QASHASH
AL QURAN
(KISAH
DALAM AL QUR’AN)
Oleh
: Ulin Nuha
Al
Quran adalah kitab suci agama Islam berisi tuntunan-tuntunan bagi umat manusia
untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat, lahir dan batin.
Segala sesuatu yang diperlukan untuk terwujudnya kebahagiaan tersebut
dijelaskan dalam berbagai ketentuan dan tuntunan tertentu, seperti dengan
berakidah yang benar, dan tata cara hidup yang baik dalam masyarakat.
Dalam
menerangkan unsur-unsur kebahagiaan tersebut, Al Quran adakalanya memakai cara
langsung dan adakalanya menggunakan cara tidak langsung yaitu dengan memakai
kisah-kisah. Menurut tinjauan kesusteraan, kisah mempunyai banyak faedah.
Diantaranya bisa merangsang pembacanya untuk terus mengikuti peristiwa dan
pelakunya, apakah pembaca suka terhadap perbuatan-perbuatan pelaku tersebut
atau tidak[1].
George Zaidan, tokoh kisah sejarah pada kesusastraan Arab modern yang telah
menulis lebih dari dua puluh buku riwayat (kisah) peristiwa besar keislaman
sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, mengemukakan kejadian sejarah, lebih suka
memilih kisah sebagai alatya. Karena menurut pendapatnya, kisah merupakan cara
yang sebaik-baiknya untuk menelaah sejarah dan mempelajari lebih lanjut.[2]
Karena
pentingnya kedudukan kisah dalam kehidupan manusia itulah, maka Al Quran
memakai kisah-kisah, baik untuk menerangkan orang-orang yang hidup pada masa
sebelumnya maupun untuk memudahkan persoalan-persoalan abstrak agar dapat
diterima fikiran dengan mudah. Hanya yang menjadi persoalan adalah apakah
kisah-kisah Al Quran itu bermaksud untuk mempengaruhi perasaan dan membangunkan
khayal, sebagaimana tujuan kisah kesusasteraan pada umumnya ataukah bermaksud
mempengaruhi fikiran dan menegakkandalil serta pembuktian?
A.
PENGERTIAN
KISAH
Menurut
bahasa kata Qashash adalah bentuk masdar dari
kata qashash ( ), yang berarti
mengikuti jejak atau menelusuri bekas atau kisah/cerita[3].
Dalam Al Quran, kata Qashash mempunyai
dua arti. Al Qashash yang berarti jejak terdapat dalam surat Al Kahfi ayat 64 :
Artinya : “…. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mrk
semula”.
Sedangkan Al Qashash
yang berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah) terdapat dalam surat Ali
Imran ayat 621 :
Artinya : “ Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar
….”.
Menurut istilah,
menukil pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam kitab Al Faannul Qashiyu Fil Quranil karim sebagaimana dikutip oleh A.
Hanafi, yaitu :
Artinya : “
Kisah ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayalan pembuat
kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang
sebenarnya tidak ada atau dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tapi
peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak
benar-benar terjadi. Ataupun peristiwa-peristiwa itu terjadi atas diri pelaku,
tetapi dalam kisah tersebut disusun atas dasar seni yang indah. Dimana sebagai
peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya disebutkan
dan sebagiannya dibuang. Atau terhadap peristiwa yang benar-benar terjadi itu
ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan
penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang
biasa dan sudah menjadi para pelaku khayal”.[4]
Memahami
sebuah kisah tidak saja diperoleh dari definisi saja, tapi pemahaman sebenarnya
harus diperoleh dari buku-buku kisah itu sendiri. Al Quran banyak mengandung
keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan
negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat, kenikmatan surga dan
siksa neraka di akhirat, tugas dan nama-nama malaikat, keadaan hari kiamat dan
sebagainya. Dari ilustrasi diatas, maka pengertian Qashashil Quran adalah kisah-kisah mereka serta peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang[5].
B.
MACAM-MACAM
QASHAH AL QURAN
Dalam
Al Quran terdapat bermacam-macam kisah, ada yang menceritakan para nabi dan
umat-umat terdahulu dan ada yang mengisahkan berbagai macam peristiwa dan
keadaan dari masa lampau, masa kini ataupun masa yang akan datang.
1.
Ditinjau
dari Segi Waktu
Ditinjau
dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam Al Quran menurut
Prof. Dr. Abdul Djalal, M.A. ada tiga macam. Pertama, kisah hal-hal gaib[6]
pada masa lalu ( )
yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa
ditangkap panca indera yang terjadinya di masa lampau seperti kisah Nabi Nuh
Nabi Musa, dan kisah Maryam[7]. Kedua, kisah hal-hal gaib pada masa kini
( ) yaitu kisah
yang menerangkan hal-hal gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan yang menyingkap
rahasia orang-orang munafik,
seperti
kisah para jin, malaikat, setan, siksa neraka, kenikmatan surga dan lain-lain[8]. Ketiga, kisah terjadi pada masa yang
akan datang ( ), yaitu kisah-kisah yang menceritakan
peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya Al
Quran, kemudian peristiwa itu betul-betul terjadi (pada masa sekarang peristiwa
tersebut telah terjadi), seperti kemenangan Romawi atas Persia (surat Ar Rum
ayat 1-4)[9].
2.
Dintinjau
Dari Segi Materi
Jika ditinjau dari segi yang
diceritakan, menurut Manna al Qattan kisah Al Quran Terbagi menjadi tiga macam. Pertama,kisah para nabi, mukjizat
mereka, fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka, seperti
kisan Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad dan lain-lain. Kedua,kisah orang-orang yang belum
tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu, misalnya kisah Lukman Hakim, Qarun, Talut,
Ashabul Kahfi, Ashabus Sabti dan lain-lain. Ketiga,
peristiwa dan kejadian dizaman Rasulullah saw., misalnya perang Hunain dan
Tabuk dalam surat At Taubah, perang Uhud dan Badar dalam surat Ali Imran, Isra
Mi’raj dan lain-lain[10].
Sedangkan
menurut A. Hanadi M.A., kisah-kisah dalam Al Qur’an pada garis besarnya dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.
Kisah
Sejarah ( ),
yaitu kisah yang berkisah tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti para nabi dan
rasul. Kisah-kisah sejarah dalam Al Quran adalah kisah-kisah yang bersifat
kesusastraan dan sekaligus bersifat sejarah. Karena Al Quran mengambil
bahan-bahan kisahnya dari peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadiannya.
Oleh karena itu, dalam memahami peristiwa dan pengurutannya menggunakan logika
fikiran dan yang menguasai kisah itu menggunakan logika perasaan. Contoh kisah
kaum ‘Ad[11]
dalam surat Al Qamar ayat 18-20 :
“Kaun “adpun telah
mendustakan (pula) maka alangkah
dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-Ku. Sesungguhnya kami telah menghembuskan kepada
mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus-menerus yang
menggelimpangan manusia seakan-akan mereka pohon kurma yang tumbang. Maka
betapakah dasyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku”[12].
Ketika
kita memperhatikan kisah tersebut, kita mengetahui bahwa Al Qur’an tidak
menuturkannya dengan rinci. Seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan ajaran
Allah atau keadaan rumah-rumah mereka. Al Qur’an hanya menjelaskan apa yang
telah terjadi kepada mereka dalam suatu gambaran yang menakutkan[13].
2.
Kisah
Perumpamaan ( ),
yaitu kisah yang diadakan sebagai perumpamaan yang terdapat dalam Al Qur’an dan
ini adalah kisah yang bersifat kesusasteraan murni. Perempamaan merupakan salah
satu ara yang baik untuk menyatakan fikiran dalam kesusastraan Arab peristiwa-peristiwa
yang disebutkan hanya dimaksudkan untuk menerangkan dan memperjelas suatu
pengertian, peristiwa itu hanya perlu benar-benar terjadi melainkan cukup
berupa perkiraan dan khayal semata[14].
Mengenai cara menyatakan dikiran dengan kisah perumpamaan tersebut, Syekh
Muhammad Abduh sebagaimana dikutip A. Hanafi menyatakan bahwa Al Quran sering
menggambarkan fikiran dengan bentuk tanya jawab atau dengan cara cerita, karena
cara demikian berisi kejelasan dan pengaruh yang kuat[15].
3.
Kisah
Asatir[16]
yaitu kisah yang didasarkan sesuatu asatir. Pada umumnya kisah semacam ini
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan
gejala-gejala yang ada atau menguraikan suatu persoalan yang sukar diterima
akal. Muhammad Abduh sebagaimana dikutip A. Hanafi menyatakan bahwa dalam
membawakan cerita-cerita Al Quran kadang memakai ungkapan yang dipakai oleh
pendengarannya atau oleh orang-orang yang sedang diceritakan oleh kisah itu,
meskipun ungkapan-ungkapan itu tidak benar[17].
Misalnya dalam surat Al Baqarah : 275, bahwa mereka yang memakan harta riba
tidak akan bangun (pada hari kiamat) kecuali seperti bangunnya orang yang
kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Dan dalam surat Al Kahfi : 90
bahwa ketika ia (Zulkarnain) sampai di tempat terbitnya matahari.
C.
FUNGSI
QASHASH AL QURAN
Sebagaimana
diuraikan diatas bahwa Al Quran terdapat banyak kisah para nabi, rasul dan
umat-umat terdahulu. Yang dimaksud dengan kisah-kisah tersebut adalah
pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi para penyuruh
kebenran dan bagi orang-orang yang diseru kepada kebenaran. Oleh sebab itu, Al
Quran tidak menguraikan kisahnya seperti kitab sejarah, tetapi memberi
petunjuk. Petunjuk itu bukan dalam mengetahui hari kelahiran rasul dan
keturunannya serta kejadian-kejadiannya. Tetapi petunjuk itu di dapati dalam
cara rasul mengembangkan kebenaran dan dalam kebenaran dan
penderitaan-penderitaan yang dialami para rasul itu pula.[18]
Secara
rinci faedah fungsi
kisah-kisah dalam Al
Quran adalah pertama
menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at
yang dibawa oleh para nabi (Al Anbiya :95). Kedua,
meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan-keyakinan
kaum mukminin terhadap kemenangan yang benar dan kehancuran yang batil (Hud :
120) [19].
Ketiga, untuk memperlihatkan
kemukjizatan Al Quran dan kebenaran Rasul di dalam dakwah dan pemberitaannya
menganai umat-umat yang dahulu (Al Fath :27). Keempat, membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan
terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya (Yusuf : 111). Kelima, kisah termasuk salah satu bentuk
sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan menetapkan pesan-pesan
yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa (Yusuf :111). Keenam, mengoreksi pendapat ahli Kitab yang suka menyembunyikan
keterangan dan petunjuk-petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan
argumentasi-argumentasi yang terdapat dalam kitab sucinya sebelum diubah dan
diganti oleh mereka seindiri (Ali Imran : 193)[20]. Ketujuh, menawarkan pendidikan akhlakul
karimah dan mempraktekkannya, karena keterangan kisah yang baik itu dapat
meresap dalam hati nurani dengan mudah dan baik, serta mendidik untuk
meneladani yang baik dan menghindari yang jelek[21]. Kedelapan, mengajak kita untuk
memperhatikan, merenungkan dan mengambil pelajaran/menggiring kita berfikir
(Yusuf : 111).
Kisah-kisah
dalam Al Quran sebenarnya banyak yang diungkap secara berulang-ulang di
beberapa tempat[22].
Hanya saja pengulangan kisah-kisah itu dalam bentuk kalimat yang berbeda,
kadang secara singkat, sedang atau panjang- lebar. Pengulangan tersebut
mempunyai faedah atau hikmah yaitu pertama,
menjelaskan ketinggian kutu sastra balaqhah Al Quran. Kedua, menunjukkan ketinggian mukjizat Al Quran, sebab mengemukakan
sesuatu makna dalam berbagai susunan kalimat dimana salah satu bentukpun tidak
dapat ditandatangani sastrawan Arab. Ketiga,
memberikan perhatian kepada pentingnya kisah Al Quran, sehingga perlu disebutkan
dengan berulang-ulang agar dapat meresap dalam jiwa. Keempat, menunjukkan
perbedaan tujuan ketika kisah itu diungkapkan dalam tempat yang berbeda[23].
D.
REALITAS
KISAH DALAM AL QURAN
Secara
dogmatis, kisah dalam Al Quran adalah suatu kisah yang benar dan periwayatannya
mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allahlah
yang menceritakan kisah itu dan benar-benar menyaksikan. Ia juga telah
mentakdirkan, peristiwa-peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan,
kehendak takdir-Nya. Sebagaimana firman
Allah, bahwa kisah itu tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan
keraguan[24].
Disamping kisah dalam Al Quran adalah benar, Allah memberikan penilaian juga
sebagai kisah terbaik[25].
Walaupun kisah dalam Al Quran disebut sebagai kisah yang pasti benar dan
terbaik, Allah juga menyuruh kita untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa atas
kisah-kisah, Allah juga menyuruh kita untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa
atas kisah-kisah Al Quran[26].
Lebih lanjut menurut M. Baqir Ash Shadr, bahwa Al Quran mendesak manusia agar
secara tuntas memeriksa peristiwa-peristiwa sejarah dan merenungkannya, agar
menemukan hukum alam dan kecenderungan-kecenderungan serta norma-norma sejarah[27].
Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali, bahwa
kisah dalam Al Quran pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya
pendidikan psikologi tetapi juga aspek rasio[28].
Rasio manusia terbatas dari berbagai bentuk keterpasungan warisan lama yang
menyesatkan. Oleh karena itu, memahami kisah dalam Al Quran perlu penelitian
lebih dalam.
Dengan
demikian sebenarnya kisah-kisah Al Quran sangat realistis, asal saja mampu
menempatkan pendekatan yang sesuai untuk memahami kisah antara logika perasaan
yang menguasai kisah itu dan logika fikiran dalam memilih peristiwa-peristiwa
dan pengurutannya. Berkaitan dengan hal ini, menurut Dr. Shalal al Khalidy
bahwa rasionalitas Islam adalah Rasionalitas
Ilmiah Ghaibiyah bukan Rasionalitas
Materialistik yang mengingkari adanya yang gaib[29].
Seorang
muslim sejati adalah orang yang beriman bahwa Al Quran adalah Kalamullah dan
suci dari pemberian artistik yang tidak memperhatikan sejarah. Kisah Qurani
tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian
kata-kata indah dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.
Lebih
lanjut, untuk menghindari kesalahpahaman memahami kisah dalam Al Quran berikut
akan penulis uraikan beberapa prinsip sebagai manhaj untuk mencermati kisah
dalam Al Quran. Dalam hal ini, penulis mengutip pendapat Dr. Shalal Al Khalidy,
pertama, ia termasuk gaib dimasa
lampau, kedua, kita tidak hadir
ditengah-tengah mereka, ketiga, tidak
mengetahui mereka kecuali Allah, keempat,
janganlah kita menanyakan tentang orang-orang terdahulu kepada seorangpun
kepada ahli kitab, kelima, jangan
kita mengikuti apa yang kita tidak mengetahui pengetahuan tentangnya, keenam, jika datang kepada kita seorang
fasik membawa berita maka kita harus memeriksa dulu[30].
E.
PENUTUP
Dalam
memahami kisah-kisah dalam Al Quran, kita dapat menggunakan pendekatan sejarah
dan sastra. Namun keindahan sastra dan penelitian sejarah hanya merupakan alat
bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah mengambil pelajaran yang konkrit untuk
membangun peradaban.
Demikian
uraian secara singkat dan sederhana tentang kisah-kisah dalam Al Quran.
Sebenarnya masih banyak yang harus dikaji dan dianalisis, namun karena
keterbatasan sumber dan pemahaman penulis, maka makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif pembaca sangat
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal, Prof. Dr. H..A., Ulumul
Quran, Dunia Ilmu,
Surabaya, 2000
Ahmad
Warson Munawir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif,
Surabaya, 1997
Baqir
Ash Shadr, M.,Trends of History in Quran, alih bahasa MS.
A.
Hanafi, M.A., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al Qur’an, Pustaka Al
Husna, Jakarta, 1984
Hasbi
Ash Shidieqy, M. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran/Tafsir, Bulan Bintang,
Jakarta, 1992.
Manna
al Qattan dalam kitab Mabahits Fi Ulumil Quran, Muassasah Ar
Risalah, Bairut, 1993
Montgomery
Watt., Bell’s Introduction to The Quran, alih bahasa Taufik Adnan
Amal, Pengantar Studi Al Qur’an, Rajawali
Pers, Jakarta, 1991
Quraish
Shihab dalam Mukjizat Al Quran : Tinjauan dari aspek kebahasan, isyarat
ilahiyan dan pemberitaan gaib, Mizan, Bandung
Sayid
Muzzafaruddin Nadvi, A Geographical History of The Quran,
alih bahasa Ir. Jum’an Basalim, Sejarah
Geografi Quran, Pustaka Firdaus, 1997
Shalah
Al Khalidy, Dr. Ma’a Qashashis Sabiqiin fil Qur’an, alih bahasa Setiawan Budi
Utomo, Lc., MBA, MSc., Kisah-kisah Al
Quran : Pelajaran dari orang-orang
Dahulu, Gema Insani Press, Jakarta, 1999
Soenarjo,
Prof. R.H.A., S.H., dkk., Al Quran dan Terjemahannya, Toha
Putra, Semarang, 1989
Syeikh
Muhammad Al Ghazali, Kayfa Nata’amal MA’al Quran, alih
bahasa, Drs. Masykur Hakim, MA. Dan Ubaidillah, Berdialog Dengan Al Quran :
Memahami Pesan Kitab Suci Dalam Kehidupan Masa Kini, Mizan, Bandung,
1996
*) Makalah
dipresentasikan dalam diskusi Mata Kuliah Studi
Al Quran dan Hadits pada tanggal 8 November 2000
[1]
A. Hanafi, M.A., Segi-segi
Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al Qur’an, Pustaka Al Husna, jakarta,
1984, hal.21
[3]
A.W. Munawwir, Kamus
Al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 1
1997, hal. 1126
[4]
A. Hanafi, M.A., Op.Cit.,
hal.14-15
[5]
Deinisi tersebut serupa
dengan pendapat Manna al Qattan dalam kitab Mabahits Fi Ulumil Quran, Muassasah Ar
Risalah, Bairut, 1993, hal.306, dan pendapat Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A.
dalam bukunya Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hal.294
[6]
Gaib adalah sesuatu yang
tidak diketahui, tidak nyata atau tersembunyi. Gaib itu ada dua, yaitu gaib
nisbi (ia gaib bagi seseorang tetapi bagi lainnya tidak, atau pada waktu
tertentu gaib tetapi pada waktu yang lain tidak lagi) dan gaib mutlak (tidak
dapat diketahui selama manusia berada dia atas pentas bumi ini, atau tidak akan
mampu diketahuinya sama sekali yaitu Allah) (lebih lanjut lihat Quraish Shihab
dalam Mukjizat Al Quran : Tinjauan dari aspek kebahasan, isyarat
ilahiyan dan pemberitaan gaib, Mizan, Bandung, 1997, bab VIII tentang
pemberitaan gaib Al Quran).
[7]
Lihat Surat Ali Imran : 44 dan Hud : 49
[8]
Lihat Surat Al Qari’ah : 1-6, An Nazi’at : 11-9 dan At
Taubah : 107
[9]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal,
M.A., Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hal.296-2000
[10]
Manna Al Qattan, Mabahits
Fi Ulumil Quran, Muassasah Ar Risalah, Beirut, 1993, hal. 306
[11]
Berdasarkan pembuktian para
sejarawan Arab yang menyatakan ‘Ad sebagai putra Uz, putra Aram, putra Nuh,
maka kaun ‘Ad hidup sebelum ± 3000 SM. Al Quran juga
menyebutkan kaum ‘Ad sebagai penerus kaum Nuh ( Al A’raf : 69), kaum ‘Ad
dibagian terbaik dari Arabia, yaitu Yaman dan Hadramaut, tersebar dari pantai
teluk Persia sampai perbatasan Mesopotamia (lebih lanjut lihat Sayid Muzzafaruddin
Nadvi, A Geographical History of The Quran, alih bahasa Ir. Jum’an
Basalim, Sejarah Geografi Quran,
Pustaka Firdaus, 1997, hal. 96-97)
[12]
Prof. R.H.A. Soenarjo,
S.H., dkk., Al Quran dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang, 1989,
hal.232
[13]
A. Hanafi, M.A., Op.Cit.
hal.25
[14]
Kisah perumpamaan pada Al
Quran merupakan salah satu pengungkapan dalam bahasa Arab yaitu bahasa yang
digunakan Al Qur’an. Disamping itu, perumpamaan lebih besar pengaruhnya dan
kesannya terhadap jiwa daripada kalau mengemukakan suatu pikiran dalam bentuk
yang sebenarnya.
[15]
Misalnya firman Allah :
“Yaitu pada hari kami berkata :”Neraka jahanam apakah engkau sudah penuh sesak
?”. dan neraka menjawab : “Apakah masih ada tambahan ? “ (Qof :30). Ini tidak
bisa diartikan secara lugu atau harfiyah, bukan Allah benar-benar bertanya
kepada neraka jahanam tetapi hanya gambaran (perumpamaan) tentang lusnya neraka
jahanam tidak pernah penuh sesak dan menerima orang jahat bagaimanapun
banyaknya. (lihat A. Hanafi,. M.A., Segi-segi Kesusastraan …, hal.39).
[16]
Asatir berasal dari bahasa Arab , jamak dari , yang berarti hikayat, cerita
yang tidak ada asal usulnya. (lihat A.W. Munawwir, Kamud Al Munawwir ….,
hal.631
[17]
A. Hanafi, M.A., Op.
Cit., hal. 43
[18]
M. Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al Quran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1992,
hal.146
[19]
Sesungguhnya dari ayat ini
adalah universal, mencakup umat Islam dimana saja berada dan ditujukan kepada
setiap muslim di setiap zaman dan tempat, meskipun pada dasarnya ditujukan
kepada Rasulullah saw., karena sebenarnya orasi yang ditujukan kepada
Rasulullah juga tertuju kepada setiap individu umatnya, selama tidak ada dalil
yang menyatakan kekhususan hanya untuk Rasulullah. (lebih lanjut lihat Dr.
Shalah Al Khalidy, Ma’a Qashashis Sabiqiin fil Qur’an, alih bahasa Setiawan Budi
Utomo, Lc., MBA, MSc., Kisah-kisah Al
Quran : Pelajaran dari orang-orang
Dahulu, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal, 31)
[20]
Manna al Qattan, Op.
Cir., hal.307
[21]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal, M.A.,
Op.Cit., hal.303
[22]
Kisah Nabi Adam (Al
Baqarah, Al Maidah, Ali Imran), Nabi Ismail 12 kali, Nabi Dawud disebut 16
kali, Nabi Ibrahim disebut 29 kali (Lihat Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A.,
Ulumul ……, hal. 303., lihat juga W. Montgomery Watt., Bell’s
Introduction to The Quran, alih bahasa Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Al Qur’an, Rajawali
Pers, JAkarta, 1991, hal. 211-212., lihat juga Al Quran surat Az Zumar : 23)
[23]
Manna Al Qattan, Op.Cit.,
hal. 308
[24]
Lihat Surat Ali Imran :62
[25]
Lihat Surat Yusuf : 10
[26]
Lihat Surat Muhammad : 10
[27]
M. Baqir Ash Shadr,Trends
of History in Quran, alih bahasa MS. Nasrullah, Sejarah dalam Perspektif Al Al Quran : Sebuah Analisis, Pustaka
Hidayah, JAkarta, 1993. Hal.87
[28]
Syeikh Muhammad Al Ghazali,
Kayfa
Nata’amal MA’al Quran, alih bahasa, Drs. Masykur Hakim, MA. Dan
Ubaidillah, Berdialog Dengan Al Quran : Memahami Pesan Kitab Suci Dalam Kehidupan
Masa Kini, Mizan, Bandung, 1996, hal. 68
[29]
Dr. Shlal Al Khalidy,Ma’a
Qashashis Saabiqiin fil Quran, alih bahasa Setiawan Budi Utomo,Lc.,
MBA., MSc., Kisah-kisah Al Quran : Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu,
Gema Insani Press, Jakarta, 1999. Hal. 36
[30]
Dr. Shalal Al Kjalidy, Op.Cit.,
hal.36-46
0 comments :
Post a Comment