Wednesday 29 August 2012

Islam dan Politik 1


POLITIK

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.


Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin  politicos  atau  politõcus  yang  berarti  relating  to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik  sebagai "segala   urusan   dan   tindakan   (kebijakan,   siasat,  dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap  negara lain."  Juga  dalam  arti  "kebijakan,  cara  bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern,  kata  politik  biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata   sasa-yasusu    yang    biasa    diartikan    mengemudi, mengendalikan,  mengatur,  dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman,  kutu,  atau rusak.
Dalam  Al-Quran  tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.
Sekian  banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan  Al-Quran  dan  sunnah  Nabi sebagai  rujukan.  Bahkan  Ibnu  Taimiyah  (1263-1328) menamai salah satu karya  ilmiahnya  dengan  As-siyasah  Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan).
Uraian   Al-Quran   tentang   politik  secara  sepintas  dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya   berarti  "menghalangi  atau  melarang  dalam  rangka perbaikan". Dari akar kata yang  sama  terbentuk  kata  hikmah yang  pada  mulanya  berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal  makna  kata  sasa-yasusu-sais  siyasat,   yang   berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukm  dalam  bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa  Indonesia  yang  oleh  kamus  dinyatakan antara  lain  berarti  "putusan".  Dalam  bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa  mengandung  berbagai  makna, bukan  hanya  bisa  digunakan  dalam  arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya  hukum,  tetapi  juga  ia  dapat  berarti perbuatan  dan  sifat.  Sebagai  "perbuatan" kata hukm berarti membuat atau  menjalankan  putusan,  dan  sebagai  sifat  yang menunjuk  kepada  sesuatu  yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau  menjalankan  keputusan",  maka tentu   pembuatan   dan  upaya  menjalankan  itu,  baru  dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya  berlaku  hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.
Kata  siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.
Di sisi lain terdapat persamaan makna antara  pengertian  kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah  sehingga mendatangkan  manfaat  atau  menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang  dikemukakan  Kamus  Besar Bahasa  Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.
Dalam  Al-Quran  ditemukan  dua  puluh   kali   kata   hikmah, kesemuanya  dalam  konteks  pujian.  Salah  satu  di antaranya adalah surat Al-Baqarah (2): 269:
Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.

WAWASAN POLITIK DALAM AL-QURAN
Dalam Al-Quran ditemukan sekian  banyak  ayat  yang  berbicara tentang   hukm   (Arab).   Pengamatan   sepintas,  boleh  jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran  yang secara  tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan,
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An'am [6]: 57)
Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebiiaksanaan Khalifah keempat  Ali  bin  Abi  Thalib  pernah  mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat  tersebut,  tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata,
Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil.
Memang  ada  empat  ayat  Al-Quran  yang  menggunakan  redaksi tersebut, tetapi ada dua hal yang  harus  digarisbawahi  dalam hubungan ini.
Pertama,   keempat  ayat  yang  menggunakan  redaksi  tersebut dikemukakan  dalam  konteks  tertentu.  Perhatikan   ayat-ayat berikut:
Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah,  "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh  tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di atas bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).
Ayat  ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan  menjatuhkan  sanksi  hukum  yang  berkaitan  dengan wewenang Allah.
Dalam  surat  Yusuf  (12):  40,  dan  67  redaksi  serupa juga ditemukan Ayat 40 berbicara  dalam  konteks  mengesakan  Allah dalam ibadah:
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Sedangkan  ayat  67  berbicara  tentang kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah.
Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah.  Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.
Ayat keempat dan terakhir  menggunakan  redaksi  yang  sedikit berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62,
Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan,) A11ah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan  yang paling cepat.
Sebagaimana terbaca,  ayat  ini  berbicara  tentang  ketetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari kiamat.
Di sisi lain, ditemukan sekian banyak  ayat  yang  menisbahkan hukum  kepada  manusia,  baik  dalam kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa.  Perhatikan  firman  Allah  dalam  Surat Al-Baqarah  (2):  213  yang  berbicara  tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan --menurut redaksi Al-Quran:
Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang perselisihan antar manusia.
Di  samping  perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:
Dan apabita kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS Al-Nisa' [4]: 58).
Kedua, kalaupun ayat-ayat yang  berbicara  tentang  kekhususan Allah  dalam  menetapkan  hukum  atau  kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka  kekhususan  tersebut  bersifat relatif,  atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran dengan  hashr   idhafi.   Dengan   memperhatikan   keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada  manusia untuk  menetapkan  kebijaksanaan  atas  dasar  pelimpahan dari Allah Swt., dan karena  itu  manusia  yang  baik  adalah  yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.

KEKUASAAN POLITIK
Allah Swt. adalah pemilik segala sesuatu,
Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (QS Al-Ma-idah [5]: 18).
Demikian satu dan sekian banyak ayat Al-Quran  yang  berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu.
Benar, kita juga membaca,
Pemilik hari kebangkitan (QS Al-Fatihah [1]: 4).
Ayat ini boleh jadi mengantar seseorang  untuk  menduga  bahwa Dia bukan pemilik hari-hari duniawi, namun ini tidaklah benar. Ayat   Al-Fatihah   ini,   menekankan   bahwa   kepemilikannya menyangkut  hari  kemudian  adalah  mutlak  serta  amat nyata, sehingga --ketika itu--  jangankan  bertindak,  berbicara  pun hanya berbisik:
Dan rendahkanlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha  pemurah sehingga kamu tidak mendengar kecuali bisikan  (QS Thaha [20]: 108).
Itu pun harus dengan seizin-Nya, jangankan  manusia,  malaikat pun  demikian,  seperti  firman-Nya dalam surat Al-Naba' (78): 38.
Mereka tidak bercakap kecuali seizin Tuhan Yang Maha Pemurah dan perkataan mereka benar (QS Al-Naba' [78]:  38).
Adapun di dunia, maka  di  samping  Dia  melimpahkan  sebagian kekuasaan-Nya  kepada  makhluk, juga karena kekuasaan tersebut tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada manusia  di dunia   ini   yang   tidak   mengakui  kekuasaan  Allah  dalam perwujudan-Nya?
Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Quran  memerintahkan  Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
Katakanlah, "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau  kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau  kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau  kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebaikkan,  sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."  (QS Ali Imran [3]: 26).
Dalam konteks ini, Rasul Saw. setiap habis shalat membaca doa, yang hingga kini masih populer di kalangan umat Islam:
Namun  demikian,  seperti  tersurat  dalam ayat di atas, Allah Swt. menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara  mereka  ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip  kekuasaan  politik  dan ada pula yang gagal.
Paling  tidak,  dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang  dibebankan Allah  kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar.
a. Istikhlaf
Dalam surat Al-Baqarah (52): 30 dinyatakan
Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah.
Kata khalifah dalam bentuk  tunggal  terulang  dalam  Al-Quran sebanyak  dua  kali,  yakni ayat di atas, dan surat Shad (38): 26:
Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di  bumi.
Bentuk jamak dari kata tersebut ada  dua  macam  khulafa'  dan khalaif.   Masing-masing   mempunyai   makna   sesuai   dengan konteksnya.
Seperti terbaca di  atas,  ayat-ayat  yang  berbicara  tentang pengangkatan  khalifah  dalam  Al-Quran  ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama  adalah  manusia  pertama (Adam)  dan  ketika  itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud.  Beliau  menjadi  khalifah setelah  berhasil  membunuh  Jalut.  Al-Quran  dalam  hal  ini menginformasikan bahwa,
Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya (QS Al-Baqarah [2]: 251].
Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasann  tertentu dalam   mengelola  satu  wilayah,  dan  dengan  demikian  kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud  adalah kekhalifahan  dalam  arti  kekuasaan  mengelola  wilayah  atau dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh surat  Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud a.s. dianugerahi hikmah yang  maknanya  telah  dijelaskan sebelum ini.
Kekhalifahan  dalam  arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak  khulafa'.  Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A'raf (7): 69 dan 74, serta Al-Naml (27): 62.
Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan pengangkatan  Adam  sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal dalam menunjuk pengangkatan itu,
Sesungguhnya Aku akan mengangkat di bumi khalifah (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan  Daud  sebagai khalifah digunakannya bentuk plural (jamak),
Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau khalifah.
Pengggunaan bentuk tunggal pada Adam  cukup  beralasan  karena ketika  itu  memang  belum  ada masyarakat manusia, apalagi ia baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang  menyatakan, "Aku  akan". Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta past tense  (kata  kerja  masa  lampau),  "Kami  telah"  untuk mengisyaratkan  adanya  keterlibatan  selain dari Tuhan (dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan  tersebut.  Di sisi  lain  dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang sebagai khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh  satu  oknum,  selama itu  masih  dalam  bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang banyak  atau masyarakat.
Ayat  Sesungguhnya  Aku  akan  mengangkat khalifah di bumi (QS Al-Baqarah  12]:   31)   menginformasikan   juga   unsur-unsur kekhalifahan  sekaligus  kewajiban  sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi  atau  wilayah,  (2)  khalifah  (yang diberi  kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan antara  pemilik  kekuasaan  dengan  wilayah,  dan  hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt.).
Kekhalifahan  itu  baru  dinilai  baik  apabila  sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.
b. Isti'mar
Kata isti'mar dalam bahasa Arab modern  diartikan  penjajahan; ista'mara  adalah  menjajah.  Makna  ini  tidak  dikenal dalam bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan  yang  tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.
Dalam surat Hud (11): 61 Allah berfirman:
Dia Allah yang menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya.
Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari  huruf  sin  dan ta'  yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfara, yang berarti meminta maghfirah  (ampunan).  Dapat  juga  kedua huruf  tersebut  berarti  "menjadikan" seperti pada kata hajar yang berarti "batu"  bila  digandengkan  dengan  sin  dan  ta' sehingga terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.
Kata  'amara  dapat  diartikan  dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. Surat Al-Tawbah (9): 17 dan  18 yang  menggunakan  kata  kerja  masa kini ya'muru, dan ya'muru dalam konteks  uraian  tentang  masjid  diartikan  memakmurkan masjid    dengan   jalan   membangun,   memelihara,   memugar, membersihkan, shalat,  atau  i'tikaf  di  dalamnya.  Sedangkan surat  Al-Rum (30): 9 yang mengulangi dua kali kata kerja masa lampau  'amaru  berbicara  tentang  bumi,  diartikan   sebagai membangun   bangunan,   serta  mengelolanya  untuk  memperoleh manfaatnya.
Jika demikian, kata  ista'marakum  dapat  berarti  "menjadikan kamu"   atau  "meminta/menugaskan  kamu"  mengolah  bumi  guna memperoleh manfaatnya.  Dari  satu  sisi,  penugasan  tersebut dapat  merupakan  pelimpahan  kekuasaan  politik; di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan  itu  adalah  Allah Swt.,  maka  para  petugas  dalam  menjalankan  tugasnya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya.

PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK
Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh Allah   Swt.  kepada  manusia.  Penganugerahan  ini  dilakukan melalui satu ikatan perjanjian.  Ikatan  ini  terjalin  antara sang  penguasa  dengan  Allah  Swt.  di  satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan  Allah  dinamai oleh-Nya dalam Al-Quran dengan 'ahd.
Dalam  surat  Al-Baqarah  (2):  124  Nabi  Ibrahim  a.s.  yang diangkat Tuhan menjadi imam bermohon  kepada-Nya  agar  imamah (kepemimpinan)  itu diperoleh pula oleh anak cucunya. Kemudian Allah menjawab:
Perjanjianku tidak akan diperoleh oleh orang-orang  zalim.
Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat, maka  ia  dinamai bai'at.  Hal  ini  telah penulis isyaratkan sebelum ini ketika menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan Nabi Daud   a.s.  sebagai  khalifah,  dan  diisyaratkan  juga  oleh Al-Quran terhadap Nabi Muhammad Saw. yang kepada beliau datang wanita-wanita untuk berbaiat.
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan beriman untuk mengadakan bai'at (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan  Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak  akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta  yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka  (mengadakan pengakuan palsu tentang hubungan seksual dan akibat-akibatnya), dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan ma'ruf, maka terimalah bai'at mereka dan mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang  (QS Al-Mumtahanah (60): 12).
Perjanjian ini --baik antara sang penguasa  dengan  masyarakat maupun  antara  dia  dengan  Yang Mahakuasa-- merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak  heran  jika  perintah taat  kepada  penguasa  (ulil  amr)  didahului  oleh  perintah menunaikan amanah. Perhatikan firman Allah berikut:
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menenrimanya dan  (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi  pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kamu. Kemudian  jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu  benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.  Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 58-59).
Kedua  ayat  di  atas  dinilai   oleh   para   ulama   sebagai prinsip-prinsip  pokok  yang  menghimpun  ajaran Islam tentang kekuasaan atau  pemerintahan.  Bahkan  Rasyid  Ridha,  seorang pakar  tafsir,  berpendapat  bahwa, "Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal permerintahan, maka  ayat  itu telah amat memadai."
Amanat  dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan  yang  dituntut  ini bukan  hanya  terhadap  kelompok,  golongan,  atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh  makhluk. Ayat-ayat  Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang  hampir saja   menyalahkan  seorang  Yahudi  karena  terpengaruh  oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun firman Allah:
Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang  khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105).
Nabi Saw. dalam  sekian  banyak  hadisnya  memperingatkan  hal tersebut, antara 1ain sabdanya,
 (Berhati-hatilah) Doa orang yang teraniaya diterima Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya  dipertanggunjawabkan oleh dirinya sendiri (HR Ahmad dan Al-Bazzar melalui Abu Hurairah).
Berdampingan  dengan  amanat  yang  dibebankan   kepada   para penguasa,   ditekankan   kewajiban  taat  masyarakat  terhadap mereka.
Perlu diperhatikan bahwa redaksi ayat di  atas  menggandengkan kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil amr.
Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amr antara kamu (QS Al-Nisa' [4]: 59).
Tidak disebutkannya kata taat  pada  ulil  amr  untuk  memberi isyarat  bahwa  ketaatan  kepada  mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan  kepada  Allah dan  Rasul,  dalam  arti  bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak  dibenarkan untuk  taat  kepada  mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu,
Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).
Tetapi  di  sisi  lain,  apabila  perintah   ulu   amr   tidak mengakibatkan  kemaksiatan,  maka  ia  wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah.
Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taut menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayathan oleh Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).
Taat dalam bahasa Al-Quran berarti  "tunduk"  menerima  secara tulus  dan  menemani.  Ini  berarti  ketaatan  dimaksud  bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus  ikut berpartisipasi   dalam  upaya-upaya  yang  dilakukan  penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda:
Agama adalah nasihat.
Dan ketika para sahabat bertanya,  "Untuk  siapa?"  Nabi  Saw. menjawab antara lain,
Untuk  para pemimpin kaum Muslim dan khalayak ramai mereka (HR Muslim  melalui  sahabat  Nabi  Abu  Ruqayyah  Tamim  bin  Aus Addari).
"Nasihat"  yang  dimaksud Nabi di sini adalah dukungan positif kepada  mereka  termasuk   kontrol   sosial   demi   suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.
Ayat  Al-Nisa'  yang  dikutip  di  atas  menurut  pakar tafsir Al-Maraghi. menjelaskan  prinsip-prinsip  ajaran  agama  dalam bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya, yaitu:
 1. Al-Quran Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar taat kepada Allah.    
 2. Sunnah Rasul Saw. yang ditunjuk oleh kewajiban taat kepada Rasul.    
 3. Konsensus ulul amr, yakni mereka yang diberi kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik cendekia, pemimpin militer, penguasa, petani, industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya. Mereka itulah ulul amr.
 4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.

TUGAS-TUGAS PARA PENGUASA
Mereka  yang  mendapat  anugerah  "menguasai  wilayah"  diberi berbagai  tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat Al-Hajj (22): 41:
Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan  (QS Al-Hajj [22]: 41).
"Mendirikan shalat" adalah lambang hubungan baik dengan Allah, sedang   "menunaikan  zakat"  adalah  lambang  perhatian  yang ditujukan  kepada  masyarakat  lemah.  "Amr  ma'ruf"  mencakup segala macam kebajikan, adat istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang  nahi  'an  al-munkar  adalah lawan dari amr ma'ruf.
Dalam   rangka   melaksanakan  tugas-tugasnya,  para  penguasa dituntut untuk selalu melakukan  musyawarah,  yakni  "bertukar pikiran  dengan  siapa  yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua."
Mereka juga dituntut untuk  memanfaatkan  semua  potensi  yang dapat   dimanfaatkan   guna   mencapai   hasil  maksimal  yang diharapkan. Dalam konteks ini,  terjadi  diskusi  di  kalangan ulama,   berkaitan   dengan   keterlibatan   non-Muslim  dalam pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan  kata minkum  (dari  golongan  kamu  orang-orang  Mukmin) pada surat Al-Nisa (4): 58 yang berbicara tentang ulil amr  maupun  dalam ayat-ayat   lain  yang  secara  tekstual  melarang  mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani  sebagai  auliya'  (yang  biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah:
Ayat   ini  diterjemahkan  oleh  Tim  Departemen  Agama  dalam Al-Quran dan Terjemahnya sebagai berikut:
Hai orang-orang Mukmin, janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu  yang mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada  orang-orang yang zalim (QS Al-Ma-idah [5]: 51).
Pakar tafsir kenamaan Muhammad Rasyid Ridha,  sambil  menunjuk kepada   kenyataan   sejarah   masa  khalifah  Umar  r.a.  dan dinasti-dinasti Umawiyah dan Abbasiah, memahami ayat  ini  dan ayat-ayat  semacamnya  secara  kontekstual.  Pakar ini merujuk kepada firman Allah  dalam  surat  Ali  'Imran  ayat  118  dan menjadikannya  sebagai  sebab larangan tersebut. Ayat dimaksud adalah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golonganmu (non-Muslim, karena) mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan yang menyusahkan kamu. Telah nampak dan ucapan mereka  kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada  mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya (QS Ali 'Imran [3]: 1l8).
Ayat di atas? tulis  Rasyid  Ridha,  mengandung  larangan  dan penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi  pemimpin,  atau teman  kepercayaan  adalah: mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi  kaum  Muslim,  serta  yang  telah nampak dari ucapan mereka kebencian.
Allah  Swt.  --tulis  Rasyid Ridha-- yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau kontra  yang dapat  terjadi  bagi  bangsa-bangsa  dan pemeluk-pemeluk agama seperti yang terlihat kemudian dari  orang-orang  Yahudi  yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun berbalik  membantu  kaum  Muslim  dalam  beberapa   peperangan seperti  di  Andalusia  atau  seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi.
Dari sini terlihat bahwa Al-Quran tidak  menjadikan  perbedaan agama  sebagaõ  alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Quran memerintahkan  agar setiap  umat  berpacu  dalam kebajikan seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2): 148:
Tiap-tiap umat ada kiblat (arah)-nya masing-masing, maka berpaculah dalam kebajikan-kebajikan. Di mana  pun kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah  Mahakuasa atas segala sesuatu.
Bahkan Al-Quran sama sekali tidak melarang kaum  Muslim  untuk berbuat  baik  dan  memberi sebagian harta mereka kepada siapa pun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir   kaum   Muslim   dan   kampung  halaman  mereka  (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil/memberi sebagian hartamu, kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah  menyukai orang-orang yqng berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Demikian  sekilas  tentang   prinsip-prinsip   dasar   wawasan Al-Quran  tentang  politik.  Rincian  dan setiap kebijaksanaan politik tidak boleh bertentangan dengan prõnsip di atas.[]

0 comments :

Post a Comment