MEMBANGUN KEMBALI
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
(Ulin Nuha, M.Ag.)
Pendidikan
Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan kesatuan kehidupan
manusia dan masyarakat sebagai pelaksanaan dan realisasi fungsi khalifah dan
ibadah, seperti yang termaktub dalam Al Quran yang digunakan sebagai petunjuk
bagi seluruh umat manusia.
Namun,
dengan adanya kecenderungan kehiduan modern, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memasuki seluruh ruang hidup manusia telah menggantikan fungsi
manusia melalui berbagai produk iptek. Sehingga, dalam berbagai hal kehidupan
mengakibatkan ketergantungan sistematik manusia terhadap iptek tersebut.
Pada
sisi lain, searah dengan intervensi iptek terhadap seluruh fungsi kemanusiaan
dan berbagai pola kelakuannya, berbagai fungsi dari institusi agama juga
mengalami penyesatan. Pemikiran keagamaan (Islam) terjebak pada dilema
“ideologi ilmiah”. Agama, tidak lagi memiliki bahasan untuk berbicara kepada
kehidupan manusia yang seharunya memperoleh bimbingan. Akibatnya, jarak antara
pemikiran Islam dan kehidupan manusia semakin hari semakin melebar.
Berangkat
dari ilustrasi tersebut, sebenarnya pendidikan memiliki korelasi positif dengan
proses modernisasi dalam kehidupan sosial manusia. Postulat semacam ini telah
terbaca setidaknya oleh Ghulam Nabi Saqib, intelektual muslim Pakistan dalam
disertasinya Modernism of Muslim
Education pada University of London (1977) sebagaimana dikutip oleh Syarif
Hidayatullah Saqib mengemukakan bahwa kaitannya antara pendidikan dan
modernisasi sesungguhnya ada dua cara pandang yang dapat saling melengkapi. Pertama, bahwa pendidikan dianggap
sebagai satu variabel dari apa yang disebut modernisasi, kedua, bahwa pendidikan adalah sistem yang menjadi obyek dari
proses modernisasi tersebut (Syarif Hidayatullah, 1998 : 47).
Hal
ini dapat dipahami, bahwa tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi
masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan. Sebab, pendidikan merupakan kunci
yang membuka pintu ke arah modernisasi.
Kesadaran
akan signifikansi pendidikan dalam arus modernisasi mendorong pada pakar
pendidikan untuk senantiasa melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam sistem
pendidikan. Dalam pendidikan Islam, misalnya ada istilah “pengembangan
kurikulum Islami”, “Pembentukan pendidikan Islam terpadu”, “Islamisasi Ilmu”,
dan sebagainya.
Upaya
pembaharuan dalam pendidikan Islam tersebut, disebabkan karena adanya
realitanya pendidikan masih terdapat krisis yang memuat untuk dilakukannya
langkah-langkah penyelesaian, diantara krisis dalam pendidikan tersebut adalah krisis
epistemologis (Azyumardi Azra, 1998 : 78-86).
Munculnya
persoalan epistemologi pendidikan Islam itu diantara sebabnya adalah
epistemologi Pendidikan Islam akibatnya belum jelas, bahkan kalau tidak terlalu
berlebihan bahwa epistemologi Pendidikan Islam masih mengikuti epistemologi
Barat. Perkembangan ilmu pendidikan Islam masih memiliki sikap mendua. Pertama, ketika melihat temuan teori
pendidikan dari Barat maupun Timur, cenderung diterima tanpa kritik. Kemudian
dicarikan dalil-dalil al Quran maupun Hadits yang terkadang cenderung
dipindahkan. Kedua, sikap yang sangat
normatif, dalam menghadapi dalil-dalil Al Quran maupun Hadits dan cenderung
tidak melalui tahap analisis yang cukup mendalam.
Sekilas
Tentang Epistemologi
Dalam
artian bahasa, epistemologi beradal dari kata episteme yang berarti knowledge
atau pengetahuan, dan logos yang
berarti explanation. Epistemologi
membicarakan tentang proses yang terlihat dalam usaha untuk memperoleh
pengetahuan atau dengan perkataan lain theory
of knowledge atau teori tentang pengetahuan.
Pengetahuan
diartikan secara luas, mencakup segala hal yang kita ketahui tentang suatu
obyek tertentu. Pengetahuan adalah terminologi generik yang mencakup segenap
cabang pengetahuan yang kita miliki. Manusia mendapatkan pengetahuan tersebut
berdasarkan kemampuan selaku makhluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Di
samping itu manusia bisa juga mendapatkan pengetahuan lewat intuisi dan wahyu
dari Tuhan yang disampaikan lewat utusannya.
Dalam
kajian filsafat, epistemologi merupakan suatu teori untuk pengetahuan tentang
bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar. Epistemologi juga sebagai
cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengetrian, struktur, metode,
dan validitas ilmu pengetahuan. Harun Nasution memandang bahwa epistemologi
ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan (Haruan Nasution, 1973 : 7).
Di
Perancis, istilah epistemologi untuk menunjukkan filsafat pengetahuan, dalam
arti studi kritis tentang prinsip-prinsip, hipotes-hipotesa dan hasil-haisl
berbagai ilmu dengan maksud menentukan nilai dan jangkauan obyektif. Sedangkan
di Inggris, kata epistemologi (epistemology),
juga berarti filsafat pengetahuan, yaitu suatu refleksi kritis tentang
pengetahuan manusia pada umumnya.
Hal
ini dipahami bahwa epistemologi meliputi berbagai sarana dan tata cara
menggunakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran.
Epistemologi juga merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba
menentukan kodrat dan lingkup pengetahuan, sumber, metode dan dasarnya. Menurut
Amin Abdullah, epistemologi mempunyai tiga persoalan pokok yang menjadi wilayah
kajiannya, yaitu,
“pertama, apakah sumber-sumber
pengetahuan itu? Dan dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana
kita mengetahui. Kedua, apakah sifat
dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita
dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah
kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?” (Amin Abdullah, 1996 : 243).
Berpijak,
dari pemahaman tentang epistemologi atau teori tentang pengetahuan tersebut,
maka muncullah aliran dalam epistemologi. Pertama,
idealisme atau rasionalisme yang menekankan pentingnya akal, ide, kategori,
form, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Rene
Descarted, George Berkeley, Spinoza dan Leibniz yang berpendapat bahwa manusia
dengan ketrampilan proses berpikir saja dapat mengungkapkan prinsip-prinsip
pokok dari alam atau lingkungan. Kedua,
realisme atau empirisme yang lebih menekankan pada indera (sentuhan
penglihatan, penciuman dan pendengaran), sebagai sumber sekaligus sebagai alat
untuk memperoleh pengetahuan, sehingga peran akal dinomorduakan. Aliran ini dipelopori
oleh john Locke dan David Hume, yang berpandangan bahwa semua jenis pengetahuan
hanya dapat diperoleh dari pengalaman melalui panca indera.
Pada
perkembangan selanjutnya, kedua aliran yang saling bertentangan ini oleh
Immanuel Kant “diselesaikan” dengan fahamnya “kritisme” yang menerima rasio dan
pengalaman. Aliran ini menyatakan bahwa hasil rasio akan dibuktikan melalui
pengalaman, sedangkan pengalaman akan dapat dimengerti karena adanya rasio atau
akal. Selain itu, masih ada aliran lain yang merupakan induk dari epistemologi
yaitu pisitivisme (August Comte) dan Fenomenologi (Husserl).
Epistemologi
Barat mengedepankan rasionalitas ilmiah
sebagai satu-satunya metode yang sah untuk memahami dan mengontrol alam dan
menolak semua pertimbangan nilai dalam pencarian pengetahuan. Epistemologi
Barat memperlakukan obyek pencariannya (baik yang berwujud manusia maupun bukan
manusia) sebagai benda semata yang dapat diperas, dimanipulasi, dibedah dan
pada umumnya dihancurkan atas nama sains (Ziauddin Sardar, 1985 : 87).
Berkaitan
dengan hal ini, seorang sarjana Barat yang lebih radikal sangat sadar akan
masalah-masalah epistemologi Barat. Diantaranya sarjana Barat itu adalah
Gregory Bateson, sebagaimana dikutip Ziauddin Sardar, mengungkapkan.
“Jelas kini
bagi banyak orang telah lahir berbagai ancaman bencana yang muncul akibat
kesalahan-kesalahan epistemologi Barat. Ini berkisar dari obat pembasmi
serangga sampai polusi, jatuhan radioaktif dan kemungkinan melehnya lapisan es
antrariksa…… Saya akui, ancaman besar yang dihadapi manusia dan sistem-sistem
ekologi adalah akibat kesalahan-kesalahan dalam kebiasaan-kebiasaan pemikiran
kita pada tingkat yang sangat mendalam tanpa sepenuhnya kita sadari”.
Syed
Muhammad Al Naquib Al Attas memberikan analisa bahwa ilmu pengetahuan masa kini
dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui
pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan
peradaban Barat. Masuknya aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat Barat
ke dalam pikiran elit terdidik umat Islam sanat berperan terhadap timbulnya
umat Islam” (Syed Muhammad al Naquib, 1979 : 10-11).
Formulasi
Epistemologi Pendidikan Islam
Kalau
landasan filosofis pendidikan Islam menggunakan filsafat Barat, maka pencapaian
tujuan ideal pendidikan Islam tidak akan pernah terwujud. Sebab paradigma
berpikir atau epistemologi Barat bertentangan dengan epistemologi Islam.
Pendidikan
Islam bersumber dari al Quran dan Hadits, secara otomatis epistemologi yang
dipakai adalah epistemologi Islam (bersumber dari al Quran dan Hadits).
Sehingga, pendidikan Islam dalam prakteknya dilihat dari kerangka epistemologis
bukan menggunakan pendekatan naturalistik-positivistik,
yaitu jenis pendekatan keilmuan yang lebih menitikberatkan pada aspek keherensi
(dari indikator, dapat terjawabnya berbagai pertanyaan pengetahuan agama) tanpa
banyak menyentuh wilayah moralitas praktis. Atau menitikberatkan pada aspek
korespondensi-tekstual yang lebih menekankan pada kemampuan untuk menghafal
teks-teks keagamaan, yang menurut istilah Fazlur Rahman adalah memory-work dengan learning by note (Fazlul Rahman, 1979 : 191).
Dengan
landasan epistemologi yang dibangun oleh para ilmuan-ilmuan muslim klasik, yang
mendasarkan pengetahuannya melalui indera, akal dan intuisijuga mengakui
kebenaran wahyu, itulah yang menjadi pondasi epistemologi pendidikan Islam.
Sehingga, hasil yang akan dicapai adalah menjadikan anak didik sebagai manusia
yang utuh dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis. Hal ini, sesuai
dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu suatu proses dengan “memanusiakan
manusia”.
Dengan
demikian peistemologi pendidikan Islam bukanlah bercorak naturalistic-positivistik, akan
tetapi mempunyai corak rasionalistik-empiristik-sufistik,
yang berarti bahwa pengakuan terhadap suatu ralitas kebenaran didasarkan pada
indera, akal, intuisi dan wahyu. Dalam pendidikan Islam, terutama dalam konteks
pendekatan konseptual metodologis, maka pendidikan Islam memerlukan sebuah
paradigma yang mengedepankan keempat hal tersebut.
Pertama, fungsionalisasi
inderawi,
yaitu bagaimana dalam pendidikan Islam terdapat dorongan terhadap anak didik
untuk senantiasa memfungsikan secara maksimal organ tubuh pemberian Tuhan,
utamanya adanya panca indera tersebut dengan melakukan observasi dalam mencari
kebenaran dalam proses pendidikan.
Tidak
hanya dalam konteks transfer of knowledge
saja, yang menekankan pada kemampuan untuk menghafal teks-teks keagamaan yang
menurut Fazlur Rahman disebut sebagai memory-work
dan learning bu note. Akan tetapi
bagaimana mendidik anak menjadi manusia yang trampil dan kreatif serta
profesional.
Kedua, fungsionalisasi
akal, yaitu manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan dengan bentuk rupa
yang sebaik-baiknya dan seindah-indahnya, kemudian dilengkapi dengan berbagai
organ psikofisik yang istimewa seperti indera dan hati, dan kemampuan berpikir
untuk memahami alam semesta dan diri sendiri yang disebut akal.
Akal,
sebagai salah satu potensi yang penting dalam diri manusia mempunyai kedudukan
dan peran yang sangat tinggi. Hal ini bukan hanya teori, tapi fungsi akal telah
dibuktikan dalam sejarah pemikiran cendekiawan muslim zaman klasik.
Ron
Landau mengatakan : “Dari orang Arablah Eropa belajar berpikir secara obyektif
dan lurus, belajar berdada lapang dan berpandangan luas. Inilah dasar-dasar
menjadi pembimbing bagi renaissance
yang menimbulkan kemajuan peradaban Barat” (Harun Nasution, 1986 : 70).
Dalam
proses pendidikan di lapangan, fungsionalisasi akal dengan mengajak anak didik
selalu berpikir secara maksimal dalam memahami obyek, baik yang nampak maupun
yang tidak nampak, maka tujuan pendidikan Islam akan lebih mudah tercapai.
Ketiga, wahyu
dan intuisi, fungsionalisasi akal dan pengalaman inderawi dalam mencapai
tujuan pendidikan Islam, pada satu sisi memang akan menciptakan peradaban yang
lebih maju, yang di dalamnya terdapat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta penerapannya. Namun, pada sisi lain, memerlukan kontrol pula.
Sebab dalam kenyataannya sains modern bisa juga mendatangkan mendatangkan
berbagai persoalan.
Diantara
dampak sains modern, khususnya dalam perspektif epistemologi yang muncul dari
pola pikir manusia yang tercermin dalam perilakunya adalah adanya dominasi
berpikir rasional dan empiris, yang merupakan pilar metode keilmuan (scientific method).
Hal
ini berarti adanya pemisahan antara kebenaran rasio dan pengalaman inderawi
tersebut dengan nilai-nilai yang bersumber dari intuisi, yang akhirnya terjadi
proses sekularisasi yang menghancurkan keaungan dan kemuliaan manusia.
Paradigma
pendidikan Islam seharusnya menempatkan nilai-nilai yang bersumber dari
pengalaman spiritual tersebut, yang menghasilkan nilai-nilai moral-religius
sebagai landasan dalam pendidikan Islam.
Sehingga
tujuan pendidikan Islam yang meliputi ta’lim,
tarbiyah dan ta’dib (Seyyed
Hossein Nasr, 1994 : 98) diharapkan dapat tercapai, yaitu terbentuknya pribadi
yang utuh dan mendukung pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al ard, dengan tidak melaksanakan praktik pendidikan
Islam yang bebas nilai.
Berangkat
dari epistemologi tersebut, maka paradigma pengembangan pendidikan Islam yang
relevan dan perlu untuk mencermati adalah pertama,
mengintegrasikan antara ilmu-ilmu yang dianggap sebagian orang adalah sekuler
dan ilmu-ilmu agama dengan prinsip bahwa proses perolehan pengetahuan
hakekatnya adalah untuk kebahagiaan dunia akherat. Bukan berorientasi kepada
satu sisi saja yang mendatangkan kesesatan dan kesengsaraan. Dalam hal ini, ada
keseimbangan antara ilmu naqli dan aqli (filsafat).
Kedua,
mengusahakan untu kmeningkatkan kemampuan, dorongan dan kesempatan
seluas-luasnya dalam rangka mendapatkan pendidikan. Sebab manusia diberi
kemampuan oleh Allah berupa akal dan hati untuk membedakan dengan makhluk lain.
Oleh karena itu, harus berusaha memperoleh kebenaran pengetahuan yang akan
menjadikan dirinya benar-benar sebagai manusia. Ketiga, menerapkan nilai-nilaispiritual yang seimbang kepada anak
dalam rangka balance terhadap seluruh
potensi yang dimilikinya. Keempat,
mendasarkan proses pendidikan kepada al Quran dan Hadits sebagai pedoman dan
pijakan dalam pengembangan ilmu.
Kelima,
mengusahakan peran pendidikan Islam ygmengembangkan moral atau akhlak peserta
didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah laku dalam menghadapi
norma sekuler. Keenam, mengusahakan
sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan ygdikotomis,
yakni pandangan yang memisahkan secara tajam antara tujuan ilmu dan agama,
sementara ilmu meurpakan alat utama dalam menjangkau kebenaran yang menjadi
tujuan agama. Wallahu a’lam
Penulis :
ULIN NUHA,
M.Ag.
Alumni
Pascasarjana
0 comments :
Post a Comment