Thursday 18 April 2013

UJIAN NASIONAL DIHAPUS? (Sebuah Catatan Kecil)







UJIAN NASIONAL DIHAPUS?
(Sebuah Catatan Kecil)

Oleh : Ulin  Nuha, M.Ag.

      Setiap akan diadakannya Ujian Nasional, harap dan cemas apakah lulus atau tidak seakan menyatu di hati baik bagi peserta didik, kepala sekolah, guru maupun. Sehingga berbagai macam usaha lahiriyah melalui pemberian materi Ujian Nasional dengan maksimal, maupun usaha batin melalui doa, baik dengan istilah istighotsah, tirakatan dan lain-lain.
      Sedemikian “angker” nya kata-kata lulus bagi peserta didik sehingga peserta didik dibuat mencekam seakan “kiamat sudah dekat”. Walaupun “lulus” di sini ada bebarapa pengertian, pertama sekedar lulus/yang penting lulus, nilai berapapun tak jadi masalah. Kedua, motivasi lulus dengan nilai yang baik bahkan terbaik demi mencapai cita-cita untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Ketiga,  motivasi lulus dengan nilai yang baik bahkan terbaik karena memang hal itu menjadi watak dan karakternya untuk selalu menjadi yang terbaikdalam segala hal, walaupun tidak atau belum mampu melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
      Persoalannya apakah lulus dan tidak lulus, lulus dengan nilai terbaik ataupun tidak akan menjamin bahwa peserta didik tersebut adalah peserta didik yang memang benar-benar terbaik atau tidak terbaik? Hal ini kembali kepada kulaitas dan vailidats pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standarisasi kelulusan di setiap jejang pendidikan.

Rentan Masalah

      Sebuah usaha yang mulia bagi para pengambil kebijakan, para pakar dan praktisi pendidikan dalam mengadakan ujian bagi setiap peserta didik untuk mengetahui sejauhmana kemampuannya dalam melaksanakan proses pendidikan. Namu  cita-cita mulia tidak akan pernah terwujud tanpa manajemen yang baik dan professional.
      Ujian Nasional yang selama ini berjalan memang diharapkan mampu memetakan kualitas satuan pendidikan dan dijadikan pertimbangan pemerintah sehingga dapat membantu mengevaluasi dan meningkatkan mana pendidikan yang membutuhkan peningkatan kualitasnya dan mana yang perlu dikembangkan. Hal ini juga dapat memacu para praktisi pendidikan untuk selalu meningkatkan peranannya dalam mendidik.
      Di sisi lain, Ujian Nasional juga sebagai standar kelulusan peserta didik. Standar kelulusan melalui Ujian Nasional inilah diantara yang menjadi perhatian para praktisi pendidikan dan juga masyarakat. Karena secara konseptual maupun realita banyak hal yang memerlukan koreksi dan evaluasi yang akan menjamin validitas Ujian Nasional sebagai stadar kelulusan.
Ada beberapa catatan yang perlu dicermati mengenai pelaksanaan Ujian Nasional. :
Pertama, dari segi kebijakan Ujian Nasional telah menjadi  Pro dan Kontra. Bagi yang Pro, Ujian Nasional yang selama ini berjalan memang diharapkan mampu memetakan kualitas satuan pendidikan dan dijadikan pertimbangan pemerintah sehingga dapat membantu mengevaluasi dan meningkatkan mana pendidikan yang membutuhkan peningkatan kualitasnya dan mana yang perlu dikembangkan. Hal ini juga dapat memacu para praktisi pendidikan untuk selalu meningkatkan peranannya dalam mendidik. Sementara bagi yang Kontra diantara sebabnya adalah adanya heterogenitas sekolah, bahkan terdapat kesenjangan baik secara geografis antara di pelosok desa dan di kota. Sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan yang beragam, dan lain-lain. Disamping itu pelaksanaan Ujian nasional juga bertentangan dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 58, bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserat didik secara berkesinambungan.
Kedua, dari segi korelasi Ujian Nasional dengan kelulusan atau hasil, terdapat banyak hal yang memerlukan perhatian serius untuk dijadikan pertimbangan lebih lanjut. Pertama, mata pelajaran yang diujikan hanya beberapa saja, padahal  selama tiga tahun peserta didik menerima banyak mata pelajaran. Jadi standar kelulusan dengan hanya memakai beberapa mata pelajaran saja akhirnya tidak kompehensif. Kedua, mata pelajaran yang diujikan hanya bersifat kognitif sementara aspek afektif dan psikomotor terabaikan. Padahal ketiga aspek (kognitif, psikomotor dan afektif) sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan Ketiga, hilangnya pendidikan karakter dalam standar kelulusan. Pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia menuju Insan Kamil (berkarakter, berkepribadian, berakhlakul karimah, berwawasan dan trampil). Sementara pelaksanaan Ujian Nasional kurang mencerminakan hal itu. Siswa hanya belajar memeacahkan masalah melalui soal-soal di atas kerta dan menghafal. Keempat, adanya pemenuhan aspek lain sebagai pertimbangan kelulusan yaitu 40% dari Nilai Sekolah (nilai Ujian Sekolah dan nilai raport) ternyata tidaklah menjamin, karena kenyataannya masih banyak “manipulasi” data. 
Ketiga, dari segi kontrol atau pengawasan, dalam realita terjadi pelanggaran baik oleh peserta didik sendiri bahkan penyelenggara ujian. Misalnya pengawas cenderung memberi kelonggaran bahkan membiarkan peserta didik untuk leluasa mendapatkan jawaban asal tidak membuat gaduh, adanya bocoran soal sebelum diujikan bahkan jual beli kunci jawaban.
Bagi penyelenggara di satuan pendidikan juga dihantui rasa ketakutan kalau peserta didiknya tidak lulus, bahkan demi memperoleh predikat lulus 100%, maka segala macam cara dilakukan oleh pihak penyelenggara untuk memberikan keleluasaan peserta didik untuk mendapatkan jawaban “instan”, bahkan lebih parah lagi dengan memberikan kunci jawaban kepada peserta didik. Hal ini menjunjukkan bahwa Ujian Nasional secara tidak langasung mendidik generasi bangsa untuk tidak jujur, curang, tidak mandiri, tidak bertanggung jawab dan tidak berkarakter. 
Keempat, dari segi pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2013 walaupun telah diusahakan untuk meminimalisir kebocoran soal, ketidakjujuran dan lain-lain, akhirnya diterapkan 20 paket soal. Dimana masing-masing siswa menerima paket soal yang berbeda dalam satu ruang. Ternyata masih banyak juga hal-hal yang mestinya tidak perlu terjadi. Misalnya pengiriman soal terlambat sehingga jadwal ujian diundur untuk 11 propinsi yang sangat berpotensi terjadi kebocoran soal. Kemudian adanya kekurangan soal, adanya soal yang difoto copy. Hal ini sangat mempengaruhi psikologis peserta didik sehingga khawatir tidak lulus karena LJUN foto copy, gambar menjadi tidak jelas sehingga memilih jawabanpun penuh dengan keraguan.
Ujian Nasional Dihapus?

       Pada dasarnya banyak metode evaluasi KBM yang bisa diterapkan. Kemampuan para peserta didik, tidak bisa disamaratakan secara nasional. Sebab adanya heterogenitas sekolah, bahkan terdapat kesenjangan baik secara geografis antara di pelosok desa dan di kota. Sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan yang beragam, dan lain-lain.
      Selain itu, boleh jadi seorang anak lemah dalam IPA atau Matematika, tetapi bisa saja dia sangat menguasai kesenian. Oleh karena itu pemerintah tidak harus memaksa dia untuk lulus Matematika dan mengabaikan bakat alamiah yang diimiliki? Banyak orang yang bisa survive dan mendatangkan kebaikan dengan hanya menguasai kesenian dan atau yang lainnya, tanpa harus menguasai pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional.
      Ujian Nasional hanya melahirkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan intelektual. Padahal kecerdasan spiritual dan emosional juga penting dinilai. Dalam hal ini, evaluasi pendidikan harus menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. 
       Secara pedagogis UN telah melanggar asas-asas pendidikan yang mulia karena telah menyempitkan makna belajar. hal ini berdampak buruk pada perkembangan psikologi anak. Dan secara sosio-politik menanamkannilai-nilai koriptif secara dini pada generasi muda
      Oleh karena itu, sangatlah beralasan bila banyak pihak yang menuntut agar pemerintah menghapus UN. Sebagai gantinya, evaluasi pendidikan bisa dikembalikan ke sekolah (school based evaluation).
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dinilai hanya mematikan kreatifitas anak bangsa. "UN membuat anak murid menjadi tidak bisa bersaing dengan murid luar negeri karena anak murid hanya menghafal untuk ujian saja. Jadi tidak mendapat apa-apa," kata Guru Besar Unibersitas Indonesia, Prof Mayling Oey Gardiner saat konfrensi Pers "Petisi Reformasi Pendidikan" di Darung Daun, Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu (25/11).
       Ujian Nasional juga secara tidak langasung mendidik generasi bangsa untuk tidak jujur, curang, tidak mandiri, tidak bertanggung jawab dan tidak berkarakter. Seorang anak bisa dibohongi kalau belanja di pasar karena tidak bisa menghitung padahal hasil UN nya katanya bagus dan lulus. Sehingga menghasilkan tekanan-tekanan psikologis terhadap anak. Padahal bangsa ini membutuhkan anak yang berkarakter dan memiliki moraliras yang baik.
      Beberapa catatan di atas semoga menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi atau sebagai koreksi untuk pelaksanaan ujian tahun yang akan datang. Semoga ikhtiar kita semua senantiasa mendapat bimbingan, pertolongan dan hidayah dari Allah SWT. Karena manusia tidaklah sempurna. Akan tetapi ketidaksempurnaan kita tidaklah menjadikan pesimis dan menjadikan lunturnya semangat dan idealisme kita sebagai pakar,pemerhati, pengambil kebijakan dan para praktisi pendidikan dalam rangka mendidik generasi muda bangsa yang berkepribadian, berakhlakul karimah, berwawasan, trampil dan berkarakter.

Wallahu a’lam.



1 comments :