Friday, 22 February 2013

QASHASH AL QURAN (KISAH DALAM AL QUR’AN)










QASHASH AL QURAN
(KISAH DALAM AL QUR’AN)
Oleh : Ulin Nuha

Al Quran adalah kitab suci agama Islam berisi tuntunan-tuntunan bagi umat manusia untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat, lahir dan batin. Segala sesuatu yang diperlukan untuk terwujudnya kebahagiaan tersebut dijelaskan dalam berbagai ketentuan dan tuntunan tertentu, seperti dengan berakidah yang benar, dan tata cara hidup yang baik dalam masyarakat.
Dalam menerangkan unsur-unsur kebahagiaan tersebut, Al Quran adakalanya memakai cara langsung dan adakalanya menggunakan cara tidak langsung yaitu dengan memakai kisah-kisah. Menurut tinjauan kesusteraan, kisah mempunyai banyak faedah. Diantaranya bisa merangsang pembacanya untuk terus mengikuti peristiwa dan pelakunya, apakah pembaca suka terhadap perbuatan-perbuatan pelaku tersebut atau tidak[1]. George Zaidan, tokoh kisah sejarah pada kesusastraan Arab modern yang telah menulis lebih dari dua puluh buku riwayat (kisah) peristiwa besar keislaman sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, mengemukakan kejadian sejarah, lebih suka memilih kisah sebagai alatya. Karena menurut pendapatnya, kisah merupakan cara yang sebaik-baiknya untuk menelaah sejarah dan mempelajari lebih lanjut.[2]
Karena pentingnya kedudukan kisah dalam kehidupan manusia itulah, maka Al Quran memakai kisah-kisah, baik untuk menerangkan orang-orang yang hidup pada masa sebelumnya maupun untuk memudahkan persoalan-persoalan abstrak agar dapat diterima fikiran dengan mudah. Hanya yang menjadi persoalan adalah apakah kisah-kisah Al Quran itu bermaksud untuk mempengaruhi perasaan dan membangunkan khayal, sebagaimana tujuan kisah kesusasteraan pada umumnya ataukah bermaksud mempengaruhi fikiran dan menegakkandalil serta pembuktian?

A.    PENGERTIAN KISAH
Menurut bahasa kata  Qashash  adalah bentuk masdar  dari  kata  qashash  (             ), yang  berarti  mengikuti  jejak  atau menelusuri bekas atau kisah/cerita[3]. Dalam    Al Quran, kata Qashash mempunyai dua arti. Al Qashash yang berarti jejak terdapat dalam surat Al Kahfi ayat 64 :


Artinya : “…. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mrk semula”.
Sedangkan Al Qashash yang berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah) terdapat dalam surat Ali Imran ayat 621 :


Artinya : “ Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar ….”.
Menurut istilah, menukil pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam kitab Al Faannul Qashiyu Fil Quranil karim sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, yaitu :





Artinya  : “ Kisah ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayalan pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada atau dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benar terjadi. Ataupun peristiwa-peristiwa itu terjadi atas diri pelaku, tetapi dalam kisah tersebut disusun atas dasar seni yang indah. Dimana sebagai peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya disebutkan dan sebagiannya dibuang. Atau terhadap peristiwa yang benar-benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayal”.[4]
Memahami sebuah kisah tidak saja diperoleh dari definisi saja, tapi pemahaman sebenarnya harus diperoleh dari buku-buku kisah itu sendiri. Al Quran banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat, kenikmatan surga dan siksa neraka di akhirat, tugas dan nama-nama malaikat, keadaan hari kiamat dan sebagainya. Dari ilustrasi diatas, maka pengertian Qashashil Quran adalah kisah-kisah mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang[5].

B.     MACAM-MACAM QASHAH AL QURAN
Dalam Al Quran terdapat bermacam-macam kisah, ada yang menceritakan para nabi dan umat-umat terdahulu dan ada yang mengisahkan berbagai macam peristiwa dan keadaan dari masa lampau, masa kini ataupun masa yang akan datang.
1.      Ditinjau dari Segi Waktu
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam Al Quran menurut Prof. Dr. Abdul Djalal, M.A. ada tiga macam. Pertama, kisah hal-hal gaib[6] pada masa lalu (                                             ) yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indera yang terjadinya di masa lampau seperti kisah Nabi Nuh Nabi Musa, dan kisah Maryam[7]. Kedua, kisah hal-hal gaib pada masa kini                      (                                 ) yaitu kisah yang menerangkan hal-hal gaib pada masa sekarang (meski sudah   ada sejak dulu dan masih akan  tetap ada  sampai masa yang akan datang)  dan  yang  menyingkap rahasia orang-orang munafik,
seperti kisah para jin, malaikat, setan, siksa neraka, kenikmatan surga dan lain-lain[8]. Ketiga, kisah terjadi pada masa yang akan datang (                                 ), yaitu kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya Al Quran, kemudian peristiwa itu betul-betul terjadi (pada masa sekarang peristiwa tersebut telah terjadi), seperti kemenangan Romawi atas Persia (surat Ar Rum ayat 1-4)[9].
2.      Dintinjau Dari Segi Materi
Jika ditinjau dari segi yang diceritakan, menurut Manna al Qattan kisah Al Quran  Terbagi menjadi tiga macam. Pertama,kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka, seperti kisan Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad dan lain-lain. Kedua,kisah orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu,  misalnya kisah Lukman Hakim, Qarun, Talut, Ashabul Kahfi, Ashabus Sabti dan lain-lain. Ketiga, peristiwa dan kejadian dizaman Rasulullah saw., misalnya perang Hunain dan Tabuk dalam surat At Taubah, perang Uhud dan Badar dalam surat Ali Imran, Isra Mi’raj dan lain-lain[10].  
Sedangkan menurut A. Hanadi M.A., kisah-kisah dalam Al Qur’an pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Kisah Sejarah (                       ), yaitu kisah yang berkisah tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti para nabi dan rasul. Kisah-kisah sejarah dalam Al Quran adalah kisah-kisah yang bersifat kesusastraan dan sekaligus bersifat sejarah. Karena Al Quran mengambil bahan-bahan kisahnya dari peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadiannya. Oleh karena itu, dalam memahami peristiwa dan pengurutannya menggunakan logika fikiran dan yang menguasai kisah itu menggunakan logika perasaan. Contoh kisah kaum ‘Ad[11] dalam surat Al Qamar ayat 18-20 :
“Kaun “adpun telah mendustakan (pula) maka  alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-Ku. Sesungguhnya kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus-menerus yang menggelimpangan manusia seakan-akan mereka pohon kurma yang tumbang. Maka betapakah dasyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku”[12].
Ketika kita memperhatikan kisah tersebut, kita mengetahui bahwa Al Qur’an tidak menuturkannya dengan rinci. Seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan ajaran Allah atau keadaan rumah-rumah mereka. Al Qur’an hanya menjelaskan apa yang telah terjadi kepada mereka dalam suatu gambaran yang menakutkan[13].
2.      Kisah Perumpamaan (                     ), yaitu kisah yang diadakan sebagai perumpamaan yang terdapat dalam Al Qur’an dan ini adalah kisah yang bersifat kesusasteraan murni. Perempamaan merupakan salah satu ara yang baik untuk menyatakan fikiran dalam kesusastraan Arab peristiwa-peristiwa yang disebutkan hanya dimaksudkan untuk menerangkan dan memperjelas suatu pengertian, peristiwa itu hanya perlu benar-benar terjadi melainkan cukup berupa perkiraan dan khayal semata[14]. Mengenai cara menyatakan dikiran dengan kisah perumpamaan tersebut, Syekh Muhammad Abduh sebagaimana dikutip A. Hanafi menyatakan bahwa Al Quran sering menggambarkan fikiran dengan bentuk tanya jawab atau dengan cara cerita, karena cara demikian berisi kejelasan dan pengaruh yang kuat[15].
3.      Kisah Asatir[16] yaitu kisah yang didasarkan sesuatu asatir. Pada umumnya kisah semacam ini dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan gejala-gejala yang ada atau menguraikan suatu persoalan yang sukar diterima akal. Muhammad Abduh sebagaimana dikutip A. Hanafi menyatakan bahwa dalam membawakan cerita-cerita Al Quran kadang memakai ungkapan yang dipakai oleh pendengarannya atau oleh orang-orang yang sedang diceritakan oleh kisah itu, meskipun ungkapan-ungkapan itu tidak benar[17]. Misalnya dalam surat Al Baqarah : 275, bahwa mereka yang memakan harta riba tidak akan bangun (pada hari kiamat) kecuali seperti bangunnya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Dan dalam surat Al Kahfi : 90 bahwa ketika ia (Zulkarnain) sampai di tempat terbitnya matahari.

C.    FUNGSI QASHASH AL QURAN
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa Al Quran terdapat banyak kisah para nabi, rasul dan umat-umat terdahulu. Yang dimaksud dengan kisah-kisah tersebut adalah pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi para penyuruh kebenran dan bagi orang-orang yang diseru kepada kebenaran. Oleh sebab itu, Al Quran tidak menguraikan kisahnya seperti kitab sejarah, tetapi memberi petunjuk. Petunjuk itu bukan dalam mengetahui hari kelahiran rasul dan keturunannya serta kejadian-kejadiannya. Tetapi petunjuk itu di dapati dalam cara rasul mengembangkan kebenaran dan dalam kebenaran dan penderitaan-penderitaan yang dialami para rasul itu pula.[18]
Secara rinci  faedah  fungsi  kisah-kisah  dalam  Al  Quran  adalah  pertama menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para nabi (Al Anbiya :95). Kedua, meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan-keyakinan kaum mukminin terhadap kemenangan yang benar dan kehancuran yang batil (Hud : 120) [19]. Ketiga, untuk memperlihatkan kemukjizatan Al Quran dan kebenaran Rasul di dalam dakwah dan pemberitaannya menganai umat-umat yang dahulu (Al Fath :27). Keempat, membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya (Yusuf : 111). Kelima, kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan menetapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa (Yusuf :111). Keenam, mengoreksi pendapat ahli Kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan petunjuk-petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang terdapat dalam kitab sucinya sebelum diubah dan diganti oleh mereka seindiri (Ali Imran : 193)[20]. Ketujuh, menawarkan pendidikan akhlakul karimah dan mempraktekkannya, karena keterangan kisah yang baik itu dapat meresap dalam hati nurani dengan mudah dan baik, serta mendidik untuk meneladani yang baik dan menghindari yang jelek[21]. Kedelapan, mengajak kita untuk memperhatikan, merenungkan dan mengambil pelajaran/menggiring kita berfikir (Yusuf : 111).


Kisah-kisah dalam Al Quran sebenarnya banyak yang diungkap secara berulang-ulang di beberapa tempat[22]. Hanya saja pengulangan kisah-kisah itu dalam bentuk kalimat yang berbeda, kadang secara singkat, sedang atau panjang- lebar. Pengulangan tersebut mempunyai faedah atau hikmah yaitu pertama, menjelaskan ketinggian kutu sastra balaqhah Al Quran. Kedua, menunjukkan ketinggian mukjizat Al Quran, sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai susunan kalimat dimana salah satu bentukpun tidak dapat ditandatangani sastrawan Arab. Ketiga, memberikan perhatian kepada pentingnya kisah Al Quran, sehingga perlu disebutkan dengan berulang-ulang agar dapat meresap dalam jiwa. Keempat,  menunjukkan perbedaan tujuan ketika kisah itu diungkapkan dalam tempat yang berbeda[23].

D.    REALITAS KISAH DALAM AL QURAN
Secara dogmatis, kisah dalam Al Quran adalah suatu kisah yang benar dan periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allahlah yang menceritakan kisah itu dan benar-benar menyaksikan. Ia juga telah mentakdirkan, peristiwa-peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan, kehendak  takdir-Nya. Sebagaimana firman Allah, bahwa kisah itu tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan keraguan[24]. Disamping kisah dalam Al Quran adalah benar, Allah memberikan penilaian juga sebagai kisah terbaik[25]. Walaupun kisah dalam Al Quran disebut sebagai kisah yang pasti benar dan terbaik, Allah juga menyuruh kita untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa atas kisah-kisah, Allah juga menyuruh kita untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa atas kisah-kisah Al Quran[26]. Lebih lanjut menurut M. Baqir Ash Shadr, bahwa Al Quran mendesak manusia agar secara tuntas memeriksa peristiwa-peristiwa sejarah dan merenungkannya, agar menemukan hukum alam dan kecenderungan-kecenderungan serta norma-norma sejarah[27]. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali, bahwa kisah dalam Al Quran pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya pendidikan psikologi tetapi juga aspek rasio[28]. Rasio manusia terbatas dari berbagai bentuk keterpasungan warisan lama yang menyesatkan. Oleh karena itu, memahami kisah dalam Al Quran perlu penelitian lebih dalam.
Dengan demikian sebenarnya kisah-kisah Al Quran sangat realistis, asal saja mampu menempatkan pendekatan yang sesuai untuk memahami kisah antara logika perasaan yang menguasai kisah itu dan logika fikiran dalam memilih peristiwa-peristiwa dan pengurutannya. Berkaitan dengan hal ini, menurut Dr. Shalal al Khalidy bahwa rasionalitas Islam adalah Rasionalitas Ilmiah Ghaibiyah bukan Rasionalitas Materialistik yang mengingkari adanya yang gaib[29].
Seorang muslim sejati adalah orang yang beriman bahwa Al Quran adalah Kalamullah dan suci dari pemberian artistik yang tidak memperhatikan sejarah. Kisah Qurani tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian kata-kata indah dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.
Lebih lanjut, untuk menghindari kesalahpahaman memahami kisah dalam Al Quran berikut akan penulis uraikan beberapa prinsip sebagai manhaj untuk mencermati kisah dalam Al Quran. Dalam hal ini, penulis mengutip pendapat Dr. Shalal Al Khalidy, pertama, ia termasuk gaib dimasa lampau, kedua, kita tidak hadir ditengah-tengah mereka, ketiga, tidak mengetahui mereka kecuali Allah, keempat, janganlah kita menanyakan tentang orang-orang terdahulu kepada seorangpun kepada ahli kitab, kelima, jangan kita mengikuti apa yang kita tidak mengetahui pengetahuan tentangnya, keenam, jika datang kepada kita seorang fasik membawa berita maka kita harus memeriksa dulu[30].

E.     PENUTUP
Dalam memahami kisah-kisah dalam Al Quran, kita dapat menggunakan pendekatan sejarah dan sastra. Namun keindahan sastra dan penelitian sejarah hanya merupakan alat bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah mengambil pelajaran yang konkrit untuk membangun peradaban.
Demikian uraian secara singkat dan sederhana tentang kisah-kisah dalam Al Quran. Sebenarnya masih banyak yang harus dikaji dan dianalisis, namun karena keterbatasan sumber dan pemahaman penulis, maka makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif pembaca sangat diharapkan.




















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djalal, Prof. Dr. H..A., Ulumul Quran,  Dunia  Ilmu,  Surabaya, 2000
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997
Baqir Ash Shadr, M.,Trends of History in Quran, alih bahasa MS.
A. Hanafi, M.A., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al Qur’an, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1984
Hasbi Ash Shidieqy, M. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Manna al Qattan dalam kitab  Mabahits Fi Ulumil Quran, Muassasah Ar Risalah, Bairut, 1993
Montgomery Watt., Bell’s Introduction to The Quran, alih bahasa Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Al Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Quraish Shihab dalam Mukjizat Al Quran : Tinjauan dari aspek kebahasan, isyarat ilahiyan dan pemberitaan gaib, Mizan, Bandung
Sayid Muzzafaruddin Nadvi, A Geographical History of The Quran, alih bahasa Ir. Jum’an Basalim, Sejarah Geografi Quran, Pustaka Firdaus, 1997
Shalah Al Khalidy, Dr. Ma’a Qashashis Sabiqiin fil Qur’an, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, Lc., MBA, MSc., Kisah-kisah Al Quran : Pelajaran dari orang-orang Dahulu, Gema Insani Press, Jakarta, 1999
Soenarjo, Prof. R.H.A., S.H., dkk., Al Quran dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang, 1989
Syeikh Muhammad Al Ghazali, Kayfa Nata’amal MA’al Quran, alih bahasa, Drs. Masykur Hakim, MA. Dan Ubaidillah, Berdialog Dengan Al Quran : Memahami Pesan Kitab Suci Dalam Kehidupan Masa Kini, Mizan, Bandung, 1996


*) Makalah dipresentasikan dalam diskusi Mata Kuliah Studi Al Quran dan Hadits pada tanggal 8 November 2000
[1] A. Hanafi, M.A., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al Qur’an, Pustaka Al Husna, jakarta, 1984, hal.21
[2] Ibid., hal.22
[3] A.W. Munawwir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 1 1997, hal. 1126
[4] A. Hanafi, M.A., Op.Cit., hal.14-15
[5] Deinisi tersebut serupa dengan pendapat Manna al Qattan dalam kitab  Mabahits Fi Ulumil Quran, Muassasah Ar Risalah, Bairut, 1993, hal.306, dan pendapat Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A. dalam bukunya Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hal.294
[6] Gaib adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak nyata atau tersembunyi. Gaib itu ada dua, yaitu gaib nisbi (ia gaib bagi seseorang tetapi bagi lainnya tidak, atau pada waktu tertentu gaib tetapi pada waktu yang lain tidak lagi) dan gaib mutlak (tidak dapat diketahui selama manusia berada dia atas pentas bumi ini, atau tidak akan mampu diketahuinya sama sekali yaitu Allah) (lebih lanjut lihat Quraish Shihab dalam Mukjizat Al Quran : Tinjauan dari aspek kebahasan, isyarat ilahiyan dan pemberitaan gaib, Mizan, Bandung, 1997, bab VIII tentang pemberitaan gaib Al Quran).
[7] Lihat Surat Ali Imran : 44 dan Hud : 49
[8] Lihat Surat  Al Qari’ah : 1-6, An Nazi’at : 11-9 dan At Taubah : 107
[9] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, M.A., Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hal.296-2000
[10] Manna Al Qattan, Mabahits Fi Ulumil Quran, Muassasah Ar Risalah, Beirut, 1993, hal. 306
[11] Berdasarkan pembuktian para sejarawan Arab yang menyatakan ‘Ad sebagai putra Uz, putra Aram, putra Nuh, maka kaun ‘Ad hidup sebelum ± 3000 SM. Al Quran juga menyebutkan kaum ‘Ad sebagai penerus kaum Nuh ( Al A’raf : 69), kaum ‘Ad dibagian terbaik dari Arabia, yaitu Yaman dan Hadramaut, tersebar dari pantai teluk Persia sampai perbatasan Mesopotamia (lebih lanjut lihat Sayid Muzzafaruddin Nadvi, A Geographical History of The Quran, alih bahasa Ir. Jum’an Basalim, Sejarah Geografi Quran, Pustaka Firdaus, 1997, hal. 96-97)
[12] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Al Quran dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang, 1989, hal.232
[13] A. Hanafi, M.A., Op.Cit. hal.25
[14] Kisah perumpamaan pada Al Quran merupakan salah satu pengungkapan dalam bahasa Arab yaitu bahasa yang digunakan Al Qur’an. Disamping itu, perumpamaan lebih besar pengaruhnya dan kesannya terhadap jiwa daripada kalau mengemukakan suatu pikiran dalam bentuk yang sebenarnya.
[15] Misalnya firman Allah : “Yaitu pada hari kami berkata :”Neraka jahanam apakah engkau sudah penuh sesak ?”. dan neraka menjawab : “Apakah masih ada tambahan ? “ (Qof :30). Ini tidak bisa diartikan secara lugu atau harfiyah, bukan Allah benar-benar bertanya kepada neraka jahanam tetapi hanya gambaran (perumpamaan) tentang lusnya neraka jahanam tidak pernah penuh sesak dan menerima orang jahat bagaimanapun banyaknya. (lihat A. Hanafi,. M.A., Segi-segi Kesusastraan …, hal.39).
[16] Asatir berasal dari bahasa Arab         , jamak dari                , yang berarti hikayat, cerita yang tidak ada asal usulnya. (lihat A.W. Munawwir, Kamud Al Munawwir …., hal.631
[17] A. Hanafi, M.A., Op. Cit., hal. 43
[18] M. Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal.146
[19] Sesungguhnya dari ayat ini adalah universal, mencakup umat Islam dimana saja berada dan ditujukan kepada setiap muslim di setiap zaman dan tempat, meskipun pada dasarnya ditujukan kepada Rasulullah saw., karena sebenarnya orasi yang ditujukan kepada Rasulullah juga tertuju kepada setiap individu umatnya, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususan hanya untuk Rasulullah. (lebih lanjut lihat Dr. Shalah Al Khalidy, Ma’a Qashashis Sabiqiin fil Qur’an, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, Lc., MBA, MSc., Kisah-kisah Al Quran : Pelajaran dari orang-orang Dahulu, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal, 31)
[20] Manna al Qattan, Op. Cir., hal.307
[21] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, M.A., Op.Cit., hal.303
[22] Kisah Nabi Adam (Al Baqarah, Al Maidah, Ali Imran), Nabi Ismail 12 kali, Nabi Dawud disebut 16 kali, Nabi Ibrahim disebut 29 kali (Lihat Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., Ulumul ……, hal. 303., lihat juga W. Montgomery Watt., Bell’s Introduction to The Quran, alih bahasa Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Al Qur’an, Rajawali Pers, JAkarta, 1991, hal. 211-212., lihat juga Al Quran surat Az Zumar : 23)
[23] Manna Al Qattan, Op.Cit., hal. 308
[24] Lihat Surat Ali Imran :62
[25] Lihat Surat Yusuf : 10
[26] Lihat Surat Muhammad : 10
[27] M. Baqir Ash Shadr,Trends of History in Quran, alih bahasa MS. Nasrullah, Sejarah dalam Perspektif Al Al Quran : Sebuah Analisis, Pustaka Hidayah, JAkarta, 1993. Hal.87
[28] Syeikh Muhammad Al Ghazali, Kayfa Nata’amal MA’al Quran, alih bahasa, Drs. Masykur Hakim, MA. Dan Ubaidillah, Berdialog Dengan Al Quran : Memahami Pesan Kitab Suci Dalam Kehidupan Masa Kini, Mizan, Bandung, 1996, hal. 68
[29] Dr. Shlal Al Khalidy,Ma’a Qashashis Saabiqiin fil Quran, alih bahasa Setiawan Budi Utomo,Lc., MBA., MSc., Kisah-kisah Al Quran : Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Gema Insani Press, Jakarta, 1999. Hal. 36
[30] Dr. Shalal Al Kjalidy, Op.Cit., hal.36-46

0 comments :

Post a Comment