AHLUSSUNNAH
WAL JAMA'AH
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.
(PKD PMII, Loram, 28 Mei 2010)
Ahlussunnah
Wal Jama'ah, disingkat Aswaja, sering dinamakan
pula dengan Sunni. Terminologi ini, sesungguhnya sederhana, singkat dan sudah
tidak asing lagi di telinga kita bahwa diakui atau tidak masih banyak
mengundang persepsi.
Sebagian memahami
Aswaja identik dengan "Islam". Sebagian yang lain melihat Aswaja
hanya sebagai "madzhab". Ada
pula yang yang mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum muslimin
yang mengamalkan aktifitas tertentu, seperti tahlilan, selamatan, berjanjenan (Maulud
Nabi Muhammad SAW), baca doa qunut, dan sebagainya.
Bagaimanakah
kita memahami Aswaja yang relevan? Apakah kita juga memahami Aswaja seperti
salah satu pemahaman di atas? Bagaimana dengan Aswaja dalam NU? Dan masih
banyak lagi pertanyaan mengenai Aswaja.
Pengertian Aswaja
Terminologi
Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) secara baku belum dijumpai dalam referensi lama (maraji'
awwaliyyah). Bahkan pada masa al
Asy'ari yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pendiri Madzhab
Ahlussunnah wal Jama'ah, belum juga ditemukan istilah tersebut.
Pengenalan
istilah tersebut sebagai suatu aliran dalam Islam baru nampak pada ashab al
Asy'ary atau sering disebut Asy'ariyyah (sunni)
Defisini
Aswaja sering diungkapkan adalah "maa ana 'alaihi wa ashhaabi"
(terjemah bebasnya : jalan yang kami tempuh). Tentu ini bukanlah definisi,
karena cakupannya bisa diklaim oleh madzhab dan aliran Islam yang ada di dunia.
Namun,
secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa Aswaja adalah orang-orang
yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan
yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, keseimbangan dan toleran.
Definisi
ini mungkin berlainan dengan definisi yang selama ini berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu, reorientasi terhadap konsep Aswaja perlu dikaji kembali dengan
tidak mengesampingkan sumbangan pemikiran dari ulama-ulama terdahulu
Aswaja dalam NU
Paham
Aswaja yang dikembangkan NU secara umum bepangkal pada tiga pandangan pokok,
yaitu mengikuti al Asy'ari dan al Maturidi dalam bertauhid
(teologi), menganut salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali) dalam fiqh, dan mengikuti faham al Junaidi dan al
Ghazali dalam tasawwuf. Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok
tersebut, NU mengantisipasi perubahan zaman, terutama bidang hukum dan politik,
disamping menggunakan empat sumber hukum Islam (al Quran, Hadits, Ijma' dan
Qiyas), juga mengacu pada lima
pokok tujuan syari'ah, sebagaimana dikemukakan oleh imam asy Syatibi, yaitu
melindungi agama, jiwa, keturunan atau kehormatan, harta dan akal sehat.
Lima
pokok tujuan syari'ah tersebut masih ditopang lagi dengan kaidah-kaidah fiqh (argumen-argumen
rasional, misalnya al umuuru bimaqaashidiha, al yaqiinu laa yuzaalu
bisysyak, adldlaruru yuzaalu, al masyaqqah tajliibuttaisiir
dan al 'aaddah al muhakkamah.
Dari kelima
kaidah tersebu, kemudian lahir kaidah-kaidah fiqh lainnya sebagai
cabang-cabangnya, misalnya dar ul mafaasid muqaddamun 'alaa jalbil mashaalih,
al muhaafadlatu 'alal qadiimishshalih wa al akhdzu bil jadiidil ashlah,
dan lain-lain.
Dengan
berpijak pada kaidah tesbut, dalam aspek sosial kemasyarakatan, NU mencoba
mengembagkan sikap-sikap sebagai berikut, yakni tawassuth
(moderat/bersikap tengah), tasammuh (toleran), tawazzun
(seimbang), dan amar ma;ruf nahi munkar (mendorong berbuat baik dan
mencegah berbuat munkar).
Bagaimana dengan PMII?
Betapapun
PMII mandiri/independen (sejak deklarasi Murnajati), ideologi PMII tidak lepas
dari faham Ahlussunnah wal Jama'ah yang merupakan ciri khas NU.
Ini berarti
secara kultural-ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan, walaupaun
secara organisatoris, PMII independen. Ahlussunnah wal Jama'ah merupakan
"benang merah" antara PMII dengan NU. Keterpautan moral, kesamaan background,
pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan. Hal ini pula dapat kita
pahamai bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah Aswaja) PMII lah membedakan diri
dengan organisasi lain.
Formulasi Baru Aswaja : Aswaja
seabagai Madzhab Berfikir
Formulasi
baru Aswaja, format atau coraknya bebeda dengan rumusan deinitif Aswaja yang
difahami selama ini dalam konteks fiqh. Pergeseran pemahaman akan terlihat
cukup tajam antara generasi tua dan generasi muda. Jika yang petama meletakkan
fiqh sebagai kebenaran "ortodoksi", sedanghkan yang kedua menempakan
fiqh sebagai paradigma "interpretasi sosial". Oleh karena iu, apabila
kelompok yang pertama selalu menundukkan realitas kepada kebenaran fiqh, maka
untuk kelompok kedua justru menggunakan fiqh sebagai counter discourse
dalam belantara drama sosial yang tengah berlangsung.
Ada lima ciri yang menjonol dalam "paradigma
berfiqh yang baru" petama, selalu diupayakan interpretasi ulang
dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru, Kedua,
makna bermadzhab diubah dari bermadzhab scara tekstual (madzhab Qouli)
menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji). Ketiga,
verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana
yang cabang (furu'). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai
etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima,
pengenalan metodologi pemikiran filosofis teutama dalam masalah sosial budaya.
Dari kelima
siri paradigma tersebut, ciri kedua (bermadzhab secara manhaji),
merupakan paradigma paling fundamental dan strategis. Gus Dur, secara tegas
penah mengugkapkan betapa pentingnya madzhab manhaji.
Dengan
menggunakan madzhab manhaji jalan masuk untuk melakukan terobosan-terobosan
baru dalam setting transformasi sosial, ekonomi, politik maupun budaya
menjadi terbuka lebar.
0 comments :
Post a Comment