Friday 22 February 2013

DINAMIKA PEMIKIRAN AL GHAZALI




DINAMIKA PEMIKIRAN AL GHAZALI
Oleh : Ulin Nuha

Sebagai figur intelektual Islam, Al Ghazali adalah tokoh yang paling banyak menarik perhatian para pengkaji ilmiah, dulu dan sekarang, baik dari kalangan Islam sendiri maupun para orientalis[1]. Hal ini, disebabkan pemikiran Al Ghazali yang telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan bathin sulit diketahui kejelasan corak pemikirannya dan menjadikan polemik yang berkepenjangan.
Ketika kita akan membahas tentang Al Ghazali sebagai pemikir Islam, maka asumsi kita adalah ia bukanlah seorang yang mempunyai satu keahlian disiplin ilmu tertentu. Tetapi seorang tokoh pemikir Islam yang mempunyai lebih dari satu disiplin ilmu. Beberapa gagasan pemikirannya yang diketahui melalui hasil karyanya telah mengundang banyak polemik. Ada yang menyanjungnya dan ada pula yang merendahkannya.
Sebagai tokoh yang memiliki berbagai bidang keilmuan, untuk mengakaji gagasan pemikirannya, tentu sangat luas dan membutuhkan penelitian yang serius dengan sumber data yang tidak sedikit. Untuk membatasi dan mensistematiskan pembahasan tentang dinamika pemikiran Al Ghazali dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang siapa Al Ghazali dan bagaimana perkembangan pemikirannya yang terkait dengan kalam, filsafat, dan tasawuf.

A.    PRIBADI AL GHAZALI
Al Ghazali mempunyai nama asli Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, dilahirkan di kota Thus, Khurasan, wilayah Persia pada tahun   450   H/1085   M[2].   Mengenai   sebutan   Al  Ghazali,   berasal   dari    dua                                                                                                                            
kemungkinan, yaitu berasal dari nama desa tempat lahirnya Gazalah, oleh sebab itu sebutannya ialah Al Ghazali (dengan satu “z”). kemungkinan yang kedua berasal dari pekerjaan sehari-hari yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya yaitu seorang penenun dan penjual kain tenun dinamakan Gazzal, oleh sebab itu panggilannya Al Ghazali (dengan dua “z”)[3]. Ayah Al Ghazali, adalah seorang ahli tasawuf yang saleh. Sebelum ayahnya meninggal, ia dan saudaranya ketika masih kecil diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak akan mendidiknya.  Karena perbekalan untuk mendidik Al Ghazali dan saudaranya yang dibawa oleh ahli sufi tersebut habis, maka mereka dititipkan di asrama pendidikan di kota Thus. Ia berguru kepada Razakani Ahmad bin Muhammad tentang ilmu fiqh dan kepada Yusuf en Nassaj tentang ilmu tasawuf[4]. Kemudian di Durjan[5], ia berguru kepada Nashar el Ismaili, setelah itu ke Nisyarpur menjadi murid imamul Haramayn al Juwayni, guru besar madrasah Nizamiyyah Nisyapur. Disinilah. Ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan : ilmu logika, ilmu kalam, filsafat, ilmu alam dan lain-lain. Kemudian ia pindah ke Bahgdad, kota pusat kebudayaan Islam pada masa itu. Di sini ia mulai mengajarkan ilmunya dan mulai termasyhur. Dengan kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadinya, ia mendapat perhatian dari Perdana Menteri Nizam al Mulk yang pada masa itu memerintah dibawah dinasti Sultan-sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan perdana menteri itu, pada tahun 484 H, ia menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyyah Baghdad selama lima tahun[6].
Pendidikan dan kedudukan serta situasi pada masa itu, dimana muncul berbagai macam aliran agama dan filsafat, masing-masing saling bertentangan dan merasuki dalam bidang keislaman[7], tempaknya begitu dominan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Tetapi pengaruh tersebut tidak lama menyelip pada dirinya, karena kemudian timbul pergolakan-pergolakan di dalam bathinnya, antara ilmu dan amal.   Pergolakan  tersebut  membuatnya  sakit,  dokter tidak bisa    
menyembuhkan,  karena  penyakitnya  berasal  dari   dalam.   Oleh karena  itu, ia mengobatinya dengan kekuatan jiwa sendiri dengan minta pertolongan kepada Allah. Akhirnya pada tahun 489 H, setelah sembuh dari sakitnya, Al Ghazali menemukan jalan hidup baru, yang diyakininya sebagai ilham dan petunjuk Allah. Ia meninggalkan kemewahan, harta kekayaan, kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suria. Di Damaskus, ia berkhalwat selama dua tahun 490 H. kemudian menuju Palestina, tepatnya Hebron dan Yerussalem. Pada tahun 492 H, ia menuju Mesir (mengembara) yang saat itu di Kairo telah     di kenal dengan Universitas Al Azhar (berdiri 362 H / 972 M). setelah itu Al Ghazali menuju Mekkah dan Madinah (ziarah ke makam Rasulullah dan menunaikkan ibadah haji). Setelah sekian lama di dalam pengembaraan akhirnya ia pulang kembali ke Baghdad. Ia diminta oleh Perdana Menteri Nizam al Mulk untuk menjadi Guru Besar pada Universitas Nizamiyyah yaitu pada tahun 500 H/1106 M[8]. Menurut Margareth Smith M.A. Ph.D., permintaan tersebut ditolak  Al Ghazali[9]. Menurut Jamil Ahmad, seorang penulis buku Hundred Great Muslims walaupun istana Saljuk terus menerus mengundang dia untuk membimbing peningkatan ilmu dikawasan mereka (Universitas Nizamiyyah), Al Ghazali sama sekali tidak mau berhubungan dengan penguasa itu, dan melanjutkan kegiatan mengajar di kota kelahirannya (Tus) sampai wafat[10]. Sesudah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyelami ilmu yang sngat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tahun 1111 M/505 H. Al Ghazali meninggal dunia.

B.     PERKEMBANGAN INTELEKTUAL DAN SPIRITUAL AL GHAZALI
Dalam perkembangan pemikirannya, Al Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dengan penuh kegoncangan bathin. Al Ghazali

dikenal sebagai orang yang pada mulanya ragu terhadap segala-galanya. Perasaan ragu ini timbul setelah belajar ilmu kalam dari al Juwayni, karena terdapat berbagai aliran yang bertetantangan. Sehingga timbul pertanyaan aliran manakah yang paling benar? [11]. Pada masanya terdapat berbagai macam aliran agama dan filsafat, yang saling bertentangan dan juga gejolak politik pada saat itu, kemudian ia menemukan dirinya dalam lautan yang kelam.[12]Ia selalu mencari kebenarannya, tidak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya.[13]
Pada mulanya percaya pada pengetahuan indera, tapi ternyata indera berdusta, hal ini diungkapkan sendiri dalam kitabnya Al Munqidz  min adh Dhalal. Misalnya bayang-bayang yang oleh mata tampak tak bergerak, ternyata tidak demikian. Kemudian ia meletakkan kepercayaannya pada akal (logis), tapi akal juga tidak dapat dipercaya. Misalnya saat mimpi seakan benar terjadi, ternyata hanya ilusi. Sehingga bisa jadi apa yang kita yakini sekarang (baik indera maupun rasio), sebenarnya hanya berhubungan dengan saat ini saja.[14]
Al Ghazali mempelajari filsafat, untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang diajukan filosof itu yang benar. Baginya ternyata bahwa argumen-argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinan Al Ghazali ada yang bertentangan dengan ajaran Islam, kemudian Al Ghazali mengarang buku Maqashid al Falasifah, yang menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat trutama menurut ibnu Sina. Karena ia menolak filsafat akhirnya ia mengkritik filsafat melalui karangnnya Tahafut al Falasifah.[15]
Dalam bukunya Tahafut al Falasifah dan Al Munqidz  min adh Dhalal, Al Ghazali menentang filosof-filosof Islam. Bahkan mengkafirkan mereka dalam tiga persoalan, yaitu pertama pengingkaran kebangkitan jasmani, kedua membataskan ilmu tuhan kepada hal-hal yang besar saja dan ketiga, kepercayaan tentang qadimnya alam dan keazaliannya.[16]
Pada saat Al Ghazali meyakini kebenaran rasio melalui karya-karyanya tentang filsafat yang sistematis dan rasional. Ia menjumpai argumen-argumen yang tidak kuat, akhirnya beliau mencari kebenaran dengan mendekatkan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupan zuhud seorang sufi[17]. Hal ini dibuktikan dengan cara ia meninggalkan kedudukan yang tinggi di Madrasah al Nizamiyyah Baghdad 1095 M. dan pergi berkhalwat dan mengembara selama 10 tahun[18]. Akhirnya dalam mencari kebenaran,  ia mengambil jalan sufi, yaitu ilmu dan amal. Perjalanan tasawuf tidak hanya ditemui lewat ilmu (belajar), tetapi pengalaman (praktek). Ia menggambarkan, bahwa orang yang tahu definisi sehat, berbeda dengan orang yang merasakan sehat.[19]

C.    GAGASAN PEMIKIRAN AL GHAZALI
Al Ghazali adalah seorang tokoh pemikir Islam yang mempunyai ilmu interdisipliner. Dalam proses pendidikannya, pada mulanya ia mengkaji kitab-kitab yang ditulis oleh ahli kalam. Menurut Al Ghazali, kalam tidak identik dengan ilmu tauhid, tetapi hanya sebagian daripadanya. Dalam kitabnya Al Risalat Al laduniyah sebagaimana dikutip oleh Zurkani, Al Ghazali memasukkan        ilmu tauhid sebagai salah satu dari dua macam ilmu syariat yang berkenaan dengan pokok-pokok agama atau ushul. Selanjutnya ia menjelaskan obyek ilmu tauhid,  yaitu    tiga  obyek  material  ilmu  tauhid,   yaitu :  Allah   dengan   segala


 sifat-sifatnya, kenabian dengan segala kaitannya  dan hari akhirat dengan segala kandungannya. Memang Al Ghazali menganggap ketiga obyek material ilmu tauhid itulah yang merupakan pokok-pokok keimanan. Karena itu dalam konsepsi Al Ghazali, ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan dalam Islam ialah ilmu tauhid. Para pemikir yang banyak berbicara tentang argumen-argumen rasional di sekitar obyek-obyek tersebut disebut “Mtakallimun” (orang-orang yang banyak berbicara)[20]. Al Ghazali mengatakan bahwa, tujuan kalam adalah memelihara akidah ahlussunah dan mempertahankannya dari rongrongan kaum bid’ah, lebih lanjut Al Ghazali mengatakan bahwa sungguh Allah SWT melalui RasulNya telah mengajarkan akiadh yang benar kepada para hamba, dengan kebaikan mereka di dunia maupun di akhirat. Namun di sisi lain setan selalu membisikkan sesuatu yang bertentangan dengannya dan mendorong para penganutnya untuk mempropagandakannya, sehingga mengganggu akidah yang benar. Maka Allah menjadikan ahli kalam tampil untuk membela sunnah dengan argumentasi-argumentasi logis, sehingga mampu membongar kepalsuan para ahli bid’ah.[21]
Di dalam Kitab Ihya Ulumuddin sebagaimana juga dikutip oleh Zurkani Al Ghazali mengemukakan ada dua dolongan yang dianggap ekstrim dalam memilih kalam. Pertama, berpendapat bahwa kalam hukumnya haram  bagi kaum muslimin, karena dianggap suatu suatu bid’ah dalam agama. Golongan ini terdiri dari golongan para ahli hadits, termasuk diantaranta tokoh-tokoh pendiri madzhab fikih, seperti Asy Syafi’i, Malik Ibnu Anas dan Ahmad Ibnu Hambal. Menurut Al Ghazali, golongan ini beragumentasi dengan sikap para sahabat dan pengikut mereka, yang tidak mau membicarakan masalah-masalah akidah seperti pembicaraan para ahli kalam. Mereka berasalan jika kalam termasuk agama, niscaya itulah yang paling penting diperintahkan oleh Nabi Muhammad untuk melakukannya,seperti beliau menganjurkan orang melakukan masalah istinjak dan farsidh. Golongan  kedua  berpendapat  bahwa  kalam hukumnya wajib atas setiap



kaum muslimin, dan dianggap sebagai amal paling utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menghadapi kedua golongan ekstrim ini, Al Ghazali sendiri berpendapat bahwa hukum mempelajari ilmu kalam adalah fardu kifayah, Al Ghazali mendasari pendapatnya bahwa setiap orang hanya diwajibkan membenarkan dengan yakin terhadap akidah yang benar, meskipun tanpa argumen. Bila ia ditimpa suatu keraguan dalam akidahnya, maka wajib baginya kembali sadar dan meyakini kebenaran akidah yang dianutnya. Untuk itu ia memerlukan orang yang mampu menyadarkannya.[22]
Dalam bidang filsafat, Al Ghazali membagi kaum filosof menjadi tiga golongan, pertama Dahriyyun (ateis) yaitu para filosof zaman dahulu yang mengingkari adanya Sang Maha Pencipta dan Mengatur. Menurut mereka, alam ini wujud dengan sendirinya tanpa pencipta pula binatang, muncul dari sperma dan sperma keluar dari binatang, begitu seterusnya. Kedua, Tabi’iyyah (naturalis) yaitu filosof yang mengkonsentrasikan diri untuk meneliti alam, tumbuhan dan terutama binatang sehingga harus mengakui adanya Sang Maha Pencipta dan Pengatur setelah menyaksikan keteraturan dan keindahan alam beserta isinya. Ketiga, Ilahiyah yaitu para filosof terkemuka dari dua kelompok sebelumnya (Socrates, Plato dan Aristoteles). Golongan ini menolak ajaran kaun sebelumnya dan berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan yang ada.[23]
Selanjutnya Al Ghazali membagi ilmu filsafat menjadi enam yaitu ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik dan ilmu akhlak.[24] Tentang ilmu ketuhanan, terdapat sebagian besar kesalahan mereka. Mereka tidak memenuhi bukti-bukti yang telah disyaratkan oleh logika. Sebagaimana ditulis Al Ghazali dalam kitabnya tahafut Al Falasifah, tiga hal yang menjadi masalah bahkan dianggap kufur tersebut, pertama, bahwa para filosof mengingkari kebangkitan jasmani di akhirat seperti ditetapkan syariat. Kedua, para filosof menganggap bahwa Tuhan hanya mengetahui yang global saja tidak yang terperinci. Hal ini menurut Al Ghazali bertentangan dengan ayat Al Qur’an Surat Saba’ ayat 3. Ketiga, para filosof berpendapat bahwa alam ini Qadim.[25]
Mengenai tasawuf, Al Ghazali mempunyai pemikiran bahwa cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah harus dengan ilmu dan amal. Ia harus membersihkan jiwanya (rohani) dari akhlak-akhlak tercela (amal tercela) serta sifat-sifat jahat, sehingga hati menjadi kosong dari selain Allah, kemudian mengisinya dengan dzikir[26]. Jadi perjalanan seorang sufi tidak bisa hanya ditempuh hanya dengan belajar dan ilmu, tetapi dengan dzauq (experience) dan kebersihan hati. Lebih lanjut, Dalam Kitab Maqashidul Aqsha yang dikutipnya dalam Al Munqiz min Adh Dhalal, Al Ghazali menolak adanya hulul, ittihad dan wushul. Menurutnya, bahwa mencari pengertian berdasarkan bukti dan argumentasi adalah ilmu, mengalami adalah Dzauq dan menerimanya adalah keimanan. Ketiganya akan diangkat derajatnya oleh Allah sebagaimana dalam Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11[27].
Untuk mengetahui lebih jauh tentang ajaran mistis Al Ghazali, dapat dijumpai pada karya-karyanya seperti Ihya’ Ulumuddin, Rawdat at Talibin, al Ma’arif al “Agliyah, Misykat al ‘Anwar, Mizan ‘Amal, Mukasyafah al Qulub dan risalah Laduniyah. Di dalam kitab-kitab tersebut, dapat dijumpai pemikiran teosofis mistis yang lebih maju dan tepat dan dapat digolongkan sebagai representasi dari kesimpulan akhir dari teori mistisnya.[28]

D.    ANALISIS
Al Ghazali termasuk salah satu tokoh yang ikut menyebarkan teologi Asy’ariyah, sehingga mengurangi  rasionalisme  di kalangan  Islam  ditambah lagi
dengan ajaran sufi yang ditempunya.[29] Mungkin hal itu tidak perlu mengherankan sebab Al Ghazali yang dilahirkan di kota thus itu pada usia mudanya dikenal sebagai murid utama Al juwayni (juga dikenal sebagai Imam Al Haramayn 1028-1085M) salah seorang terbesar dari kalangan para mutakallimun Asy’ari. Al Ghazali kemudian aktif mengembangkan Asy’arisme ketika selama delapan tahun (1077-1085) menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Nizamiyah, Baghdad. Jabatan SA Al Ghazali sebenarnya ialah Guru Besar ilmu fikih madzhab Syafi’i, sedangkan Universitas Al Nizamiyah mengikuti madzhab pendiri dan sponsornya, Nizam Al Mulk dan menjadi partisan madzhab Syafi’i. disamping menganut madzhab Syafi’i  dibidang fikih, Nizam Al Mulk juga menganut, malah mengagumi ilmu kalam Al Asy’ari. Disamping politik saat itu (penguasa bani Saljuk) mulai tahun 1055 M yang mengikuti faham Asy’ari berhasil menggulingkan Bani Buwayh (yang mengikuti faham mu’tazilah).
Pendidikan dan pengalamannya dalam bidang mistik telah menumbuhkan gagasan pemikirannya tentang kedudukan akal dan naqhl. Akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’, dan syara’ tidak membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. Apabila terjadi suatu pertentangan berarti hal itu muncul dari orang bodoh yang skeptis atau orang yang meragukan syara’. Ini menunjukkan bahwa Al Ghazali mensistesakan antara tekstualis dan rasionalis.
Dalam karier intelektualnya di Nizamiyah, kedudukannya tidak lepas dari kekuasaan (politik). Al Ghazali mengajarkan menjadi pimpinan di Universitas tersebut tidak lepas dari bantuan dan hubungan baiknya dengan Nidzamul Mulk dan putranya Fakhtul Mulk, ia juga hidup dibawah kekuasaan bani Saljuk. Gagasan pemikirannya tidak bisa lepas dari kepentingan politik penguasa. Walaupun Al Ghazali juga dapat mempergunakan pengaruhnya atas Nidzamul Mulk yang sangat kagum  kepadanya untuk menyebarkan ajarannya ke seluruh rakyat. Hal ini terbukti dengan hasil karyanya Dadaihul Bathaniyah wa Fadhail ul Mustazhiriyah (tercelanya aliran bathiniyah yang ilegal dan baiknya pemerintahan khalifah Mustazhir). Buku ini dikarang Al Ghazali atas perintah Mustazhir untuk menghancurkan aliran Bathiniyah yang menjadi musuh pemerintah[30].
Sebenarnya sukar untuk menyebutkan sikap Al Ghazali terhadap tasawuf, menurut J. Obermann dalam bukunya Der Philosophische and Religioese Subyektifismus Ghazalis (kepribadian filsafat dan agama pada Al Ghazali) sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, bahwa pengetahuan yang dimiliki Al Ghazali didasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air jernih, bukan dari hasil dari penyelidikan akal, tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam[31].
Dalam pengembangan intelektualnya, Al Ghazali menurut sejarah, ia kurang menguasai ilmu hadits. Hal ini wajar, karena saat ia dibesarkan dan dididik khususnya Imamul Haramayn banyak bercorak logik dan dialektik. Diantara pelajaran yang dianggap penting untuk disampaikan adalah ilmu kalam, ushul, fiqh, logika dan cara berdebat[32]. Hal itu menunjukkan dalam pendidikannya tidak banyak memperhatikan ilmu  hadits dan ruang lingkupnya, dan seorang itu  tidak akan lepas dari pengaruh lingkungannya. Sehingga karya-karyanya banyak mengambil hadits yang tidak shahih. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi. Menurutnya, hal inilah yang menjadi kelemahan Al Ghazali            Mayoritas kelompok sufi. Ia tidak mendalami ilmu-ilmu naqh seperti penafsiran melalui hadits (bil ma’tsur), hadits dan atsar para ulama salaf yang semuanya menjadi dasar ilmu-ilmu syari’at. Ia sudah mengakui dalam kitabnya Qanunut Ta’wil bahwa bekal Al Ghazali dalam ilmu hadits sedikit sekali. Namun menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardawi, bahwa ilmu terakhir yang ditekuni Al Ghazali adalah meneliti Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dan ia wafat pada saat menekuni kitab tersebut[33]. Mengenai Kitab Ihya Ulumuddin, Al Ghazali mengarangnya ketika dalam perjalanan pengembaraannya (berkhalwat). Dengan demikian ada kemungkinan Kitab Ihya ditulis atas dasar sufi dan mengabaikan aturan fikih, sehingga pertimbangan tasawuf lebih diutamakan daripada fikih.
E.     PENUTUP
Dari uraian tersebut, penulis memandang bahwa Al Ghazali adalah seorang ilmuwan sekaligus ahli ibadat, ia juga sebagai dari. Seorang tokoh pemikir Islam yang berhasil menggerakan masyarakat yang jumud, dengan melontarkan berbagai gagasan pemikiran juga perilaku (praktek) dibidang agama. Dinamika pemikiran Al Ghazali sangat unik, sehingga menimbulkan polemik tentang pemikirannya, baik oleh orang Islam sendiri maupun orientalis. Pemikiran Al Ghazali secara metodologis mengikuti Asy’ariyah. Namun dibalik kehebatan intelektualnya, ia sebagai manusia biasa tidak pernah lepas dari kelemahan-kelemahan yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Demikian uraian singkat dinamika pemikiran Al Ghazali, dengan segala keterbatasan sumber dan pemahaman penulis. Sebenarnya masih banyak aspek yang harus ditampilkan dalam pemikiran Al Ghazali, tapi karena adanya keterbatasan tersebut penulis hanya menguraikan secara singkat dan sederhana. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif pembaca sangat diharapkan.

















DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996
A. Hanafi, M.A., Antara Imam Al Ghazali dengan Imam Ibnu Rusyd : Dalam Tiga Persoalan Alam Metafisika, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1981
Al Ghazali, Tahafut Al Falasifah, alih bahasam Ahmadi Thaha, Tahaful al Falasifah : Kerancuan Para Filosof, Pustaka Panjimas, JAkarta, 1986
Bakry, H.M.K., Al Ghazali, Wijaya, Jakarta, 1962
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Jamil Ahmad, Hundred Great Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdau, Jakarta, 1995.
Margareth Smith, M.A. Ph. D., Al Ghazali The Mistic, Alih bahasa, Drs. Amrouni, M.Ag., Pemikiran dan Doktrin Mistis Al Ghozali, Riona Cipta, Jakarta, 2000.
Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994
Yusuf al Qardhawi, Dr., Al Imam al Ghazali Baina Madihihi wa Naqidihi, alih bahaa Dr. Achmad Satori Ismail, Pro-kontra Pemikiran al Ghozali, Risalah Gusti, Surabaya, 1997
Zainal Abidin Ahmad, H., Riwayat Hidup Al Ghazali, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
Zurkani Jahja, Dr.HM., Teologi Al Ghazali Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996


*) Makalah  dipresentasikan dalam diskusi mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam, pada tgl.27 Oktober 2000
[1] Kalangan Islam diantaranya ialah Ibu Taymiyah dan Ibn Khaldun, sedangkan para orientalis ialah Carra de Vouk, dalam karangannya yang berjudul “ Al Ghazaly” (lihat: Dr.HM. Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal.7-9
[2]   H. Zaina Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al Ghazali, Bulan Bintang, Jakarta, 1975. Hal. 27
[3]  Ibid, hal. 28 
[4] Ibid, hal. 31
[5] Ahmad Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal 135.
[6] H.M.K. Bakry, Al Ghazali, Penerbit, Wijaya, Jakarta. 1962, hal.9
[7] Dr. Yusuf al Qardhawi, Al Imam al Ghazali Baina Madihihi wa Naqidihi, alih bahaa Dr. Achmad Satori Ismail, Pro-kontra Pemikiran al Ghozali, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal.22
[8] Imam Al Ghazali,  Al Munqidz min Adh Dhalal, Alih bahasa, Achmad Khudari Saleh, Kegelisahan Al Ghazali : Sebuah Otobiografi Intelektual, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. Pengantar,
[9] Margareth Smith,  Al Ghazaly-The Mistic, alih bahasa Drs. Amrouni, M. Ag., Pemikiran dan Doktrin Mistis Al Ghazali, Riora Cipta, Jakarta, 2000, hal. 27
[10] Jamil Ahmad,  Hundred Great Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, hal. 100
[11] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, JAkarta, 1973, hal.41.
[12] Yusuf al Qardhawi, Op. Cit., hal.22 (lihat juga Dr.HM. Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 64-70)
[13] Imam Al Ghazali, Al Munqidz …., Op. Cit.,. hal.15
[14] Imam Al Ghazali, Al Munqidz …., Ibid.,. hal.18-19
[15] Harun Nasution, Op.Cit., hal.43
[16] Imam Al Ghazali, Tahafut Al Falasifah, alih bahasam Ahmadi Thaha, Tahaful al Falasifah : Kerancuan Para Filosof, Pustaka Panjimas, JAkarta, 1986, hal. 15-63, 151-157, 243-261, lihat juga Imam Al Ghazali, Al Munqidz min Adh Dhalal … Op.Cit., hal. 38
[17] Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hal. 34
[18] Menurut Ibnu  Ul’Asir sebagaimana dikutip oleh Jamil Ahmad, bahwa selama perjalanan itu, Al Ghazali menulis Kitab Ihya Ulumuddin. Karya utamanya yang memperbaharui dan sangat mempengaruhi pandangan sosial dan religius Islam dalam berbagai segi. Doa dan ketaatannya kepada Tuhan menyusikan hatinya dan mengungkapkan rahasia besar yang sampai saat ini belum diketahuinya (lihat. Jamil Ahmad, Hundred Great Muslims, alih bahasa Team Penerjemah Pustaka Firdaus, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdau, Jakarta, 1995, hal. 100).
[19] Imam Al Ghazali, Al Munqidz min Adh Dhalal … Op.Cit., hal. 53-56
[20] Dr. HM. Zurkani Jajya, Op.Cit., hal.80-81
[21] Imam Al Ghazali, Al Munqiz …, Op.Cit., hal.25
[22] Dr. HM. Zurkani Jajya, Op.Cit., hal.86,88 dan 89
[23] Imam Al Ghazali, Al Munqiz … Op.Cit., hal.27-30)
[24] Ibid., hal.32
[25] Imam Al Ghazali, Tahafut al Falasifah …., Loc. Cit., (lihat juga : A. Hanafi, M.A., Antara Imam Al Ghazali dengan Imam Ibnu Rusyd : Dalam Tiga Persoalan Alam Metafisika, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1981)
[26] Imam Al Ghazali, Al Munqiz … Op.Cit., hal.53
[27] Ibid., hal. 60-61
[28] Margareth Smith M.A.Ph.D., Op.Cit. hal. 259-260



[29] Sayyed Hossein Nash, Science and Civilization in Islam, alih bahasa, J. Mahyidib, Sain dan Peradaban Di dalam Islam, Pustaka Bandung, 1986. Hal.284
[30] A. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit., hal.40
[31] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal.140
[32] Yusuf al Qardhawi, Op.Cit., hal.149
[33] Yusuf al Qardhawi, Op.Cit., hal.152

0 comments :

Post a Comment