SMA NU AL MA'RUF KUDUS

Kokoh dan Elegan, Jl. AKBP R. Agil Kusumadya No. 2 Kudus, Jawa Tengah

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU (PKG)

Penyelenggara oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tanggal 14-17 dan 26-27 Desember 2012 di Hotel Muria Semarang Jawa Tengah.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

LAGI SANTAI SEJENAK DI "SOLO PARAGON Hotel and Residence"

Dalam Acara Workshop "Implementasi Pendidikan Karakter dan Antikorupsi" Di Solo Paragon (Hotel and Residence) Solo Jawa Tengah. Diselenggarakan oleh Dirjen Dikmen, Kemendikbud Republik Indonesia tanggal 16 - 19 Nopember 2012.

Thursday, 28 March 2013

SOFTWARE PEMBUATAN SOAL "HOT-POTATOES"



SOFTWARE PEMBUATAN SOAL "HOT-POTATOES



Setelah di download harus diinstal dulu.
Cara instalnya :


 



Tuesday, 26 March 2013

PENDAFTARAN PESERTA DIDIK BARU SMA NU AL MA'RUF KUDUS 2013/2014


BROSUR 

PENDAFTARAN PESERTA DIDIK BARU  
(PPDB)
 SMA NU AL MA'RUF KUDUS 2013/2014

MAJU DALAM PRESTASI





BROSURNYA...












Wednesday, 20 March 2013

CARA KONVERSI NILAI

ANALISIS TES

TABEL HITUNG ZAKAT










Ada 2 Macam Silahkan Pilih :




ILMU WARIS INTERAKTIF

Saturday, 9 March 2013

EPISTEMOLOGI IBNU KHALDUN DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM



EPISTEMOLOGI IBNU KHALDUN

DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.




Abstraksi     :  Konsep pendidikan akan rapuh dalam menjalani perubahan modernitas yang serba cepat apabila tidak didasari oleh epistemologi yang kokoh. Selama ini kiblat epistemologi senantiasa ke Barat, bahkan untuk pendidikan Islam. Padahal khazanah pengetahuan dunia Islam, di antaranya yang telah disumbangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam klasik memiliki keunggulan dan karakteristik yang lebih sesuai untuk masyarakat muslim. Di antara pemikir Islam klasik adalah Ibnu Khaldun yang selama ini lebih dikenal sebagai sosiolog dengan kitabnya al-Muqaddimah. Padahal dalam kitab itu pula terdapat landasan konsep pendidikan Islam. Menurutnya sumber pengetahuan tidak hanya dari aspek rasionalitas belaka, tetapi Dzauq, wajdan, intuisi, juga dapat menjadi sumber pengetahuan.

Kata kunci  :  Epistemologi, Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Pendidikan

A.    Pendahuluan
Secara historis, peradaban Islam pernah mengukir perjalanan peradaban dunia selama tujuh abad, sebelum akhirnya Barat memasuki masa renaissance dan aufklarung yang merupakan awal bangkitnya kebudayaan Barat. Pada masa kemajuan Islam tersebut, muncul ulama besar, seperti empat imam madzhab, para filosof Islam pertama yaitu al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Miskawih, para teolog seperti al-Jubba’i, Wasil ibn Atho, para sufi seperti al-Hallaj, al-Bustami, Dzunnun al-Misri, dll[1]. Kemudian al-Ghazali yang dianggap sebagai filosof dan juga sebagai sufi (1111 M). dengan kecemerlangan pikirannya, ia dianggap telah memberikan penyelesaian permasalahan-permasalahan keagamaan (Islam). Sehingga yang terjadi bagaikan telah menciptakan sebuah kamar nyaman untuk umat, namun membelenggu kreatifitas intelektual Islam[2].
Asumsi tersebut tidaklah sepenuhnya benar, sebab setelah Al Ghazali masih ada pemikir Islam yang ide-ide pemikirannya cukup berpengaruh terhadap kemajuan peradaban sekarang. Salah satu di antara pemikir Islam itu adalah Ibnu Khaldun (1332-1350 M). Mengenai tesis-tesis Ibnu Khaldun yang masih diperdebatkan para ilmuan terjadi tanda bahwa gagasannya masih diperlukan dan juga berpengaruh di abad modern, walaupun tidak secara utuh. Di antara ide pemikirannya adalah tentang pendidikan.
Kajian mengenai pendidikan Islam, idealnya menjadi perhatian yang cukup besar. Sebab, bagaimanapun juga dalam pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang akan mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi dan sebagai abdullah (hamba Allah). Dengan menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap islami, menyerahkan dan menyadarkan manusia untuk beramal shaleh, berjuang untuk memenuhi kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah[3]. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika melihat realitas di lapangan, apakah tujuan tersebut tercapai? Atau seandainya dikatakan belum atau masih proses, sampai kapankah tujuan tersebut akan terwujud? Atau malah terjadi sebaliknya, bahwa terdapat paradigma yang kurang pas kalau tidak dikatakan salah, sehingga belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
Di samping itu, dinamika atau perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di bumi. Oleh karena itulah, Herokleitos mengatakan bahwa “seseorang tidak mungkin menginjak dalam arus sungai yang sama”[4]. Demikian juga sebuah lembaga pendidikan tidak akan lepas dari pengaruh dinamika kehidupan. Eksistensi lembaga pendidikan sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh sejauhmana mereka dapat menyesuaikan dengan irama perubahan yang ada.
Oleh sebab itu, pendidikan harus mempunyai visi dan orientasi yang jelas dan setiap saat harus senantiasa melaksanakan kajian ulang secara fundamental. Untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan, maka menurut hemat penulis perlu untuk meninjau kembali epistemologi dalam pendidikan Islam. Formulasi epistemologi harus jelas dan benar-benar dapat menjadi landasan pengembangan pendidikan Islam dalam rangka menghadapi setiap perubahan.
Persoalan epistemologi merupakan persoalan yang penting. Sebab tanpa mengetahui epistemologi yang jelas, seseorang tidak akan mengetahui tiga persoalan mendasar, yaitu sumber, hakekat dan validitas pengetahuan. Dengan adanya pemahaman epistemologi yang benar, seseorang akan mudah melacak jalan mana pengetahuan yang ditemukan dan alat apa yang mesti digunakan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Syarif Hidayatullah sebagai berikut :
“Pembaharuan ataupun pengembangan pendidikan Islam dalam perspektif dekonstruksi dan rekonstruksi bangunan epistemologi ini tidak bisa tidak akan membawa pada mengemukanya perbedaan dan keragaman pandangan alternasi, yang bisa jadi – jika tidak terkontrol – akan menghasilkan “resiko-resiko” dan “konsekuensi-konsekuensi” tertentu yang mungkin saja tidak kita harapkan. Ini disebabkan epistemologi sebagai bahan dari filsafat ilmu yang memiliki wilayah refleksi manusia terhadap realitas dengan berfondasikan atas metafisika. Sedangkan pandangan manusia atas realitas tidak sama”[5].
Ungkapan Syarif tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan sebuah epistemologi cukup penting dalam dunia pendidikan, sehingga adanya kesamaan landasan berpikir yang jelas akan menghasilkan tujuan yang jelas pula dalam pendidikan.
Tulisan ini hendak mencoba mengkaji tentang bagaimana epistemologi Ibnu Khaldun dan relevansinya dalam pendidikan Islam, oleh karena dalam bidang pendidikan, ia termasuk orang yang ahli dan juga menggeluti langsung di dalamnya. Teorinya tentang ilmu menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang yang empiris, yaitu semua pengetahuan didapat dari perantaraan pancaindera. Menurut Charles Issawi, Ibnu Khaldun memandang bahwa apa yang tidak bisa dikenali oleh akal, bisa juga dicapai melalui mistik atau wahyu, dan untuk menggambarkan ini Ibnu Khaldun memenuhi halaman-halaman yang paling baik dalam bukunya yaitu Muqaddimah[6].
Kajian ide-ide pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan sudah pernah dilakukan, misalnya Rovi’in dalam penelitian Tesisnya di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Dalam penelitian tersebut, Rovi’in menganalisis faktor-faktor dalam pendidikan yang meliputi tujuan pendidikan, materi pendidikan, pendidik, peserta didik, metode pendidikan dan lingkungan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses pembekalan ilmu dan ketrampilan terhadap anak didik disamping pembinaan akhlak, agar menjadi sempurna pertumbuhan jasmani dan rohaninya. Dalam hal ini, tujuan pendidikan tidak hanya membentuk generasi yang pandai saja tetapi juga trampil dan berakhlak.
Selain itu, dalam penelitian Rovi’in, yang menarik mengenai pendidikan Ibnu Khaldun adalah pendidik harus mengutamakan ilmu-ilmu pokok daripada ilmu-ilmu alat. Ibnu Khaldun juga memandang bahwa pendidikan sebagai sesuatu yang alami bagi manusia. Artinya seseorang itu tidak hanya ditentukan oleh faktor bakat dan keturunan, tetapi juga ditentukan oleh faktor lingkungan dalam proses pendidikan[7].
Disamping tulisan Rovi’in, ada tulisan lain mengenai pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun, yaitu Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun : Suatu Analisa Fenomenologi yang ditulis oleh Drs. Marasudin Siregar. Dalam karya tersebut, Drs. Marasudin Siregar mencoba memahami pemikiran Ibnu Khaldun dan menemukan bahwa pendidikan dilakukan untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat yang akan datang, sehingga pendidikan akan mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia, sehingga pendidikan akan mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas[8]. Karya tersebut memandang ide-ide pemikiran Ibnu Khaldun dari aspek sosiologis. Analisa yang digunakan adalah analisa fenomenologis, diskriptif dan kualitatif, dalam merumuskan paradigma pendidikan.
Namun dari beberapa kajian sebagaimana disebutkan, secara khusus tidak dibahas secara sistematis tentang epistemologi. Padahal gagasan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan dalam Muqaddimah berhubungan dengan filsafat, sosiologi, ilmu, kebudayaan, pentahapan, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan.

B.     Sekilas Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khladun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin ibn Khaldun[9]. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 Mei 1332 M). Dia dididik oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Ibnu Khaldun hidup pada abad XIV di tanah airnya Afrika Utara saat terjadi kemandegan pemikiran dan kehancuran politik. Kekuasaan muslim Arab telah jatuh, dan muncul pertentangan, intrik, dan kerusuhan meluas dalam kehidupan politik[10]. Dari lingkungan seperti itulah Ibnu Khaldun hidup dan memperoleh pendidikan agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat.
Secara garis besar, Ali Abdul Wahid Wafi membagi masa hidup Ibnu Khaldun menjadi empat tahap, Pertama, kelahiran, perkembangan hidup dan studinya yang dimulai dari tahun 732 H sampai 751 H di Tunisia. Kedua, bekerja di pemerintahan dan terjun di dunia politik tahun 751 sampai 776 H. Tahap ketiga, masa mengarang yang dimulai tahun 776 H sampai 784 H. Dan tahap keempat, memberi kuliah dan memimpin pengadilan tinggi pada tahun 784 hingga akhir 808 H[11].
Berkaitan dengan perkembangan pemikirannya, ia pertama-tama belajar menghafal al-Qur’an, kemudian mempelajari ilmu tata bahasa dan syair, setelah itu mempelajari hukum. Ia mulai bekerja dalam usia 20 tahun, dan menjadi sekretaris Sultan Fez di Maroko[12]. Mulai saat itulah, ia terjun ke dunia politik. Jatuhnya Dinasti Muwahhidin telah mempengaruhi proses kehidupannya. Suasana konflik dan perang saudara sering terjadi, karena perebutan kekuasaan di antara putra-putra mahkota dan tuan-tuan tanah, sehingga saling menghasut, membunuh dan pemberontakan merupakan hal yang biasa terjadi[13].
Ia tidak menetap di suatu kota atau tempat tertentu, melainkan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Seperti di Fez (Maroko), Granada dan Seville (Spanyol), Damaskus, Mekkah, Madinah, Kairo dan sebagainya. Sebagai seorang yang berkecimpung langsung dalam bidang politik, ia berhasil menduduki jabatan-jabatan penting dan sekaligus dalam pemerintahan di beberapa Dinasti Islam[14]. Kepandaiannya dalam bidang diplomasi membuat dirinya dikagumi, bukan hanya oleh teman-teman seagamanya melainkan juga oleh Pedro Sang Pembengis dari Barat (Raja Kristen dan Spanyol) dan oleh Timur Lenk, Si Pincang dari Timur (Raja Mongol)[15].
Instabilitas politik yang terus menerus, tidak mencegah Ibnu Khaldun untuk menelorkan gagasan-gagasan yang tertuang dalam karya-karyanya. Karya utamanya adalah Authobiography dan Muqaddimah. Karya pertama (Authobiography) merupakan penilaian jalur tentang kariernya. Karya kedua (Muqaddimah) mencatat pemikirannya tentang penduduk menetap dan penduduk gurun, dinasti, kekhalifahan dan pekerjaan yang menguntungkan[16]. Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun mendirikan ilmu baru, yaitu Ilmu Umran (Ilmu tentang organisasi sosial)[17]. Beberapa pemikir lain menganggap Muqaddimah sebagai risalah dalam sosiologi dan memandang Ibnu Khaldun sebagai pendiri sosiologi[18] dan sebagian pemikir lain menganggap sebagai seorang sejarawan[19].
Muqaddimah tersebut selain memuat gagasan-gagasannya mengenai sosiologi dan sejarah, juga dianggap sebagai salah satu rujukan utama dalam bidang epistemologi Islam[20], sebab di dalam buku tersebut juga dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber serta metode-metodenya.
Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 17 Maret 1406 (25 Ramadhan 808) dalam kedudukannya sebagai qadhi di Kairo setelah mengalami 6 kali pengangkatan. Sketsa perjalanan hidup Ibnu Khaldun secara ringkas tersebut, cukuplah memberi gambaran tentang hal-hal yang mempengaruhi gagasan pemikiran Ibnu Khaldun, terutama dalam Muqaddimah yang diantaranya adalah berisi tentang ilmu pengetahuan yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini.

C.    Epistemologi Ibnu Khaldun
1.      Pengertian Epistemologi
Epistemologi dalam hubungannya dengan filsafat ibarat pohon dan rantingnya. Pohon filsafat memiliki cabang-cabang berupa subdisiplin filsafat ilmu, etika, estetika, filsafat antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat ilmu ini akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin logika, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Namun, ruang lingkup cabang induk dari epistemologi ini, filsafat ilmu, dapat disederhanakan dalam tiga pertanyaan mendasar : Apa yang ingin diketahui (ontologi). Bagaimana cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan (epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologi)[21]. Ketiganya saling berkaitan, jika ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Lebih lanjut, menurut Amin Abdullah epistemologi mempunyai tiga persoalan pokok yang menjadi wilayah kajiannya, yaitu pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dan dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui, kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?[22]. Secara sederhana ruang lingkup epistemologi ada tiga hal, pertama, filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat berusaha mencari hakekat kebenaran pengetahuan. Kedua, metode, yang bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ketiga, sistem sebagai suatu sistem yang bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri[23].
Berpijak dari penekanan tersebut, ada dua aliran dalam bidang epistemologi. Pertama, idealisme atau rasionalisme yang menekankan pentingnya akal, ide, kategori, form, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Rene Descartes, George Berkeley, Spinoza dan Leibniz yang berpendapat bahwa manusia dengan ketrampilan proses berpikir saja dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam atau lingkungan. Kedua, realisme atau empirisme yang lebih menekankan pada indera (sentuhan penglihatan, penciuman dan pendengaran), sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, sehingga peran akal dinomorduakan. Aliran ini dipelopori oleh John Locke dan David Hume, yang berpandangan bahwa semua jenis pengetahuan hanya dapat diperoleh dari pengalaman melalui pancaindra[24].
Pada perkembangan selanjutnya, kedua aliran yang saling bertentangan ini oleh Immanuel Kanr “diselesaikan” dengan fahamnya kritisme yang menerima rasio dan pengalaman. Aliran ini menyatakan bahwa hasil rasio akan dibuktikan melalui pengalaman, sedangkan pengalaman akan dapat dimengerti karena adanya rasio dan akal. Selain itu, masih ada aliran lain yang merupakan induk dari epistemologi yaitu positivme (August Comte) dan fenomenologi (Husserl)[25].
Sementara tentang kedudukan epistemologi dalam Islam menurut S.I. Poeradisastra, sebagaimana dikutip oleh Miska Muhammad Amin berpandangan bahwa epistemologi dalam Islam berjalan bertingkat-tingkat Contemplation (perenungan) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an, Sensation (penginderaan), Perception (pencerapan), Representation (penyajian), Concept (konsep), Judgement (pertimbangan), dan Reasoning (penalaran). Dikatakannya juga epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia (anthroprocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, tergantung kepada iradah Allah[26].
Dari gambaran sederhana mengenai epistemologi Islam tersebut, telah jelas bahwa yang menjadi ciri epistemologi Islam adalah menganggap bukan hanya pengalaman inderawi yang dipandang “real”, tetapi juga pengalaman akal dan intuisi. Mengabaikan salah satu dari ketiganya (indera, akal dan intuisi) berarti sama halnya dengan mengabaikan realitas itu sendiri.

2.      Epistemologi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun adalah salah satu pemikir kontroversi yang telah mewariskan “pekerjaan rumah” yang cukup menantang kepada generasi setelahnya hingga abad ke-20. Tesis-tesis yang dilontarkannya dalam Muqaddimah makin merangsang minat para sarjana untuk terus mengkajinya[27].
Dalam Muqaddimah mengenai ilmu pengetahuan Ibnu Khaldun membagi tingkapan kemampuan berpikir manusia menjadi tiga, pertama, akal pembeda (al-‘Aql at-Tamyizi), ia menjelaskan bahwa manusia termasuk jenis binatang dan Allah telah membedakannya dengan binatang melalui kemampuan  berpikir melalui akalnya, sehingga manusia dapat mengatur tindakan-tindakanya secara tertib. Kedua, akal eksperimental (al-‘aql at-Tagribi), bahwa kemampuan itu membantu memperoleh pengetahuan tentang ide-ide atau hal-hal yang bermanfaat atau merusak baginya. Ketiga, akal spekulatif (al-‘Aql an-Nadhari), yaitu kemampuan tersebut membantunya memperoleh persepsi tentang sesuatu yang maujud sebagaimana adanya, baik yang ghaib maupun yang nampak[28].
Hal ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya tidak tahu apa-apa, untuk memperoleh pengetahuan harus melalui pengalaman lewat organ tubuhnya. Ibnu Khaldun mendasarkan konsep ini pada surat Al Alaq yang artinya : “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan, menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia, yang telah mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahui”. Ibnu Khaldun menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut :
“Aku (Allah) mengusahakan ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia, sebelumnya dia merupakan segumpal darah dan daging. Tabiat manusia menyimpan kebodohan asal dan ilmu cairan (al ilmu al kasby) yang ada padanya. Dalam wahyu pertama sudah dinyatakan anugerah Tuhan atas manusia, diberitahu mengenai nilai martabat eksistensinya, yaitu kemanusiaan dan kedua kondisinya yang fitri dan yang kasbi. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksanaan”[29].
Oleh karena itu untuk mendapatkan pengetahuan, harus belajar sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya. Dengan bantuan pengalaman dari banyak peristiwa yang terjadi seseorang akan memperoleh pengetahuan hingga dapat diketahui apa yang harus dilakukan dan apa yang yang tidak harus dilakukan[30]. Konsep Ibnu Khaldun tersebut tentu tidak lepas dari pengalamannya bertahun-tahun berkecimpung dalam berbagai bidang kehidupan, dari menuntut ilmu sampai menjadi praktisi politik, hukum, pendidik, dan akhirnya mengarang buku. Sehingga hal itu mendorong gagasan-gagasannya mengenai pentingnya usaha mencari pengetahuan dan belajar sebanyak-banyaknya.
Berkaitan dengan hal ini pula, Ibnu Khaldun menjelaskan kata-kata terkenal, yaitu : “Barangsiapa tidak dididik oleh orang tuanya, akan dididik oleh jamannya”. Ia menjelaskan :
“Barangsiapa memperoleh tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh dan tidak mempelajari hal-hal dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman. Zaman akan mengajarkannya, dan kitapun lalu tidak memiliki sesuatu persepsi secara rinci mengenai alam ini, kecuali yang dapat kita petik dari persepsi syari’ah yang dijelaskan dan dikokohkan oleh iman[31].
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa, teorinya tentang ilmu menunjukkan bahwa ia adalah seorang empiris, bahwa pengetahuan didapat dengan perantaraan pancaindera atau pengalaman sebanyak-banyaknya. Namun lebih lanjut Ibnu Khaldun menerangkan bahwa di balik yang nampak oleh indera yang menjadi sumber pengetahuan ada yang di atas alam manusia yaitu alam spiritual, dan untuk mencapainya melalui mistik dan wahyu[32].
Berangkat dari penjelasan tentang sumber pengetahuan tersebut, Ibnu Khaldun mengklasifikasi ilmu menjadi dua, yaitu pertama, ilmu naqli yang diperoleh dari wahyu dan bersumber dari Al Qur’an dan Hadits[33]. Macamnya ilmu naqli adalah, al Qur’an, Hadits, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Kalam, tasawuf dan ilmu ta’bir ru’ya. Sedangkan yang kedua adalah ilmu filsafat yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir dan alat untuk memperolehnya adalah indera dan akal[34]. Ilmu ini dibagi menjadi empat, yaitu ilmu logika (mantiq), fisika, metafisika dan matematika[35]. Namun yang jelas Ibnu Khaldun mengakui bahwa sumber pengetahuan di samping indera dan akal, juga dari wahyu. Hal ini membuktikan bahwa epistemologinya tidaklah sama sekali menolak terhadap pengetahuan yang suprarasional. Hal itu pulalah yang membedakan empirismenya Ibnu Khaldun dengan empirismenya John Locke, yang menurutnya segala pengetahuan berasal dari pengalaman, tidak lebih dari itu[36].

D.    Epistemologi Ibnu Khaldun Guna Pengembangan Pendidikan
Pendidikan Islam yang menjadi tulang punggung terbentuknya masyarakat baik, nampaknya memerlukan visi dan orientasi yang jelas. Dalam arti pendidikan hendaknya mampu memberikan output yang siap menghadapi setiap tantangan zamannya, sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Namun realita menunjukkan bahwa hingga kini output pendidikan Islam tidak banyak memberikan kontribusi dalam menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, dengan adanya dinamika atau perubahan yang tidak dapat dihindari menuntut kita untuk selalu berani mengadakan perubahan-perubahan fundamental dalam pendidikan. Hal ini perlu disadari oleh para pakar akan signifikansi pendidikan dalam kehidupan modern untuk selalu melakukan perubahan-perubahan fundamental mengenai pendidikan[37].
Berkaitan dengan perlu adanya perubahan fundamental tersebut, Al Faruqi[38] berargumen sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Sardar, sebagai berikut : “Keresahan umat hanya dapat dihilangkan dengan suntikan epistemologi. Tugas yang dihadapi ummah adalah memecahkan masalah pendidikan”
Lebih lanjut Al Faruqi menyatakan :
“Tidak ada harapan akan kebangkitan ummah yang sejati kecuali sistem pendidikan diubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki. Sesungguhnya yang dibutuhkan bagi sistem itu adalah dibangunnya bentuk yang baru. Dualisme yang ada sekarang dalam pendidikan muslim, percabangan menjadi sistem Islam dan sistem sekuler harus dipuaskan dan dihilangkan dengan tuntas. Kedua sistem tersebut akan disatukan secara integral; dan sistem yang lahir harus diisi dengan semangat Islam dan berfungsi sebagai suatu bagian terpadu dari program ideologinya”[39].
Adanya kesadaran tersebut menunjukkan pentingnya sebuah epistemologi yang menjadi problem dalam pendidikan Islam. Sebagai salah satu contoh adalah akan berubahnya IAIN menjadi Universitas, yang secara otomatis adanya kajian lintas disiplin ilmu. Adanya ilmu-ilmu umum baik yang eksak maupun sosial seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, psikologi dan sebagainya, berpeluang untuk merekrut dosen-dosen dari universitas umum. Mulyadhi Kartanegara memandang, bahwa tenaga-tenaga pengajar ini, boleh jadi benar-benar menguasai bidang mereka masing-masing. Tetapi dari sudut epistemologi, mereka pasti mempunyai pandangan berbeda satu sama lain. Hal ini berimplikasi pada kebingungan mahasiswa dalam membangun paradigma berpikir, karena memperoleh pengajaran dari epistemologi yang berbeda (kontras)[40]. Sebagai contoh satu epistemologi yang menyatakan sumber ilmu hanyalah indrawi, dan metodenya observasi, sedangkan yang lain sumber ilmu adalah inderawi, akal dan hati, sedangkan yang lain lagi hanya indera dan akal. Hal ini menjadi problem yang serius, dan memerlukan solusi epistemologi yang jelas dan terarah sesuai dengan Islam.
Berangkat dari persoalan atau problematika ini, penulis mencoba menawarkan epistemologi Ibnu Khaldun sebagai epistemologi alternatif dan pengembangan dan perbaikan pendidikan Islam. Seperti yang telah diuraikan, bahwa ilmu pengetahuan diperoleh selain dari pengalaman inderawi dan akal yang memerlukan metode observasi atau eksperimen inderawi, juga diperoleh dari wahyu. Dengan demikian singkatnya untuk memperoleh pengetahuan tidak hanya menggunakan metode observasi tetapi juga metode rasional dan intuitif. Metode ini mengakui metode eksperimental (dzauq) seperti yang dikembangkan oleh kaum sufi (mistikus muslim).
Dari sini nampak bahwa epistemologi Ibnu Khaldun cukup relevan dalam pengembangan filsafat pendidikan Islam. Hal ini juga untuk mengarahkan “kiblat” epistemologi pendidikan Islam secara jelas, dengan format dan bentuknya sesuai dengan ajaran Islam. Sebab munculnya persoalan epistemologi pendidikan Islam itu di antaranya karena “kiblat”nya belum jelas, bahkan kalau tidak terlalu berlebihan bahwa epistemologi pendidikan Islam masih mengikuti epistemologi Barat. Sehingga menurut Chabib Thoha, yang terjadi adalah perkembangan ilmu pendidikan Islam masih memiliki sikap mendua, pertama, ketika melihat temuan teori pendidikan dari Barat maupun Timur yang dikembangkan di lingkungan cenderung diterima tanpa kritik kemudian dicarikan dalil-dalil al-Qur’an maupun Hadits yang terkadang cenderung dipindahkan, kemudian kedua, sikap yang sangat normatif dalam menghadapi dalil-dalil al-Qur’an maupun Hadits cenderung tidak melalui tahap analisis yang cukup mendalam[41].
Berangkat dari epistemologi Ibnu Khaldun, maka paradigma pengembangan pendidikan Islam yang relevan dan perlu untuk dicermati adalah Pertama, mengintegrasikan antara ilmu sekuler dan ilmu agama dengan prinsip, bahwa proses perolehan pengetahuan hakekatnya adalah untuk kebaikan bagi dirinya. Bukan berorientasi kepada satu sisi saja yang akan mendatangkan kesesatan dan kesengsaraan. Dalam hal ini ada keseimbangan antara ilmu naqli dan ilmu filsafat. Kedua, mengusahakan untuk meningkatkan kemampuan, dorongan dan kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan wawasan pengetahuan seluruh bidang keislaman. Sebab manusia diberi kemampuan oleh Allah berupa akal dan hati untuk membedakan dengan makhluk lain. Ketiga, menerapkan nilai-nilai spiritual yang seimbang kepada anak dalam rangka balance terhadap seluruh potensi yang dimilikinya. Keempat, mendasarkan proses pendidikan kepada al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman dan pijakan dalam pengembangan ilmu.
Paradigma tersebut mempunyai implikasi terhadap upaya pengembangan pendidikan Islam sekarang. Sebagai contoh, dalam pengembangan IAIN di masa depan yang menurut A. Qodri Azizy, bisa dikembangkan dengan pola, pertama, menjadikan IAIN sebagai lembaga pendidikan untuk mencetak tenaga ahli dalam ilmu-ilmu keislaman atau ulama-ulama sekaligus pemimpin agama. Dengan kata lain, mencetak ulama abad 21. Pola ini, menurut Qodri Azizy, Islam dikaji secara akademik dan ilmiah dengan tetap bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam yang benar dan tepat. Kedua, pada lapangan kerja atau orientasi pasar[42].
Pola tersebut sebenarnya tidak bisa lepas dari bagaimana paradigma keilmuan yang dibangun. Artinya, ketika tidak mempunyai epistemologi keilmuan yang jelas, maka akan menimbulkan lulusan-lulusan yang salah arah. Misalnya, pola pertama yang berorientasi mencetak ulama masa depan, secara metodologis memerlukan landasan berpikir yang islami, dan secara materi keilmuan juga memerlukan landasan teori yang islami pula. Tegasnya, harus mempunyai epistemologi yang islami. Kalau hal ini diabaikan, maka yang akan terjadi adalah lulusan-lulusan yang hanya ahli tentang Islam saja atau islamolog, dalam hal ini – meminjam istilah Quraish Shihab – tidak “membumi” bukan menjadi sekuler,
Demikian juga pola kedua, jika tidak diperjelas orientasi keilmuan yang diberikan, hanya karena memenuhi tuntutan pasar yang secara otomatis IAIN mengajarkan lintas disiplin ilmu, maka yang terjadi adalah sikap materialis yang cenderung melupakan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, keempat paradigma di muka nempaknya tidak terlalu berlebihan untuk menjadi alternatif dalam memperjelas arah atau orientasi pengembangan pendidikan Islam. Dimana secara riil, bila keempat paradigma pengembangan tersebut diterapkan, maka IAIN yang membuka disiplin “ilmu lain” yang biasa dianggap ilmu “non agama”, ilmu tersebut harus berangkat dari Islam tanpa menghilangkan ciri empiris ilmu itu sendiri. Sehingga ilmu tersebut menjadi misalnya, ilmu ekonomi Islam atau politik Islam, sosiologi Islam dan sebagainya.
Hal itu perlu untuk dilakukan, sebab bila tidak dilakukan yang terjadi adalah secara otoritas keilmuan (kualitas lulusan), masyarakat akan lebih mengakui lulusan ekonomi UNDIP atau lulusan Sosial Politik dari UGM dan lain-lain dari pada lulusan ekonomi dan sospol dari IAIN (setelah menjadi universitas). Akibat lain yang terjadi adalah kesimpangsiuran tujuan IAIN, karena landasan epistemologinya yang kontras antara ilmu satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan hal ini, untuk mewujudkan  gagasan tersebut di atas pola yang lebih tepat adalah pengembangan keduanya, yaitu ulama dan tuntutan pasar yang menurut Qodri Azizy harus dilakukan kajian ilmu-ilmu Islam dahulu sebagai modal dasar untuk landasan dalam pengembangan IAIN yang nantinya akan membuka fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan yang bermuara pada tuntutan pasar dengan tetap pada kerangka ilmu-ilmu Islam. Epistemologi yang digunakan dalam pengembangan ini adalah berangkat dari kenyataan empirik dan sumber wahyu yang saling mengontrol.
E.     Kesimpulan
Persoalan epistemologi adalah persoalan yang sangat penting dalam dunia pendidikan Islam. Untuk merumuskan formulasi epistemologi dalam pengembangan pendidikan Islam, nampaknya tidak perlu secara total menggunakan epistemologi Barat. Sebab masih ada epistemologi dari para pemikir Islam yang gagasan-gagasan pemikirannya dapat dijadikan “kiblat”, yang mengintegrasikan antara indera, akal dan wahyu.
Keempat paradigma yang ditawarkan di muka sebenarnya sudah tidak asing lagi atau tidak terdapat sesuatu yang baru untuk dijadikan landasan pengembangan pendidikan Islam. Walaupun demikian, penelitian ini yang mencoba mengemukakan ide-ide yang sleama ini terpendam dan cenderung dilupakan mengenai epistemologi Islam, paling tidak menambah wawasan pengetahuan mengenai akan adanya epistemologi Islam yang “embrionya” berasal dari pemikir Islam, yaitu Ibnu Khaldun.
Waluapun ia dapat dikategorikan sebagai seorang empiris, namun empirismenya Ibnu Khaldun berebda dengan empirismenya John Lock dan para pemikir Barat lainnya. Corak islaminya masih sangat kental, sehingga tidak berlebihan jika gagasan-gagasannya yang ada dalam Muqaddimah masih diperlukan hingga sekarang.
Wallahu a’lam Bish Shawab.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Wahid Wafi, Ali, Abdurrahman Bin Khaldun, Terj. Akhmadi Tiha, Ibnu Khaldun : Riwayat dan Karyanya (Jakarta : Grafiti Press, 1985).
Abdullah, Amin, Dr., M., Studi Agama : Normativitas dan Historistas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Abdullah, Syamsuddin, Agama dan masyarakat : Pendekatan Sosiologi Agama (Jakarta : Logos, 1997).
Abudin Nata, Drs., H., M.A., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
Ahmad, Amrullah, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991).
Amin, Miskah Muhammad, Epistemologi Islam : Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1983).
Depag. R.I., Ensiklopedi Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana di Perguruan Tinggi Agama IAIN, Jakarta, .t.t..
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jilid 2 (Bandung : Mizan, 2001).
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun An Islamic Thought Style A Sosial Perspecive, Terj. Mansuruddin dan Akhmadi Taha, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).
Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta : Kanisuis, 1996).
---------------, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta : Kanisius, 1996).
Hidayatullah, Syarif, “Pengembangan Pendidikan Islam : Suatu Telaah Epistemologi”, Jurnal Al Jami’ah, No. 61/1998.
Issawi, Charles, M.A., An Arab Philosophy of History, Terj. Dr. Mukti Ali, Filsafat Islam Tentang Sejarah (Jakarta : Tintaman, 1976).
Kartanegara, Mulyadhi, “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Filosofis”, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendri Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN : Ontologi Pendidikan Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag. RI., Jakarta 2000).
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Terj. Akhmad Taha, cet. 1 (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986).
Khudhairi, Zainab, Dr., Falsafah al Tarikh ‘Inda Ibnu Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ Usmani, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Bandung : Pustaka, 1987).
Koentowibisono, Prof., Dr., “Filsafat Ilmu Dalam Islam”, dalam H.M. Chabib Thoha, M.A. dan Drs, Fatah Syukur, Nc dan Priyono, S.Pd., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Kurianto, Rido, “Empirisme Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah dan John Lock”, dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vo. 2 No. 2, Juli 2000.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Dr., Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta : Gema Insani Press, 1996).
Madjid, Nurcholis, Kahasanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1994).
Nasution, Harun, Prof., Dr., Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).
Rovi’in, M.Ag., “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun”, Tesis, Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Sardar, Ziauddin, Islamic Future : The Shape of Ideas to Come, Terj. Rahmani Astuti, Masa Depan Islam (Bandung : Pustaka, 1987), hlm. 95.
Siregar, Marasudin, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun : Suatu Analisa Fenomenologi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999).
Sudarto, Drs., Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta : Raja Grafindo, 1996).
Sumantri, Yuyun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Thoha, Chabib, Drs., H.M., M.A., “Reformulasi filsafat Pendidikan Islam”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Yatim, Badri, Drs., H., M.A., Historioigrafi Islam (Jakarta : Logos, 1997).



[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 13.
[2] Nurcholis Madjid, Kahasanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 35.
[3] Amrullah Ahmad, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991).
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta : Kanisuis, 1996), hlm. 22.
[5] Syarif Hidayatullah, “Pengembangan Pendidikan Islam : Suatu Telaah Epistemologi”, Jurnal Al jami’ah, No. 61/1998, hlm. 48.
[6] Charles Issawi, M.A., An Arab Philosophy of History, Terj. Dr. Mukti Ali, Filsafat Islam Tentang Sejarah (Jakarta : Tintaman, 1976), hlm. 19.
[7] Rovi’in, M.Ag., “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun”, Tesis, Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
[8] Marasudin Siregar, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun : Suatu Analisa Fenomenologi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999).
[9] Dia dikenal dengan Ibnu Khaldun, sebab dihubungkan dengan garis kepada kakeknya kesembilan yaitu Khalid bin Usman. Dan dia adalah orang pertama dari marga ini yang memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab. Dia dikenal dengan nama Khaldun sesuai dengan kebiasaan orang-orang Andalusia dan orang-orang Maghribi. Mereka menambahkan huruf “waw” dan “nun” di belakang nama-nama orang terkemuka sebagai tanda penghormatan dan ta’dzim seperti Khalid menjadi Khaldun. Lihat Dr. Ali Abdul Wafi, Abdurrahman Bin Khaldun, Terj. Akhmadi Tiha, Ibnu Khaldun : Riwayat dan Karyanya (Jakarta : Grafiti Press, 1985), hlm. 4.
[10] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun An Islamic Thought Style A Sosial Perspecive, Terj. Mansuruddin dan Akhmadi Taha, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 9.
[11] Ali Abdul Wahid Wafi, Loc.cit.
[12] Charles Issawi, M.A., Op.cit., hlm. 3.
[13] Drs. H. Abudin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 172.
[14] Depag. R.I., Ensiklopedi Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana di Perguruan Tinggi Agama IAIN, t.t.), hlm. 387.
[15] Lebih lanjut lihat Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis barat dan Timur (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 18-23.
[16] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jilid 2 (Bandung : Mizan, 2001), hlm. 243.
[17] Mengenai gagasan Ilmu Umran, sudah pernah diteliti oleh Dr. Al Syafi’I Ma’arif, lihat Loc.cit.
[18] Lihat Syamsuddin Abdullah, Agama dan masyarakat : Pendekatan Sosiologi Agama (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 57-64.
[19] Ibnu dianggap sebagai sejarawan karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai seorang sejarawan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Drs. H. Badri Yatim, M.A., dalam bukunya Historioigrafi Islam (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 144-145. Dan Dr. Zainab Khusdhairi memandang Ibnu Khaldun sebagai seorang filosof sejarah, lihat Drs. Zainab Khudhairu, Falsafah al Tarikh ‘Inda Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rofi’ Usmani, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Bandung : Pustaka, 1987), hlm. 54.
[20] Mulyadhi Kartanegara, “Membangun Kerangka Ilmu” Perspektif Filosofis”, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendri Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN : Ontologi Pendidikan Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, RI, 2000), hlm. 263.
[21] Prof. Dr. Koentowibisono, “Filsafat Ilmu Dalam Islam”, dalam H.M. Chabib Thoha, M.A. dan Drs, Fatah Syukur, Nc dan Priyono, S.Pd., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 11-12. Lebih lanjut lihat Yuyun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 105.
[22] Dr. M. Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas dan Historistas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 243.
[23] Misfkah Muhammad Amin, Epistemologi Islam : Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1983), hlm. 3.
[24] Syarif Hidayatullah, “Pengembangan Pendidikan Islam : Suatu Telaah Epistemologi”, Jurnal Al Jami’ah, No. 61/1998, hlm. 49-51.
[25] Lihat Dr. Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat barat 2 (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 63-145, dan lihat juga Prof. Dr. Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 10.
[26] Miskah Muhammad Amin, Op. Cit., halm. 11.
[27] Mengenai persoalan kontroversi pemikiran Ibnu Khaldun, lihat lebih lanjut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif yang berjudul “Ibnu Khaldun : Pemikiran Tentang Sejarah dan Ilmu Umran (Kajian Kritis Terhadap Wacana Kontemporer Tentang Muwaddimah)”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta : Gema Insani Press, 1996).
[28] Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadi Taha, cet. 1 (jakarta : Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 532.
[29] Ibid., hlm. 353.
[30] Ibid., hlm. 527.
[31] Ibid., hlm. 527.
[32] Ibid., hlm. 531.
[33] Ibid., hlm. 544.
[34] Ibid., hlm. 543.
[35] Mengenai klasifikasi ilmu secara rinci dan tertib, dapat dilihat lebih lanjut dalam tesis Rovi’in, M.Ag., “Pemikiran Menurut Ibnu Khaldun”, hlm. 51-63, dan Muqaddimah Ibnu Khaldun, tentang ilmu pengetahuan, hlm. 543-712.
[36] Akal tidak melahirkan pengetahuan dari diri sendiri. Semua akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Lebih lanjut lihat Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat barat 2 (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 36-39. Lihat juga hasil penelitian Rido Kurianto yang berjudul “Empirisme Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah dan John Lock”, dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vo. 2 No. 2, Juli 2000, hlm. 210-233.
[37] Misalnya, adanya seminar di Semarang tanggal 2-4 April 1994 oleh Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, tentang Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, sebagai upaya untuk menata kembali pola pikir kependidikan Islam yang lebih terarah. Di situ para pakar pendidikan mencoba memberikan gagasan-gagasannya mengenai landasan filosof pendidikan Islam, misalnya Porf. Dr. Koento Wibisono, Prof. Dr. Noeng Muhajir, dan lain-lain. Kemudian pada tanggal 19-21 Agustus 1995, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung juga mengadakan seminar serupa.
[38] Al Faruqi dikenal dengan gagasannya mengenai Islamisasi Pengetahuan. Ia lahir di Jaffa, Palestina, 1921. Gagasannya tentang pendidikan adalah mencoba menyatukan pendidikan sekuler dan agama dengan cara mengislamisasikan sistem sekuler dan memodernisasikan sistem agama. Lebih lanjut lihat, The Growth Islamic Thought in North America Focus Ismail Al Faruqi, yang berisi riwayat dan gagasan pemikirannya yang ditulis oleh salah seorang muridnya sendiri. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Mendidik Generasi Baru Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 171.
[39] Ziauddin Sardar, Islamic Future : The Shape of Ideas to Come, Terj. Rahmani Astuti, Masa Depan Islam (Bandung : Pustaka, 1987), hlm. 95.
[40] Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hlm. 251.
[41] H.M. Chabib Thaha, M.A., “Reformulasi”, Op. Cit., hlm. Pengantar.
[42] A. Qodri Aziyi, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan IAIN”, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendri Prasetyo, Op. Cit., hlm. 34-37.