Tuesday 24 April 2012

Ahlussunnah Wal Jama'ah


AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.
(PKD PMII, Loram, 28 Mei 2010)

Ahlussunnah Wal Jama'ah, disingkat Aswaja, sering dinamakan pula dengan Sunni. Terminologi ini, sesungguhnya sederhana, singkat dan sudah tidak asing lagi di telinga kita bahwa diakui atau tidak masih banyak mengundang persepsi.
Sebagian memahami Aswaja identik dengan "Islam". Sebagian yang lain melihat Aswaja hanya sebagai "madzhab". Ada pula yang yang mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum muslimin yang mengamalkan aktifitas tertentu, seperti tahlilan, selamatan, berjanjenan (Maulud Nabi Muhammad SAW), baca doa qunut, dan sebagainya.
Bagaimanakah kita memahami Aswaja yang relevan? Apakah kita juga memahami Aswaja seperti salah satu pemahaman di atas? Bagaimana dengan Aswaja dalam NU? Dan masih banyak lagi pertanyaan mengenai Aswaja.
Pengertian Aswaja
Terminologi Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) secara baku belum dijumpai dalam referensi lama (maraji' awwaliyyah). Bahkan pada masa  al Asy'ari yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pendiri Madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah, belum juga ditemukan istilah tersebut.
Pengenalan istilah tersebut sebagai suatu aliran dalam Islam baru nampak pada ashab al Asy'ary atau sering disebut Asy'ariyyah (sunni)
Defisini Aswaja sering diungkapkan adalah "maa ana 'alaihi wa ashhaabi" (terjemah bebasnya : jalan yang kami tempuh). Tentu ini bukanlah definisi, karena cakupannya bisa diklaim oleh madzhab dan aliran Islam yang ada di dunia.
Namun, secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa Aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, keseimbangan dan toleran.
Definisi ini mungkin berlainan dengan definisi yang selama ini berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, reorientasi terhadap konsep Aswaja perlu dikaji kembali dengan tidak mengesampingkan sumbangan pemikiran dari ulama-ulama terdahulu
Aswaja dalam NU
Paham Aswaja yang dikembangkan NU secara umum bepangkal pada tiga pandangan pokok, yaitu mengikuti al Asy'ari dan al Maturidi dalam bertauhid (teologi), menganut salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) dalam fiqh, dan mengikuti faham al Junaidi dan al Ghazali dalam tasawwuf. Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok tersebut, NU mengantisipasi perubahan zaman, terutama bidang hukum dan politik, disamping menggunakan empat sumber hukum Islam (al Quran, Hadits, Ijma' dan Qiyas), juga mengacu pada lima pokok tujuan syari'ah, sebagaimana dikemukakan oleh imam asy Syatibi, yaitu melindungi agama, jiwa, keturunan atau kehormatan, harta dan akal sehat.
Lima pokok tujuan syari'ah tersebut masih ditopang lagi dengan kaidah-kaidah fiqh (argumen-argumen rasional, misalnya al umuuru bimaqaashidiha, al yaqiinu laa yuzaalu bisysyak, adldlaruru yuzaalu, al masyaqqah tajliibuttaisiir dan al 'aaddah al muhakkamah.
Dari kelima kaidah tersebu, kemudian lahir kaidah-kaidah fiqh lainnya sebagai cabang-cabangnya, misalnya dar ul mafaasid muqaddamun 'alaa jalbil mashaalih, al muhaafadlatu 'alal qadiimishshalih wa al akhdzu bil jadiidil ashlah, dan lain-lain.
Dengan berpijak pada kaidah tesbut, dalam aspek sosial kemasyarakatan, NU mencoba mengembagkan sikap-sikap sebagai berikut, yakni tawassuth (moderat/bersikap tengah), tasammuh (toleran), tawazzun (seimbang), dan amar ma;ruf nahi munkar (mendorong berbuat baik dan mencegah berbuat munkar).
Bagaimana dengan PMII?
Betapapun PMII mandiri/independen (sejak deklarasi Murnajati), ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jama'ah yang merupakan ciri khas NU.
Ini berarti secara kultural-ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan, walaupaun secara organisatoris, PMII independen. Ahlussunnah wal Jama'ah merupakan "benang merah" antara PMII dengan NU. Keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan. Hal ini pula dapat kita pahamai bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah Aswaja) PMII lah membedakan diri dengan organisasi lain.
Formulasi Baru Aswaja : Aswaja seabagai Madzhab Berfikir
Formulasi baru Aswaja, format atau coraknya bebeda dengan rumusan deinitif Aswaja yang difahami selama ini dalam konteks fiqh. Pergeseran pemahaman akan terlihat cukup tajam antara generasi tua dan generasi muda. Jika yang petama meletakkan fiqh sebagai kebenaran "ortodoksi", sedanghkan yang kedua menempakan fiqh sebagai paradigma "interpretasi sosial". Oleh karena iu, apabila kelompok yang pertama selalu menundukkan realitas kepada kebenaran fiqh, maka untuk kelompok kedua justru menggunakan fiqh sebagai counter discourse dalam belantara drama sosial yang tengah berlangsung.
Ada lima ciri yang menjonol dalam "paradigma berfiqh yang baru" petama, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru, Kedua, makna bermadzhab diubah dari bermadzhab scara tekstual (madzhab Qouli) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu'). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis teutama dalam masalah sosial budaya.
Dari kelima siri paradigma tersebut, ciri kedua (bermadzhab secara manhaji), merupakan paradigma paling fundamental dan strategis. Gus Dur, secara tegas penah mengugkapkan betapa pentingnya madzhab manhaji.
Dengan menggunakan madzhab manhaji jalan masuk untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam setting transformasi sosial, ekonomi, politik maupun budaya menjadi terbuka lebar.
Wallahu A'lam.......


                                                                       

0 comments :

Post a Comment