EPISTEMOLOGI
IBNU KHALDUN
DAN
RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh
: Ulin Nuha, M.Ag.
Abstraksi : Konsep
pendidikan akan rapuh dalam menjalani perubahan modernitas yang serba cepat
apabila tidak didasari oleh epistemologi yang kokoh. Selama ini kiblat
epistemologi senantiasa ke Barat, bahkan untuk pendidikan Islam. Padahal
khazanah pengetahuan dunia Islam, di antaranya yang telah disumbangkan oleh
ilmuwan-ilmuwan Islam klasik memiliki keunggulan dan karakteristik yang lebih
sesuai untuk masyarakat muslim. Di antara pemikir Islam klasik adalah Ibnu
Khaldun yang selama ini lebih dikenal sebagai sosiolog dengan kitabnya
al-Muqaddimah. Padahal dalam kitab itu pula terdapat landasan konsep pendidikan
Islam. Menurutnya sumber pengetahuan tidak hanya dari aspek rasionalitas
belaka, tetapi Dzauq, wajdan, intuisi,
juga dapat menjadi sumber pengetahuan.
Kata
kunci : Epistemologi,
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Pendidikan
A.
Pendahuluan
Secara historis,
peradaban Islam pernah mengukir perjalanan peradaban dunia selama tujuh abad,
sebelum akhirnya Barat memasuki masa renaissance
dan aufklarung yang merupakan awal
bangkitnya kebudayaan Barat. Pada masa kemajuan Islam tersebut, muncul ulama
besar, seperti empat imam madzhab, para filosof Islam pertama yaitu al-Kindi,
al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Miskawih, para teolog seperti al-Jubba’i, Wasil
ibn Atho, para sufi seperti al-Hallaj, al-Bustami, Dzunnun al-Misri, dll[1].
Kemudian al-Ghazali yang dianggap sebagai filosof dan juga sebagai sufi (1111
M). dengan kecemerlangan pikirannya, ia dianggap telah memberikan penyelesaian
permasalahan-permasalahan keagamaan (Islam). Sehingga yang terjadi bagaikan
telah menciptakan sebuah kamar nyaman untuk umat, namun membelenggu kreatifitas
intelektual Islam[2].
Asumsi tersebut
tidaklah sepenuhnya benar, sebab setelah Al Ghazali masih ada pemikir Islam
yang ide-ide pemikirannya cukup berpengaruh terhadap kemajuan peradaban
sekarang. Salah satu di antara pemikir Islam itu adalah Ibnu Khaldun (1332-1350
M). Mengenai tesis-tesis Ibnu Khaldun yang masih diperdebatkan para ilmuan
terjadi tanda bahwa gagasannya masih diperlukan dan juga berpengaruh di abad
modern, walaupun tidak secara utuh. Di antara ide pemikirannya adalah tentang
pendidikan.
Kajian mengenai
pendidikan Islam, idealnya menjadi perhatian yang cukup besar. Sebab,
bagaimanapun juga dalam pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang akan
mampu menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi dan sebagai abdullah (hamba Allah). Dengan
menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap islami, menyerahkan dan menyadarkan
manusia untuk beramal shaleh, berjuang untuk memenuhi kekhalifahan dalam rangka
beribadah kepada Allah[3].
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika melihat realitas di lapangan, apakah
tujuan tersebut tercapai? Atau seandainya dikatakan belum atau masih proses,
sampai kapankah tujuan tersebut akan terwujud? Atau malah terjadi sebaliknya,
bahwa terdapat paradigma yang kurang pas kalau tidak dikatakan salah, sehingga
belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
Di samping itu,
dinamika atau perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah dan
telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di bumi. Oleh karena itulah,
Herokleitos mengatakan bahwa “seseorang tidak mungkin menginjak dalam arus
sungai yang sama”[4].
Demikian juga sebuah lembaga pendidikan tidak akan lepas dari pengaruh dinamika
kehidupan. Eksistensi lembaga pendidikan sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh
sejauhmana mereka dapat menyesuaikan dengan irama perubahan yang ada.
Oleh sebab itu,
pendidikan harus mempunyai visi dan orientasi yang jelas dan setiap saat harus
senantiasa melaksanakan kajian ulang secara fundamental. Untuk mencapai tujuan
pendidikan seperti yang diharapkan, maka menurut hemat penulis perlu untuk
meninjau kembali epistemologi dalam pendidikan Islam. Formulasi epistemologi
harus jelas dan benar-benar dapat menjadi landasan pengembangan pendidikan
Islam dalam rangka menghadapi setiap perubahan.
Persoalan epistemologi
merupakan persoalan yang penting. Sebab tanpa mengetahui epistemologi yang
jelas, seseorang tidak akan mengetahui tiga persoalan mendasar, yaitu sumber,
hakekat dan validitas pengetahuan. Dengan adanya pemahaman epistemologi yang
benar, seseorang akan mudah melacak jalan mana pengetahuan yang ditemukan dan
alat apa yang mesti digunakan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Syarif
Hidayatullah sebagai berikut :
“Pembaharuan ataupun
pengembangan pendidikan Islam dalam perspektif dekonstruksi dan rekonstruksi
bangunan epistemologi ini tidak bisa tidak akan membawa pada mengemukanya
perbedaan dan keragaman pandangan alternasi, yang bisa jadi – jika tidak terkontrol
– akan menghasilkan “resiko-resiko” dan “konsekuensi-konsekuensi” tertentu yang
mungkin saja tidak kita harapkan. Ini disebabkan epistemologi sebagai bahan
dari filsafat ilmu yang memiliki wilayah refleksi manusia terhadap realitas
dengan berfondasikan atas metafisika. Sedangkan pandangan manusia atas realitas
tidak sama”[5].
Ungkapan Syarif
tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan sebuah epistemologi cukup penting
dalam dunia pendidikan, sehingga adanya kesamaan landasan berpikir yang jelas
akan menghasilkan tujuan yang jelas pula dalam pendidikan.
Tulisan ini hendak
mencoba mengkaji tentang bagaimana epistemologi Ibnu Khaldun dan relevansinya
dalam pendidikan Islam, oleh karena dalam bidang pendidikan, ia termasuk orang
yang ahli dan juga menggeluti langsung di dalamnya. Teorinya tentang ilmu
menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang yang empiris, yaitu semua
pengetahuan didapat dari perantaraan pancaindera. Menurut Charles Issawi, Ibnu
Khaldun memandang bahwa apa yang tidak bisa dikenali oleh akal, bisa juga
dicapai melalui mistik atau wahyu, dan untuk menggambarkan ini Ibnu Khaldun
memenuhi halaman-halaman yang paling baik dalam bukunya yaitu Muqaddimah[6].
Kajian ide-ide
pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan sudah pernah dilakukan, misalnya
Rovi’in dalam penelitian Tesisnya di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Dalam penelitian tersebut, Rovi’in menganalisis faktor-faktor dalam pendidikan
yang meliputi tujuan pendidikan, materi pendidikan, pendidik, peserta didik,
metode pendidikan dan lingkungan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses
pembekalan ilmu dan ketrampilan terhadap anak didik disamping pembinaan akhlak,
agar menjadi sempurna pertumbuhan jasmani dan rohaninya. Dalam hal ini, tujuan
pendidikan tidak hanya membentuk generasi yang pandai saja tetapi juga trampil
dan berakhlak.
Selain itu, dalam
penelitian Rovi’in, yang menarik mengenai pendidikan Ibnu Khaldun adalah
pendidik harus mengutamakan ilmu-ilmu pokok daripada ilmu-ilmu alat. Ibnu
Khaldun juga memandang bahwa pendidikan sebagai sesuatu yang alami bagi
manusia. Artinya seseorang itu tidak hanya ditentukan oleh faktor bakat dan
keturunan, tetapi juga ditentukan oleh faktor lingkungan dalam proses
pendidikan[7].
Disamping tulisan
Rovi’in, ada tulisan lain mengenai pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun, yaitu Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun : Suatu
Analisa Fenomenologi yang ditulis oleh Drs. Marasudin Siregar. Dalam karya
tersebut, Drs. Marasudin Siregar mencoba memahami pemikiran Ibnu Khaldun dan
menemukan bahwa pendidikan dilakukan untuk melahirkan masyarakat yang
berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat yang akan
datang, sehingga pendidikan akan mengarah kepada pengembangan sumber daya
manusia, sehingga pendidikan akan mengarah kepada pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas[8].
Karya tersebut memandang ide-ide pemikiran Ibnu Khaldun dari aspek sosiologis.
Analisa yang digunakan adalah analisa fenomenologis, diskriptif dan kualitatif,
dalam merumuskan paradigma pendidikan.
Namun dari beberapa
kajian sebagaimana disebutkan, secara khusus tidak dibahas secara sistematis
tentang epistemologi. Padahal gagasan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan dalam Muqaddimah berhubungan dengan filsafat,
sosiologi, ilmu, kebudayaan, pentahapan, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan.
B.
Sekilas
Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu
Khladun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin ibn Khaldun[9].
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 Mei 1332 M). Dia dididik
oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Ibnu
Khaldun hidup pada abad XIV di tanah airnya Afrika Utara saat terjadi
kemandegan pemikiran dan kehancuran politik. Kekuasaan muslim Arab telah jatuh,
dan muncul pertentangan, intrik, dan kerusuhan meluas dalam kehidupan politik[10].
Dari lingkungan seperti itulah Ibnu Khaldun hidup dan memperoleh pendidikan
agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat.
Secara garis besar, Ali
Abdul Wahid Wafi membagi masa hidup Ibnu Khaldun menjadi empat tahap, Pertama, kelahiran, perkembangan hidup
dan studinya yang dimulai dari tahun 732 H sampai 751 H di Tunisia. Kedua, bekerja di pemerintahan dan
terjun di dunia politik tahun 751 sampai 776 H. Tahap ketiga, masa mengarang yang dimulai tahun 776 H sampai 784 H. Dan
tahap keempat, memberi kuliah dan
memimpin pengadilan tinggi pada tahun 784 hingga akhir 808 H[11].
Berkaitan dengan
perkembangan pemikirannya, ia pertama-tama belajar menghafal al-Qur’an,
kemudian mempelajari ilmu tata bahasa dan syair, setelah itu mempelajari hukum.
Ia mulai bekerja dalam usia 20 tahun, dan menjadi sekretaris Sultan Fez di
Maroko[12].
Mulai saat itulah, ia terjun ke dunia politik. Jatuhnya Dinasti Muwahhidin
telah mempengaruhi proses kehidupannya. Suasana konflik dan perang saudara
sering terjadi, karena perebutan kekuasaan di antara putra-putra mahkota dan
tuan-tuan tanah, sehingga saling menghasut, membunuh dan pemberontakan
merupakan hal yang biasa terjadi[13].
Ia tidak menetap di
suatu kota atau tempat tertentu, melainkan berpindah-pindah dari satu kota ke
kota lain. Seperti di Fez (Maroko), Granada dan Seville (Spanyol), Damaskus,
Mekkah, Madinah, Kairo dan sebagainya. Sebagai seorang yang berkecimpung
langsung dalam bidang politik, ia berhasil menduduki jabatan-jabatan penting
dan sekaligus dalam pemerintahan di beberapa Dinasti Islam[14].
Kepandaiannya dalam bidang diplomasi membuat dirinya dikagumi, bukan hanya oleh
teman-teman seagamanya melainkan juga oleh Pedro Sang Pembengis dari Barat
(Raja Kristen dan Spanyol) dan oleh Timur Lenk, Si Pincang dari Timur (Raja
Mongol)[15].
Instabilitas politik
yang terus menerus, tidak mencegah Ibnu Khaldun untuk menelorkan gagasan-gagasan
yang tertuang dalam karya-karyanya. Karya utamanya adalah Authobiography dan Muqaddimah.
Karya pertama (Authobiography)
merupakan penilaian jalur tentang kariernya. Karya kedua (Muqaddimah) mencatat pemikirannya tentang penduduk menetap dan
penduduk gurun, dinasti, kekhalifahan dan pekerjaan yang menguntungkan[16].
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun
mendirikan ilmu baru, yaitu Ilmu Umran
(Ilmu tentang organisasi sosial)[17].
Beberapa pemikir lain menganggap Muqaddimah
sebagai risalah dalam sosiologi dan memandang Ibnu Khaldun sebagai pendiri
sosiologi[18]
dan sebagian pemikir lain menganggap sebagai seorang sejarawan[19].
Muqaddimah
tersebut selain memuat gagasan-gagasannya mengenai sosiologi dan sejarah, juga
dianggap sebagai salah satu rujukan utama dalam bidang epistemologi Islam[20],
sebab di dalam buku tersebut juga dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber
serta metode-metodenya.
Ibnu Khaldun wafat pada
tanggal 17 Maret 1406 (25 Ramadhan 808) dalam kedudukannya sebagai qadhi di Kairo setelah mengalami 6 kali
pengangkatan. Sketsa perjalanan hidup Ibnu Khaldun secara ringkas tersebut,
cukuplah memberi gambaran tentang hal-hal yang mempengaruhi gagasan pemikiran
Ibnu Khaldun, terutama dalam Muqaddimah
yang diantaranya adalah berisi tentang ilmu pengetahuan yang menjadi obyek
kajian dalam penelitian ini.
C.
Epistemologi
Ibnu Khaldun
1. Pengertian
Epistemologi
Epistemologi
dalam hubungannya dengan filsafat ibarat pohon dan rantingnya. Pohon filsafat
memiliki cabang-cabang berupa subdisiplin filsafat ilmu, etika, estetika, filsafat
antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat ilmu ini akhirnya memiliki
ranting-ranting dan sub-sub disiplin logika, ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Namun, ruang lingkup cabang induk dari epistemologi ini, filsafat
ilmu, dapat disederhanakan dalam tiga pertanyaan mendasar : Apa yang ingin
diketahui (ontologi). Bagaimana cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan
(epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologi)[21].
Ketiganya saling berkaitan, jika ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal
ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Lebih
lanjut, menurut Amin Abdullah epistemologi mempunyai tiga persoalan pokok yang
menjadi wilayah kajiannya, yaitu pertama,
apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dan dari manakah pengetahuan yang benar
itu datang dan bagaimana kita mengetahui, kedua,
apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ketiga, apakah pengetahuan kita itu
benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?[22].
Secara sederhana ruang lingkup epistemologi ada tiga hal, pertama, filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat berusaha mencari
hakekat kebenaran pengetahuan. Kedua,
metode, yang bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ketiga, sistem sebagai suatu sistem yang
bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri[23].
Berpijak
dari penekanan tersebut, ada dua aliran dalam bidang epistemologi. Pertama, idealisme atau rasionalisme
yang menekankan pentingnya akal, ide, kategori, form, sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Rene Descartes, George Berkeley,
Spinoza dan Leibniz yang berpendapat bahwa manusia dengan ketrampilan proses
berpikir saja dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam atau
lingkungan. Kedua, realisme atau
empirisme yang lebih menekankan pada indera (sentuhan penglihatan, penciuman
dan pendengaran), sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga peran akal dinomorduakan. Aliran ini dipelopori oleh John
Locke dan David Hume, yang berpandangan bahwa semua jenis pengetahuan hanya
dapat diperoleh dari pengalaman melalui pancaindra[24].
Pada
perkembangan selanjutnya, kedua aliran yang saling bertentangan ini oleh
Immanuel Kanr “diselesaikan” dengan fahamnya kritisme yang menerima rasio dan
pengalaman. Aliran ini menyatakan bahwa hasil rasio akan dibuktikan melalui
pengalaman, sedangkan pengalaman akan dapat dimengerti karena adanya rasio dan
akal. Selain itu, masih ada aliran lain yang merupakan induk dari epistemologi
yaitu positivme (August Comte) dan fenomenologi (Husserl)[25].
Sementara
tentang kedudukan epistemologi dalam Islam menurut S.I. Poeradisastra,
sebagaimana dikutip oleh Miska Muhammad Amin berpandangan bahwa epistemologi
dalam Islam berjalan bertingkat-tingkat Contemplation
(perenungan) tentang sunnatullah
sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an, Sensation
(penginderaan), Perception (pencerapan),
Representation (penyajian), Concept (konsep), Judgement (pertimbangan), dan Reasoning
(penalaran). Dikatakannya juga epistemologi di dalam Islam tidak berpusat
kepada manusia (anthroprocentric)
yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan
segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap
usaha manusia, tergantung kepada iradah
Allah[26].
Dari
gambaran sederhana mengenai epistemologi Islam tersebut, telah jelas bahwa yang
menjadi ciri epistemologi Islam adalah menganggap bukan hanya pengalaman
inderawi yang dipandang “real”, tetapi juga pengalaman akal dan intuisi.
Mengabaikan salah satu dari ketiganya (indera, akal dan intuisi) berarti sama
halnya dengan mengabaikan realitas itu sendiri.
2. Epistemologi
Ibnu Khaldun
Ibnu
Khaldun adalah salah satu pemikir kontroversi yang telah mewariskan “pekerjaan
rumah” yang cukup menantang kepada generasi setelahnya hingga abad ke-20.
Tesis-tesis yang dilontarkannya dalam Muqaddimah
makin merangsang minat para sarjana untuk terus mengkajinya[27].
Dalam
Muqaddimah mengenai ilmu pengetahuan
Ibnu Khaldun membagi tingkapan kemampuan berpikir manusia menjadi tiga, pertama, akal pembeda (al-‘Aql at-Tamyizi), ia menjelaskan
bahwa manusia termasuk jenis binatang dan Allah telah membedakannya dengan
binatang melalui kemampuan berpikir
melalui akalnya, sehingga manusia dapat mengatur tindakan-tindakanya secara
tertib. Kedua, akal eksperimental (al-‘aql at-Tagribi), bahwa kemampuan itu
membantu memperoleh pengetahuan tentang ide-ide atau hal-hal yang bermanfaat
atau merusak baginya. Ketiga, akal
spekulatif (al-‘Aql an-Nadhari), yaitu
kemampuan tersebut membantunya memperoleh persepsi tentang sesuatu yang maujud sebagaimana adanya, baik yang
ghaib maupun yang nampak[28].
Hal
ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya tidak tahu apa-apa, untuk
memperoleh pengetahuan harus melalui pengalaman lewat organ tubuhnya. Ibnu Khaldun
mendasarkan konsep ini pada surat Al Alaq yang artinya : “Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang telah menciptakan, menciptakan manusia dari segumpal darah,
bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia, yang telah mengajarkan manusia apa-apa yang
tidak diketahui”. Ibnu Khaldun menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut :
“Aku
(Allah) mengusahakan ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia, sebelumnya dia
merupakan segumpal darah dan daging. Tabiat manusia menyimpan kebodohan asal
dan ilmu cairan (al ilmu al kasby)
yang ada padanya. Dalam wahyu pertama sudah dinyatakan anugerah Tuhan atas
manusia, diberitahu mengenai nilai martabat eksistensinya, yaitu kemanusiaan
dan kedua kondisinya yang fitri dan yang kasbi. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksanaan”[29].
Oleh
karena itu untuk mendapatkan pengetahuan, harus belajar sebanyak-banyaknya
sesuai dengan kemampuannya. Dengan bantuan pengalaman dari banyak peristiwa
yang terjadi seseorang akan memperoleh pengetahuan hingga dapat diketahui apa
yang harus dilakukan dan apa yang yang tidak harus dilakukan[30].
Konsep Ibnu Khaldun tersebut tentu tidak lepas dari pengalamannya
bertahun-tahun berkecimpung dalam berbagai bidang kehidupan, dari menuntut ilmu
sampai menjadi praktisi politik, hukum, pendidik, dan akhirnya mengarang buku.
Sehingga hal itu mendorong gagasan-gagasannya mengenai pentingnya usaha mencari
pengetahuan dan belajar sebanyak-banyaknya.
Berkaitan
dengan hal ini pula, Ibnu Khaldun menjelaskan kata-kata terkenal, yaitu :
“Barangsiapa tidak dididik oleh orang tuanya, akan dididik oleh jamannya”. Ia
menjelaskan :
“Barangsiapa
memperoleh tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan dengan
pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para
sesepuh dan tidak mempelajari hal-hal dari mereka, maka ia akan mempelajarinya
dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman.
Zaman akan mengajarkannya, dan kitapun lalu tidak memiliki sesuatu persepsi
secara rinci mengenai alam ini, kecuali yang dapat kita petik dari persepsi
syari’ah yang dijelaskan dan dikokohkan oleh iman[31].
Dari
uraian tersebut dapat dipahami bahwa, teorinya tentang ilmu menunjukkan bahwa
ia adalah seorang empiris, bahwa pengetahuan didapat dengan perantaraan
pancaindera atau pengalaman sebanyak-banyaknya. Namun lebih lanjut Ibnu Khaldun
menerangkan bahwa di balik yang nampak oleh indera yang menjadi sumber
pengetahuan ada yang di atas alam manusia yaitu alam spiritual, dan untuk
mencapainya melalui mistik dan wahyu[32].
Berangkat
dari penjelasan tentang sumber pengetahuan tersebut, Ibnu Khaldun
mengklasifikasi ilmu menjadi dua, yaitu pertama, ilmu naqli yang diperoleh dari wahyu dan bersumber dari Al Qur’an
dan Hadits[33].
Macamnya ilmu naqli adalah, al Qur’an,
Hadits, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Kalam, tasawuf dan ilmu ta’bir ru’ya. Sedangkan yang kedua adalah ilmu filsafat yang
diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir dan alat untuk memperolehnya
adalah indera dan akal[34].
Ilmu ini dibagi menjadi empat, yaitu ilmu logika (mantiq), fisika, metafisika dan matematika[35].
Namun yang jelas Ibnu Khaldun mengakui bahwa sumber pengetahuan di samping
indera dan akal, juga dari wahyu. Hal ini membuktikan bahwa epistemologinya
tidaklah sama sekali menolak terhadap pengetahuan yang suprarasional. Hal itu
pulalah yang membedakan empirismenya Ibnu Khaldun dengan empirismenya John
Locke, yang menurutnya segala pengetahuan berasal dari pengalaman, tidak lebih
dari itu[36].
D.
Epistemologi
Ibnu Khaldun Guna Pengembangan Pendidikan
Pendidikan Islam yang
menjadi tulang punggung terbentuknya masyarakat baik, nampaknya memerlukan visi
dan orientasi yang jelas. Dalam arti pendidikan hendaknya mampu memberikan
output yang siap menghadapi setiap tantangan zamannya, sehingga mampu menjawab
kebutuhan masyarakat. Namun realita menunjukkan bahwa hingga kini output
pendidikan Islam tidak banyak memberikan kontribusi dalam menjawab tantangan
zaman. Oleh karena itu, dengan adanya dinamika atau perubahan yang tidak dapat
dihindari menuntut kita untuk selalu berani mengadakan perubahan-perubahan fundamental
dalam pendidikan. Hal ini perlu disadari oleh para pakar akan signifikansi
pendidikan dalam kehidupan modern untuk selalu melakukan perubahan-perubahan
fundamental mengenai pendidikan[37].
Berkaitan dengan perlu
adanya perubahan fundamental tersebut, Al Faruqi[38]
berargumen sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Sardar, sebagai berikut :
“Keresahan umat hanya dapat dihilangkan dengan suntikan epistemologi. Tugas
yang dihadapi ummah adalah memecahkan masalah pendidikan”
Lebih lanjut Al Faruqi
menyatakan :
“Tidak ada harapan akan
kebangkitan ummah yang sejati kecuali sistem pendidikan diubah dan
kesalahan-kesalahannya diperbaiki. Sesungguhnya yang dibutuhkan bagi sistem itu
adalah dibangunnya bentuk yang baru. Dualisme yang ada sekarang dalam
pendidikan muslim, percabangan menjadi sistem Islam dan sistem sekuler harus
dipuaskan dan dihilangkan dengan tuntas. Kedua sistem tersebut akan disatukan
secara integral; dan sistem yang lahir harus diisi dengan semangat Islam dan
berfungsi sebagai suatu bagian terpadu dari program ideologinya”[39].
Adanya kesadaran
tersebut menunjukkan pentingnya sebuah epistemologi yang menjadi problem dalam
pendidikan Islam. Sebagai salah satu contoh adalah akan berubahnya IAIN menjadi
Universitas, yang secara otomatis adanya kajian lintas disiplin ilmu. Adanya
ilmu-ilmu umum baik yang eksak maupun sosial seperti matematika, astronomi,
fisika, kimia, biologi, psikologi dan sebagainya, berpeluang untuk merekrut
dosen-dosen dari universitas umum. Mulyadhi Kartanegara memandang, bahwa tenaga-tenaga
pengajar ini, boleh jadi benar-benar menguasai bidang mereka masing-masing.
Tetapi dari sudut epistemologi, mereka pasti mempunyai pandangan berbeda satu
sama lain. Hal ini berimplikasi pada kebingungan mahasiswa dalam membangun
paradigma berpikir, karena memperoleh pengajaran dari epistemologi yang berbeda
(kontras)[40].
Sebagai contoh satu epistemologi yang menyatakan sumber ilmu hanyalah indrawi,
dan metodenya observasi, sedangkan yang lain sumber ilmu adalah inderawi, akal
dan hati, sedangkan yang lain lagi hanya indera dan akal. Hal ini menjadi
problem yang serius, dan memerlukan solusi epistemologi yang jelas dan terarah
sesuai dengan Islam.
Berangkat dari
persoalan atau problematika ini, penulis mencoba menawarkan epistemologi Ibnu
Khaldun sebagai epistemologi alternatif dan pengembangan dan perbaikan
pendidikan Islam. Seperti yang telah diuraikan, bahwa ilmu pengetahuan
diperoleh selain dari pengalaman inderawi dan akal yang memerlukan metode
observasi atau eksperimen inderawi, juga diperoleh dari wahyu. Dengan demikian
singkatnya untuk memperoleh pengetahuan tidak hanya menggunakan metode
observasi tetapi juga metode rasional dan intuitif. Metode ini mengakui metode
eksperimental (dzauq) seperti yang
dikembangkan oleh kaum sufi (mistikus muslim).
Dari sini nampak bahwa
epistemologi Ibnu Khaldun cukup relevan dalam pengembangan filsafat pendidikan
Islam. Hal ini juga untuk mengarahkan “kiblat” epistemologi pendidikan Islam
secara jelas, dengan format dan bentuknya sesuai dengan ajaran Islam. Sebab munculnya
persoalan epistemologi pendidikan Islam itu di antaranya karena “kiblat”nya
belum jelas, bahkan kalau tidak terlalu berlebihan bahwa epistemologi
pendidikan Islam masih mengikuti epistemologi Barat. Sehingga menurut Chabib
Thoha, yang terjadi adalah perkembangan ilmu pendidikan Islam masih memiliki
sikap mendua, pertama, ketika melihat
temuan teori pendidikan dari Barat maupun Timur yang dikembangkan di lingkungan
cenderung diterima tanpa kritik kemudian dicarikan dalil-dalil al-Qur’an maupun
Hadits yang terkadang cenderung dipindahkan, kemudian kedua, sikap yang sangat normatif dalam menghadapi dalil-dalil
al-Qur’an maupun Hadits cenderung tidak melalui tahap analisis yang cukup
mendalam[41].
Berangkat dari
epistemologi Ibnu Khaldun, maka paradigma pengembangan pendidikan Islam yang
relevan dan perlu untuk dicermati adalah Pertama,
mengintegrasikan antara ilmu sekuler dan ilmu agama dengan prinsip, bahwa
proses perolehan pengetahuan hakekatnya adalah untuk kebaikan bagi dirinya.
Bukan berorientasi kepada satu sisi saja yang akan mendatangkan kesesatan dan
kesengsaraan. Dalam hal ini ada keseimbangan antara ilmu naqli dan ilmu filsafat. Kedua, mengusahakan untuk
meningkatkan kemampuan, dorongan dan kesempatan seluas-luasnya untuk
mendapatkan wawasan pengetahuan seluruh bidang keislaman. Sebab manusia diberi
kemampuan oleh Allah berupa akal dan hati untuk membedakan dengan makhluk lain.
Ketiga,
menerapkan nilai-nilai spiritual yang seimbang kepada anak dalam rangka balance terhadap seluruh potensi yang
dimilikinya. Keempat, mendasarkan proses pendidikan kepada al-Qur’an dan
Hadits sebagai pedoman dan pijakan dalam pengembangan ilmu.
Paradigma tersebut
mempunyai implikasi terhadap upaya pengembangan pendidikan Islam sekarang.
Sebagai contoh, dalam pengembangan IAIN di masa depan yang menurut A. Qodri
Azizy, bisa dikembangkan dengan pola, pertama,
menjadikan IAIN sebagai lembaga pendidikan untuk mencetak tenaga ahli dalam
ilmu-ilmu keislaman atau ulama-ulama sekaligus pemimpin agama. Dengan kata
lain, mencetak ulama abad 21. Pola ini, menurut Qodri Azizy, Islam dikaji
secara akademik dan ilmiah dengan tetap bertujuan untuk mengamalkan ajaran
Islam yang benar dan tepat. Kedua,
pada lapangan kerja atau orientasi pasar[42].
Pola tersebut
sebenarnya tidak bisa lepas dari bagaimana paradigma keilmuan yang dibangun.
Artinya, ketika tidak mempunyai epistemologi keilmuan yang jelas, maka akan
menimbulkan lulusan-lulusan yang salah arah. Misalnya, pola pertama yang
berorientasi mencetak ulama masa depan, secara metodologis memerlukan landasan
berpikir yang islami, dan secara materi keilmuan juga memerlukan landasan teori
yang islami pula. Tegasnya, harus mempunyai epistemologi yang islami. Kalau hal
ini diabaikan, maka yang akan terjadi adalah lulusan-lulusan yang hanya ahli
tentang Islam saja atau islamolog,
dalam hal ini – meminjam istilah Quraish Shihab – tidak “membumi” bukan menjadi
sekuler,
Demikian juga pola
kedua, jika tidak diperjelas orientasi keilmuan yang diberikan, hanya karena
memenuhi tuntutan pasar yang secara otomatis IAIN mengajarkan lintas disiplin
ilmu, maka yang terjadi adalah sikap materialis yang cenderung melupakan
nilai-nilai agama. Oleh karena itu, keempat paradigma di muka nempaknya tidak
terlalu berlebihan untuk menjadi alternatif dalam memperjelas arah atau
orientasi pengembangan pendidikan Islam. Dimana secara riil, bila keempat
paradigma pengembangan tersebut diterapkan, maka IAIN yang membuka disiplin
“ilmu lain” yang biasa dianggap ilmu “non agama”, ilmu tersebut harus berangkat
dari Islam tanpa menghilangkan ciri empiris ilmu itu sendiri. Sehingga ilmu
tersebut menjadi misalnya, ilmu ekonomi Islam atau politik Islam, sosiologi
Islam dan sebagainya.
Hal itu perlu untuk
dilakukan, sebab bila tidak dilakukan yang terjadi adalah secara otoritas
keilmuan (kualitas lulusan), masyarakat akan lebih mengakui lulusan ekonomi
UNDIP atau lulusan Sosial Politik dari UGM dan lain-lain dari pada lulusan
ekonomi dan sospol dari IAIN (setelah menjadi universitas). Akibat lain yang
terjadi adalah kesimpangsiuran tujuan IAIN, karena landasan epistemologinya
yang kontras antara ilmu satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan hal
ini, untuk mewujudkan gagasan tersebut
di atas pola yang lebih tepat adalah pengembangan keduanya, yaitu ulama dan
tuntutan pasar yang menurut Qodri Azizy harus dilakukan kajian ilmu-ilmu Islam
dahulu sebagai modal dasar untuk landasan dalam pengembangan IAIN yang nantinya
akan membuka fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan yang bermuara pada tuntutan
pasar dengan tetap pada kerangka ilmu-ilmu Islam. Epistemologi yang digunakan
dalam pengembangan ini adalah berangkat dari kenyataan empirik dan sumber wahyu
yang saling mengontrol.
E.
Kesimpulan
Persoalan epistemologi
adalah persoalan yang sangat penting dalam dunia pendidikan Islam. Untuk
merumuskan formulasi epistemologi dalam pengembangan pendidikan Islam,
nampaknya tidak perlu secara total menggunakan epistemologi Barat. Sebab masih
ada epistemologi dari para pemikir Islam yang gagasan-gagasan pemikirannya
dapat dijadikan “kiblat”, yang mengintegrasikan antara indera, akal dan wahyu.
Keempat paradigma yang
ditawarkan di muka sebenarnya sudah tidak asing lagi atau tidak terdapat
sesuatu yang baru untuk dijadikan landasan pengembangan pendidikan Islam.
Walaupun demikian, penelitian ini yang mencoba mengemukakan ide-ide yang sleama
ini terpendam dan cenderung dilupakan mengenai epistemologi Islam, paling tidak
menambah wawasan pengetahuan mengenai akan adanya epistemologi Islam yang
“embrionya” berasal dari pemikir Islam, yaitu Ibnu Khaldun.
Waluapun ia dapat
dikategorikan sebagai seorang empiris, namun empirismenya Ibnu Khaldun berebda
dengan empirismenya John Lock dan para pemikir Barat lainnya. Corak islaminya
masih sangat kental, sehingga tidak berlebihan jika gagasan-gagasannya yang ada
dalam Muqaddimah masih diperlukan
hingga sekarang.
Wallahu a’lam Bish
Shawab.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Wahid Wafi, Ali, Abdurrahman Bin Khaldun, Terj. Akhmadi
Tiha, Ibnu Khaldun : Riwayat dan Karyanya
(Jakarta : Grafiti Press, 1985).
Abdullah, Amin, Dr.,
M., Studi Agama : Normativitas dan
Historistas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Abdullah, Syamsuddin, Agama dan masyarakat : Pendekatan Sosiologi
Agama (Jakarta : Logos, 1997).
Abudin Nata, Drs., H.,
M.A., Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
Ahmad, Amrullah,
“Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita
dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991).
Amin, Miskah Muhammad, Epistemologi Islam : Pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1983).
Depag. R.I., Ensiklopedi Islam, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana di
Perguruan Tinggi Agama IAIN, Jakarta, .t.t..
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern,
jilid 2 (Bandung : Mizan, 2001).
Fuad Baali dan Ali
Wardi, Ibnu Khaldun An Islamic Thought
Style A Sosial Perspecive, Terj. Mansuruddin dan Akhmadi Taha, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989).
Hadiwijono, Harun, Dr.,
Sari Sejarah Filsafat Barat 1
(Yogyakarta : Kanisuis, 1996).
---------------, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta : Kanisius, 1996).
Hidayatullah, Syarif, “Pengembangan Pendidikan Islam : Suatu
Telaah Epistemologi”, Jurnal Al
Jami’ah, No. 61/1998.
Issawi, Charles, M.A., An Arab Philosophy of History, Terj. Dr.
Mukti Ali, Filsafat Islam Tentang Sejarah
(Jakarta : Tintaman, 1976).
Kartanegara, Mulyadhi, “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif
Filosofis”, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendri Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN : Ontologi
Pendidikan Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag. RI., Jakarta 2000).
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Terj. Akhmad Taha, cet. 1 (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1986).
Khudhairi, Zainab, Dr.,
Falsafah al Tarikh ‘Inda Ibnu Khaldun,
terj. Ahmad Rofi’ Usmani, Filsafat Sejarah
Ibnu Khaldun (Bandung : Pustaka, 1987).
Koentowibisono, Prof.,
Dr., “Filsafat Ilmu Dalam Islam”, dalam H.M. Chabib Thoha, M.A. dan Drs, Fatah
Syukur, Nc dan Priyono, S.Pd., Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Kurianto, Rido,
“Empirisme Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah dan John Lock”, dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Program
Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vo. 2 No. 2, Juli
2000.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i,
Dr., Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis
Barat dan Timur (Jakarta : Gema Insani Press, 1996).
Madjid, Nurcholis, Kahasanah Intelektual Islam (Jakarta :
Bulan Bintang, 1994).
Nasution, Harun, Prof.,
Dr., Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).
Rovi’in, M.Ag., “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu
Khaldun”, Tesis, Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang.
Sardar, Ziauddin, Islamic Future : The Shape of Ideas to Come,
Terj. Rahmani Astuti, Masa Depan Islam
(Bandung : Pustaka, 1987), hlm. 95.
Siregar, Marasudin, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun : Suatu
Analisa Fenomenologi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999).
Sudarto, Drs., Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta
: Raja Grafindo, 1996).
Sumantri, Yuyun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer
(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Thoha, Chabib, Drs.,
H.M., M.A., “Reformulasi filsafat
Pendidikan Islam”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Yatim, Badri, Drs., H.,
M.A., Historioigrafi Islam (Jakarta :
Logos, 1997).
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : Bulan
Bintang, 1996), hlm. 13.
[2]
Nurcholis Madjid, Kahasanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1994),
hlm. 35.
[3]
Amrullah Ahmad, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1991).
[4]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta : Kanisuis, 1996),
hlm. 22.
[5]
Syarif Hidayatullah, “Pengembangan Pendidikan Islam : Suatu Telaah
Epistemologi”, Jurnal Al jami’ah, No. 61/1998, hlm. 48.
[6]
Charles Issawi, M.A., An Arab Philosophy of History, Terj. Dr. Mukti Ali,
Filsafat Islam Tentang Sejarah (Jakarta : Tintaman, 1976), hlm. 19.
[7]
Rovi’in, M.Ag., “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun”, Tesis,
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
[8]
Marasudin Siregar, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun : Suatu Analisa Fenomenologi
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999).
[9]
Dia dikenal dengan Ibnu Khaldun, sebab dihubungkan dengan garis kepada kakeknya
kesembilan yaitu Khalid bin Usman. Dan dia adalah orang pertama dari marga ini
yang memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab. Dia dikenal
dengan nama Khaldun sesuai dengan kebiasaan orang-orang Andalusia dan
orang-orang Maghribi. Mereka menambahkan huruf “waw” dan “nun” di belakang
nama-nama orang terkemuka sebagai tanda penghormatan dan ta’dzim seperti Khalid
menjadi Khaldun. Lihat Dr. Ali Abdul Wafi, Abdurrahman Bin Khaldun, Terj.
Akhmadi Tiha, Ibnu Khaldun : Riwayat dan Karyanya (Jakarta : Grafiti Press,
1985), hlm. 4.
[10]
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun An Islamic Thought Style A Sosial
Perspecive, Terj. Mansuruddin dan Akhmadi Taha, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran
Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 9.
[11]
Ali Abdul Wahid Wafi, Loc.cit.
[12]
Charles Issawi, M.A., Op.cit., hlm. 3.
[13]
Drs. H. Abudin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997), hlm. 172.
[14]
Depag. R.I., Ensiklopedi Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana di Perguruan Tinggi Agama
IAIN, t.t.), hlm. 387.
[15]
Lebih lanjut lihat Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan
Penulis barat dan Timur (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 18-23.
[16]
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jilid 2 (Bandung :
Mizan, 2001), hlm. 243.
[17]
Mengenai gagasan Ilmu Umran, sudah pernah diteliti oleh Dr. Al Syafi’I Ma’arif,
lihat Loc.cit.
[18]
Lihat Syamsuddin Abdullah, Agama dan masyarakat : Pendekatan Sosiologi Agama
(Jakarta : Logos, 1997), hlm. 57-64.
[19]
Ibnu dianggap sebagai sejarawan karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai
seorang sejarawan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Drs. H. Badri Yatim, M.A.,
dalam bukunya Historioigrafi Islam (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 144-145. Dan
Dr. Zainab Khusdhairi memandang Ibnu Khaldun sebagai seorang filosof sejarah,
lihat Drs. Zainab Khudhairu, Falsafah al Tarikh ‘Inda Ibnu Khaldun, alih bahasa
Ahmad Rofi’ Usmani, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Bandung : Pustaka, 1987),
hlm. 54.
[20]
Mulyadhi Kartanegara, “Membangun Kerangka Ilmu” Perspektif Filosofis”, dalam
Komaruddin Hidayat dan Hendri Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN : Ontologi
Pendidikan Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta :
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, RI, 2000), hlm.
263.
[21]
Prof. Dr. Koentowibisono, “Filsafat Ilmu Dalam Islam”, dalam H.M. Chabib Thoha,
M.A. dan Drs, Fatah Syukur, Nc dan Priyono, S.Pd., Reformulasi Filsafat
Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 11-12. Lebih lanjut
lihat Yuyun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 105.
[22]
Dr. M. Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas dan Historistas (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 243.
[23]
Misfkah Muhammad Amin, Epistemologi Islam : Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1983), hlm. 3.
[24]
Syarif Hidayatullah, “Pengembangan Pendidikan Islam : Suatu Telaah
Epistemologi”, Jurnal Al Jami’ah, No. 61/1998, hlm. 49-51.
[25]
Lihat Dr. Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat barat 2 (Yogyakarta :
Kanisius, 1996), hlm. 63-145, dan lihat juga Prof. Dr. Koento Wibisono, Op.
Cit., hlm. 10.
[26]
Miskah Muhammad Amin, Op. Cit., halm. 11.
[27]
Mengenai persoalan kontroversi pemikiran Ibnu Khaldun, lihat lebih lanjut hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif yang berjudul
“Ibnu Khaldun : Pemikiran Tentang Sejarah dan Ilmu Umran (Kajian Kritis
Terhadap Wacana Kontemporer Tentang Muwaddimah)”, yang sekarang telah
diterbitkan dengan judul Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur
(Jakarta : Gema Insani Press, 1996).
[28]
Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadi Taha, cet. 1 (jakarta :
Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 532.
[35]
Mengenai klasifikasi ilmu secara rinci dan tertib, dapat dilihat lebih lanjut
dalam tesis Rovi’in, M.Ag., “Pemikiran Menurut Ibnu Khaldun”, hlm. 51-63, dan
Muqaddimah Ibnu Khaldun, tentang ilmu pengetahuan, hlm. 543-712.
[36]
Akal tidak melahirkan pengetahuan dari diri sendiri. Semua akal serupa dengan
secarik kertas yang tanpa tulisan yang menerima segala sesuatu yang datang dari
pengalaman. Lebih lanjut lihat Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
barat 2 (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 36-39. Lihat juga hasil penelitian
Rido Kurianto yang berjudul “Empirisme Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah dan John
Lock”, dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Program Magister Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vo. 2 No. 2, Juli 2000, hlm. 210-233.
[37]
Misalnya, adanya seminar di Semarang tanggal 2-4 April 1994 oleh Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, tentang Reformulasi Filsafat Pendidikan
Islam, sebagai upaya untuk menata kembali pola pikir kependidikan Islam yang
lebih terarah. Di situ para pakar pendidikan mencoba memberikan gagasan-gagasannya
mengenai landasan filosof pendidikan Islam, misalnya Porf. Dr. Koento Wibisono,
Prof. Dr. Noeng Muhajir, dan lain-lain. Kemudian pada tanggal 19-21 Agustus
1995, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung juga mengadakan seminar serupa.
[38]
Al Faruqi dikenal dengan gagasannya mengenai Islamisasi Pengetahuan. Ia lahir
di Jaffa, Palestina, 1921. Gagasannya tentang pendidikan adalah mencoba
menyatukan pendidikan sekuler dan agama dengan cara mengislamisasikan sistem
sekuler dan memodernisasikan sistem agama. Lebih lanjut lihat, The Growth
Islamic Thought in North America Focus Ismail Al Faruqi, yang berisi riwayat
dan gagasan pemikirannya yang ditulis oleh salah seorang muridnya sendiri. Buku
ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Mendidik
Generasi Baru Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 171.
[39]
Ziauddin Sardar, Islamic Future : The Shape of Ideas to Come, Terj. Rahmani
Astuti, Masa Depan Islam (Bandung : Pustaka, 1987), hlm. 95.
[40]
Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hlm. 251.
[41]
H.M. Chabib Thaha, M.A., “Reformulasi”, Op. Cit., hlm. Pengantar.
[42]
A. Qodri Aziyi, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan IAIN”, dalam Komaruddin
Hidayat dan Hendri Prasetyo, Op. Cit., hlm. 34-37.