DINAMIKA
PEMIKIRAN AL GHAZALI
Oleh : Ulin Nuha
Sebagai
figur intelektual Islam, Al Ghazali adalah tokoh yang paling banyak menarik
perhatian para pengkaji ilmiah, dulu dan sekarang, baik dari kalangan Islam
sendiri maupun para orientalis[1].
Hal ini, disebabkan pemikiran Al Ghazali yang telah mengalami perkembangan
sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan bathin sulit diketahui kejelasan corak
pemikirannya dan menjadikan polemik yang berkepenjangan.
Ketika
kita akan membahas tentang Al Ghazali sebagai pemikir Islam, maka asumsi kita
adalah ia bukanlah seorang yang mempunyai satu keahlian disiplin ilmu tertentu.
Tetapi seorang tokoh pemikir Islam yang mempunyai lebih dari satu disiplin
ilmu. Beberapa gagasan pemikirannya yang diketahui melalui hasil karyanya telah
mengundang banyak polemik. Ada yang menyanjungnya dan ada pula yang
merendahkannya.
Sebagai
tokoh yang memiliki berbagai bidang keilmuan, untuk mengakaji gagasan
pemikirannya, tentu sangat luas dan membutuhkan penelitian yang serius dengan
sumber data yang tidak sedikit. Untuk membatasi dan mensistematiskan pembahasan
tentang dinamika pemikiran Al Ghazali dalam makalah ini, penulis akan
menguraikan tentang siapa Al Ghazali dan bagaimana perkembangan pemikirannya
yang terkait dengan kalam, filsafat, dan tasawuf.
A.
PRIBADI
AL GHAZALI
Al
Ghazali mempunyai nama asli Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad,
dilahirkan di kota Thus, Khurasan, wilayah Persia pada tahun 450 H/1085
M[2]. Mengenai sebutan Al Ghazali,
berasal dari dua
kemungkinan, yaitu
berasal dari nama desa tempat lahirnya Gazalah,
oleh sebab itu sebutannya ialah Al Ghazali (dengan satu “z”). kemungkinan yang
kedua berasal dari pekerjaan sehari-hari yang dihadapinya dan dikerjakan oleh
ayahnya yaitu seorang penenun dan penjual kain tenun dinamakan Gazzal, oleh sebab itu panggilannya Al
Ghazali (dengan dua “z”)[3].
Ayah Al Ghazali, adalah seorang ahli tasawuf yang saleh. Sebelum ayahnya
meninggal, ia dan saudaranya ketika masih kecil diserahkan kepada seorang ahli
tasawuf yang kelak akan mendidiknya.
Karena perbekalan untuk mendidik Al Ghazali dan saudaranya yang dibawa
oleh ahli sufi tersebut habis, maka mereka dititipkan di asrama pendidikan di
kota Thus. Ia berguru kepada Razakani Ahmad bin Muhammad tentang ilmu fiqh dan
kepada Yusuf en Nassaj tentang ilmu tasawuf[4].
Kemudian di Durjan[5],
ia berguru kepada Nashar el Ismaili, setelah itu ke Nisyarpur menjadi murid
imamul Haramayn al Juwayni, guru besar madrasah Nizamiyyah Nisyapur. Disinilah.
Ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan : ilmu logika, ilmu kalam, filsafat,
ilmu alam dan lain-lain. Kemudian ia pindah ke Bahgdad, kota pusat kebudayaan
Islam pada masa itu. Di sini ia mulai mengajarkan ilmunya dan mulai termasyhur.
Dengan kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadinya, ia mendapat perhatian dari
Perdana Menteri Nizam al Mulk yang pada masa itu memerintah dibawah dinasti
Sultan-sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan perdana menteri itu, pada tahun 484 H,
ia menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyyah Baghdad selama lima tahun[6].
Pendidikan
dan kedudukan serta situasi pada masa itu, dimana muncul berbagai macam aliran
agama dan filsafat, masing-masing saling bertentangan dan merasuki dalam bidang
keislaman[7],
tempaknya begitu dominan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Tetapi pengaruh
tersebut tidak lama menyelip pada dirinya, karena kemudian timbul
pergolakan-pergolakan di dalam bathinnya, antara ilmu dan amal. Pergolakan tersebut membuatnya sakit, dokter
tidak bisa
menyembuhkan, karena penyakitnya
berasal dari dalam.
Oleh karena itu, ia mengobatinya dengan kekuatan jiwa
sendiri dengan minta pertolongan kepada Allah. Akhirnya pada tahun 489 H,
setelah sembuh dari sakitnya, Al Ghazali menemukan jalan hidup baru, yang
diyakininya sebagai ilham dan petunjuk Allah. Ia meninggalkan kemewahan, harta
kekayaan, kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke
Suria. Di Damaskus, ia berkhalwat selama dua tahun 490 H. kemudian menuju
Palestina, tepatnya Hebron dan Yerussalem. Pada tahun 492 H, ia menuju Mesir
(mengembara) yang saat itu di Kairo telah di kenal dengan Universitas Al Azhar
(berdiri 362 H / 972 M). setelah itu Al Ghazali menuju Mekkah dan Madinah
(ziarah ke makam Rasulullah dan menunaikkan ibadah haji). Setelah sekian lama
di dalam pengembaraan akhirnya ia pulang kembali ke Baghdad. Ia diminta oleh
Perdana Menteri Nizam al Mulk untuk menjadi Guru Besar pada Universitas
Nizamiyyah yaitu pada tahun 500 H/1106 M[8]. Menurut
Margareth Smith M.A. Ph.D., permintaan tersebut ditolak Al Ghazali[9].
Menurut Jamil Ahmad, seorang penulis buku Hundred
Great Muslims walaupun istana Saljuk terus menerus mengundang dia untuk
membimbing peningkatan ilmu dikawasan mereka (Universitas Nizamiyyah), Al
Ghazali sama sekali tidak mau berhubungan dengan penguasa itu, dan melanjutkan
kegiatan mengajar di kota kelahirannya (Tus) sampai wafat[10].
Sesudah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyelami ilmu yang sngat dalam
serta menegakkan ibadah, maka pada tahun 1111 M/505 H. Al Ghazali meninggal
dunia.
B.
PERKEMBANGAN
INTELEKTUAL DAN SPIRITUAL AL GHAZALI
Dalam
perkembangan pemikirannya, Al Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang
hidupnya dengan penuh kegoncangan bathin. Al Ghazali
dikenal sebagai orang
yang pada mulanya ragu terhadap segala-galanya. Perasaan ragu ini timbul
setelah belajar ilmu kalam dari al Juwayni, karena terdapat berbagai aliran
yang bertetantangan. Sehingga timbul pertanyaan aliran manakah yang paling
benar? [11].
Pada masanya terdapat berbagai macam aliran agama dan filsafat, yang saling
bertentangan dan juga gejolak politik pada saat itu, kemudian ia menemukan
dirinya dalam lautan yang kelam.[12]Ia
selalu mencari kebenarannya, tidak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya.[13]
Pada
mulanya percaya pada pengetahuan indera, tapi ternyata indera berdusta, hal ini
diungkapkan sendiri dalam kitabnya Al
Munqidz min adh Dhalal. Misalnya
bayang-bayang yang oleh mata tampak tak bergerak, ternyata tidak demikian.
Kemudian ia meletakkan kepercayaannya pada akal (logis), tapi akal juga tidak
dapat dipercaya. Misalnya saat mimpi seakan benar terjadi, ternyata hanya ilusi.
Sehingga bisa jadi apa yang kita yakini sekarang (baik indera maupun rasio),
sebenarnya hanya berhubungan dengan saat ini saja.[14]
Al
Ghazali mempelajari filsafat, untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang
diajukan filosof itu yang benar. Baginya ternyata bahwa argumen-argumen yang
mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinan Al Ghazali ada yang bertentangan
dengan ajaran Islam, kemudian Al Ghazali mengarang buku Maqashid al Falasifah, yang menjelaskan pemikiran-pemikiran
filsafat trutama menurut ibnu Sina. Karena ia menolak filsafat akhirnya ia
mengkritik filsafat melalui karangnnya Tahafut
al Falasifah.[15]
Dalam
bukunya Tahafut al Falasifah dan Al Munqidz
min adh Dhalal, Al Ghazali menentang filosof-filosof Islam. Bahkan
mengkafirkan mereka dalam tiga persoalan, yaitu pertama pengingkaran
kebangkitan jasmani, kedua membataskan ilmu tuhan kepada hal-hal yang besar
saja dan ketiga, kepercayaan tentang qadimnya alam dan keazaliannya.[16]
Pada
saat Al Ghazali meyakini kebenaran rasio melalui karya-karyanya tentang
filsafat yang sistematis dan rasional. Ia menjumpai argumen-argumen yang tidak
kuat, akhirnya beliau mencari kebenaran dengan mendekatkan diri pribadi kepada
Tuhan dalam suatu kehidupan zuhud seorang sufi[17].
Hal ini dibuktikan dengan cara ia meninggalkan kedudukan yang tinggi di
Madrasah al Nizamiyyah Baghdad 1095 M. dan pergi berkhalwat dan mengembara selama
10 tahun[18].
Akhirnya dalam mencari kebenaran, ia
mengambil jalan sufi, yaitu ilmu dan amal. Perjalanan tasawuf tidak hanya ditemui
lewat ilmu (belajar), tetapi pengalaman (praktek). Ia menggambarkan, bahwa
orang yang tahu definisi sehat, berbeda dengan orang yang merasakan sehat.[19]
C.
GAGASAN
PEMIKIRAN AL GHAZALI
Al
Ghazali adalah seorang tokoh pemikir Islam yang mempunyai ilmu interdisipliner.
Dalam proses pendidikannya, pada mulanya ia mengkaji kitab-kitab yang ditulis
oleh ahli kalam. Menurut Al Ghazali, kalam tidak identik dengan ilmu tauhid,
tetapi hanya sebagian daripadanya. Dalam kitabnya Al Risalat Al laduniyah sebagaimana dikutip oleh Zurkani, Al
Ghazali memasukkan ilmu tauhid
sebagai salah satu dari dua macam ilmu syariat yang berkenaan dengan
pokok-pokok agama atau ushul. Selanjutnya ia menjelaskan obyek ilmu tauhid, yaitu tiga obyek material ilmu tauhid, yaitu
: Allah dengan segala
sifat-sifatnya, kenabian dengan segala
kaitannya dan hari akhirat dengan segala
kandungannya. Memang Al Ghazali menganggap ketiga obyek material ilmu tauhid
itulah yang merupakan pokok-pokok keimanan. Karena itu dalam konsepsi Al
Ghazali, ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan dalam Islam ialah ilmu tauhid.
Para pemikir yang banyak berbicara tentang argumen-argumen rasional di sekitar
obyek-obyek tersebut disebut “Mtakallimun” (orang-orang yang banyak berbicara)[20].
Al Ghazali mengatakan bahwa, tujuan kalam adalah memelihara akidah ahlussunah
dan mempertahankannya dari rongrongan kaum bid’ah, lebih lanjut Al Ghazali
mengatakan bahwa sungguh Allah SWT melalui RasulNya telah mengajarkan akiadh
yang benar kepada para hamba, dengan kebaikan mereka di dunia maupun di
akhirat. Namun di sisi lain setan selalu membisikkan sesuatu yang bertentangan
dengannya dan mendorong para penganutnya untuk mempropagandakannya, sehingga
mengganggu akidah yang benar. Maka Allah menjadikan ahli kalam tampil untuk
membela sunnah dengan argumentasi-argumentasi logis, sehingga mampu membongar
kepalsuan para ahli bid’ah.[21]
Di
dalam Kitab Ihya Ulumuddin sebagaimana
juga dikutip oleh Zurkani Al Ghazali mengemukakan ada dua dolongan yang
dianggap ekstrim dalam memilih kalam. Pertama,
berpendapat bahwa kalam hukumnya haram
bagi kaum muslimin, karena dianggap suatu suatu bid’ah dalam agama.
Golongan ini terdiri dari golongan para ahli hadits, termasuk diantaranta
tokoh-tokoh pendiri madzhab fikih, seperti Asy Syafi’i, Malik Ibnu Anas dan
Ahmad Ibnu Hambal. Menurut Al Ghazali, golongan ini beragumentasi dengan sikap
para sahabat dan pengikut mereka, yang tidak mau membicarakan masalah-masalah
akidah seperti pembicaraan para ahli kalam. Mereka berasalan jika kalam
termasuk agama, niscaya itulah yang paling penting diperintahkan oleh Nabi
Muhammad untuk melakukannya,seperti beliau menganjurkan orang melakukan masalah
istinjak dan farsidh. Golongan kedua
berpendapat bahwa kalam hukumnya wajib atas setiap
kaum muslimin, dan
dianggap sebagai amal paling utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menghadapi kedua golongan ekstrim ini, Al Ghazali sendiri berpendapat bahwa
hukum mempelajari ilmu kalam adalah fardu kifayah, Al Ghazali mendasari
pendapatnya bahwa setiap orang hanya diwajibkan membenarkan dengan yakin
terhadap akidah yang benar, meskipun tanpa argumen. Bila ia ditimpa suatu
keraguan dalam akidahnya, maka wajib baginya kembali sadar dan meyakini
kebenaran akidah yang dianutnya. Untuk itu ia memerlukan orang yang mampu
menyadarkannya.[22]
Dalam
bidang filsafat, Al Ghazali membagi kaum filosof menjadi tiga golongan, pertama Dahriyyun (ateis) yaitu para
filosof zaman dahulu yang mengingkari adanya Sang Maha Pencipta dan Mengatur.
Menurut mereka, alam ini wujud dengan sendirinya tanpa pencipta pula binatang,
muncul dari sperma dan sperma keluar dari binatang, begitu seterusnya. Kedua, Tabi’iyyah (naturalis) yaitu
filosof yang mengkonsentrasikan diri untuk meneliti alam, tumbuhan dan terutama
binatang sehingga harus mengakui adanya Sang Maha Pencipta dan Pengatur setelah
menyaksikan keteraturan dan keindahan alam beserta isinya. Ketiga, Ilahiyah yaitu para filosof terkemuka dari dua kelompok
sebelumnya (Socrates, Plato dan Aristoteles). Golongan ini menolak ajaran kaun
sebelumnya dan berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan yang ada.[23]
Selanjutnya
Al Ghazali membagi ilmu filsafat menjadi enam yaitu ilmu pasti, ilmu logika,
ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik dan ilmu akhlak.[24]
Tentang ilmu ketuhanan, terdapat sebagian besar kesalahan mereka. Mereka tidak
memenuhi bukti-bukti yang telah disyaratkan oleh logika. Sebagaimana ditulis Al
Ghazali dalam kitabnya tahafut Al
Falasifah, tiga hal yang menjadi masalah bahkan dianggap kufur tersebut, pertama, bahwa para filosof mengingkari
kebangkitan jasmani di akhirat seperti ditetapkan syariat. Kedua, para filosof menganggap bahwa Tuhan hanya mengetahui yang
global saja tidak yang terperinci. Hal ini menurut Al Ghazali bertentangan
dengan ayat Al Qur’an Surat Saba’ ayat 3. Ketiga,
para filosof berpendapat bahwa alam ini Qadim.[25]
Mengenai
tasawuf, Al Ghazali mempunyai pemikiran bahwa cara seseorang mendekatkan diri
kepada Allah harus dengan ilmu dan amal. Ia harus membersihkan jiwanya (rohani)
dari akhlak-akhlak tercela (amal tercela) serta sifat-sifat jahat, sehingga
hati menjadi kosong dari selain Allah, kemudian mengisinya dengan dzikir[26].
Jadi perjalanan seorang sufi tidak bisa hanya ditempuh hanya dengan belajar dan
ilmu, tetapi dengan dzauq (experience) dan kebersihan hati. Lebih lanjut, Dalam
Kitab Maqashidul Aqsha yang
dikutipnya dalam Al Munqiz min Adh Dhalal,
Al Ghazali menolak adanya hulul, ittihad dan wushul. Menurutnya, bahwa mencari
pengertian berdasarkan bukti dan argumentasi adalah ilmu, mengalami adalah
Dzauq dan menerimanya adalah keimanan. Ketiganya akan diangkat derajatnya oleh
Allah sebagaimana dalam Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11[27].
Untuk
mengetahui lebih jauh tentang ajaran mistis Al Ghazali, dapat dijumpai pada
karya-karyanya seperti Ihya’ Ulumuddin,
Rawdat at Talibin, al Ma’arif al “Agliyah, Misykat al ‘Anwar, Mizan ‘Amal,
Mukasyafah al Qulub dan risalah Laduniyah. Di dalam kitab-kitab tersebut,
dapat dijumpai pemikiran teosofis mistis yang lebih maju dan tepat dan dapat
digolongkan sebagai representasi dari kesimpulan akhir dari teori mistisnya.[28]
D.
ANALISIS
Al
Ghazali termasuk salah satu tokoh yang ikut menyebarkan teologi Asy’ariyah,
sehingga mengurangi rasionalisme di kalangan
Islam ditambah lagi
dengan ajaran sufi yang
ditempunya.[29]
Mungkin hal itu tidak perlu mengherankan sebab Al Ghazali yang dilahirkan di
kota thus itu pada usia mudanya dikenal sebagai murid utama Al juwayni (juga
dikenal sebagai Imam Al Haramayn 1028-1085M) salah seorang terbesar dari
kalangan para mutakallimun Asy’ari. Al Ghazali kemudian aktif mengembangkan
Asy’arisme ketika selama delapan tahun (1077-1085) menjabat sebagai Guru Besar
pada Universitas Nizamiyah, Baghdad. Jabatan SA Al Ghazali sebenarnya ialah
Guru Besar ilmu fikih madzhab Syafi’i, sedangkan Universitas Al Nizamiyah
mengikuti madzhab pendiri dan sponsornya, Nizam Al Mulk dan menjadi partisan
madzhab Syafi’i. disamping menganut madzhab Syafi’i dibidang fikih, Nizam Al Mulk juga menganut,
malah mengagumi ilmu kalam Al Asy’ari. Disamping politik saat itu (penguasa
bani Saljuk) mulai tahun 1055 M yang mengikuti faham Asy’ari berhasil menggulingkan
Bani Buwayh (yang mengikuti faham mu’tazilah).
Pendidikan
dan pengalamannya dalam bidang mistik telah menumbuhkan gagasan pemikirannya
tentang kedudukan akal dan naqhl. Akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran
yang dinafikan syara’, dan syara’ tidak membawa suatu keyakinan yang tidak
dapat diterima oleh akal. Apabila terjadi suatu pertentangan berarti hal itu
muncul dari orang bodoh yang skeptis atau orang yang meragukan syara’. Ini
menunjukkan bahwa Al Ghazali mensistesakan antara tekstualis dan rasionalis.
Dalam
karier intelektualnya di Nizamiyah, kedudukannya tidak lepas dari kekuasaan
(politik). Al Ghazali mengajarkan menjadi pimpinan di Universitas tersebut
tidak lepas dari bantuan dan hubungan baiknya dengan Nidzamul Mulk dan putranya
Fakhtul Mulk, ia juga hidup dibawah kekuasaan bani Saljuk. Gagasan pemikirannya
tidak bisa lepas dari kepentingan politik penguasa. Walaupun Al Ghazali juga
dapat mempergunakan pengaruhnya atas Nidzamul Mulk yang sangat kagum kepadanya untuk menyebarkan ajarannya ke
seluruh rakyat. Hal ini terbukti dengan hasil karyanya Dadaihul Bathaniyah wa Fadhail ul Mustazhiriyah (tercelanya aliran
bathiniyah yang ilegal dan baiknya pemerintahan khalifah Mustazhir). Buku ini
dikarang Al Ghazali atas perintah Mustazhir untuk menghancurkan aliran
Bathiniyah yang menjadi musuh pemerintah[30].
Sebenarnya
sukar untuk menyebutkan sikap Al Ghazali terhadap tasawuf, menurut J. Obermann
dalam bukunya Der Philosophische and
Religioese Subyektifismus Ghazalis (kepribadian filsafat dan agama pada Al
Ghazali) sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, bahwa pengetahuan yang dimiliki Al
Ghazali didasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air
jernih, bukan dari hasil dari penyelidikan akal, tidak pula dari hasil
argumen-argumen ilmu kalam[31].
Dalam
pengembangan intelektualnya, Al Ghazali menurut sejarah, ia kurang menguasai
ilmu hadits. Hal ini wajar, karena saat ia dibesarkan dan dididik khususnya
Imamul Haramayn banyak bercorak logik dan dialektik. Diantara pelajaran yang
dianggap penting untuk disampaikan adalah ilmu kalam, ushul, fiqh, logika dan
cara berdebat[32].
Hal itu menunjukkan dalam pendidikannya tidak banyak memperhatikan ilmu hadits dan ruang lingkupnya, dan seorang
itu tidak akan lepas dari pengaruh
lingkungannya. Sehingga karya-karyanya banyak mengambil hadits yang tidak
shahih. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi. Menurutnya, hal inilah yang
menjadi kelemahan Al Ghazali Mayoritas kelompok sufi. Ia tidak mendalami
ilmu-ilmu naqh seperti penafsiran melalui hadits (bil ma’tsur), hadits dan
atsar para ulama salaf yang semuanya menjadi dasar ilmu-ilmu syari’at. Ia sudah
mengakui dalam kitabnya Qanunut Ta’wil bahwa bekal Al Ghazali dalam ilmu hadits
sedikit sekali. Namun menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardawi,
bahwa ilmu terakhir yang ditekuni Al Ghazali adalah meneliti Kitab Shahih
Bukhari dan Muslim dan ia wafat pada saat menekuni kitab tersebut[33].
Mengenai Kitab Ihya Ulumuddin, Al
Ghazali mengarangnya ketika dalam perjalanan pengembaraannya (berkhalwat). Dengan
demikian ada kemungkinan Kitab Ihya ditulis atas dasar sufi dan mengabaikan
aturan fikih, sehingga pertimbangan tasawuf lebih diutamakan daripada fikih.
E.
PENUTUP
Dari
uraian tersebut, penulis memandang bahwa Al Ghazali adalah seorang ilmuwan
sekaligus ahli ibadat, ia juga sebagai dari. Seorang tokoh pemikir Islam yang
berhasil menggerakan masyarakat yang jumud, dengan melontarkan berbagai gagasan
pemikiran juga perilaku (praktek) dibidang agama. Dinamika pemikiran Al Ghazali
sangat unik, sehingga menimbulkan polemik tentang pemikirannya, baik oleh orang
Islam sendiri maupun orientalis. Pemikiran Al Ghazali secara metodologis
mengikuti Asy’ariyah. Namun dibalik kehebatan intelektualnya, ia sebagai
manusia biasa tidak pernah lepas dari kelemahan-kelemahan yang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Demikian
uraian singkat dinamika pemikiran Al Ghazali, dengan segala keterbatasan sumber
dan pemahaman penulis. Sebenarnya masih banyak aspek yang harus ditampilkan
dalam pemikiran Al Ghazali, tapi karena adanya keterbatasan tersebut penulis
hanya menguraikan secara singkat dan sederhana. Oleh karena itu, saran dan
kritik konstruktif pembaca sangat diharapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996
A.
Hanafi, M.A., Antara Imam Al Ghazali dengan Imam Ibnu Rusyd : Dalam Tiga Persoalan
Alam Metafisika, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1981
Al
Ghazali, Tahafut Al Falasifah, alih
bahasam Ahmadi Thaha, Tahaful al Falasifah : Kerancuan Para
Filosof, Pustaka Panjimas, JAkarta, 1986
Bakry,
H.M.K., Al Ghazali, Wijaya, Jakarta, 1962
Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973
Jamil
Ahmad, Hundred Great Muslims, alih
bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka
Firdau, Jakarta, 1995.
Margareth
Smith, M.A. Ph. D., Al Ghazali The
Mistic, Alih bahasa, Drs. Amrouni, M.Ag., Pemikiran dan Doktrin Mistis Al
Ghozali, Riona Cipta, Jakarta, 2000.
Nurcholish
Madjid, Khasanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994
Yusuf
al Qardhawi, Dr., Al Imam al Ghazali
Baina Madihihi wa Naqidihi, alih bahaa Dr. Achmad Satori Ismail, Pro-kontra
Pemikiran al Ghozali, Risalah Gusti, Surabaya, 1997
Zainal
Abidin Ahmad, H., Riwayat Hidup Al Ghazali, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
Zurkani
Jahja, Dr.HM., Teologi Al Ghazali
Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
*) Makalah dipresentasikan dalam diskusi mata kuliah
Sejarah Pemikiran Islam, pada tgl.27 Oktober 2000
[1] Kalangan Islam diantaranya ialah
Ibu Taymiyah dan Ibn Khaldun, sedangkan para orientalis ialah Carra de Vouk,
dalam karangannya yang berjudul “ Al Ghazaly” (lihat: Dr.HM. Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali : Pendekatan Metodologi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal.7-9
[5]
Ahmad Hanafi, MA., Pengantar
Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal 135.
[6]
H.M.K. Bakry, Al
Ghazali, Penerbit, Wijaya, Jakarta. 1962, hal.9
[7]
Dr. Yusuf al Qardhawi, Al Imam al Ghazali Baina Madihihi wa
Naqidihi, alih bahaa Dr. Achmad Satori Ismail, Pro-kontra Pemikiran al Ghozali,
Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal.22
[8] Imam Al Ghazali, Al
Munqidz min Adh Dhalal, Alih bahasa, Achmad Khudari Saleh, Kegelisahan
Al Ghazali : Sebuah Otobiografi Intelektual, Pustaka Hidayah, Bandung,
1998, hal. Pengantar,
[9]
Margareth Smith, Al
Ghazaly-The Mistic, alih bahasa Drs. Amrouni, M. Ag., Pemikiran dan Doktrin Mistis Al
Ghazali, Riora Cipta, Jakarta, 2000, hal. 27
[10]
Jamil Ahmad, Hundred
Great Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus
Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, hal. 100
[11] Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, JAkarta, 1973, hal.41.
[12] Yusuf al Qardhawi, Op.
Cit., hal.22 (lihat juga Dr.HM. Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996, hal. 64-70)
[13]
Imam Al Ghazali, Al Munqidz …., Op. Cit.,. hal.15
[14]
Imam Al Ghazali, Al Munqidz …., Ibid.,. hal.18-19
[15]
Harun Nasution, Op.Cit.,
hal.43
[16]
Imam Al Ghazali, Tahafut Al Falasifah, alih bahasam
Ahmadi Thaha, Tahaful al Falasifah : Kerancuan Para Filosof, Pustaka
Panjimas, JAkarta, 1986, hal. 15-63, 151-157, 243-261, lihat juga Imam Al
Ghazali, Al Munqidz min Adh Dhalal … Op.Cit., hal. 38
[17]
Nurcholish Madjid, Khasanah
Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hal. 34
[18]
Menurut Ibnu Ul’Asir sebagaimana dikutip oleh Jamil Ahmad,
bahwa selama perjalanan itu, Al Ghazali menulis Kitab Ihya Ulumuddin. Karya
utamanya yang memperbaharui dan sangat mempengaruhi pandangan sosial dan
religius Islam dalam berbagai segi. Doa dan ketaatannya kepada Tuhan menyusikan
hatinya dan mengungkapkan rahasia besar yang sampai saat ini belum diketahuinya
(lihat. Jamil Ahmad, Hundred Great
Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka
Firdau, Jakarta, 1995, hal. 100).
[19]
Imam Al Ghazali, Al Munqidz min Adh Dhalal … Op.Cit., hal. 53-56
[20]
Dr. HM. Zurkani Jajya, Op.Cit.,
hal.80-81
[21]
Imam Al Ghazali, Al Munqiz
…, Op.Cit.,
hal.25
[22]
Dr. HM. Zurkani Jajya, Op.Cit.,
hal.86,88 dan 89
[23]
Imam Al Ghazali, Al Munqiz
… Op.Cit.,
hal.27-30)
[25]
Imam Al Ghazali, Tahafut al Falasifah …., Loc. Cit., (lihat juga : A. Hanafi, M.A., Antara Imam Al Ghazali dengan
Imam Ibnu Rusyd : Dalam Tiga Persoalan Alam Metafisika, Pustaka Al
Husna, Jakarta, 1981)
[26]
Imam Al Ghazali, Al Munqiz
… Op.Cit.,
hal.53
[28]
Margareth Smith M.A.Ph.D., Op.Cit.
hal. 259-260
[29]
Sayyed Hossein Nash, Science and Civilization in Islam, alih
bahasa, J. Mahyidib, Sain dan Peradaban Di dalam Islam,
Pustaka Bandung, 1986. Hal.284
[30]
A. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit.,
hal.40
[31]
Ahmad Hanafi, Op.Cit.,
hal.140
[32]
Yusuf al Qardhawi, Op.Cit.,
hal.149
[33]
Yusuf al Qardhawi, Op.Cit.,
hal.152
0 comments :
Post a Comment