SMA NU AL MA'RUF KUDUS

Kokoh dan Elegan, Jl. AKBP R. Agil Kusumadya No. 2 Kudus, Jawa Tengah

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU (PKG)

Penyelenggara oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tanggal 14-17 dan 26-27 Desember 2012 di Hotel Muria Semarang Jawa Tengah.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

LAGI SANTAI SEJENAK DI "SOLO PARAGON Hotel and Residence"

Dalam Acara Workshop "Implementasi Pendidikan Karakter dan Antikorupsi" Di Solo Paragon (Hotel and Residence) Solo Jawa Tengah. Diselenggarakan oleh Dirjen Dikmen, Kemendikbud Republik Indonesia tanggal 16 - 19 Nopember 2012.

Friday 22 February 2013

PENGENALAN KITAB MUWATHTHA’ DAN MUSNAD AHMAD










PENGENALAN KITAB MUWATHTHA’
DAN MUSNAD AHMAD
Oleh : Ulin Nuha

A.    PENDAHULUAN
Sunnah Rasulullah saw merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setelah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan undang-undang yang memuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah mendasar bagi Islam yang mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak mu’amalah, dll. Sedangkan Sunnah Rasulullah saw atau hadits nabi saw merupakan penjelas teoritis dan praktis aplikatip bagi    Al Qur’an.[1]
Al Qur’an dan Hadits adalah pedoman umat Islam yang harus dilestarikan. Pelestarian Al Qur’an, sudah dilakukan pada masa Usman bin Affan yang disebut dengan Mushaf Usmani. Namun, pelestarian Hadits nabi tidak seperti pembukuan Al Qur’an yang sama sampai sekarang. Hadits nabi yang telah dibukukan bermacam-macam versi, baik bentuk maupun pengarangnya. Di antaranya adalah kitab Hadits al Muwaththa’ dan Musnad Ahmad.
Makalah ini, secara sederhana akan menguraikan tentang siapa pengarangnya, bagaimana kitab tersebut dan sejauh mana derajat kitab hadits tersebut di antara kitab-kitab hadits-hadits yang lain.

B.     BIOGRAFI
1.      Imam Malik bin Anas
Ia adalah tokoh pendiri madzhab Maliki, seorang imam dan mujtahid besar dalam Islam, yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashari.[2] Dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah dan wafat pada tahun 179 H/795 M.[3]
Sejak lahir sampai wafatnya beliau menetap di Madinah                         al Munawaroh, yang pada masanya kota ini menjadi sentral perkembangan sunah dan hadits Rasulullah saw dan menjadi salah seorang tokoh perawi hadits yang termasyhur oleh sebab itu, ia terkenal dengan sebutan “Imam Dar al Hijrah”.[4]
Pendidikan beliau dimulai dengan menulis hadits, sehingga dalam hal penerimaan hadits, beliau hanya menerima dari orang yang dipandang ahli hadits dan terpercaya (tsiqat), da redaksi (matan) haditsnya tidak bertentangan dengan Al Qur’an. Di samping itu, matan hadits itu sejalan dengan amalan penduduk Madinah.[5] Dalam meriwayatkan hadits, ia tidak mengandalkan kekuatan hafalan saja, tetapi juga tulisan.[6] Guru yang sekaligus menjadi sumber penerimaan hadits Imam Malik adalah Nafi’ bin Ali Nu’aim, Ibnu Syihab az-Suhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Sa’id al Ansari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdur Rahman bin Hurmuz (seorang tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat). Adapun murid-muridnya antara lain : Asy-Syarbani, Imam Syafi’i, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Abdurrahman bin Karim di Mesir, dan Asad al-Furat at-Tunisi.[7]
Di samping ahli hadits, Imam Malik juga ahli di bidang hukum Islam/Fiqh. Pada mulanya, ia mencurahkan studinya pada ilmu hadits (riwayat), fatwa sahabat dan tabi’in. Selanjutnya, aspek-aspek ini menjadi pilar pokok bagi bangunan fiqhnya. Kerka Imam Malik yang terbesar adalah Kitab al Muwaththa’ dari beberapa karya yang diatribusikan kepadanya yaitu risalah Ila Ibn Wahib Fil Qadr, kitab an-Nujum, Risalah Fil Aqdiya, Tafsir Li Ghrib al Qur’an, Risalah ila al-laith b. Said, Risalah ila Abu Ghassan, kitab al-Syiar, Kitab Al-Manasik dan Kitab                           Al Muwatta.[8]
2.      Imam Ahmad bin Hambal
Ahmad bin Hambal adalah Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi berasal dari Maru, tetapi ketika ibunya sedang mengandungnya pergi ke Baghdad sehingga beliau dilahirkan di sana pada bulan Rabi’ul Awal 164 Hijriyah atau Nopember 780 M.[9]
Ahmad mulai menuntut ilmu semenjak kecil. Kemudian, dalam rangka menuntut ilmu itu, ia mengembara ke negeri Siria, Hijaz dan Yaman ia mendengar (mempelajari hadits) dari Sufyan bin Uyaiman dan ulama lain yang segenarasi dengannya. Lalu berguru kepada Imam Syafi’i selama Sayfi’i menetap di Baghdad As-Syafi’i pernah berkata tentang Ahmad sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Ar Rahbawi. “Saya keluar dari Baghdad dan tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling takwa, paling zuhud, paling wara’ dan paling berilmu, melebihi Ahmad bin Hambal.[10] Beliau menghafal berjuta-juta hadits sepanjang hidupnya. Beliau adalah salah seorang pelopor dalam sejarah Islam yang mengkombinasikan antara ilmu hadits dan fiqh.
Ia meriwayatkan hadits dari Basyar ibn al Mufadldlal, Ismail ibn ‘Ulaiyah, Sufyan ibn ‘Uyainah, Yahya ibn Said al Qaththan, Abu Daud ath Thayalidy, Asy Syafi’i Abdul Wahid, Abdur Razzaq, Wakte’, Yahya bin Ma’ien, “Ali Ibnul Madiny dan Al Husain ibn Manshur.[11]
Beliau telah berhasil mengarang sejumlah buku. Banyak di antaranya telah diterbitkan. Sedangkan yang lainnya telah hilang. Karya-karya beliau adalah Al Hal wa Ma’rifat al-Rijal, Tarikh, An Nasikh wal Mansukh. Al Tafsir, Al Manasik, Al Asyribah, Al Zuhud, Al Radd’ Ala Al Zanadiqah wal-Juhmiyah dan Al Musnad.[12]
Ahmad bin Hambal paling dikenal sebagai pengarang “Al Musnad” yang berisi 40.000 buah hadits. Pada akhirnya, sesudah mencapai derajat al Imam, kemudian ia mengundurkan diri dari tugasnya dan masuk dalam kehidupan Zuhud. Beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 241 H/          31 Juli 855 M pada usia ke 75 di Baghdad.[13]

C.    KITAB Al MUWATHTHA’
Al Muwaththa’ adalah kitab hadits yang disusun oleh Imam Malik yang dimasyarakat biasa disebut Muwaththa’ Malik.[14] Kitab ini adalah kitab hadits dan sekaligus kita fiqh, karena berisi hadits-hadits yang disusun sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam kitab fiqh.
Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa’ tidak seluruh sanadnya bersambung, karena disamping hadits, di dalamnya terdapat pula fatwa para sahabat dan tabi’in. Kitab ini ditulis pada tahun 144 H atas permintaan khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al Manshur (754-775 M). dinamakan Al Muwaththa’ (yang disepakati), karena sebelumnya kitab ini disebarluaskan kepada masyarakat, pengarangnya telah meminta 70 ulama terkemuka saat itu untuk menilainya. Ternyata mereka semua menyetujuinya.[15]
Imam Malik mengumpulkan sejumlah materi hadits dan menyeleksinya menjadi beberapa ribu saja. Semua materi dipelajari Malik selama kurang lebih empat puluh tahun. Beliau berkali-kali merevisi karyanya. Oleh karena itu, kitab ini disajikan dalam banyak versi,[16] kitab Al Muwaththa’ yang beredar dewasa ini berasal dari naskah yang ditulis atau diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya al-Andalusi (151 H/152 H-233 H/234 H), ulama besar dan Maghrib (sebutan negara-negara Islam di Afrika Utara) yang meriwayatkannya langsung dari Imam Malik pada akhir hayatnya.[17] Versi ini berisikan hadits nabi, Atsar-atsar dari sahabat dan atsar-atsar dari ulama berikutnya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ belum dicantumkan urutan-urutan periwayatannya sebagaimana terdapat pada kitab-kitab hadits (Bukhari dan Muslim). Sebab kebutuhan kejelasan tentang periwayat  hadits pada saat itu belum muncul/ hadits-hadits dalam Al Muwaththa’ terdiri dari 600 hadits musnad (sanadnya sambung sampai Nabi saw). 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf dan 285 hadits maqtu.[18] Akan tetapi, menurut Ash-Syuyuthi sebagaimana dikutip dalam Ensiklipedi Islam, bahwa semua hadits mursal atau munqati’ yang terdapat dalam al Muwatho’ dapat diperkuat keberadaannya dengan riwayat lain.[19]
Mengenai keberadaa hadits-hadits dalam Al Muwaththa’ menurut sebagian ulama menempati peringkat pertama dalam kesahihan hadits setelah shahih Bukhari dan Muslim, karena hampir semua riwayat yang ada dalam kitab itu terdapat dalam Kutubus Sittah.
Kitab Al Muwaththa’ merupakan kitab hadits yang cukup banyak mendapat perhatian para ulama dengan memberikan syarah (penjelasan) kepada kitab tersebut. Pensyarah-pensyarah itu di antaranya adalah Ibn Abdul Barr yang menyusun dua syarah At Tahmid dan Al Istidzhkar, Al Baji, Sulaiman bin Khalaf (424 H). Menyusun dua buah syarah : Al Istifa’ dan Muntaqa yang berjumlah 7 jilid, Al Zarqani, Muhammad Abdul Baqi (122 H). Sebanyak 4 jilid, Al Kandahlawi, Muhammad Zakaria (1315 H) menulis Awjaz Al Masalik Syarh Muwaththa’ of Imam Malik.[20]

D.    KITAB MUSNAD AHMAD
Kitab Musnad Ahmad disusun oleh Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibani al Mawarzi atau Ahmad bin Habal Musnad Ahmad adalah sebuah kitab hadits yang tersusun berdasarkan nama-nama sahabat periwayat hadits da bukan berdasarkan topik masalah. Musnad ini dipandang kitab hadits induk yang ketujuh. Isinya berjumlah 40.000 buah hadits, 10.000 di antaranya berulang-ulang.[21] Berbeda dengan kitab Al Muwaththa’ yang disusun berdasarkan bab-bab yang ada dalam fiqh, kitab Musnad Ahmad disusun berdasarkan perawi pertama dan diurutkan sesuai dengan huruf hijaiyah.
Penyusunan kitab Musnad Ahmad dilanjutkan oleh putranya yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hambal da Abu Bakar Al Qath’iy yang sebelum beliau menyusun dengan rapi dan baik, beliau sudah meninggal dunia, sehingga di dalamnya terdapat hadits dhaif dan empat hadits maudhu’.[22]
Sebagaimana kitab Muwaththa’, Musnad Ahmad juga mendapat perhatian besar dari ulama, dengan cara menyusun berdasarkan bab-bab hukum misalnya Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Sa’ati, orang tua Hasan Al Banna. Ia menyusun karya Musnad Asli berdasarka bab hukum. Karya ini mempunyai syarah yang baik dan merujuk kepada hadits-hadits karya lainnya. Buku ini telah dipublikasikan dalam dua puluh empat jilid. Ulama lainnya adalah Ahmad Syakir yang berminat untuk mempublikasikan sebuah edisi kritis tentang musnad asli yang dikarang oleh Ibnu Hambal.[23]
Untuk memperjelas tentang derajat kitab hadits, Ad Dahlawi sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddiqi, membagi derajat kitab hadits kepada empat tingkatan: Pertama, shahih Bukhari, shahih Muslim, dan Al Muwaththa’. Kedua, Sunan yang empat (Abu Daud, An Nasai, At Turmudzi, dan Ibnu Majah), sementara Musnad Ahmad berdekatan kepada tingkatan yang kedua. Ketiga, seluruh musnad selain Musnad Ahmad, yang kandungannya bercampur baur, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dhaif bahkan ada yang munkar (Musnad Abu Ya’la Sunan Al Baihaqy, kitab-kitab At Thahawy dan kitab Ats Thabarany). Keempat, kitab-kitab yang semaksud oleh penyusunnya mengumpulkan segala rupa hadits, untuk kepentingan mereka masing-masing dan membantu pendirian dan faham.[24]

E.     KOMENTAR
Imam Malik di samping seorang tokoh ahli hadits juga tokoh ulama ahli fiqh. Ia termasuk penghulu madzhab Maliki. Yang dalam hukum Islam menjadi salah satu aliran terkemuka.
Pemikiran Imam Malik, baik dalam bidang hadits maupun hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungan, Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasul dan sunnah sahabat, sejak lahir sampai wafat. Terbukti dalam kitab Al Muwaththa’, ia  tidak hanya memasukkan hadits-hadits yang musnad (sampai pada nabi) tapi juga memasukkan hadits yang mauquf (perkataan, perbuatan atau taqrir yang dinisbatkan kepada sahabat nabi). Hal ini menunjukkan, bahwa Imam Malik tidak menghilangkan bahkan tetap melestarikan sunnah-sunnah atau kebiasaan-kebiasaan para sahabat. Sehingga dalam Muwaththa’ berisi tentang hadits Nabi dan atsar sahabat.
Isi kitab Muwaththa’ tersebut, berimplikasi pada pemikiran beliau dalam bidang hukum Islam, yaitu bila terjadi perbedaan serta sunnah dengan sunnah lainnya, maka ia berpegang kepada tradisi yang biasa berlaku di Madinah yang dianggap berasal dari sahabat nabi saw.
Mengenai kitab Musnad Ahmad, karena cara penyusunannya, terdapat hadits-hadits dhaif dan maudhu dan disusun berdasarkan perawi, bukan bab, maka tidak semua orang bisa begitu saja mengambil salah satu hadits untuk dijadikan hujjah. Sebab membutuhkan ketelitian atau kecermatan untuk menilai kekuatan haditsnya sebagai sumber hukum. Walau demikian, kitab tersebut tetap menjadi kitab induk ketujuh dari Kutubus Sittal, yang bukan berarti kita tidak atau jarang menggunakannya.

F.     PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Malik adalah seorang ahli hadits dan ahli fiqh. Karyanya yang sangat terkenal dan cukup mendapat perhatian banyak ulama adalah kitab Al Muwaththa’ yang berisi hadits nabi saw. Dan atsar para sahabat dan disusun berdasarkan bab-bab dalam bidag fiqh.kitab Al Muwaththa’ kedudukannya di bawah Bukhari-Muslim, sedangkan Musnad Ahmad penyusunannya tidak berdasarkan bab-bab tertentu, tetapi perawi, berdasarkan huruf hijaiyah. Kedudukannya Musnad Ahmad di bawah Kutubus Sittah atau buku induk yang ketujuh.










DAFTAR PUSTAKA


Abdul Qadir Ar-Rahbawi, As-Shalatu Alal Mazahibil ‘Arba’ah, alih bahasa, Zeid Husein Al-Hamid dan Drs. M Hasanuddin, Salaf Empat Mazhab, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1995.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1993, cet. Kedua, Jilid III.

Endang Soetari, Drs. H. AD., M.Si., Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997.


Muhamma Mustafa Azami, Prof. Dr., Studies in Early Hadith Literature, alih bahasa H. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

-----------------------------------------------, Studies In Hadith Methodology and Literature, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, t.t.

Syuhudi Ismail, Dr. M., Cara Praktis Mencari Hadits, PT. Karya Unipress, Jakarta, 1991.

Tengku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Penghantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997.

Yusuf Qardawi, Dr., Al Marju’iyyah al ‘Ulya Fil Islam lil Qur’an was Sunnah Dhawabith dalam Mahadzir Fil Fahmi wat Tafsir alih bahasa Bahruddin Faunani, Al Qur’an dan As Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam: Beberapa Kaidah dan Rambu dalam Memahami dan Menafsirkan, Robbari Press, Jakarta, 1997.




[1] Yusuf Qardawi, Dr., Al Marju’iyyah al ‘Ulya Fil Islam lil Qur’an was Sunnah Dhawabith dalam Mahadzir Fil Fahmi wat Tafsir alih bahasa Bahruddin Faunani, Al Qur’an dan As Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam: Beberapa Kaidah dan Rambu dalam Memahami dan Menafsirkan, Robbari Press, Jakarta, 1997, hal. 62.
[2] Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si., Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997, hal. 281.
[3] Prof. Dr. M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, alih bahasa H. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 402.
[4] Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si., Loc.Cit.
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. MM. Azami. Op.Cit., hal. 403.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1993, cet. Kedua, Jilid III, hal. 140.
[8] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Studies In Hadith Methodology and Literature, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, t.t., hal. 82.
[9] Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si., Op.Cit., hal. 300.
[10] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, As-Shalatu Alal Mazahibil ‘Arba’ah, alih bahasa, Zeid Husein Al-Hamid dan Drs. M Hasanuddin, Salaf Empat Mazhab, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1995, hal. 7.
[11] Tengku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Penghantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hal. 291.
[12] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Op.Cit., hal. 85.
[13] Drs. M. Endang Soetari AD, M.Si., Op.Cit., hal. 302.
[14] Dr. M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, PT. Karya Unipress, Jakarta, 1991, hal. 12.
[15] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal. 318.
[16] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Op.Cit., hal. 83.
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Op.Cit., hal. 319.
[18] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hal. 285.
[19] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Op.Cit., hal. 318.
[20] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Loc.Cit.
[21] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit., hal. 911.
[22] Ibid.
[23] Muhammad Mustafa Azami, M.A., Ph.D., Op.Cit., hal.86.
[24] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Op.Cit., hal. 120.

STUDI ANALISIS ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME (Pengaruhnya Terhadap Studi Islam)









STUDI ANALISIS ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME

(Pengaruhnya Terhadap Studi Islam)

Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.

Abstraksi : Bagaimana respon sarjana muslim ketika bersentuhan dengan Barat ?. Ada tiga respon, yaitu pertama, mengambil model-model Barat apa adanya, atanpa mempertimbangkan ekses-ekses negatifnya. Kerangka berfikir Barat digunakan untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kelompok ini beranggapan bahwa ada aspek-aspek Islam  yang harus disesuaikan dengan Barat. Dalam hal ini, kita tidak perlu khawatir terhadap sarjana-sarjana muslim yang belajar dari keilmuan Barat, karena yang diterapkan dalam memahami Islam lebih lanjut adalah metodologinya dan tentunya harus disesuaikan dengan Islam di dunia muslim sendiri. Kedua, mereka yang mengambil aspek-aspek tertentu saja dari Barat, misalnya metodologinya untuk memahami Islam. Kelompok ini berusaha melakukan akulturasi dan asimilasi antara Islam dan Barat Hal ini diambil dengan pertimbangan adanya perbedaan sistem nilai yang berlaku dalam dua latar kebudayaan tersebut. Pada kelompok in berlaku adanya suatu filter sehingga tidak semua ide-ide Barat diterima. Ketiga, setelah bersentuhan dan sudah lama makan asam garam Barat, Bahkan menetap disana, tetapi justru menjadi penentang world view Barat dan ceanderung menjadi “fundamentalis”. Kelompok ketiga ini tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap Barat dan enggan melakukan kompromo dan mengharmonisasikan Islam yang bersumber dari inspirasi Illahi dengan world view Barat, bahkan mengkonfrontasikan antara world view Islam dan Barat.
Kata Kunci : Studi Islam, Orientalisme, Oksidentalisme

A.    Pendahuluan
Agama islam telah menjadi obyek studi sarjana Barat, bahkan Islam sudah menjadi karir sarjana Barat yang melahirkan orientalisis dan islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam karena mereka memandang Islam bukan sekedar agama tetapi jug merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang patut diperhitungkan.
Kajian tentan orintalisme sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh tahu atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru di dunia Timur terutama dunia Islam.[1] Hegemoni dan penguasaan Barat atas Timur menciptakan kebencian rasial yang semakin memuncak. Kebencian tersebut tidak hanya diekspresikan sebatas sikap pasif, tetapi usaha-usaha menjawab dan membongkara kepalsuan Barat sudah banyak dilakukan. Misalnya Edward Said, intelektaual keturunan Palestina, meluncurkan bukunya yang berjudul Orientalis.
Menurut Komarudin Hidayat, dalam karya tersebut Said tidak hanya menyajikan kajian baik tentang Timur, tetapi sekaligus juga menyeruak selubung-selubung ideologis negatif yang selama ini menhinggapi Barat dalam melihat Timur. Bahkan dalam kadar tertentu Said telah membuka jalan bagi munculnya kesadaran baru tentanag perlunya menjadikan Barat sebagai bahan kajian yang disebut oksidentalisme.[2]
Oksidentalisme atau usaha untuk mengkaji Barat menjadi sebuah pendekatan dan konsep membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat Islam. Orientalisme maupun oksidentalisme keduanya merupakan produk sejarah yanga memiliki muatan ideologis yang memberikan respon dan kritik balik terhadap serangan orientalisme terhadap Islam. Oksidentalisme masih merupakan wacana yang sangat baru, namun menurut Hasan Hanafi sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat, secara historis prototip Oksidentalisme sebenarnya dapat dilacak sejak terjadinya pertemuan antara Barat dan Timur, antara masyarakat Kristen di Barat dan Muslim di Timur.[3]
Lepas dari orientalisme dipandang sebagai ideologi Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme terhadap dunia Timur terutama Islam ataupun oksidentalisme yang juga memiliki muatan ideologis, namun yang menjadi persoalan adalah sejauh manakah keduanya berpengaruh terhadap studi Islam. Apakah hal itu hanya sebuah wacana ilmiah yang memang harus disikapi secara serius sebagai bagian dari perkembangan intelektual di dunia akademik. Atau harus dilakukan sesuatu untuk membendung arus perkembangan keilmuan tersebut dalam rangka menghilangkan prasangka negatif terhadap Islam. Sebab kebearadaan orientalisme dan oksidentalisme telah menimbulkan stigma dikalangan umat islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat  tentang Islam selalu dicurigai . Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang memperoleh kesempatan menagambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah berpengaruh atau terkaminasi oleh pemikiran orientalis.

B.     Pengertian Orientalisme dan Oksidenatalisme
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme dan oksidentalisme, diantaranya menurut Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., ia mendefinisikan orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.[4] Sedangkan menurut Ismail Yakub, bahwa orientalisme adalah :
“Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu megenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya, keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangaasa adan negeri Timur”.[5]

Maxime Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir menerangkan bahwa orientalisme mula-mula mempelajari Islam, “mempelajari” bukan sekedar mengenal tetapi mempelajari secara sistematis, profesional, dan terorganisir.[6] Adapun orientalisme, dengan menambahkan “isme” dibelakang kata “orientalis” berarti ajaran atau paham tentang dunia Timur yang dibentuk oleh opini Barat.[7] Walaupun orientalisme mengandung konotasi negatif dikalangan para penulis Timur, tetapi dalam paper ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme. Secara lebih jelas  Hassan Hanfi memberikan pemahaman oksidentalisme sebagai berikut :
“Apabila orientalisme ego (Timur) melalui The Other (Barat), maka oksidentalisme bertujuan mengurangi simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferoritas (Murikab al-Naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (Murokab al Uzhma) pada pihak the other”[8]

Lebih lanjut menurut Asyaukanie, secara harfiah oksidentalisme berarti hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik itu budaya, ilmu dan aspek sosial lainnya.[9] Secara historis studi tentang keberatan sudah mulai sejak awal era kebangkitan Islam atau dunia ketiga lainnya. Tetapi studi-studi tersebut masih sarat dengan analisis diskriptif yang sumbernya utamanya adalah Barat sendiri yang pada akhirnya kajian-kajian Barat. Model seperti ini belum mempresentasikan apa yang dimaksud dengan format oksidentalisme diskursif (discusive formation), yaitu satu wacana yang melihat dan mengkaji Barat dari luar Barat, seperti para orientalis yang mengkaji Timur dengan perpspektif Barat.[10]

C.    Akar Dan Tujuan Orientalisme dan Oksidentalisme
Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat penguasaan terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat ekstensi Barat khususnya yang menyangkut dunia Arab Islam. Ssejarah orientalis bermula dari kajian atas karya-karya ilmiah dari karya budaya kaum muslim setelah adanyta interaksi  dan pergantian kuasa wilayah Islam di belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang salib di kota-kota suci Islam di daerah Syam dan Palestina.[11] Sebagai dua bangsa yang bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan sendirinya akan sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat perang salib bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif. Pandangan negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang merasa sebagai superior menimbulkan pandangan bahwa selain bangsa, budaya dan agama Barat tergolong bangsa, ideologi dan agama yang inferior. Mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan dan gerombolan orang-orang yang patut dibenci. Kedua, sikap apologis, yang bertujuan menyerang keyakinan dasar Islam dan  untuk memperkuat kedudukan Kristen. Ketiga, Islam dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi / Kristen yang sesat.[12]
Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme, pertama, tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab –Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam level penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik karya Ibnu Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan orientalisme ini adalah John of Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard. Tahapan kedua adalah era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di belahan Timur, maka pada tahapan kedua  ini setelah gelombang perang salib di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang menyertai “misi suci” tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan sumber-sumber asli peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya.
Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonisme dan imeperalisme eropa kehampir seluruh negeri dan bangsa non-barat, dunia Islam khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan “ajudan” apara kolonialis dan alat yang palinga ampuh untuk mendalami  kondisi sosial-historis negeri-negeri jajahan baru. Dalam tahapan  ini orientalisme bertukar peran, kalau sebelumnya sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit banyak adanya nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar menjadi penguasaan dalam perampasan hak-hak Timur dilegitimasi lewat kolonialisme. Timur telah menjadi obyek kekuasaan dan kesemena-menaan bangsa yang lebih kuat bukan lagi menjadi obyek studi yang harusnya.[13]
Namun dalam hal ini, tidak bisa disimpulkan  bahwa seluruh orientalis adalah  “ jahat” mempunyai niat buruk dalam mengkaji timur terutama Islam. Tetapi ada juga para oprientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari Islam dan Ketimuran. Berkaitan dengan tujuan orientalis melakukan kajian mengenai Islam dan ketimuran,  Ismail Jakub mengklasifikasi menjadi beberapa macam tujuan. Yaitu, ada yang didorong oleh rasa keagaamaan, ada yang karena dorongan penjajahan, dorongan perniagaan, politik dan ada pula yang karena dorongan keilmuan.[14]
Menurut Asy Syaukanie, orientalisme pada akhirnya setelah mendapatkan kritik dari beberapa sarjana Islam atau Timur, misalnya, Tibawi, Anwar Abdul Malik, Abdullah Latovi dan said, dan dari barat sendiri seperti Faucoult, Recour dan Bordeouw tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya. Para pengkaji ketimuran dari Barat ada yang merasa risih  untuk disebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah tersebut sangat prejoratif. Mereka lebih senang  disebut sebagai “Islamiolog dan sejenisnya”.[15] Kritik  yang sering dilontarkan kepada kaum orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka  hanya terbatas pada aspek eksternalitas (lahiriah) dari agama. Mereka tidak dapat memahami wilayah “internal’ dari agama yang diteliti.[16]
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam,  yaitu teologis dan sejarah agama-agama.[17] Pendekatan dalam kajian teologis yang bersumber dari  tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama. Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisa dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim. Keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan sesuai dengan perkembangan keilmuan di Barat, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam, di Barat. Dengan dapat dipahami bahwa wajar kalau hasil kajian para orientalis tersebut tidak menyentuh pada aspek internal pemeluknya, karena memang pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sejarah agama-agama (jika memakai pendekatan menurut Asyumardi Azra).
Pada perkembangan selanjutnya, setelah orientalis dikritik baik secara pendekatan keilmuan maupun keburukan-keburukan (niat jahat) menjadi terbongkar, kini orientalisme menjadi obyek kajian. Kajian orientalisme sebagai obyek  yang dilakukan dibeberapa  universitas Muslim pada tahapan-tahapan selanjutnya mengilhami studi lebih lanjut akan budaya Barat yang dilihat dari sudut pandang persepektif “selain Barat”.
 Hanafi menulis mengenai oksidentalisme sebagaimana di kutip oleh Asy Syaukanie bahwa :
“Oksidentalisme adalah lawannya orientalisme. Ilmu yang sangat penting diwujudkan buat masa sekarang, setelah Barat untuk yang kedua kalinya mulai menancapkan lagi kuku-kolonialismenya…Bagaimanapun, oksidentalisme merupakan imbangan buat kebudayaan manusia, karena dengan ini kelak akan tidak ada lagi bangsa yang mendakwa dirinya sebagai bangsa yang superior.”[18]

Oksidatilesme bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau orientalisme terbalik, atau orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi atas westernisasi. Oksidentalisme bertujuan  untuk mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan serta meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme Eropa untuk kemudian d ilakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata lebih obyektif dan netral serta lebih bersikap adil  terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.

D. Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas  Barat terhadap Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin traditional. Pertama,  adalah mereka yang berakar pada disiplin humaniora traditional, yang mencakup filologi, filsafat, literature dan sejarah. Kedua,  yang berakar pada disiplin teologi, seperti  sejarah kitab suci dam sejarah institusi-institusi agama. Ketiga, yang berakar pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistic dan psikologi. Dan Keempat,  yang berakar pada studi-studi kawasan yang menjadi salah satu titik tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya kajian Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara).
Pertumbuhan minat untuk memahami  Islam lebih sebagai “tradisi keagamaan yang hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan doktrin”, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A.R. Gibb.[19]
Pada  umumnya orientalis membahas Islam    dengan pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendakatan historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya.[20] Pendekatan tersebut meskipun turut memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Lebih lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga menganalisis bahwa terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang dilakukan oleh orientalis. Pertama, kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat “esensialis” yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan muslim dalam rangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain berlaku pada masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya, terdapatnya radikalisme kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam masyarakat muslim di tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif  tentang Islam dan masyarakat muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf, sarjana-sarjana barat misalnya, menggunakan kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah tertentu dikalangan kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri.[21]
Tetapi bagaimanapun juga gambaran mengenai tradisi keilmuan tersebut sebenarnya telah menjadi diskursus atau wacana ilmiah sejak dulu. Dan bila menelusuri jejak-jejak muncul dan berkembangnya pemikiran dan pemikir modern dalam Islam, maka akan didapati realitas bahwa semuanya itu muncul setelah bersentuhan dengan Barat. Hampir tidak ada suatu negara yang mayoritas berpenduduk Islam dimanapun yang melakukan modernisasi, tanpa sebelumnya mendapat “penetrasi” dari Barat. Suatu kenyataan lain yang juga tidak bisa diingkari adalah hampir semua pemikir modern Islam adalah juga produk Barat. Misalnya, Fazlur Rahman, Iqbal, Ali Syari’ati, Sayid Qutub, Hasan Hanafi, Abdullah an Na’im, Muhammad Arkoun, Riffat Hasa, Seyyed Hossein Nasr dan juga pemikir dari Indonesia sendiri, misalnya, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan lain-lain. Mereka bukan saja menguasai khasanah keilmuan Islam, tetapi juga keilmuan Barat sekaligus. Kenyataan ini seolah memberikan suatu keniscayaan bahwa seandainya negara yang berpenduduk muslim dan pemikirnya tidak bersentuhan dengan Barat, maka tidak akan muncul gerakan dan pemikiran modern.[22]
Dengan corak dan karakteristik studi Islam di Barat, seperti dikemukakan di atas, jelaslah salah satu akar utama cara pandang sarjana-sarjana muslim yang memperoleh pendidikan lanjutan tentang Islam di universitas-universitas di Barat. Pendekatan historis terhadap Islam turut membentuk cara pandang mereka yang sering disebut lebih “liberal” menyangkut Islam. Liberalisme pandangan itu berkaitan dengan concern mereka pada umumnya yang memang lebih pada kenyataan historis dan sosiologis Islam ketimbang doktrin Islam itu sendiri. Di sini mereka kemudian sering dituduh sebagai tidak atau kurang mempunyai “kesetiaan” kepada Islam, dan sebaliknya menjadi pengikut “orientalis” belaka. Padahal masalahnya terletak bukan pada soal setia atau tidak kepada Islam, melainkan pada pendekatan semata-mata. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran para umat Islam sebagaimana di tulis oleh Komaruddin Hidayat, bahwa :
“Kajian tentang orientalis sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma dikalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai.”[23]

Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan mengambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka banyak akademisi barat yang mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih senang disebut sebagai Islamist, bukannya orientalist.
Lebih lanjut yang menjadi persoalan lagi adalah bagaimana dengan sarjana tamatan Timur Tengah?. Dimana sarjana-sarjana muslim khususnya Indonesia tamatan Timur Tengah sering dipandang secara beragam sebagai lebih “setia” dan mempunyai “komitmen” yang tinggi terhadap Islam. Sehingga tamatan Timur Tengah menggunakan pendekatan normatif dalam berpikir dan tidak liberal, dan bahkan cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar seperti itu?
Memang mengenai sejauhmanakah peran dan pengaruh dua kelompok benar sarjana terhadap perkembangan Islam mengundang perdebatan yang cukup hangat. Dan hampir dipastikan perbincangan sekitar masalah ini akan terus berlangsung di masa-masa mendatang. Secara realita ada juga tamatan Timur Tengah yang liberal, seperti yang disimbolisasikan oleh Mona Abaza dalam figur Abdurrahman Wahid. Dalam sketsa biografi Wahid, Abaza tidak luput melukiskan kecenderungan kebebasan ekspresi intelektual di Mesir; termasuk kekaguman Wahid pada penulis-penulis liberal Mesir yang terlibat dalam perdebatan hangat dengan kelompok konservatif dari kalangan Al Azhar. Namun liberalisme Wahid dalam banyak hal tidak dapat diragukan lagi. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting apakah ia merupakan representasi “alumni” Kairo.[24] Corak kajian Islam, baik dengan pendekatan barat maupun Timur Tengah, adalah bagian yang absah dan diskursus intelektualisme Islam di dunia Muslim. Kedua corak ini tidaklah dipertentangkan melainkan harus dipandang sebagai komplementer satu sama lain. Bahkan kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan atau diharmonisasikan sedemikian rupa untuk mendinamisasikan pemikiran di dunia Islam.

E.     Penutup
Dari uraian tersebut diatas dapat di pahami bahwa garis besar, penulis berangkat dari paradigma mengenai bagaimanakah respon sarjana muslim ketika bersentuhan dengan Barat. Hal ini dimaksudkan agar dalam studi Islam di Barat tidak terlalu jauh meninggalkan esensi dasar Islam itu sendiri, dan supaya umat Islam tidak antipati terhadap sarjana-sarjana lulusan Barat. Ada tiga respon, yaitu pertama, mengambil model-model barat apa adanya, tanpa mempertimbangkan akses-akses negatifnya. Kerangka berfikir Barat digunakan untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kelompok ini beranggapan bahwa ada aspek-aspek Islam yang disesuaikan dengan Barat. Dalam hal ini, kita tidak perlu khawatir terhadap sarjana-sarjana muslim yang belajar dari keilmuan barat, karena yang diterapkan dalam memahami Islam lebih lanjut adalah metodologinya dan tentunya harus disesuaikan dengan Islam di dunia muslim sendiri. Kedua, mereka yang hanya mengambil aspek-aspek tertentu saja dari Barat, misalnya metodologinya untuk memahami Islam. Kelompok ini berusaha melakukan akulturasi dan asimilasi antara Islam dan barat. Hal ini diambil dengan pertimbangan adanya perbedaan sistem nilai yang berlaku dalam dua latar kebudayaan tersebut. Pada kelompok ini berlaku adanya suatu filter sehingga tidak semua ide-ide barat diterima. Ketiga, setelah bersentuhan dan sudah lama makan asam garam Barat, bahkan menetap disana, tetapi justru menjadi penentang world view Barat dan cenderung menjadi “fundamentalis”. Kelompok ketiga ini tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap barat dan enggan melakukan kompromi dan mengharmonisasikan Islam yang bersumber dari inspirasi Ilahi dengan world view Barat, bahkan mengkonfrontasikan antara world view Islam dan Barat.

END NOTE


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Asyumardi Azra, Prof. Dr.., Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta. 1999.
Bassam Tibi, The Cisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifis Technological Age, alih bahasa Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, Krisis Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1994.
Dr. Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994.
Hassan Hanafi, Dr., Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta, 2000.
Ismail yakub Tk. H., Orientalisme dan Orientalisten, CV. Faiza, Surabaya, t.t.
Komaruddin Hidayat, Dr., Pengantar dalam Hassan Hanafi, Muqaddimah Fi’Ilm al Istighrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Barat, Paramadina, Jakarta, 2000.
Luthfi Asy Syukanie, A., Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme, Ulumul Qur’an No. 5 dan 6, vol. V, tahun 1994.
Mona Abaza, Studi Islamika.
Muh, Natsir Mahmud, Dr., M.A., Orientalisme : Al Qur’an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t.
Waryono Abdul Ghafur, Kritik Seyyed Hossein Nasr Atas Modernisme dan Tawaran Neo-Sufisme, Profetika, Jurnal Studi Islam, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, vo. I, No. 2 Juli 1999.


[1]Citra dan posisi orientalis kelihatannya memang sulit untuk mengelak dari anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan anak kandung imperalisme dan kolonialisme. Apalagi dalam konteks Indonesia, orientalis pernah dijadikan sebagai alat penjajahan Belanda melalui Snouck Hurgrounje untuk mensiasati Aceh dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Lihat : Dr. Komaruddin Hidayat, Pengantar dalam Hassan Hanafi, Muqaddimah Fi ‘Ilmal-Istighrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme ; Sikap Kita Terhadap Barat, Paramadina, jakarta, 2000, hal. XV.
[2] Ibid., hal. xvi
[3] Ibid., hal. xvii.
[4] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t., hal. 36.
[5] Tk. H. Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, CV. Faiza, Surabaya, t.t., hal. 17.
[6] Dr. Muh. Natsir Mahmud, op.cit., hal. 38.
[7] Menurut Edward Said bahwa “Timur” dan “Barat” bukanlah berdasarkan letak geografis, Timur menjadi “Timur” karena ia dibuat (orientized), demikian juga Barat. Hubungan Timur dan Barat didasarkan pada kekuasaan atau dominasi dan berbagai tingkat hegmoni yang kompleks. Lihat The Cisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifs Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1994, hal. 35.
[8] Dr. Hasan Hanafi, Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta, 2000, hal. 26.
[9] A. Luthfi Asy Syukanie, Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme. Ulumul Qur’an, no. 5 dan 6, vol. V, tahun 1994, hal. 123.
[10] Lain halnya dengan oksidentalis sungsang (Istighrab ma;kus) yang menurut Hanafi adalah hal dimana seorang pemikir atau sarjana Timur mengkaji Barat tetapi masih memakai metode cara pandang Barat. Dikatakan “sungsang” karena ia membuat dirinya melalui cermin orang lain (Barat) dan bukan seperti yang seharusnya, yaitu melihat Barat melalui cermin diri (ru’yatul ‘akhar fi mir’ atil ana). Istilah istighrab ma’kus) oksidentalisme sungsang pertama kali digunakan oleh shadiq jalal al Adzan dalam bukunya Al Istisyraq Wa al Istighrab al Ma’kus), lihat catatan kaki no. 17, dalam A. Lutfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 131.
[11] Pengenalan barat terhadap Islam mulai terutama di masa perang salib pertama (1096-1099 M). akibat perang salib masyarakat Barat, khususnya intelektual mulai menaruh perhatian terhadap Islam. Tetapi akibat perang salib itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam. Lihat Dr. Muh. Natsir, op.cit., hal. 17.
[12] Ibid., hal. 18.
[13] A. Luthfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 119-192
[14] Tk. H. Ismail Jakub, op.cit., hal. 21-26
[15] A. Luthfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 120
[16] Dr. Amin Abdullaj, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 212.
[17] Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal. 229.
[18] A. Luthfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 124.
[19] Prof. Dr. Azyumardi Azra, op.cit., hal. 230.
[20] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., op.cit., hal. 236-237.
[21] Prof. Dr. Azyumardi Azra, Op.cit., hal. 236-237.
[22] Waryono Abdul Ghafur, Kritik Seyyed Hossein Nasr Atas Modernisasi dan tawaran Neo-Sufisme, Jurnal Studi Islam, Profetika, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, vol. I, No. 2 Juli 1999, hal. 272.
[23] Komaruddin Hidayat, op.cit., hal. XV
[24] Mona Abaza, Studi Islamika, hal. 214.