Tuhan Yang Maha Pemurah dan perkataan mereka benar (QS Al-Naba' [78]: 38).
Adapun di dunia, maka di
samping Dia melimpahkan
sebagian kekuasaan-Nya
kepada makhluk, juga karena
kekuasaan tersebut tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada
manusia di dunia ini
yang tidak mengakui
kekuasaan Allah dalam perwujudan-Nya?
Dalam konteks kekuasaan
politik, Al-Quran memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan
pernyataan tegas berikut:
Katakanlah, "Wahai
Tuhan pemilik kekuasaan, engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa
yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang
Engkau kehendaki, dalam tangan-Mu segala
kebaikkan, sesungguhnya Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu." (QS Ali Imran [3]: 26).
Dalam konteks ini, Rasul Saw.
setiap habis shalat membaca doa, yang hingga kini masih populer di kalangan
umat Islam:
Namun demikian,
seperti tersurat dalam ayat di atas, Allah Swt.
menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka
ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti
prinsip-prinsip kekuasaan politik
dan ada pula yang gagal.
Paling tidak,
dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai uraian tentang kekuasaan
politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah
istikhlaf dan isti'mar.
a. Istikhlaf
Dalam surat
Al-Baqarah (52): 30 dinyatakan
Sesungguhnya
Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah.
Kata khalifah dalam
bentuk tunggal terulang
dalam Al-Quran sebanyak dua
kali, yakni ayat di atas, dan
surat Shad (38): 26:
Wahai Daud Kami telah
menjadikan engkau khalifah di bumi.
Bentuk jamak dari kata
tersebut ada dua macam khulafa' dan khalaif. Masing-masing mempunyai
makna sesuai dengan konteksnya.
Seperti terbaca di atas,
ayat-ayat yang berbicara
tentang pengangkatan
khalifah dalam Al-Quran
ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah
manusia pertama (Adam) dan
ketika itu belum ada masyarakat
manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau
menjadi khalifah setelah berhasil
membunuh Jalut. Al-Quran
dalam hal ini menginformasikan bahwa,
Dan Daud membunuh Jalut.
Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang
dikehendaki-Nya (QS
Al-Baqarah [2]: 251].
Ayat ini menunjukkan bahwa Daud
memperoleh kekuasann tertentu dalam mengelola
satu wilayah, dan
dengan demikian kata khalifah pada ayat yang membicarakan
pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam
arti kekuasaan mengelola
wilayah atau dengan kata lain
kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh surat Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan
bahwa Nabi Daud a.s. dianugerahi hikmah yang
maknanya telah dijelaskan sebelum ini.
Kekhalifahan dalam
arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan
bentuk jamak khulafa'. Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A'raf
(7): 69 dan 74, serta Al-Naml (27): 62.
Menarik juga untuk
dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan pengangkatan Adam
sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal dalam menunjuk pengangkatan
itu,
Sesungguhnya Aku akan
mengangkat di bumi khalifah (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Sedangkan ketika berbicara
tentang pengangkatan Daud sebagai khalifah digunakannya bentuk plural
(jamak),
Sesungguhnya Kami telah
mengangkat engkau khalifah.
Pengggunaan bentuk tunggal
pada Adam cukup beralasan
karena ketika itu memang
belum ada masyarakat manusia,
apalagi ia baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang menyatakan, "Aku akan". Sedangkan pada Daud, digunakan
bentuk jamak serta past tense (kata kerja
masa lampau), "Kami
telah" untuk mengisyaratkan adanya
keterlibatan selain dari Tuhan
(dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut.
Di sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang
sebagai khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh satu
oknum, selama itu masih
dalam bentuk ide. Tetapi kalau
akan diwujudkan di alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang
banyak atau masyarakat.
Ayat Sesungguhnya
Aku akan mengangkat khalifah di bumi (QS Al-Baqarah 12]:
31) menginformasikan juga
unsur-unsur kekhalifahan
sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah
(1) bumi atau wilayah,
(2) khalifah (yang diberi
kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan antara pemilik
kekuasaan dengan wilayah,
dan hubungannya dengan pemberi
kekuasaan (Allah Swt.).
Kekhalifahan itu
baru dinilai baik
apabila sang khalifah memperhatikan
hubungan-hubungan tersebut.
b. Isti'mar
Kata isti'mar dalam
bahasa Arab modern diartikan penjajahan; ista'mara adalah
menjajah. Makna ini
tidak dikenal dalam bahasa
Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan
yang tidak sejalan dengan kaidah
bahasa Arab dan akar katanya.
Dalam surat Hud (11): 61 Allah
berfirman:
Dia Allah yang menciptakan
kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya.
Kata isti'mara pada
ayat di atas terdiri dari huruf sin
dan ta' yang dapat berarti
meminta seperti dalam kata istighfara, yang berarti meminta
maghfirah (ampunan). Dapat
juga kedua huruf tersebut
berarti "menjadikan"
seperti pada kata hajar yang berarti "batu" bila
digandengkan dengan sin
dan ta' sehingga
terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.
Kata 'amara
dapat diartikan dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks
uraian ayat. Surat Al-Tawbah (9): 17 dan
18 yang menggunakan kata
kerja masa kini ya'muru,
dan ya'muru dalam konteks
uraian tentang masjid
diartikan memakmurkan masjid dengan
jalan membangun, memelihara,
memugar, membersihkan, shalat,
atau i'tikaf di
dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum (30): 9 yang mengulangi dua kali kata
kerja masa lampau 'amaru berbicara
tentang bumi, diartikan
sebagai membangun bangunan, serta
mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya.
Jika demikian, kata ista'marakum
dapat berarti "menjadikan kamu" atau
"meminta/menugaskan
kamu" mengolah bumi
guna memperoleh manfaatnya.
Dari satu sisi,
penugasan tersebut dapat merupakan
pelimpahan kekuasaan politik; di sisi lain karena yang menjadikan
dan yang menugaskan itu adalah
Allah Swt., maka para
petugas dalam menjalankan
tugasnya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya.
PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK
Seperti terlihat di atas,
kekuasaan politik dianugerahkan oleh Allah
Swt. kepada manusia.
Penganugerahan ini dilakukan melalui satu ikatan
perjanjian. Ikatan ini
terjalin antara sang penguasa
dengan Allah Swt.
di satu pihak dan dengan masyarakatnya
di pihak lain. Perjanjian dengan
Allah dinamai oleh-Nya dalam
Al-Quran dengan 'ahd.
Dalam surat
Al-Baqarah (2): 124
Nabi Ibrahim a.s.
yang diangkat Tuhan menjadi imam bermohon kepada-Nya
agar imamah (kepemimpinan) itu diperoleh pula oleh anak cucunya.
Kemudian Allah menjawab:
Perjanjianku tidak akan
diperoleh oleh orang-orang zalim.
Adapun perjanjian dengan
anggota masyarakat, maka ia dinamai bai'at. Hal
ini telah penulis isyaratkan
sebelum ini ketika menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan
Nabi Daud a.s. sebagai
khalifah, dan diisyaratkan
juga oleh Al-Quran terhadap Nabi
Muhammad Saw. yang kepada beliau datang wanita-wanita untuk berbaiat.
Hai Nabi, apabila datang
kepadamu perempuan-perempuan beriman untuk mengadakan bai'at (janji setia)
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka
(mengadakan pengakuan palsu tentang hubungan seksual dan akibat-akibatnya),
dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan ma'ruf, maka terimalah bai'at mereka
dan mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Mumtahanah (60): 12).
Perjanjian ini --baik antara
sang penguasa dengan masyarakat maupun antara
dia dengan Yang Mahakuasa-- merupakan amanat yang harus
ditunaikan. Dari sini, tidak heran jika
perintah taat kepada penguasa
(ulil amr) didahului
oleh perintah menunaikan amanah.
Perhatikan firman Allah berikut:
Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menenrimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu
supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Wahai orang-orang yang beriman!
Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka
kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) lagi lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 58-59).
Kedua ayat
di atas dinilai
oleh para ulama
sebagai prinsip-prinsip
pokok yang menghimpun
ajaran Islam tentang kekuasaan atau
pemerintahan. Bahkan Rasyid
Ridha, seorang pakar tafsir,
berpendapat bahwa,
"Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal permerintahan,
maka ayat itu telah amat memadai."
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal,
salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang
dituntut ini bukan hanya
terhadap kelompok, golongan,
atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan
seluruh makhluk. Ayat-ayat Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak,
salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang hampir saja
menyalahkan seorang Yahudi
karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri.
Dalam konteks inilah turun firman Allah:
Dan janganlah kamu menjadi
penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105).
Nabi Saw. dalam sekian
banyak hadisnya memperingatkan hal tersebut, antara 1ain sabdanya,
(Berhati-hatilah) Doa orang yang teraniaya
diterima Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya dipertanggunjawabkan oleh dirinya sendiri (HR Ahmad dan Al-Bazzar melalui Abu
Hurairah).
Berdampingan dengan
amanat yang dibebankan
kepada para penguasa, ditekankan
kewajiban taat masyarakat
terhadap mereka.
Perlu diperhatikan bahwa
redaksi ayat di atas menggandengkan kata "taat" kepada
Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil amr.
Taatlah kepada Allah,
taatlah kepada Rasul, dan ulil amr antara kamu (QS Al-Nisa' [4]: 59).
Tidak disebutkannya kata
taat pada ulil
amr untuk memberi isyarat bahwa
ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan
atau bersyarat dengan ketaatan
kepada Allah dan Rasul,
dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
dibenarkan untuk taat kepada
mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu,
Tidak dibenarkan adanya
ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).
Tetapi di
sisi lain, apabila
perintah ulu amr
tidak mengakibatkan
kemaksiatan, maka ia
wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang
diperintah.
Seorang Muslim wajib
memperkenankan dan taut menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr), suka
atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu
tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayathan oleh Bukhari Muslim, dan lain-lain
melalui Ibnu Umar).
Taat dalam bahasa Al-Quran
berarti "tunduk" menerima
secara tulus dan menemani.
Ini berarti ketaatan
dimaksud bukan sekadar
melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam
upaya-upaya yang dilakukan
penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Dalam konteks ini, Nabi Saw.
bersabda:
Agama adalah nasihat.
Dan ketika para sahabat
bertanya, "Untuk siapa?"
Nabi Saw. menjawab antara
lain,
Untuk para pemimpin kaum Muslim
dan khalayak ramai mereka (HR Muslim
melalui sahabat Nabi
Abu Ruqayyah Tamim
bin Aus Addari).
"Nasihat" yang dimaksud Nabi di sini adalah dukungan positif
kepada mereka termasuk
kontrol sosial demi
suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.
Ayat Al-Nisa' yang
dikutip di atas
menurut pakar tafsir Al-Maraghi. menjelaskan prinsip-prinsip ajaran
agama dalam bidang pemerintahan
serta sumber-sumbernya, yaitu:
1.
Al-Quran Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar taat kepada Allah.
2. Sunnah
Rasul Saw. yang ditunjuk oleh kewajiban taat kepada Rasul.
3. Konsensus ulul amr, yakni mereka yang
diberi kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik cendekia, pemimpin
militer, penguasa, petani, industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya.
Mereka itulah ulul amr.
4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan
kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.
TUGAS-TUGAS PARA PENGUASA
Mereka yang
mendapat anugerah "menguasai wilayah"
diberi berbagai tugas, yang
antara lain diuraikan oleh surat Al-Hajj (22): 41:
Orang-orang yang jika Kami
kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allah
kesudahan segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41).
"Mendirikan shalat"
adalah lambang hubungan baik dengan Allah, sedang "menunaikan zakat"
adalah lambang perhatian
yang ditujukan kepada masyarakat
lemah. "Amr ma'ruf" mencakup segala macam kebajikan, adat
istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang nahi
'an al-munkar adalah lawan dari amr ma'ruf.
Dalam rangka
melaksanakan tugas-tugasnya, para
penguasa dituntut untuk selalu melakukan
musyawarah, yakni "bertukar pikiran dengan
siapa yang dianggap tepat guna
mencapai yang terbaik untuk semua."
Mereka juga dituntut
untuk memanfaatkan semua
potensi yang dapat dimanfaatkan guna
mencapai hasil maksimal
yang diharapkan. Dalam konteks ini,
terjadi diskusi di
kalangan ulama, berkaitan dengan
keterlibatan non-Muslim dalam pemerintahan. Diskusi ini muncul baik
ketika menafsirkan kata minkum (dari
golongan kamu orang-orang
Mukmin) pada surat Al-Nisa (4): 58 yang berbicara tentang ulil amr maupun
dalam ayat-ayat lain yang
secara tekstual melarang
mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
auliya' (yang biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin).
Misalnya firman Allah:
Ayat ini
diterjemahkan oleh Tim
Departemen Agama dalam Al-Quran dan Terjemahnya sebagai
berikut:
Hai orang-orang Mukmin,
janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin,
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara
kamu yang mengambil mereka sebagai
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Ma-idah [5]: 51).
Pakar tafsir kenamaan Muhammad
Rasyid Ridha, sambil menunjuk kepada kenyataan
sejarah masa khalifah
Umar r.a. dan dinasti-dinasti Umawiyah dan Abbasiah, memahami
ayat ini
dan ayat-ayat semacamnya secara
kontekstual. Pakar ini merujuk kepada
firman Allah dalam surat
Ali 'Imran ayat
118 dan menjadikannya sebagai
sebab larangan tersebut. Ayat dimaksud adalah:
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di
luar golonganmu (non-Muslim, karena) mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi
kamu, mereka menginginkan yang menyusahkan kamu. Telah nampak dan ucapan
mereka kebencian, sedang apa yang
disembunyikan oleh dada mereka lebih
besar. Sungguh Kami telah jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan),
jika kamu memahaminya (QS
Ali 'Imran [3]: 1l8).
Ayat di atas? tulis Rasyid
Ridha, mengandung larangan
dan penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga
yang dilarang untuk diangkat menjadi
pemimpin, atau teman kepercayaan
adalah: mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan
bagi kaum Muslim,
serta yang telah nampak dari ucapan mereka kebencian.
Allah Swt.
--tulis Rasyid Ridha-- yang
menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau
kontra yang dapat terjadi
bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama seperti yang
terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi
yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun berbalik membantu
kaum Muslim dalam
beberapa peperangan seperti di
Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir yang
membantu kaum Muslim melawan Romawi.
Dari sini terlihat bahwa
Al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagaõ
alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak
bersahabat. Al-Quran memerintahkan agar setiap umat
berpacu dalam kebajikan seperti
yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2): 148:
Tiap-tiap umat ada kiblat
(arah)-nya masing-masing, maka berpaculah dalam kebajikan-kebajikan. Di mana pun kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan
kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Bahkan Al-Quran sama sekali tidak melarang kaum Muslim
untuk berbuat baik dan
memberi sebagian harta mereka kepada siapa pun, selama mereka tidak
memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir
kaum Muslim dan
kampung halaman mereka
(QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil/memberi
sebagian hartamu, kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan
tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yqng berlaku adil
(QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Demikian sekilas
tentang prinsip-prinsip dasar
wawasan Al-Quran tentang politik.
Rincian dan setiap kebijaksanaan politik
tidak boleh bertentangan dengan prõnsip di atas.[]
0 comments :
Post a Comment