|
Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan
oleh Jalaluddin Rakhmat Ketua Yayasan Muthahari, Bandung
ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar.
Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan
berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya
pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan
pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada
kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian
compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk
berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang
Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak
pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu
menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta.
"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya
orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke
pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung
unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat,
"Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung
yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat
berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak
kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang
pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti
ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian
Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada
Anda."
Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya
tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan
dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda
itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan
khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan
keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi.
Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang
yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular
kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan
ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung
gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada
kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu
hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat,
karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa
saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu,
merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan
akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
- Jika kau ingin derita
- benar-benar hilang dari hidupmu
- Berjuanglah untuk melepaskan
- 'kebijakan' dari kepalamu
- Kebijakan yang lahir dari tabiat insani
- tak menarik kamu lebih dari khayalan
- Karena kebijakan itu tidak diberkati
- yang mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya
- Pengetahuan tentang dunia
- hanya memberikan dugaan dan keraguan
- Pengetahuan tentang Dia, kebijakan ruhani sejati
- membuatmu naik keatas duniawi
- Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan
- semua pengorbanan diri dan kerendahan hati
- Mereka sembunyikan hati
- dalam kecerdikan dan permainan bahasa
- Raja sejati adalah dia
- yang menguasai pikirannya
- Bukan dia yang pikirannya
- Menguasai dunia dan dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan
mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami
Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan
yang didefinisikan.
Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan
pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak
ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan
intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan
kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan
penuh keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan
hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an
yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka
bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing
Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil
konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan
siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan
yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin
mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti
itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan dengan esensi Tuhan
bukanlah cahaya. Tidak ada satu madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya.
Mereka sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga digambarkan sebagai kaum
Mu'tazilah atau Asy'ariyah, seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka
tentang Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara
mereka tetapi setiap kelompok mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi
dan rasul yang terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk
yang datang di antara mereka 'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf
dalam akar keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada
keimanan dan lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu pada waktu pagi dan sore (Q., s.
alA'raf/7:205) dengan zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan
mengulangi la ilaha illa Allah (tahlil) atau tasbih
dan takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu
apa yang Dia mginkan berupa pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu
(lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang
Dia. Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu
hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari
kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan
oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai
jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang
lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah
mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:
Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi
dari orang yang memperoleh pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada
tingkat pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja yang memiliki
keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas setiap keputusan yang ada dan
di atas setiap orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik.
Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat permulaan. Karena itu, hanya
orang yang berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih untuk
memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk kembali, dan
menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini,
aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan
diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan menolak-Nya,
karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas
itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli), mereka pasti akan
menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung
atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak memperoleh ilham
dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa
pun dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum Mu'tazilah-- bahkan
sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya
kepada mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya imannya membawanya
kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu (Q., s. al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan intelek dalam
pengertian akal, tetapi salah satu di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan
akal. Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita
mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena keterbatasan waktu maupun
karena sudah adanya tulisan orang lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat
bisa kita katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan
hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil
pelajaran dari hati.
Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya mengambil pelajaran dari
hati, manusia memulai kelahiran baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan
beristirahat di tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan, merasakan
situasi baru setiap saat, menunggu dengan penuh gairah apa yang bakal datang,
tetapi ia tidak akan pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan
tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada
penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan
(liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain
sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung
ini.
Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah
al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip
al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam
Hijriyah:
Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita tentang Tawhid yang
dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w. Mereka membenarkannya dengan hati,
mengamalkannya dengan tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa dan
maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan dan kekurangan. Mereka
berada dalam bahaya besar kecuali yang disayangi oleh Yang Pengasih dari segala
yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang mengenal Tuhan dengan
pembuktian. Mereka adalah ahli pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid
berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka mengetahui yang
gaib atas dasar yang konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada
pada jalan yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari Allah Ta'ala
dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil mereka.
Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka
tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak
memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an.
Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti
saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya,
sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka
berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum
itu (Q., s. Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s.
ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan
penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena
kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa
dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau
Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang
terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi
Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang
berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin
yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin
menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin
menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas
ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana
asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf
mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri.
Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya
mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya.
Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli
yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.
|
0 comments :
Post a Comment