SMA NU AL MA'RUF KUDUS

Kokoh dan Elegan, Jl. AKBP R. Agil Kusumadya No. 2 Kudus, Jawa Tengah

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU (PKG)

Penyelenggara oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tanggal 14-17 dan 26-27 Desember 2012 di Hotel Muria Semarang Jawa Tengah.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

LAGI SANTAI SEJENAK DI "SOLO PARAGON Hotel and Residence"

Dalam Acara Workshop "Implementasi Pendidikan Karakter dan Antikorupsi" Di Solo Paragon (Hotel and Residence) Solo Jawa Tengah. Diselenggarakan oleh Dirjen Dikmen, Kemendikbud Republik Indonesia tanggal 16 - 19 Nopember 2012.

Wednesday 12 September 2012

Islam dan Politik 4






Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan

Nurcholish Madjid
Ketua Yayasan Paramadina

A. Mukadimah

Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.
Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam.
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.8

 

B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah

Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.
Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah
Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab "madinah" berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun), dengan makna dasar "patuh", sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk "agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut "agama" itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.9 Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,10 bahkan alam raya itu sendiri juga,11 yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.12 Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.13
Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab "din" itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta "agama". Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama" yang berarti. "tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan. ("Agama" dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).
Kembali ke perkataan "madinah" yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.
Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga "polisi"). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut "kota" (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti "kebudayaan", dan hadlarah menjadi berarti "peradaban", sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan "hidup berpindah-pindah" (nomadism) dan makna kebahasaan "(tingkat) permulaan" (bidayah, alis "primitif''). Karena itu "orang kota" disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan "orang kampung" disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum "badui" Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur'an mereka yang disebut al-A'rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.14 Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur'an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.15

 

C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban

Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.
Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.
Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab'i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,16 sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama.17 Itu sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.18 Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur'an digambarkan sebagai permusuhan kepadaAllah.19
Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,20 masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil "tanpa pandang bulu" banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.21 Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika "orang kecil" melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu "orang penting" maka dibiarkan berlalu.22
Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).23 Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.24 Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.

 

D. Islam dan Politik Modern

Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.
Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara "modernisme" dan "modernitas". Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai "kebijakan final" umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi "modernisme", sebagai "isme", mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.
Sedangkan "modernitas" adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa ("modern") Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa "modern" tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.
Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri.25 Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi.
Wa 'l-Lah-u a'lam.

 

Catatan kaki:

8 Misalnya, sebagaimana ditulis oleh Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
9 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:29.
10 Lihat Q., s. Alu' Imran/3:83.
11 Lihat Q., s. Fushshilat/41:11.
12 Lihat Q., s. Alu' Imran/3:84.
13 Lihat Q., s. Alu' Imran/3:85.
14 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:97.
15 Lihat Q., s. al-Hujurat/49:14.
16 Lihat Q., s. al-Baqarah/2:177.
17 Lihat Q., s. al-Nahl/16:91.
18 Lihat Q., s. al-'Alaq/96:6-7.
19 Prototipe tokoh tiran (thaghut) yang memusuhi Tuhan ialah Fir'awn, yang ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Qur'an.
20 Lihat Q., s. al-Nisa'/4:85.
21 Lihat Q., s. al-Nis'a'/4:135.
22 Hadits yang artinya: "Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong tangannya". (Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Nasa'i, Ahmad, dan Darimi).
23 Prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda-beda (non-Muslim) itu dibeberkan dalam deretan ayat-ayat suci Q., s. al-Ma'idah/5:42-49.
24 Penegasan yang amat menarik dari Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa tulisannya, antara lain, dapat dilihat dalam Ibn Taymiyah, al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Beirut: Mathabi' al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375). Lihat juga Ibn Taymiyah, al-Furqan bayn-a 'l-Haqq wa 'l-Bathil (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1405 H/1985 M), h. 67-69.
25 "... Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and completion of an old dialogue within Islam ... Thus in Islam, and only in Islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols." (Ernest Gellner, Muslim Society, [Cambridge: Cambridge University Press, 1981], h. 4).

Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Sunday 9 September 2012

Dialog Sunni dan Syi'ah 6 (Sunnah-Syi'ah di Indonesia Perspektif Ilmu Hadits)

(Lanjutan)
Sunnah-Syi'ah di Indonesia: Perspektif Ilmu Hadits
Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

Pendahuluan

Pada dekade terakhir ini, diskursus pemikiran Syi'ah kembali meramaikan kancah pergulatan pemikiran di Indonesia. Dalam banyak hal, ia merupakan bias logis angin perubahan (the wind of changes) yang ditiupkan oleh keberhasilan revolusi Islam Iran (RII) yang digerakkan oleh sekte Islam Syi'ah. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr. Richard N. Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, Seperti dikutip Jalaluddin Rahmat, berkomentar: Hubungan revolusi Islam (Syi'ah) di Iran dengan dunia ketiga, yakni bangsa-bangsa yang tidak memiliki kekayaan dan kekuatan di dunia, adalah sama seperti hubungan antara revolusi Perancis dengan bangsa-bangsa Eropa Barat... Revolsi Islam di Iran bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu titik-balik rakyat di seluruh negara-negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga 1.
Pada sisi lain, kekecewaan para intelektual dan politikus Islam Indonesia pasca Masyumi tampaknya menemukan obat penawarnya pada revolusi Islam Iran itu. Pergulatan politik di Indonesia yang merupakan Zero Sum games, satu pertaruhan yang kalau kalah akan kehilangan segala-galanya2, mendorong para politikus dan pemikir Islam untuk mencari kiblat proyeksi politik mereka. Di negara-negara Arab mereka tidak menemukan itu, kecuali sedikit pada Ikhwanul Muslimin yang mengalami nasib tak begitu jauh dengan mereka.
Revolusi Iran, dengan pemikir-pemikir yang mendukung di belakangnya, seperti Dr. Ali Syari'ati, sayyid M.H. Thabathaba'i dan Ayatullah Muthahhari, memberikan alternatif kepada mereka3. Maka tidak mengherankan jika kita dapati sebagian intelektual Indonesia dengan begitu pasih mengutip Ali Syari'ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi'ah lainnya. Jalaluddin Rahmat, dengan jelas menamakan yayasan yang didirikannya: yayasan Muthahhari, nama tokoh Syi'ah yang terkenal itu. Amin Rais juga pernah menerima gelar Syi'ah juga, karena seperti dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat ia sering memuji Revolusi Islam Iran, dan terutama sering mengutip Ali Syari'ati. Bahkan menurut Jalaluddin Rahmat, sebuah buku kecil pernah ditulis tentang "kesyiahan" Amien Rais itu 4.
Tradisi keilmuan yang subur di kalangan Syi'ah juga menambah daya tarik bagi banyak intelektual Indoneisa. Kajian pilsafat, misalnya, seperti dikatakan banyak orang, tidak pernah terputus di kalangan Syi'ah. Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia, merekapun tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari " Sejarah dan Masyarakat", Dawam rahadrdjo berkomentara: Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para kiai dan ulama di Indonesia menulis buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens5.
Tentang khazanah keilmuan Syi'ah, lebih lanjut Dawam Rahardjo berkomentar: Ketika berkunjung ke Iran bersama Dr. Taufik Abdullah, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam di Universitas Teheran dan perpustakaan Ayatullah Marashi Najafi di Qum6.
Kajian tentang Syi'ah di Indonesia, seperti dikatakan oleh Dr. Azyumardi Azra telah dilakukan oleh banyak ahli dan pengamat sejarah, seperti Hamka7, Baroroh Baried8, M. Yunus Jamil9 dan A. Hasymi10. Dua yang terakhir, seperti dikatakan Azyumardi Azra bahkan berargumen bahwa Syi'ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara., Keduanya mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi'ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak) yang, konon, didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid Mawlana Abd a-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi'ah, sebagai sultan Perlak 11.
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII), Surabaya seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa Syaikh 'Abd al-Rauf Al-Sinkli, salah seorang 'ulama' besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi'ah, bahkan hanya seorang saja dari walisongo di Jawa yang tidak Syi'ah. Juga Nadlatul 'Ulama (NU) --setidaknya secara kultural--juga adalah Syi'ah.
Walaupun, baik M.Yunus Jamil, A.Hasymi dan Sunyoto, seperti dikatakan Dr. Azyumardi Azra, memberikan argumennya tanpa referensi yang reliable dan memadai juga tanpa analisis dan logika yang bisa diterima 12 namun deskripsi mereka setidak menunjukkan satu hal: Bahwa Syi'ah, semenjak lama telah bersentuhan --setidaknya secara kultural-- dengan masyarakat Indonesia (Nusantara). Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi'ah yang cukup kuat di dalamnya, secara jelas diakui oleh Dr. Said Aqil Siraj Wakil Katib Syuriah PBNU. Atau dalam kata-katanya: " Harus diakui pengaruh Syi'ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau diba'i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya secara jelas berasal dari tradisi Syi'ah" 13. Maka, ketika diskursus Syi'ah kembali ramai di Indonesia, bisa saja itu sekadar hembusan kecil dari badai yang sedang mengganas. Sedang terjadi pemuatan nilai ideologis Syi'ah atas warisan kultural bangsa Indonesia yang berbau Syi'ah? Mungkin saja.
Saat ini, menurut keterangan Ahmad Barakbah --salah seorang alumni Qum Iran-- seperti ditulis redaksi jurnal Ulumul Qur'an, di Indonesia terdapat kurang-lebih 40 yayasan Syi'ah yang tersebar di sejumlah kota besar seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, Samarinda, Banjarmasin dan sebagainya 14. Jumlah masyarakat Syui'ah Indonesia sekarang ini, menurut ustaz Ahmad, yang benar-benar mengikuti ajaran Syi'ah secara totalitas, baik pemikiran maupun syari'at, sekitar dua puluh ribu orang 15.
Simpatisannya sudah barang tentu lebih banyak lagi. Tentunya kajian tentang Syi'ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademis dan menguak lebih jauh tentang sekte tersebut, namun juga ia mempunyai kepentingan ganda: untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah di masa depan. Dalam artikel ini, penulis akan membatasi diri pada visi hadist dalam wacana keilmuan Syi'ah.
Walaupun demikian, sebagai pengantar untuk mendekatkan pemahaman konsep hadits tersebut, penulis merasa perlu mengkaji definisi, akar historis dan sekte-sekte dalam Syi'ah. Sambil tidak lupa memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah di masa mendatang, terutama bagi masyarakat Indonesia.

Dialog Sunni Syi'ah 5 (Hubungan Sunnah-Syi'ah di Indinesia)

(Lanjutan)
Hubungan Sunnah-Syi'ah di Indonesia: Tauhid sebagai Common Platform
Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

Kembali ke dataran realitas di Indonesia. Masalah yang ada kemudian adalah bagaimana mencari formulasi yang tepat untuk dalam satu waktu mengambil apa yang baik dari Syi'ah --seperti tradisi filsafat dan keilmuan yang cukup subur-- dan pada saat yang sama mampu menghindari bias negatif konsep tersebut bagi kaum muslimin di Indonesia, dan secara lebih umum bagi umat Islam seluruh dunia. Formulasi itu, dalam skala dunia Islam, pernah dilakukan oleh Syaikh Muhammad Syaltut, Grand Syaikh al Azhar. Namun, dikemudian hari tampaknya, usaha tersebut mengalami kemacetan. Kita, dalam upaya pendekatan mazhab, bisa saja menggunakan fiqh ikhtilaf. Yakni dalam hal-hal yang sama kita saling bahu-membahu. Dan dalam hal-hal yang berseberangan kita saling memberikan toleransi. Menurut Prof. Dr. Hamid Algar --seorang muslim Inggris, dan mengajar studi Islam dan Persia di University of California-- selama ini, umat Islam telah begitu banyak memberikan toleransi ke luar, terhadap agama di luar mereka. Namun kurang memberikan toleransi ke dalam antara sesama pemeluk Islam 68. Namun, dalam kasus Syi'ah, kaum Ahlu Sunnah tentu akan amat-amat keberatan untuk bertoleransi terhadap pengecaman dan pengkafiran para sahabat. Dan dari pihak Syi'ah sendiri, seperti dikatakan oleh S.H. Hossein Nasr, dalam pengantarnya atas buku Muhammad Husain ath-Thabathaba'i, Shi'te Islam, bahwa Syi'ah juga sulit untuk bertoleransi jika toleransi itu berarti harus mengesampingkan apa yang selama ini mereka yakini 69. Namun, toh ada satu kesatuan yang kita miliki bersama, yaitu tauhid70. Maka tauhid inilah yang kita harapkan dapat menjadi common platform antara Sunnah dan Syi'ah. Sedangkan dalam bentuk-bentuk praktekal. kita bisa menerapkan fiqh muwâzanat dan fiqh awlawiyyat.
Wallahu a'lam.
Cairo, Juli 1997.

Catatan:

1 Seperti dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam: Islam Alternatif, Bandung, 1991, hal. 242.
2 Affan Gafar, Islam dan Negara, dalam majalah mingguan TEMPO, 10 Oktober 1992.
3 Oleh karena itu, ketika menulis buku yang berisikan kajian tentang Syi'ah, Jalaluddin Rahmat memberikan judul bukunya tersebut Islam Alternatif.
4 Lihat wawancara Jalaluddin Rahmat dengan redaksi jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, vol. VI, tahun 1995.
5 Dawam Rahardjo, dalam jurnal Ulumul Qur'an, no. 2, vol. V, th. 194.
6 Sca.
7 Beliau mengarang buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Jakarta 1974.
8 Dengan tulisannya Shi'a Elements in Malay Literature, dalam Sartono Kartodirdjo (ed) Profiles of Malay Culture Historiography Religion and Politics, Jakarta 1976.
9 Dengan bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, Banda Aceh, 1968. Dengan bukunya Syi'ah dan Sunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak Awal Sejarah islam di Kepulauan Nusantara, Surabaya, 1983.
10 Sca.
11 Dr. Azyumardi Azra, Syi'ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, Vol. VI, tahun 1995.
12 Dr. Said 'Aqil Siraj, Latar Belakang Kultural dan Politik Kelahiran ASWAJA, makalah disampaikan pada seminar yang diadakan opleh Forum Silaturahmi Da'i se-Jakarta, Sabtu, 11 Agustus 1995, di Tanjung Priok, hal. 18.
13 Lihat: Jurnal Ulumul Qur'an no.4, Vol.VI, tahun 1995, dalam artikel Lembaga-lembaga Syi'ah di Indonesia.
14 Sca.
15 Lihat: Allamah M.H. Thabathaba'i, Shi'te Islam, edisi bahasa Indonesia Islam Syi'ah Asal Usul dan Perkembangannya, Jakarta, 1989, hal.32. Dr. Muhammad Tijani as Samawie Asy-Syi'ah Hum Ahlu Sunnah, Beirut, 1993, hal. 17.
16 Asy-Syahrastani, Milal wa Nihal, Beirut, 1992, Vol.I, hal.144. Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, 1993, hal.155. Dr. Muhammad 'Imarah, Tayyarat Fikri al Islami, Kairo, 1991, hal.199.
17 Dr. Muhammad 'Imarah, Tayyarat Fikri al Islami, Sca.
18 Dr. Nasy'at Abdul Jawwad Dlaif, Al Manhaj al Jadid fi Syarh Jauharat Tauhid, Universitas al Azhar, tt, hal.93.
19 Scn. 16, hal. 37.
20 Dalam bukunya Asy-Syi'ah fi al Mizan, Beirut, 1989, hal. 24.
21 Dalam Ashlu Syi'ah wa Ushuluha, Beirut, 199, hal. 116.
22 Sca.
23 Scn. 17, hal. 200
24 Scn. 18, hal.94
25 Lihat catatan yang diberikan Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid pada kitab Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf al Mushallin, karya Imam Abu al Hasan al Asy'ari, Beirut, 1990, Vol. I, hal. 65.
26 Sca. hal.66
27 Lihat dalam 'Abbas 'Ali al Musawie, Syubhat Haula Syi'ah, Beirut, 1991, hal.12
28 Tentang ini, dapat dibaca pada Musthafa Syak'ah, Islam Bila Mazahib, Kairo, 1994, hal. 208, dan Abdullah bin Sa'id al Junaid dalam buku Hiwar Hadi Baina Sunnah wa Syi'ah, Dar al Manarah, tt. hal.12.
29 Antara lain oleh Muhammad Jawad al Mughniyyah, Scn. 20 hal. 314, Assayyid Muhammad 'Ali al Hasany, Dirasat fi 'Aqaid Syi'ah al Imamiyyah, Beirut, 1989, hal.20, Abbas 'Ali al Musawie, Syubhat Haula Syi'ah, scn. 27, hal.35, Imam al Khu'i al Bayan fi Tafisr al Quran, Beirut, 1974, hal. 200-220, dll.
30 Riwayat tentang tahrif al Qur'an, terdapat dalam kitab hadist al Kafie yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad Ibn Ya'qub al Kulayni al Razie (w.329/941). Kitab ini menurut Abul Husain al Musawie dalam kitab al Muraja'at adalah kitab Syi'ah yang paling bagus, tak meragukan dan paling otentik. Diriwayatkan bahwa ketika kitab al Kafie tersebut disodorkan kepada al Mahdi, dia berkomentar Haza Kafin li Syi'atina-kitab ini mencukupi bagi syi' ah kita, maka tentu saja apa yang tertulis di dalamnya dapat dijadikan ukuran untuk menentukan dan menilai apa dan bagaimana sikap Syi'ah terhadap banyak hal.
31 Lihat: Al Kulayni, al Kafie, kitab al Hujjah, 1:414. M.H. Thabathaba'i, al Mizan fi Tafsir al Qur'an, Beirut, 1991, Vol.4, hal. 72-73.
32 Tentang motivasi dan sejarah timbul sekte-sekte dalam Syi'ah, dapat dibaca dalam al Hasan bin Musa an-Naubakhti, Firaq asy-Syi'ah, Beirut, 1984, Syahrastani, Milal wa Nihal, Scn. 16, hal. 144-219, Dr, Mushthafa asy-Syak' ah, Islam Bila Mazahib, Scn. 28, hal.175-369.
33 Imam Abi Hasan al Asy'ari, Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf al Mushallin, Beirut, 1990, Vol.I, hal. 65.
34 Sca. hal.66
35 Sca. hal.66-88.
36 Sca. Hal.88-89
37 Sca. hal.88-105.
38 Menurut al Mas'udi dalam kitab Muruj al Dzahab, beberapa pengarang kitab tentang doktrin, ideologi dan agama seperti Muhammad bin harun al Warraq dan lain-lain mengatakan bahwa pada masa mereka terdapat sebanyak 8 sekte dalam Zaidiyyah.
39 Scn. 34, hal.140-145.
40 M.H. Al Kasyif al Githa, Ashlu Syi'ah wa Ushuluha, Scn. 21, hal. 136.
41 Tentang kisah pembelotannya tersebut dapat dibaca dalam bukunya Tsumma Ihtadaitu, London, 1989.
42 Lihat: Dr. Muhammad Tijani as-Samawie, asy-Syi'ah Hum Ahlu Sunnnah, Beirut, 1993.
43 Lihat: Muhammad Mahfuz bin Abdullah At-Tarmasy, Manhaj Dzawi Nadhar Syarh Mandzumat al 'Ilmi al Atsar, Beirut, 1981, hal.8. Muhammad Jamaluddin al Qasimi, Qawa'idu al Hadist min Funun Mushthalah Hadist, Beirut, tt. hal.61.
44 Muhammad Ajjaj al Khatib, as-Sunnah Qabla Tadwin, Beirut, 1981, hal. 16, Manna' al Qatht-than, Mabahits fi Ulum al Hadist, Kairo, 1992, hal. 15.
45 Lihat: Muhammad 'Ali al Hasan, Dirasat fi 'Aqa'id Syi'ah al Imamiah, Beirut, 1989, hal. 360. Juga M. Husein Thabathaba'i, Shi'te Islam, edisi bahasa Indonesia, Islam Syi'ah, scn. 16, hal. 113.
46 M.H. Husein al Kasyif Githa, Scn. 21, hal.145.
47 Scn. 45, hal. 360-363.
48 M.Husein Thabathaba'i, Scn. 16, hal. 113, Juga Muhammad Jawwad al Mughniyyah, Asy-Syi'ah fi al Mizan, hal. 318.
49 Lihat: Muhyiddin al Musawie al Guhraify, Qawa'id al Hadist, Beirut, 1986, hal. 24 dan Asy-Syi'ah fi al Mizan, hal. 318.
50 Qawa'idul Hadist, Sca., hal. 27, Asyi'ah fi al Mizan, hal. 319
51 Qawa'idul Hadist, sca. hal. 27-30.
52 Lihat: Asy-Syi'ah fi al Mizan, hal. 319.
53 Lihat: As-Sunnah baina Anshariha wa Khushumiha, risalah doktoral fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar, Vol II, hal. 488.
54 As-Sunnah Baina Anshariha wa Khushumiha, sca. hal. 389, Asyi'ah fi al Mizan, hal. 317.
55 Sca.
56 Sca.
57 Scn. 53, hal. 489.
58 Sca.
59 Lihat: Asyi'ah fi al Mizan, hal.318.
60 Scn. 57.
61 Sca.
62 Lihat: At-Tarmasy, scn. 44 hal. 214.
63 Dr. Faruq Hammadah, al Manhaj al Islami fi al Jarh wa Ta'dil, Rabat, 1982, hal. 185-186.
64 Untuk studi lebih lanjut tentang ini, silakan baca: Muhammad bin Abdul Wahid Dliauddin al Maqdisi, Kitab An-Nahyu 'An Sabbi Ashhab, Kairo, 1994.
65 Lihat: An-Naubakhti, scn. 33, hal. 22.
66 Lihat: Murtadla al 'Askari, Ma'alim Madrasatain, Vol.I, Beirut, 1993, hal. 130-188. Juga Syubhat Haula Syi'ah, Scn. 27 hal. 103 dst..
67 Syubhat Haula Syi'ah, sca. hal. 129-182.
68 Lihat: Majalah Ummat, no. 5 th. I/4
69 Lihat pengantar S.H. Nasr atas buku M.H. Thabathaba'i, Shi'te Islam.
70 Penulis artikel ini menawarkan tauhid, tidak aqidah, sebagai common platform, karena dalam salah satu konsep aqidah Syi'ah terdapat point yang amat sensitif. Yaitu konsep imamah. Dengan konsep ini, orang-orang yang tidak mengakui dan mengimani ke-imamah-an sebagaimana dipahami kaum Syi'ah akan secara otomatis tidak lengkap aqidahnya. Konsekuensinya adalah: sebagian besar umat Islam di dunia ini, yang tidak mempercayai konsep ini, secara otomatis berada di luar main stream Islam [Syi'ah]. Dengan demikian, konsep yang bisa diterima oleh kedua pihak sebagai common platform yang sejuk, menurut hemat penulis adalah konsep tauhid tersebut.

Dialog Sunni dan Syi'ah 4 (Konsep Hadits dalam Wacana Keilmuan Syi'ah)

(Lanjutan)
Konsep Hadist dalam Wacana Keilmuan Syi'ah 
Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

Diskursus hadits dalam wacana keilmuan Syi'ah telah mempunyai akar yang panjang dan dilakukan dengan cukup intens. Perhatian mereka terhadap hadist/sunnah, menurut sebagian orang, membuat mereka berhak pula untuk menyandang gelar Ahlu Sunnah wa Syi'ah --namun bukan wa al Jama'ah.
Dr. Muhammad At-Tîjâni as-Samâwie --seorang Sunni yang kemudian membelot ke Syi'ah42, ketika melakukan kajian komparatif antara Sunnah dan Syi'ah, memberikan judul bukunya tersebut: Asy-Syî'ah Hum Ahlu Sunnah43. Namun demikian, dalam beberapa hal, metodologi hadist Syi'ah amat berlainan dengan metodologi Ahlu Sunnah. Kajian tentang metodologi hadist dalam Syi'ah Imamiah telah menjadi objek sebuah risalah doktoral di fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar. Pada penghujung tahun 1996, risalah tersebut telah diuji dan dinyatkan lulus.

a. Term Hadist

Hadist/Sunnah, secara terminologis, menurut ulama ilmu hadist Ahlu Sunnah Wa al Jama'ah adalah: Seluruh hal yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik maupun akhlak dan sirah beliau 44. Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi'ah, perkataan imam-imam Syi'ah (yang ma'shum, menurut kaum Syi'ah) juga bersatus seperti hadist dan diterima seperti Alquran 45.
Hal itu karena, menurut M.H. Al Kâsyif al Githa, imam atau imamah adalah kedudukan Ilahiah yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya, sesuai dengan ilmu Allah, seperti Allah memilih para nabi. Menurut kaum Syi'ah pula, Allah telah memerintahkan Nabi Saw. untuk menunjukkan imam kepada umat dan memerintahkan mereka untuk mengikutinya 46.
Substansi khabar, hadist dan riwayat-riwayat tersebut, menurut kaum Syi'ah terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: Khabar dan riwayat yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara pengobatan penyakit hati. Dengan muatan berisi pertakut, ancaman, dan dorongan. Atau yang berkaitan dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan. Juga manfaat buah-buahan, tetumbuhan, pepohonan, air dan batu mulia. Atau yang mengandung do'a, zikir, jampai dan keutamaan ayat-ayat. Serta semua hal yang disunnahkan, baik dalam pembicaraan, perbuatan, maupun sikap. Itu semua, menurut kaum Syi'ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan tidak perlu mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan kepalsuannya.
Kedua: Yang mengandung hukum syara' parsial, taklifi atau wadl'i. Seperti thaharah, berwudlu, cara shalat, zakat, khumus, jihad dan semua bagian mu' amalat, transaksi yang diperbolehkan. Juga tentang nikah, thalaq, warisan, hudud dan diyat. Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung dijalankan. Namun diberikan kepada faqih yang mujtahid untuk menterjemahkannya . Sedangkan orang awam harus mengikuti mujtahid marji'.
Ketiga: Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan al Khaliq Swt., juga tentang hasyr, barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan lain-lain. Khabar dan riwayat seperti ini, jika berkaitan dengan aqidah dan pokok agama -seperti tauhid, 'adl, nubuwwah, imâmah dan ma'ad, jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil 'aqli, urgensi, dan tanda-tanda yang qath'i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad, keshahihan dan ketidak shahihannya 47.

b. Metoda Klasifikasi Hadist

Hadist, menurut Syi'ah terbagi menjadi dua bagian, mutawattir dan ahad. Hadist mutawattir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sebuah jama'ah yang mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah. Hadist seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal. Sedangkan hadist ahad adalah hadist yang tidak mencapai derajat tawatur, rawie yang diriwayatkannya satu atau lebih 48. Kemudian, hadist ahad diklasifikasikan menjadi empat bagian 49.

1. Shahih

Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi'ah Imamiah yang telah diakui ke-adalah-annya dan dengan jalan yang shahih.

2. Hasan

Yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi'ah Imamiah yang terpuji, tidak ada seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas mengakui ke-adalah-annya.

3. Muwats-tsaq

Yaitu jika rawie yang meriwayatkannya adalah bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan.

4. Dla'if

Yaitu hadist yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadist di atas, seperti misalnya sang rawie tidak menyebutkan seluruh rawie yang meriwayatkan hadist kepadanya. Hadist shahih adalah hujjah menurut kesepakatan seluruh ulama Syi'ah yang mengatakan bahwa khabar ahad adalah hujjah 50. Sedangkan hadist muwats-tsaq dan hasan, menurut pendapat yang masyhur keduanya adalah hujjah, sedangkan menurut pendapat kedua mengatakan bahwa keduanya tidak dapat dijadikan hujjah. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa keduanya dapat dijadikan hujjah 51. Adapun hadist dla'if, menurut kesepakatan seluruh ulama Syi'ah tidak dapat dijadikan hujjah 52.

c. Kitab-kitab Hadist

Dalam kalangan Syi'ah, kitab-kitab hadist yang dijadikan pedoman utama -dan berfungsi seperti kutub sittah dalam kalangan sunni- ada sebanyak 4 buah kitab.
  1. Kitab al Kâfi. Disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub al Kulayni (w.328 H.). Kitab tersebut disusun dalam 20 tahun, menampung sebanyak 16.090 hadist. Di dalamnya sang penyusun menyebutkan sanadnya hingga al ma'shum. Dalam kitab hadist tersebut terdapat hadist shahih, hasan, muwats-tsaq dan dla'if 53.
  2. Kitab Ma La Yahdluruhu al Faqih. Disusun oleh ash-Shadduq Abi Ja'far Muhammad bin 'Ali bin Babawaih al Qummi (w.381 H.). Kitab ini merangkum 9.044 hadist dalam masalah hukum 54.
  3. Kitab at-Tahzib. Kitab ini disusun oleh Syaikh Muhammad bin al Hasan ath-Thusi (w.460 H.). Penyusun, dalam penulisan kitab ini mengikuti metode al Kulayni. Penyusun juga menyebutkan dalam setiap sanad sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab ini merangkum sebanyak 13.095 hadist 55.
  4. Kitab al Istibshar. Kitab ini juga disusun oleh Muhammad bin Hasan al Thusi. Penysusun kitab at-Tahzib. Kitab ini merangkum sebanyak 5.511 hadist 56.
Di bawah derajat ke empat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami' yang besar. Antara lain 57:
  1. Kitab Bihârul Anwâr. Disusun oleh Baqir al Majlisi. Terdiri dalam 26 jilid.
  2. Kitab al Wafie fi 'Ilmi al Hadist. Disusun oleh Muhsin al Kasyani. Terdiri dalam 14 juz. Ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadist.
  3. Kitab Tafshil Wasail Syi'ah Ila Tahsil Ahadist Syari'ah. Disusun oleh al Hus asy-Syâmi' al 'Amili. Disusun berdasarkan urutan tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami' Kabir yang dinamakan Asy-Syifa' fi Ahadist al Mushthafa. Susunan Muhammad Ridla at-Tabrizi.
  4. Kitab Jami' al Ahkam. Disusun oleh Muhammad ar-Ridla ats-Tsairi al Kâdzimi (w.1242 H). Terdiri dalam 25 jilid. Dan terdapat pula kitab-kitab lainnya yang mempunyai derajat di bawah kitab-kitab yang disebutkan di atas. Kitab-kitab tersebut antara lain: Kitab at-Tauhid, kitab 'Uyun Akhbâr Ridla dan kitab al 'Amali.
Kaum Syi'ah, juga mengarang kitab-kitab tentang rijal periwayat hadist. Di antara kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak antara lain: Kitab ar-Rijal, karya Ahmad bin 'Ali an-Najasyi (w.450 H.), Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kita Ma'alim 'Ulama karya Muhammad bin 'Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), kitab Minhâj al Maqâl karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al Maqal karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al Kabir karya Syaikh Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan kitab lainnya 59.
Satu yang perlu dicatat: Mayoritas hadist Syi'ah merupakan kumpulan periwayatan dari Abi Abdillah Ja'far ash-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa ataupun kalangan khawas, telah meriwayatkan hadist dari beliau. Oleh karena itu, Imamiah dinamakan pula sebagai Ja' fariyyah 60. Mereka berkata bahwa apa yang diriwayatkan dari masa 'Ali k.w. hingga masa Abi Muhammad al Hasan al 'Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah dalam hadist 61.

d. 'Adalah Shahabat

Shahabat Rasulullah Saw. adalah: Orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw. dengan cara biasa dalam masa hidup beliau dan saat itu orang tersebut telah masuk Islam dan beriman 62. Dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah, seluruh sahabat adalah 'udul. Oleh karena itu, ketika menjalankan proses jarh wa ta' dil dalam ilmu hadist untuk menentukan apakah riwayat seseorang diterima atau tidak, Ahlu Sunnah akan berhenti sampai pada tabi'in (perawie setelah sahabat). Dan mereka tidak memasuki kawasan sahabat, karena meyakini bahwa sahabat adalah 'udul dengan pengakuan dari Allah SWT Sehingga tidak perlu dilakukan analisa jarh wa ta'dil 63.
Sikap mereka tersebut berdasarkan pernyataan ayat Al Quran yang mendeklarasikan ke adalahan sahabat. Ayat-ayat itu antara lain terdapat pada QS. At-Taubah:117 .
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar".
Juga QS. At-Taubah: 100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah". Dan Rasulullah Saw. dalam banyak kesempatan telah berwanti-wanti agar tidak mengusik kehormatan dan kedudukan sahabat, mengingat kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda: "Jangan kalian kecam sahabat-shabatku" (Hadist Muttafaq 'Alaih). Menurut riwayat yang sahih, imam-imam Syi'ah juga melarang untuk mengecam, sahabat Rasulullah Saw. 64. Karena Seperti dikatakan oleh An-Naubakhti dalam kitab Firaq Syi'ah 65, fenomena pengecaman terhadap sahabat justru dimulai oleh Abdullah bin Saba'; seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan kemudian menyebarkan perpecahan dalam Islam. Ia pula yang pertama menuhankan Ali k.w. Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi'ah, tidak semua sahabat, menurut Syi'ah, bersipat 'udul 65. Karena di dalam Al Quran juga diterangkan tentang keberadaan orang-orang munafiq di Madinah, seperti dalam QS. At-Taubah:101, dsb. Maka jalan untuk mengetahui mu'min dan munafiknya seseorang, menurut Syi'ah, adalah dengan melihat apakah orang-orang tersebut cinta kepada 'Ali k.w atau nmembencinya. Jika ia mencintainya, maka ia adalah mu'min, dan jika membencinya berarti ia adalah munafiq.
Dari logika seperti itu, maka sahabat-sahabat yang mereka anggap telah merampas hak 'Ali k.w. atau tidak mendukungnya adalah munafik atau kafir. Dalam kitab-kitab kaum Syi'ah akan didapati banyak cercaan kepada sahabat yang mereka anggap telah munafik, sesat atau malah kafir.
Dalam buku Syubhat Haula Syi'ah, 'Abbas 'Ali al Musawie membagi sahabat menjadi dua kelompok. Pertama kelompok yang setia dan kedua kelompok yang mereka anggap telah sesat 67.
Yang pertama adalah sahabat-sahabat seperti 'Ammar bin Yasir, Miqdad dan Abu Dzar al Ghifari.
Sedangkan kelompok yang kedua, menurutnya lagi adalah seperti Mu'awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Hurairah dan Al Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith.
Dalam buku-buku kaum Syi'ah akan banyak didapati cercaan terhadap sahabat. Dan cercaan tersebut tidak hanya terbatas pada shigar sahabat, namun juga menimpa dua Syaikhain: Abu Bakar dan 'Umar Ra. Yang dapat disebutkan di sini adalah, bahwa dengan sikap Syi'ah terhadap sahabat seperti itu, maka kaum Syi'ah dalam periwayatan hadist, hanya menerima periwayatan dari sahabat-sahabat yang loyal kepada mereka.
Namun, jika klaim mereka tersebut diterima, maka secara implisit hal itu akan mempunyai dampak yang luas. Misalnya: Bahwa Rasulullah Saw telah gagal dalam menyampaikan risalahnya, karena mayoritas sahabat yang beliau didik dan bina telah menyimpang, bahwa kekhalifahan dan dinast-dinasti Islam, serta capaian peradaban yang telah mereka wujudkan adalah bukan hasil peradaban Islam, karena dilakukan oleh orang-orang yang --menurut kaum Syi'ah-- telah menyimpang (munafik atau kafir). Dan konsekuens-konseksuensi logis lainnya.

Dialog Sunni dan Syi'ah 3 (Sekte-Sekte Dalam Syi'ah)

(Lanjutan)
Sekte-sekte Dalam Syi'ah
 Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

Secara global, sekte-sekte dalam mazhab Syi'ah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga varian 34.

Pertama: Kelompok ekstreem/ghulat

Menurut Imam Abu al Hasan al 'Asy'ari, mereka adalah kelompok yang telah menyebal dari kelaziman konsep Syi'ah35. Sehingga mereka meyakini hal-hal yang membawa kepada kekafiran. Mereka antara lain menuhankan 'Ali k.w, menuhankan salah seorang pemimpin mereka, mendakwakan diri sebagai nabi dan lain sebagainya. Dalam kategori kelompok ekstreem ini, menurut Abu al Hasan al Asy'ari terdapat sebanyak 15 sekte. Yaitu: al Bayâniyyah, al Janâhiyyah, al Harbiyyah, al Mughîriyyah, al Manshuriyah, al Khithâbiyyah, al Ma'mâriyyah, al Buzaighiyyah, al 'Umairiyyah, al Mufadl-dlaliyyah, asy Syarî 'iyyah, an Numairiyyah, as Sabaiyyah, dan tiga sekte lainnya yang menuhankan Nabi, 'Ali dan keturunannya 36.

Kedua: Kelompok Imammiyyah

Mereka juga dinamakan sebagai rafîdlah (penolak), karena menurut Abu Hasan al Asy'ari mereka menolak dan mengingkari kepemimpinan Abu Bakar dan 'Umar. Dalam kelompok ini terdapat 24 sekte. Mereka sepakat bahwa Nabi Saw. telah menggariskan bahwa 'Ali k.w.-lah pemangku kekhalifahan setelah beliau, dengan menyebut namanya secara jelas dan telah mendeklarasikannya kepada umat. Mereka juga berpendapat bahwa mayoritas sahabat Rasulullah Saw. telah sesat karena tidak mengikuti 'Ali Kw. setelah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka juga berpendapat bahwa imamah hanya dapat diterima jika telah digariskan oleh nash dan imamah tersebut merupakan hak khusus keturunan Rasulullah Saw37. Ke-24 sekte tersebut adalah: al Qath'iyyah, al Kaisaniyyah, al Karbiyyah, ar Rawandiyyah, ar Razâmiyyah, Abu Muslimiyyah,al Harbiyyah, al Bayâniyyah, al Mughîriyyah, al Husainiyyah, al Muhammadiyyah, an Nasâwiyyah, al Qarâmithah, al Mubârakiyyah, as Samîthiyyah, al 'Ammâriyyah (al Futhiyyah), az Zarâiyyah, al Waqîfah, al Musâiyyah, dan beberapa sekte lainnya yang masing-masing mempunyai doktrin yang berbeda 38.

Ketiga: Kelompok Zaidiyyah

Dalam kelompok ini terdapat 6 sekte 39, yaitu al Jarudiyyah, as-Sulaimaniyyah, al Batriyyah, an Nu'aimiyyah, al Ya'qubiyyah dan satu firqah yang berlepas diri dari Abu Bakar r.a. dan 'Umar r.a. 40. M.H. Al Kasyif al Githa, dalam kitab Ahlu 'sy-Syî'ah wa Ushûluha, bahkan mengatakan bahwa jika term Syi'ah diperluas bagi semua sekte yang mengaku sebagai Syi'ah, maka barangkali akan ada seratus atau lebih sekte dalam Syi' ah. Namun menurutnya lagi, saat ini, terma Syi'ah hanya khusus bagi Imamiyyah sebagai sekte terbesar setelah Ahlussunnah wa al Jamâ'ah 41. Tentang sekte-sekte di dalam Syi'ah tersebut, sengaja penulis singgung di sini, untuk menunjukkan bahwa betapa untuk memformulasikan suatu konsep hubungan Sunnah-Syi'ah, kita akan mengalami kesulitan. Karena masing-masing sekte dalam Syi'ah tersebut mempunyai doktrin yang berbeda, maka sikap dan penilaian terhadap masing-masing tersebutpun akan berbeda pula. Namun, dengan pengkhususan nama Syi'ah bagi Imamiah oleh M.H. Al Kasyif al Githa, penentuan sikap terhadap Syi'ah akan lebih mudah dilakukan. Dan penulis artikel inipun akan membatasi kajian hadist pada sekte Syi'ah Imamiyyah. Namun, patut dicatat pula, bahwa pengkhususan yang dilakukan M.H. Al Kasyif al Githa tersebut amat arbitrer, karena secara implisit ia telah mencampakkan semua sekte-sekte lain yang bernaung di bawah bendera Syi'ah selain Imamiyyah. Seperti Zaidiah dan sebagainya. Sikap monopolis tersebut tentu akan ditentang oleh tokoh-tokoh Syi'ah non-Imamiah. Ironisnya, klaim Syi'ah sebagai mazhab Ahlul Bait, saat ini amat patut dipertanyakan. Karena pada kenyataannya -seperti dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam pengantarnya terhadap buku Shi'te Islam, karya M.H.Thabathaba'i- mayoritas Ahlul Bait saat ini justru bermazhabkan Sunni. Beberapa ulama dari Ahlul Bait, seperti Sayyid Muhammad bin Alawy al Hasany di Mekkah misalnya, menjadi ulama-ulama sunni yang disegani, dan mereka dengan bersemangat mengcounter dan mengungkapkan kerancuan mazhab Syi'ah itu.

Dialog Sunni dan Syi'ah 2 (Sekilas Tentang Syi'ah)

(Lanjutan)
Definisi dan Akar Historis
Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

Terma "Syi'ah", secara etimologis berarti pengikut dan pendukung. Di dalam Al Quran, akar kata Syi'ah: syai' atau syuyu' dan derivasinya (penulis juga memasukkan kata jadian yang dihasilkan oleh proses Isytiqaq akbar a la Ibn Ginni) terulang sebanyak 13 kali. Namun dari ke 13 penggunaan kata tersebut, hanya ada satu kata yang digunakan dalam konteks kebaikan, yaitu QS. Ash-Shaffat:83, yang menceritakan keluarga nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati bersih. Sedangkan 12 kata lainnya digunakan antara lain untuk mengungkapkan kelompok yang durhaka kepada Allah (QS.19:69), dalam permusuhan dan perkelahian (QS. 28:15), perpecahan (QS. 6:65), pemecah belah agama (QS. 6:159), kelompok Fir'aun (QS. 28:4), kelompok yang dihancurkan (QS. 54:51), penyebar keburukan (QS. 24:19) dan seterusnya.
Secara terminologis, Syi'ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini 'Ali KW dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait 16.
Dr. Muhammad 'Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi'ah. Seseorang baru bisa dikatakan Syi'ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali KW. (23SH-40H/600M-661M) telah ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah Saw. dengan nash dan washiat 17.
Tentang awal kemunculan Syi'ah dalam pentas sejarah dunia Islam, para penulis dan sejarawan terbagi dalam dua varian:
Varian pertama: Berpendapat bahwa tasyayyu'/syi'ah adalah mazhab pertama yang tumbuh dalam Islam, dan telah muncul pada masa Rasulullah Saw., dan nama Syi'ah adalah nama sekte pertama yang timbul dalam Islam. Sahabat-sahabat yang digolongkan Syi'ah adalah: Abu Dzar al Ghifari r.a., Salman Al Farisi r.a, Miqdad bin Aswad, dan 'Ammar bin Yasir RA. Pendapat seperti itu tampak pada M.H. Thabathaba'i 19, Muhammah Jawwad al Mughniyah 20, M.H. Al Kasyif al Ghitha 21 dan ulama-ulama Syi'ah lainnya. M.H. Kasyif al Ghitha malah mengatakan bahwa adalah Rasulullah Saw. sendiri yang telah menanamkan akar Syi'ah 22.
Varian kedua: Berpendapat bahwa jika yang dimaksud adalah Syi'ah dalam pengertian terminologis, maka ia baru timbul pasca kepemimpinan 'Ali KW. dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pendapat ini tampak pada penulis-penulis non-Syi'ah. Terutama Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Syi'ah yang dikenal sekarang ini baru timbul pada masa Imam Ja'far Shadiq (80-148H/599M-765M) 23. Melihat data-data yang ada, kedua pendapat di atas dapat digabungkan menjadi satu kesimpulan: Bahwa jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sekadar fenomena keinginan sebagian orang untuk mengangkat 'Ali KW. sebagai khalifah, maka betul ia adalah mazhab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam dan telah tumbuh pada masa akhir hidup Rasulullah Saw. dan awal kekhalifahan Abu Bakar RA. Namun, jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sebuah mazhab besar dengan segala teori, pendapat dan perjalanan historisnya, maka ia baru timbul pada penghujung masa 'Utsman RA, dan awal masa 'Ali KW24.
Dalam masa hidup Ali KW, menurut Abu Nasywan al Himyary 25, Syi'ah yang mendukung 'Ali KW dalam perang Jamal dan Shiffin dapat diklasifikasikan dalam tiga varian kecenderungan.
Pertama: Adalah kecenderungan mayoritas Syi'ah saat itu, adalah kelompok yang mengakui kekhalifahan Abu bakar RA dan 'Umar RA. Mereka juga mengakui kekhalifahan 'Utsman RA hingga pada masa di mana 'Utsman RA telah melakukan perubahan dan melakukan hal-hal yang mereka anggap telah menyimpang.
Kedua: Kelompok yang lebih kecil dari kelompok pertama. Mereka berpendapat bahwa runtutan kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar RA, 'Umar RA dan 'Ali KW. Sedangkah kekhalifahan 'Utsman RA tidak mereka akui. Oleh karena itu, menurut al Jahidz, pada masa awal Islam, yang dinamakan syi'i adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA. Sehingga, menurutnya lagi, saat itu dikenal ada Syi'i dan 'Utsmani. Yang pertama adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA, sedangkan yang kedua adalah orang yang mendahulukan 'Utsman atas 'Ali KW.
Ketiga: Kelompok yang paling kecil. Yaitu mereka yang menganggap bahwa orang yang paling utama memangku kekhalifahan setelah Rasulullah Saw adalah 'Ali KW.
Dari ketiga kecenderungan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa mayoritas pendukung Syi'ah tidak melebihkan 'Ali atas semua sahabat Rasulullah Saw. Namun mereka hanya melebihkannya atas 'Utsman. Dan, pelebihan mereka atas 'Utsman itupun bukanlah sebuah konsensus pemikiran yang diamini oleh semua pendukung Syi'ah, namun mayoritas mereka melebihkannya atas 'Utsman RA. setelah 'Utsman RA melakukan tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka anggap telah melanggar sunnah Rasulullah Saw. dan dua khalifah sebelumnya 26. Dan, tentu saja apa yang sedang berlangsung pada masa tersebut adalah sebuah proses tarik-menarik antar masing-masing kekuatan politik dengan masing-masing pendukungnya. Sesuatu yang logis terjadi dalam sebuah sistem masyarakat di manapun berada.
Perang Jamal dan Shiffin yang berakhir dengan arbitrase, yang kemudian mendorong timbulnya Khawarij dan Murji'ah, ditambah dengan pembantaian Karbala, mendorong mereka untuk mencari akar ideologis mereka sendiri. Sejarah memang telah mencatat betapa perlakuan dan nasib yang menimpa mereka amat malang. Pasca perang Shiffin yang merenggut kekuasaan politik mereka, diteruskan dengan pembantaian Karbala dan terbunuhnya Husein RA, sejarah memang tampak tidak berpihak kepada mereka. Setelah tragedi-tragedi yang menyedihkan tersebut, mereka masih terus dihantui pengejaran serta pembantaian secara massal terhadap Ahli Bait Rasulullah Saw. dan pendukungnya.
Dalam buku Khilafah dan Kerajaan yang ditulis oleh Abu al A'la al Maududi, kita akan merasakan kesedihan yang dalam (atau malah menangis) ketika membaca penuturan penulis tentang perlakuan-perlakuan kejam yang telah menimpa keturunan Rasulullah Saw. Dengan cukup jelas ia menguraikan kejadian demi kejadian yang menimpa Ahlu Bait Rasulullah Saw.
Dalam masa-masa tersebut, terjadi kristalisasi klasifikasi in group dan out group dalam Syi'ah. Penentuan siapa kita dan siapa orang luar kita makin mengental, terutama proses pembentukan konsep ideologis dan metode mempertahankan diri. Contoh menarik bagi yang terakhir adalah dibentuknya konsep taqiyyah sebagai upaya untuk mempertahankan diri, kepercayaan, harta benda, dan harga diri. Syaikh al Anshari mendefinisikan taqiyah sebagai berikut: Menjaga diri dari perlakuan buruk dari orang lain dengan menyetujui perkataan dan perbuatannya yang bertentangan dengan kebenaran 27. Sehingga terjadi kemudian transformasi kekuatan politik menjadi sebuah sistem ideologi (teologi) dalam Syi'ah.
Pada masa 'Ali k.w, pendukung (syi'ah) beliau tidak menggunakan nash-nash al Qur'an dan Hadist untuk menjustifikasikan keberhakan 'Ali k.w. dan keturunannya sebagai pemegang kekhalifahan. Hal itu ditunjukkan oleh sikap 'Ali Kw yang membai'at Abu Bakar r.a., 'Umar r.a, dan 'Utsman r.a. Karena jika benar ada nash yang jelas-jelas menunjuk 'Ali k.w. sebagai pengganti Rasulullah Saw. tentunya 'Ali Kw. tidak akan membai'at orang lain untuk memangku jabatan itu sebanyak tiga kali, tanpa pernah menyinggung nash-nash itu. Namun, dalam proses transformasi Syi'ah dari sebuah kekuatan politik menjadi sebuah ideologi (teologi), kita dapati kemudian semua kecenderungan politis dan teologis Syi'ah telah mempunyai "mantel" baik dari al Qur'an maupun Hadist.
Tentang al Qur'an, penghampiran teologis Syi'ah dalam al Qur'an tampak dalam klaim yang sering didengungkan bahwa Syi'ah mempercayai adanya pengurangan dan penambahan Al Quran 28. Walaupun pendapat itu, saat ini, ditolak oleh banyak ulama-ulama Syi'ah 29, namun pada dataran realitas, klaim tersebut dapat menemukan justifikasinya karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab yang mu'tamad dalam Syi'ah 30. Salah satu bentuk pengurangan Al Quran, menurut Syi'ah adalah penghapusan nama 'Ali k.w. dalam Al Quran. Misalnya adalah dalam QS. Al Ahzab: 71. Menurut riwayat al Kulayni --dalam kitabnya al Kâfi 31-- seharusnya tertulis: Wa man yuthi'i Allah wa rasûlahu (fî wilâyati 'Aly wa al aimmah ba'dahu) faqad fâza. Bentuk lain penghampiran teologis Syi'ah pada Al Quran adalah dengan menafsirkan dan mentakwilkan Al Quran sesuai dengan konsep-konsep mazhab tersebut. Misalnya dalam tafsir al Mîzân karya M.H. Thathaba'i, kita dapati: ketika sampai pada QS. Al Imran: 163. firman Allah Swt: Hum darajâtun 'inda Rabbihim, ia menafsirkan: Dari ash-Shadiq: Orang -orang yang mengikuti keridlaan Allah Swt. adalah para imam. Mereka, demi Allah! adalah derajat-derajat di sisi Allah bagi orang mu'minin. Dengan loyalitas dan kecintaan mereka kepada kami, Allah Swt. akan melipat gandakan ganjaran pahala mereka dan mengangkat derajat mereka. Sedangkan orang-orang yang mendapatkan kemurkaan Allah Swt. adalah orang yang mengingkari hak 'Ali dan hak imam-imam Ahli Bait. Oleh karena itu mereka mendapat murka Allah Swt. 32.
Dalam tataran hadist, penghampiran teologis terhadap konsep-konsep Syî'ah makin mengental. Di sini, kita memang dituntut untuk lebih banyak lagi mencurahkan perhatian dan energi. Karena konsep-konsep ilmu hadist Syi'ah berlainan atau malah, dalam beberapa segi, berseberangan dengan konsep hadist dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah. Oleh karena itu, pada sub-judul yang akan datang penulis akan memberikan stressing-point pada kajian hadist dalam wacana keilmuan Syi'ah. Secara sambil lalu, perlu ditekankan bahwa sekte Syî'ah bukanlah tunggal, namun ia terdiri dari beberapa sekte kecil di dalamnya 33.

Dialog Sunni dan Syi'ah 1 (Sebuah Prngantar)

 

Dialog Tentang Sunni-Syiah

 Oleh : Abdul Hayyie al Kattani

AP 1. Dalam "perjalanan" Bapak untuk "memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah", adakah pernah Bapak temui sekte Syi'ah kontemporer yang memiliki keyakinan semisal sekte Syi'ah di masa "awal" nya dahulu seperti tergambar dalam ungkapan Bapak di atas (= mengakui keabsahan syar'i atas kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta tidak bersikeras tentang "nash" dan "washiyat" sebagaimana sikap Imam Ali k.w. kepada tiga pendahulunya itu)?
Alkattani: Barangkali, Syi'ah Zaidiah dapat kita masukkan dalam kategori itu. Karena dalam masalah kekhalifahan, mereka mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a. dan tidak mengimani dogma 'nash' dan 'washiat' itu. Bahkan jabatan imam Zaidiah, pada suatu waktu, dipegang oleh orang semacam Qasim ar Rassi, yang merupakan seorang keturunan Hasan. Sementara Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali, imam pertama Zaidiah, adalah keturunan Husain. Artinya, dalam masalah ini mereka boleh dikatakan amat moderat. Bagi mereka, keimamahan (pemimpin negara) tidak ditentukan oleh nash atau warisan, namun oleh adanya bai'at manusia. Dengan begitu, mereka berbeda jauh dengan Itsna Asyariah. Sekte ini juga telah mampu mendirikan negara dengan pimpinan imam. Atau bisa dinamakan dengan negara Zaidiah. Pertama di wilayah Dailam, arah selatan lautan Khazar pada tahun 250 H, oleh Hasan bin Zaid. Yang kedua adalah di Yaman, didirikan oleh al Hadi ilal Haqq Yahya bin Husein. Negara yang kedua ini berumur panjang, dan baru berakhir pada tahun 1962 M, dengan digantikan oleh negara Republik Yaman.
AP: 2. Tentang common platform yang bapak kemukakan (yakni Tauhid); adakah "kesamaan" ini --menurut hemat Bapak-- "cukup" untuk mengantarkan pada kesatuan dalam wilayah yang paling sensitif, semisal "kepemimpinan" dan "pemerintahan"? (saya melihat salah satu pra-syarat mutlak untuk itu adalah menemukan sekte Syi'ah seperti yang saya tanyakan di atas, dalam jumlah yang cukup memadai/dominan di kalangan penganut Syi'i. Yakni penganut Syi'ah yang bersikap seperti Imam Ali k.w. pada ketiga khalifah pendahulunya).
Alkattani: Dalam segala hal, alhamdulillah, saya selalu optimis. Terutama tentang hal ini. Karena, secara empirik, kita justru mendapati banyak manusia yang disatukan oleh hal-hal yang sepele. Lantas mengapa kemudian justru ada orang yang tidak mau disatukan oleh faktor pemersatu yang besar dan agung? Kita sering menyaksikan adanya orang yang dipersatukan oleh fanatisme klub sepakbola, angkatan, daerah, suku dan sebagainya. Bahkan tak jarang kita menemukan orang yang rela menyabung nyawa demi membela kehormatan 'faktor persatuan'nya itu. Untuk itu, saya optimis sekali jika tauhid ini bisa dijadikan faktor pemersatu umat Islam. Yang terpenting adalah adanya 'will' untuk bersatu pada semua pihak. Jika sudah ada kehendak, insya Allah segala jalan akan terbuka. Sementara jika tidak ada keinginan dan sengaja menghindar, maka jalan yang ada pun malah menjadi rusak. Hal ini terutama pada diri pemimpin dan tetuanya. Saat berdialog tentang Syi'ah dengan teman-teman, saya seringkali tersentak dan kesal: mengapa yang dibicarakan melulu tentang sahabat a salah, sahabat b brengsek, sahabat c penghianat dan sebagainya. Apakah setelah habis membicarakan segala keburukan itu lantas tiba-tiba kita menjadi lebih baik? suci? menjadi pahlawan? dan telah berbuat sesuatu yang baik bagi umat ini? Malah, saking kesalnya karena terlalu sering diberikan pertanyaan tentang perseteruan antar sahabat, saya jawab seseorang yang bertanya seperti itu dengan berguyon: "seandainya bapak adalah keturunan Ken Arok dan saya adalah keturunan Jayakatwang, apakah kita layak bertengkar setiap hari untuk membela kebenaran sudut pandang masing-masing pihak; apalagi jika kita kemudian mengajak teman, saudara, tetangga, orang sekampung, dan pengikut kita semua untuk saling mengecam orang-orang yang berada nun jauh di belakang sejarah kita itu. Artinya, perdebatan-perdebatan kosong seperti itu amat tidak produktif, dan malah bisa menjadi indikasi kebodohan seseorang. Cuma masalahnya, untuk menciptakan pengikut yang setia dan membentuk loyalitas in group yang kuat, orang membutuhkan sentimen-sentimen yang dapat 'membakar' mereka, dan melebur mereka dalam kesatuan group itu. Contohnya, kebencian rakyat Indonesia terhadap penjajah dapat menghantarkan bangsa ini untuk berjuang menyabung nyawung demi mendapatkan kemerdekaannya. Nah, pemimpin yang baik, dalam kondisi seperti itu adalah pemimpin yang dapat mengobarkan kebencian itu sedemikian rupa, hingga meledak-ledak, dan siap untuk dimuntahkan. Oleh karena itu, pemimpin yang laku pada masa itu adalah pemimpin yang dapat membakar semangat massa, seperti Soekarno dan sebangsanya. Dalam kontek pembicaraan kita, sayangnya fenomena semacam itu masih ada. Dan dimanfaatkan betul. Sehingga setiap orang seakan-akan membawa dosa warisannya masing-masing: artinya pihak yang mengaku syi'ah membawa dosa warisan sebagai pihak tukang kecam sahabat, pencaci maki, dan pemecah belah umat; sementara pihak yang mengaku sebagai ahli sunnah membawa dosa warisan sebagai penindas, pembunuh, oportunis, perampas kekuasaan dan sebagainya. Selanjutnya, masing-masing pihak seakan-akan berhak untuk saling menghunuskan lidah dan pedangnya. Padahal, pada kenyataannya, keduanya sedang diperbudak oleh fatamorgana sejarah semata. Kesadaran seperti inilah yang patut disebarkan kepada seluruh umat Islam. Sehingga semuanya dapat saling berjabat erat dengan mesra tanpa 'direcoki' oleh beban sejarah. Pristiwa-peristwa tragis yang sudah berlalu, kita sesali, namun itu bukan salah kita, sehingga kita tidak perlu merasa dibebani, tetapi kita berusaha agar peristiwa semacam itu jangan sampai terulang kembali.
AP: 3. Masih tentang common platform (Tauhid); adakah "pra-syarat" lain --menurut Bapak-- agar ajakan pada "kalimatun-sawa" ini (yang dalam nash Al-Qur'an ditujukan - bahkan - kepada Ahlul Kitab di luar Islam) dapat terwujud dalam penataan sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam meyakini konsep-rujukannya? (dalam konsep fiqhul-ikhtilaf yang saya pahami, terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara "ikhtilaf al-masyru'" dengan "tafarruq al-madzmum". Dan perbedaan itu - disamping persoalan yg bersumber dari isu moral/akhlaq - sangat terkait dengan persoalan "kesamaan-konsep-rujukan". Tanpa kesamaan di level konsep rujukan, betapa musykilnya terjadi "ikhtilaf" yang produktif dalam arti yang sebenarnya.
Alkattani: Kembali saya ulang, pada intinya semua itu terletak pada kemauan. Jika kita ingin bersatu, niscaya kita akan mencari faktor-faktor persamaan yang menyatukan kita. Sementara jika kita ingin berpisah, tentu yang kita cari-cari adalah kesalahannya. Insya Allah kita akan menemukan banyak faktor pemersatu. Tidak hanya satu. Tauhid itu tok.
Katakanlah kita menyenangi seseorang, niscaya kita akan memfokuskan perhatian kita pada 'sisi manis' orang itu. Dan jika kemudian sesuatu yang 'pahit dan menjengkelkan' dari dirinya, secara reflek diri kita akan menghapus dan mentolerirnya dengan menampilkan kembali 'sisi manis' itu. Begitu juga sebaliknya.
Perbedaan tauhid yang menyatukan sunni dengan syi'ah dengan tauhid yang menyatukan muslim dengan Ahli Kitab adalah: jika antara sunni dan syi'ah, maka keduanya berada dalam lingkup tauhid itu. Sebagai sesama pemeluk tauhid. Sementara terhadap Ahli Kitab, mereka masih berada di luar area tauhid. Dan oleh karenanya, Islam mengajak mereka untuk masuk ke area tauhid, sehingga bertemu dalam kesatuan agama.
Tauhid dapat menjadi common platform yang baik jika ia dijadikan sebagai poros atau aksis kehidupan umat Islam. Artinya masing-masing orang harus melepaskan dulu ikatan-ikatan emosionalnya, untuk kemudian secara berkesadaran meletakkan tauhid itu sebagai inti kehidupannya. Dengan landasan tauhid itulah ia berpikir, melihat, mengecap, bertindak, berreaksi, dan bergaul. Dengan frame of reference tahuid pula ia membaca, menimbang, merenungkan, dan membuat suatu keputusan. Nah, dengan tauhid sebagai frame of reference ini, insya Allah tidak ada sesuatu pun yang membedakan kita satu sama lain, sesama kaum Muslimin. Baru setelah kita melebarkan frame of reference kita, akan ditemukan perbedaan-perbedaan itu. Misalnya perbedaan mazhab, kecenderungan ruhani, aliran teologi, dan sebagainya. Namun tetap berada dalam kesatuan sebagai 'anak-anak tauhid' itu.
Dalam titik-titik perbedaan itulah kita membutuhkan kesadaran berfiqh ikhtilaf. Artinya masing-masing mentolerir sebesar mungkin perbedaan-perbedaan yang ada, selama masih berada dalam kerangka tauhid. Dan saling bantu-membantu pada titik-titik persamaan.
Contohnya, saat ini Bapak berada di Indonesia, dan saya berada di Mesir. Apa yang menyatukan kita? apa yang menghubungkan kita? Yang menyatukan kita adalah kesamaan kehendak untuk berdialog dengan baik, dan kebetulan ada sarana mailing list. Di sini, faktor pemersatu kita khan kecil sekali. Bisa saja faktor pemersatu ini kita perbesar (dalam kontek ini bisa dengan mengirim japri, mencari titik-titik persamaan, dan sebagainya), dan dapat pula kita hancurkan (misalnya dengan saling caci-caci maki, dan kemudian masing-masing unsubscribe).
Ikhtilaf atau perbedaan itu masih dibenarkan (masyru') selama berada dalam koridor frame of reference Islam. Dan semata untuk memperkaya wacana keislaman, serta sebagai manifestasi dari keniscayaan adanya perbedaan antar manusia. Bukan untuk saling berhadap-hadapan, saling menyalahkan, saling membinasakan. Jika yang terakhir, maka hal itu menjadi perbedaan yang tercela dan terlarang (tafarruq madzmum).
Oleh karena itu, marilah kita sesama umat Islam mulai mengkalkulasikan persatuan kita dengan dimulai dari lingkar tauhid. Kemudian diperlebar-diperlebar dan diperlebar. Sambil mulai mengikis perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan oleh ke-'khilapan' sedikit demi sedikit.
Insya Allah, masa depan persatuan kita akan cerah.

Terima Kasih

Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani