UJIAN NASIONAL
DIHAPUS?
(Sebuah Catatan
Kecil)
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.
Setiap akan diadakannya Ujian
Nasional, harap dan cemas apakah lulus atau tidak seakan menyatu di hati baik
bagi peserta didik, kepala sekolah, guru maupun. Sehingga berbagai macam usaha
lahiriyah melalui pemberian materi Ujian Nasional dengan maksimal, maupun usaha
batin melalui doa, baik dengan istilah istighotsah, tirakatan dan lain-lain.
Sedemikian “angker” nya kata-kata
lulus bagi peserta didik sehingga peserta didik dibuat mencekam seakan “kiamat
sudah dekat”. Walaupun “lulus” di sini ada bebarapa pengertian, pertama
sekedar lulus/yang penting lulus, nilai berapapun tak jadi masalah. Kedua,
motivasi lulus dengan nilai yang baik bahkan terbaik demi mencapai cita-cita untuk
melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Ketiga,
motivasi lulus dengan nilai yang baik bahkan terbaik karena memang hal
itu menjadi watak dan karakternya untuk selalu menjadi yang terbaikdalam segala
hal, walaupun tidak atau belum mampu melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Persoalannya apakah lulus dan tidak
lulus, lulus dengan nilai terbaik ataupun tidak akan menjamin bahwa peserta
didik tersebut adalah peserta didik yang memang benar-benar terbaik atau tidak
terbaik? Hal ini kembali kepada kulaitas dan vailidats pelaksanaan Ujian
Nasional sebagai standarisasi kelulusan di setiap jejang pendidikan.
Rentan Masalah
Sebuah usaha yang mulia bagi para
pengambil kebijakan, para pakar dan praktisi pendidikan dalam mengadakan ujian
bagi setiap peserta didik untuk mengetahui sejauhmana kemampuannya dalam
melaksanakan proses pendidikan. Namu
cita-cita mulia tidak akan pernah terwujud tanpa manajemen yang baik dan
professional.
Ujian Nasional yang selama ini
berjalan memang diharapkan mampu memetakan kualitas satuan pendidikan dan
dijadikan pertimbangan pemerintah sehingga dapat membantu mengevaluasi dan
meningkatkan mana pendidikan yang membutuhkan peningkatan kualitasnya dan mana
yang perlu dikembangkan. Hal ini juga dapat memacu para praktisi pendidikan
untuk selalu meningkatkan peranannya dalam mendidik.
Di sisi lain, Ujian Nasional juga sebagai
standar kelulusan peserta didik. Standar kelulusan melalui Ujian Nasional
inilah diantara yang menjadi perhatian para praktisi pendidikan dan juga
masyarakat. Karena secara konseptual maupun realita banyak hal yang memerlukan
koreksi dan evaluasi yang akan menjamin validitas Ujian Nasional sebagai stadar
kelulusan.
Ada beberapa catatan yang perlu
dicermati mengenai pelaksanaan Ujian Nasional. :
Pertama, dari segi kebijakan Ujian Nasional telah menjadi Pro dan Kontra. Bagi yang Pro, Ujian Nasional
yang selama ini berjalan memang diharapkan mampu memetakan kualitas satuan
pendidikan dan dijadikan pertimbangan pemerintah sehingga dapat membantu
mengevaluasi dan meningkatkan mana pendidikan yang membutuhkan peningkatan
kualitasnya dan mana yang perlu dikembangkan. Hal ini juga dapat memacu para
praktisi pendidikan untuk selalu meningkatkan peranannya dalam mendidik. Sementara
bagi yang Kontra diantara sebabnya adalah adanya heterogenitas sekolah, bahkan
terdapat kesenjangan baik secara geografis antara di pelosok desa dan di kota.
Sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan yang beragam, dan lain-lain.
Disamping itu pelaksanaan Ujian nasional juga bertentangan dengan Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 58, bahwa evaluasi belajar
peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan
hasil belajar peserat didik secara berkesinambungan.
Kedua, dari segi korelasi Ujian Nasional dengan kelulusan atau hasil,
terdapat banyak hal yang memerlukan perhatian serius untuk dijadikan
pertimbangan lebih lanjut. Pertama, mata pelajaran yang diujikan hanya
beberapa saja, padahal selama tiga tahun
peserta didik menerima banyak mata pelajaran. Jadi standar kelulusan dengan
hanya memakai beberapa mata pelajaran saja akhirnya tidak kompehensif. Kedua,
mata pelajaran yang diujikan hanya bersifat kognitif sementara aspek afektif
dan psikomotor terabaikan. Padahal ketiga aspek (kognitif, psikomotor dan
afektif) sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan Ketiga,
hilangnya pendidikan karakter dalam standar kelulusan. Pendidikan pada dasarnya
adalah memanusiakan manusia menuju Insan Kamil (berkarakter,
berkepribadian, berakhlakul karimah, berwawasan dan trampil). Sementara
pelaksanaan Ujian Nasional kurang mencerminakan hal itu. Siswa hanya belajar
memeacahkan masalah melalui soal-soal di atas kerta dan menghafal. Keempat,
adanya pemenuhan aspek lain sebagai pertimbangan kelulusan yaitu 40% dari Nilai
Sekolah (nilai Ujian Sekolah dan nilai raport) ternyata tidaklah menjamin, karena
kenyataannya masih banyak “manipulasi” data.
Ketiga, dari segi kontrol atau pengawasan, dalam realita terjadi
pelanggaran baik oleh peserta didik sendiri bahkan penyelenggara ujian.
Misalnya pengawas cenderung memberi kelonggaran bahkan membiarkan peserta didik
untuk leluasa mendapatkan jawaban asal tidak membuat gaduh, adanya bocoran soal
sebelum diujikan bahkan jual beli kunci jawaban.
Bagi penyelenggara di satuan
pendidikan juga dihantui rasa ketakutan kalau peserta didiknya tidak lulus,
bahkan demi memperoleh predikat lulus 100%, maka segala macam cara dilakukan
oleh pihak penyelenggara untuk memberikan keleluasaan peserta didik untuk
mendapatkan jawaban “instan”, bahkan lebih parah lagi dengan memberikan kunci
jawaban kepada peserta didik. Hal ini menjunjukkan bahwa Ujian Nasional secara
tidak langasung mendidik generasi bangsa untuk tidak jujur, curang, tidak
mandiri, tidak bertanggung jawab dan tidak berkarakter.
Keempat, dari segi pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2013 walaupun telah
diusahakan untuk meminimalisir kebocoran soal, ketidakjujuran dan lain-lain,
akhirnya diterapkan 20 paket soal. Dimana masing-masing siswa menerima paket
soal yang berbeda dalam satu ruang. Ternyata masih banyak juga hal-hal yang
mestinya tidak perlu terjadi. Misalnya pengiriman soal terlambat sehingga
jadwal ujian diundur untuk 11 propinsi yang sangat berpotensi terjadi kebocoran
soal. Kemudian adanya kekurangan soal, adanya soal yang difoto copy. Hal ini sangat
mempengaruhi psikologis peserta didik sehingga khawatir tidak lulus karena LJUN
foto copy, gambar menjadi tidak jelas sehingga memilih jawabanpun penuh dengan
keraguan.
Ujian Nasional Dihapus?
Pada dasarnya banyak metode evaluasi
KBM yang bisa diterapkan. Kemampuan para peserta didik, tidak bisa
disamaratakan secara nasional. Sebab adanya heterogenitas sekolah, bahkan
terdapat kesenjangan baik secara geografis antara di pelosok desa dan di kota.
Sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan yang beragam, dan lain-lain.
Selain itu, boleh jadi seorang anak
lemah dalam IPA atau Matematika, tetapi bisa saja dia sangat menguasai
kesenian. Oleh karena itu pemerintah tidak harus memaksa dia untuk lulus Matematika
dan mengabaikan bakat alamiah yang diimiliki? Banyak orang yang bisa survive
dan mendatangkan kebaikan dengan hanya menguasai kesenian dan atau yang
lainnya, tanpa harus menguasai pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional.
Ujian Nasional hanya melahirkan
peserta didik yang mempunyai kecerdasan intelektual. Padahal kecerdasan
spiritual dan emosional juga penting dinilai. Dalam hal ini, evaluasi
pendidikan harus menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara
bersamaan.
Secara pedagogis UN telah melanggar asas-asas pendidikan yang mulia karena telah menyempitkan makna belajar. hal ini berdampak buruk pada perkembangan psikologi anak. Dan secara sosio-politik menanamkannilai-nilai koriptif secara dini pada generasi muda
Secara pedagogis UN telah melanggar asas-asas pendidikan yang mulia karena telah menyempitkan makna belajar. hal ini berdampak buruk pada perkembangan psikologi anak. Dan secara sosio-politik menanamkannilai-nilai koriptif secara dini pada generasi muda
Oleh karena itu, sangatlah beralasan
bila banyak pihak yang menuntut agar pemerintah menghapus UN. Sebagai gantinya,
evaluasi pendidikan bisa dikembalikan ke sekolah (school based evaluation).
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
dinilai hanya mematikan kreatifitas anak bangsa. "UN membuat anak murid menjadi tidak bisa bersaing dengan murid luar
negeri karena anak murid hanya menghafal untuk ujian saja. Jadi tidak mendapat
apa-apa," kata Guru Besar Unibersitas Indonesia, Prof Mayling Oey Gardiner
saat konfrensi Pers "Petisi Reformasi Pendidikan" di Darung Daun,
Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu (25/11).
Ujian Nasional juga secara tidak langasung mendidik generasi bangsa untuk tidak jujur, curang, tidak mandiri, tidak bertanggung jawab dan tidak berkarakter. Seorang anak bisa dibohongi kalau belanja di pasar karena tidak bisa menghitung padahal hasil UN nya katanya bagus dan lulus. Sehingga menghasilkan tekanan-tekanan psikologis terhadap anak. Padahal bangsa ini membutuhkan anak yang berkarakter dan memiliki moraliras yang baik.
Ujian Nasional juga secara tidak langasung mendidik generasi bangsa untuk tidak jujur, curang, tidak mandiri, tidak bertanggung jawab dan tidak berkarakter. Seorang anak bisa dibohongi kalau belanja di pasar karena tidak bisa menghitung padahal hasil UN nya katanya bagus dan lulus. Sehingga menghasilkan tekanan-tekanan psikologis terhadap anak. Padahal bangsa ini membutuhkan anak yang berkarakter dan memiliki moraliras yang baik.
Beberapa catatan di atas semoga
menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi atau sebagai koreksi untuk pelaksanaan
ujian tahun yang akan datang. Semoga ikhtiar kita semua senantiasa mendapat
bimbingan, pertolongan dan hidayah dari Allah SWT. Karena manusia tidaklah
sempurna. Akan tetapi ketidaksempurnaan kita tidaklah menjadikan pesimis dan
menjadikan lunturnya semangat dan idealisme kita sebagai pakar,pemerhati,
pengambil kebijakan dan para praktisi pendidikan dalam rangka mendidik generasi
muda bangsa yang berkepribadian, berakhlakul karimah, berwawasan, trampil dan
berkarakter.
Wallahu a’lam.
good
ReplyDelete