Tuesday, 12 February 2013

MENUJU PENDIDIKAN AGAMA YANG PLURALIS


MENUJU PENDIDIKAN AGAMA YANG PLURALIS
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.




Menjelang tahun ajaran baru 2013/2014, semua lembaga pendidikan tidak terkecuali lembaga pendidikan Islam, baik negeri maupun swasta sedang mempromosikan lembaganya masing-masing dari tingkat SD/MI, SLTP/SMP, SMU/SMA, sampai Perguruan Tinggi (PT). Target utamanya adalah bagaimana masing-masing lembaga tersebuit memperoleh siswa atau mahasiswa yang sebanyak-banyaknya, bahkan ada yang tanpa mempedulikan kualitas calon siswa atau mahasiswa, terutama di “sekolah-sekolah swasta” kalaupun ada barangkali kecil saja yang serius mengadakan tes seleksi.
Ada beberapa catatan menurut penulis yang barangkali menjadi fenomena di tengah masyarakat mengenai lembaga pendidikan tersebut kaitannya dengan proses penerimaan siswa baru. Pertama, dalam konteks manajemen pendidikan untuk menjadi sekolah yang banyak diminati dan dipercaya masyarakat dan menghasilkan out put atau lulusan yang baik tentu membutuhkan in put atau siswa yang baik juga, sehingga dalam prosesnya nanti menjadi seperti yang diharapkan.
Kalau sebuah lembaga hanya berusaha mengejar kuantitas saja tanpa terpikir kualitas in put bahkan tanpa adanya seleksi, maka wajar sekali jika out put atau lulusannya tidak mempunyai bekal kompetitif dengan sekolah lain yang lebih unggul kualitasnya. Apalagi dari segi kualitas pengelolanya baik pengurus (bila ada pengurus), guru-guru maupun perangkat lembaga pendidikan tersebut tidak dikelola dengan manajemen yang profesional sungguh sangat memprihatinkan, padahal dalam memproses siswa sebagai in put yang kurang baik secara otomatis seharusnya membutuhkan manjemen  yang lebih baik dan membutuhkan kerja keras dalam menanganinya.
Begitu juga in put yang baik tentu akan menghasilakn out put (lulusan) yang bakal mampu berkompetensi dengan sekolah lain, tentunya juga tetap membutuhkan manajemen yang baik pula. Maka, wajar pula jika banyak orang tua yang rela mengeluarkan biaya besar, baik uang gedung, SPP dan lain sebagainya untuk berlomba memasukkan anaknya ke sebuah lembaga yang  baik pengelolanya.
Kedua, dalam konteks tujuan, orang tua tentu ingin anaknya menjadi sukses. Namun yang menjadi persoalan adalah sukses dalam hal apa? inilah yang barangkali belum dipahami sepenuhnya oleh kebanyakan masyarakat kita.
Dalam dunia yang di “garap” oleh lembaga pendidikan sebenarnya adalah siswa sebagai manusia yang mempunyai jasmani dan rohani. Namun, dengan majunya peradaban yang sekarang sudah memasuki era reformasi dimana semakain tidak ada lagi sekat-sekat, semua serba lebih mudah dan cepat telah mendorong masyarakat yang imannya lemah semakin melupakan kebutuhan rohaninya.
Tujuan orang tua menyekolahkan anaknya kesebuah lembaga pendidikan sudah bukan lagi “memanusiakan” anaknya. Akan tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan masa depan jasmaninya (orientasi keduniaan). Kesuksesan anaknya hanya diukur sejauh mana anak mampu mengahasilkan uang sebanyak-banyaknya. Bahkan lebih menyedikan lagi, bahwa ukuran keberhasilan sekolah dilihat dari beberapa besar anaknya nantinya menjadi orang kaya. Karena ada sebagian image masyarakat bahwa iaya sekolah anaknya dari TK sampai PT diharap sebuah tabungan, orang jawa bilang mbesok kari ngindo (besuk tinggal memetik). Hal ini jelas sekali salah kaprah. Dan melupakan tujuan pendidikan sebenarnya.
Oleh karena itulah, orang tua sekarang lebih cenderung menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang profesional dan siap kerja. Pendidikan yang profesional dan siap kerja bukan berarti salah, akan tetapi profesionalis dan kesukssan akherat, dalam hal ini pendidikan jasmani dengan orientasi ketrampilan bekerja juga harus diimbangi dengan ketrampilan beriman dan ketrampilan berakhlak.
Problem Dikotomi
Ketiga, dalam konteks keilmuan, berkaitan dengan kedua orientasi tersebut, sebenarnya juga tidak lepas dari tanggung jawab sebuah lembaga pendidikan itu seNdiri. Bagaimana memproses anak didik di samping menjadi manusia yang mempunyai iptek juga bagaimana anak didik tersebut mempunyai imtaq.
Banyak  usaha yang telah dilakukan oleh baik para pakar maupun praktisi pendidikan yang berusaha mengintregasikan ilmu - limu yang selama ini masih ada yang membedakan antara ilmu - ilmu dunia dan ilmu - ilmu akherat, misalnya adanya “kurikulum Islami”, “Islamisasi ilmu” dan sebagainya, walaupun b aru tambal sulam. Artinya lembaga pendidikan yang asalnya hanya mengajari mengajarkan ilmu - ilmu agama an sich pada akhirnya ditambah dengan pelajaran umum dan sebaliknya. Hal itu dilakukan karena masih adanya dikotomi ilmu, antara ilmu - ilmu keakhiratan (ilmu agama) walau pun didalam islam itu sendiri memang sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu.
Namun pada masa sekarang sebaliknya, masyarakat sudah menganggap yang penting adalah bagaimana cara menikmati hidup di dunia ini, caranya adalah dengan menghasilkan uang sebanyak-banyaknya karena memang sekarang segala sesuatu hanya dapat dibeli dengan uang. Sehingga yang penting adalah bagaimana menguasai ilmu-ilmu keduniaan dan cenderung melupakan ilmu-ilmu agama.
Padahal konsep Islam bukanlah begitu, akan tetapi bagaimana menyeimbangkan kedua kehidupan itu, sehingga ada sebuah hadits “man araada ad dunya fa’alaihi bi al ilmi, wa man araada al akhirah fa’alaihi bi al ilmi, wa man araada huma fa’alaihi bi al ilmi” (barang siapa menginginkan kehidupan dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa menginginkan kehidupan akherat maka harus denagan ilmu, dan barangsiapa menginginkan keduanya maka harus dengan ilmu pula).
Berkaitan dengan dikotomi dalam pendidikan, Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph. D. Menulis sebuah buku yang berjudul “Menggagas Format Pendidikan Non DIkotmik”, dimana beliau menolak semua bentuk dikotomi. Dalam sejarah perkembangan ilmu dalam Islam mempunyai hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan ilmu non agama. Kedua disiplin ilmu ini ternyata saling melengkapi. Akan tetapi realita menunjukkan bahwa lembaga pendidikan terdapat dikotomi.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa dalam pendidikan Islam dewasa ini terdapat beberapa krisis, diantaranya krisis konseptual yaitu adanya kikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum yang pada akhirnya menyebabkan krisis kelembagaan.
Sebenarnya persoalan dikotomi ilmu tersebut merupakan persoalan “klasik” namun apapun alasannya masalah dikotomi ilmu yang berakibat pada dikotomi kelembagaan mempunyai implikasi luas dan berkelanjutan yang akan mempengaruhi paradigma berpikir siswa sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itulah persoalan dikotomi tersebut menjadi persoalan yang salalu menarik untuk diperbincangkan.

Pluralisme Sebuah Realitas
Keempat, dalam konteks keagamaan, banyaknya lembaga pendidikan Islam sekarang juga tidak lepas dari faham keagamaan. Adanya heterogenitas  faham di masing-masing lembaga pendidikan tersebut menjadi wajar ketika para pengelola dan praktisi pendidikan dan juga siswanya tidak menyalahkan faham keagamaan lain yang secara tidak langsung juga megenai lembaga pendidikannya.
Tetapi menjadi tidak wajar bila siswa dididik untuk fanatik terhadap faham keagamaanya dan dididik menganggap bahwa para faham keagamaan miliknyalah yang paling benar sementara faham keagamaan lain salah, sehingga secara tidak langsung pula lembaga pendidikan yang dikelola oleh orang yang berbeda faham cenderung antipati dan dijauhi.
Hal ini menurut penulis merupakan sebuah persoalan yang terkadang kita tidak terlalu memperdulikan. Namun kalau dibiarkan dapat menyebabkan paradigma berpikir siswa menjadi serba hitam putih, benar salah dan cenderung beragama.
Lebih menyedihkan lagi ketika sang anak baik di rumah maupun di sekolah-sekolah asalnya “ditakut-takuti” bahwa lembaga pendidikan yang ingin dilakukan oleh sang anak atas pilihannya itu sendiri itu berbeda faham dan jangan dimasuki.
Fenomena tersebut tentu tidak bisa dipungkiri, dan kalau hal ini tidak terakomodasi dan dicarikan solusinya akan berimplikasi pada paradigma berpikir eksklusif yang cenderung menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda. Hal demikian jelas menunjukkan tidak adanya pendidikan yang pluralis.
Dan proses pendidikan yang demikian akan memunculkan kader-kader yang fanatik bukan kepada agamanya tetapi pada faham keagamaanya dengan merupakan kadar kebenaran faham orang lain yang seagama, bukan teman seagamanya sendiri dianggap musuh. Kalau hubungan inter-agama sendiri sudah sedemikian buruk, maka dapat kita bayangkan bagaimana hubungan antar agama, tentu hubungan baik itu sulit kita harapkan.
Padahal pada fenomena sosiologi, pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri. Pluralitas agama merupakan bagian dari bentuk pluralitas lain yang memperkaya khasanah kultur manusia. Lebih dari itu dalam proses modernisasi sekarang ini., kecenderungan terjadinya perkembangan ke arah masyarakat yang lebih pluralitas tidak dapat dibendung lagi karena menjadi bagian dari modernisasi itu sendiri.
Oleh karena itulah lembaga pendidikan Islam sebagai kawah cendradimuka sebagai generasi penerus bangsa sangatlah signifikasikan untuk senantiasa diadakan perbaikan-perbaikan dalam rangka mendidik dan mengarahkan anak didiknya menjadi manusia beragama yang mempunyai jiwa pluralis dengan bekal iptke dan imataq sehingga misi agama bisa terwujud, apalagi Indonesia sebagai bangsa yang sangat mempunyai beragam baik suku, agama, ras maupun golongan.

Beberapa Pertimbangan
Ada beberapa pertimbangan yang menurut hemat penulis untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan pendidikan khususnya pendidikan Islam, Pertama, dalam rangka menghadapi tahun ajaran baru 2004/2005 ini, menurut hemat penulis, masing-masing lembaga pendidikan sudah seharusnya menata diri terutama segi manajemen pendidikannya.
Dengan pengelolaan manajeamean yang profesional akan menjadi pangkal tolak profesional akan  menjadi pangkal tolak keberhasilan, misalnya saja mengelola lembaga pendidikan dengan “sistem bisnis”. Artinya profesionalitas pengelola lembaga pendidikan tersebut, maka masyarakat tentu akan siap belajar membayar berapapun biaya yang ditawarkan untuk sekolah anaknya dengan harapan anaknya mendapatkan seperti yang diharapkan.
Kedua, didalam menentukan pilihan kemana sang anak harus melanjutkan sekolah orang tua lebih baik membiarkan anaknya untuk memilihnya selama pilihannya itu baik, dan juga sesuai dengan bakat yang dimiliki sang anak tersebut, kalaupun oranguta harus memberi pertimbangan pada anak, hendaknya tidak terlalu memaksakan.
Ketiga, dalam proses pendidikan akan lebih baik jika bagi guru maupun orang tua sang anak untuk mengajarkan sikap merasa benar sendiri. Didiklah sang anak menjadi orang yang bisa menghargai faham pendapat orang lain, sehingga sikap eksklusif tidak tumbuh dari diri sang anak. Karena dengan membiarkan sang anak untuk tidak memahami faham atau pendapat orang lain, maka berarti kita sedang menanamkan benih-benih permusuhan yang barangkali akibatnya tidak sekarang akan tetapi nanati pada masa yang akan datang dan begitu seterusnya.
Haruskah kita nodai niat suci sebagian para pimpinan kita yang memperjuangkan perdamaian. Sungguh sekuat dan sepandai apapun para pakar yang memimpin perdamaiann tidak akan pernah membuahkan hasil jikalau kader-kader  kita selalu kita tanamkan sikap ekslusif  dan tidak mengedepankan pendidikan pluralisme.

MAJALAH RINDANG






0 comments :

Post a Comment