STUDI ANALISIS ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME
(Pengaruhnya Terhadap Studi Islam)
Oleh : Ulin Nuha, M.Ag.
Abstraksi : Bagaimana respon sarjana muslim ketika
bersentuhan dengan Barat ?. Ada tiga respon, yaitu pertama, mengambil
model-model Barat apa adanya, atanpa mempertimbangkan ekses-ekses negatifnya.
Kerangka berfikir Barat digunakan untuk memahami Islam dan masyarakatnya.
Kelompok ini beranggapan bahwa ada aspek-aspek Islam yang harus disesuaikan dengan Barat. Dalam
hal ini, kita tidak perlu khawatir terhadap sarjana-sarjana muslim yang belajar
dari keilmuan Barat, karena yang diterapkan dalam memahami Islam lebih lanjut
adalah metodologinya dan tentunya harus disesuaikan dengan Islam di dunia
muslim sendiri. Kedua, mereka yang mengambil aspek-aspek tertentu saja
dari Barat, misalnya metodologinya untuk memahami Islam. Kelompok ini berusaha
melakukan akulturasi dan asimilasi antara Islam dan Barat Hal ini diambil
dengan pertimbangan adanya perbedaan sistem nilai yang berlaku dalam dua latar
kebudayaan tersebut. Pada kelompok in berlaku adanya suatu filter sehingga
tidak semua ide-ide Barat diterima. Ketiga, setelah bersentuhan dan
sudah lama makan asam garam Barat, Bahkan menetap disana, tetapi justru menjadi
penentang world view Barat dan ceanderung menjadi “fundamentalis”.
Kelompok ketiga ini tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap Barat dan
enggan melakukan kompromo dan mengharmonisasikan Islam yang bersumber dari
inspirasi Illahi dengan world view Barat, bahkan mengkonfrontasikan
antara world view Islam dan Barat.
Kata Kunci : Studi
Islam, Orientalisme, Oksidentalisme
A.
Pendahuluan
Agama islam telah menjadi obyek studi sarjana Barat,
bahkan Islam sudah menjadi karir sarjana Barat yang melahirkan orientalisis dan
islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang
besar pada studi Islam karena mereka memandang Islam bukan sekedar agama tetapi
jug merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang
patut diperhitungkan.
Kajian tentan orintalisme sudah memiliki akar tradisi
yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah
berkembang berpuluh-puluh tahu atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan
alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru di dunia
Timur terutama dunia Islam.[1]
Hegemoni dan penguasaan Barat atas Timur menciptakan kebencian rasial yang
semakin memuncak. Kebencian tersebut tidak hanya diekspresikan sebatas sikap
pasif, tetapi usaha-usaha menjawab dan membongkara kepalsuan Barat sudah banyak
dilakukan. Misalnya Edward Said, intelektaual keturunan Palestina, meluncurkan
bukunya yang berjudul Orientalis.
Menurut Komarudin Hidayat, dalam karya tersebut Said
tidak hanya menyajikan kajian baik tentang Timur, tetapi sekaligus juga
menyeruak selubung-selubung ideologis negatif yang selama ini menhinggapi Barat
dalam melihat Timur. Bahkan dalam kadar tertentu Said telah membuka jalan bagi
munculnya kesadaran baru tentanag perlunya menjadikan Barat sebagai bahan kajian
yang disebut oksidentalisme.[2]
Oksidentalisme atau usaha untuk mengkaji Barat menjadi
sebuah pendekatan dan konsep membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam
melihat Islam. Orientalisme maupun oksidentalisme keduanya merupakan produk
sejarah yanga memiliki muatan ideologis yang memberikan respon dan kritik balik
terhadap serangan orientalisme terhadap Islam. Oksidentalisme masih merupakan
wacana yang sangat baru, namun menurut Hasan Hanafi sebagaimana dikutip oleh
Komaruddin Hidayat, secara historis prototip Oksidentalisme sebenarnya dapat
dilacak sejak terjadinya pertemuan antara Barat dan Timur, antara masyarakat
Kristen di Barat dan Muslim di Timur.[3]
Lepas dari orientalisme dipandang sebagai ideologi Barat
untuk melakukan hegemoni dan imperalisme terhadap dunia Timur terutama Islam
ataupun oksidentalisme yang juga memiliki muatan ideologis, namun yang menjadi
persoalan adalah sejauh manakah keduanya berpengaruh terhadap studi Islam.
Apakah hal itu hanya sebuah wacana ilmiah yang memang harus disikapi secara
serius sebagai bagian dari perkembangan intelektual di dunia akademik. Atau
harus dilakukan sesuatu untuk membendung arus perkembangan keilmuan tersebut
dalam rangka menghilangkan prasangka negatif terhadap Islam. Sebab kebearadaan
orientalisme dan oksidentalisme telah menimbulkan stigma dikalangan umat islam
bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat
tentang Islam selalu dicurigai . Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni
IAIN yang memperoleh kesempatan menagambil program lanjutan di perguruan tinggi
Barat dan bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali
dicurigai sebagai telah berpengaruh atau terkaminasi oleh pemikiran orientalis.
B.
Pengertian Orientalisme dan Oksidenatalisme
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme dan
oksidentalisme, diantaranya menurut Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., ia
mendefinisikan orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari
masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan
masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.[4]
Sedangkan menurut Ismail Yakub, bahwa orientalisme adalah :
“Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu
megenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya,
keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangaasa adan negeri
Timur”.[5]
Maxime Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir
menerangkan bahwa orientalisme mula-mula mempelajari Islam, “mempelajari” bukan
sekedar mengenal tetapi mempelajari secara sistematis, profesional, dan
terorganisir.[6]
Adapun orientalisme, dengan menambahkan “isme” dibelakang kata “orientalis”
berarti ajaran atau paham tentang dunia Timur yang dibentuk oleh opini Barat.[7]
Walaupun orientalisme mengandung konotasi negatif dikalangan para penulis
Timur, tetapi dalam paper ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu
sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada
mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk
peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan
tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme. Secara lebih jelas Hassan Hanfi memberikan pemahaman oksidentalisme
sebagai berikut :
“Apabila orientalisme ego (Timur) melalui The
Other (Barat), maka oksidentalisme bertujuan mengurangi simpul sejarah yang
mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara
kompleksitas inferoritas (Murikab al-Naqish) pada ego dengan
kompleksitas superioritas (Murokab al Uzhma) pada pihak the other”[8]
Lebih lanjut menurut Asyaukanie, secara harfiah
oksidentalisme berarti hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik itu budaya,
ilmu dan aspek sosial lainnya.[9]
Secara historis studi tentang keberatan sudah mulai sejak awal era kebangkitan
Islam atau dunia ketiga lainnya. Tetapi studi-studi tersebut masih sarat dengan
analisis diskriptif yang sumbernya utamanya adalah Barat sendiri yang pada
akhirnya kajian-kajian Barat. Model seperti ini belum mempresentasikan apa yang
dimaksud dengan format oksidentalisme diskursif (discusive formation), yaitu
satu wacana yang melihat dan mengkaji Barat dari luar Barat, seperti para
orientalis yang mengkaji Timur dengan perpspektif Barat.[10]
C.
Akar Dan Tujuan Orientalisme dan Oksidentalisme
Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat
penguasaan terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat
ekstensi Barat khususnya yang menyangkut dunia Arab Islam. Ssejarah orientalis
bermula dari kajian atas karya-karya ilmiah dari karya budaya kaum muslim
setelah adanyta interaksi dan pergantian
kuasa wilayah Islam di belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang
salib di kota-kota suci Islam di daerah Syam dan Palestina.[11]
Sebagai dua bangsa yang bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan
sendirinya akan sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat
perang salib bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif.
Pandangan negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang
Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang
merasa sebagai superior menimbulkan pandangan bahwa selain bangsa, budaya dan
agama Barat tergolong bangsa, ideologi dan agama yang inferior. Mereka melihat
Islam sebagai agama teror, agama perusuhan dan gerombolan orang-orang yang
patut dibenci. Kedua, sikap apologis, yang bertujuan menyerang keyakinan
dasar Islam dan untuk memperkuat
kedudukan Kristen. Ketiga, Islam dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi /
Kristen yang sesat.[12]
Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya
orientalisme, pertama, tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa
Timur (Arab –Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam
level penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran
merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik
karya Ibnu Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang
diterjemahkan kedalam bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan orientalisme
ini adalah John of Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard. Tahapan kedua
adalah era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik Barat
masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di belahan Timur, maka pada tahapan
kedua ini setelah gelombang perang salib
di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang
menyertai “misi suci” tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan
sumber-sumber asli peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal abad
ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya.
Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonisme dan
imeperalisme eropa kehampir seluruh negeri dan bangsa non-barat, dunia Islam
khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan “ajudan” apara kolonialis dan alat
yang palinga ampuh untuk mendalami
kondisi sosial-historis negeri-negeri jajahan baru. Dalam tahapan ini orientalisme bertukar peran, kalau sebelumnya
sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit banyak adanya
nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar menjadi penguasaan
dalam perampasan hak-hak Timur dilegitimasi lewat kolonialisme. Timur telah
menjadi obyek kekuasaan dan kesemena-menaan bangsa yang lebih kuat bukan lagi
menjadi obyek studi yang harusnya.[13]
Namun
dalam hal ini, tidak bisa disimpulkan
bahwa seluruh orientalis adalah “
jahat” mempunyai niat buruk dalam mengkaji timur terutama Islam. Tetapi ada
juga para oprientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari Islam dan
Ketimuran. Berkaitan dengan tujuan orientalis melakukan kajian mengenai Islam
dan ketimuran, Ismail Jakub
mengklasifikasi menjadi beberapa macam tujuan. Yaitu, ada yang didorong oleh
rasa keagaamaan, ada yang karena dorongan penjajahan, dorongan perniagaan, politik
dan ada pula yang karena dorongan keilmuan.[14]
Menurut
Asy Syaukanie, orientalisme pada akhirnya setelah mendapatkan kritik dari
beberapa sarjana Islam atau Timur, misalnya, Tibawi, Anwar Abdul Malik,
Abdullah Latovi dan said, dan dari barat sendiri seperti Faucoult, Recour dan
Bordeouw tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya.
Para pengkaji ketimuran dari Barat ada yang merasa risih untuk disebut dirinya sebagai orientalis,
karena istilah tersebut sangat prejoratif. Mereka lebih senang disebut sebagai “Islamiolog dan sejenisnya”.[15]
Kritik yang sering dilontarkan kepada
kaum orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka hanya terbatas pada aspek eksternalitas
(lahiriah) dari agama. Mereka tidak dapat memahami wilayah “internal’ dari
agama yang diteliti.[16]
Secara
garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama.[17]
Pendekatan dalam kajian teologis yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di
Eropa, menyodorkan pemahaman normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para
pengkaji agama-agama. Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari
pemahaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisa dalam kajian
bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim. Keimanan dan
kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan sesuai
dengan perkembangan keilmuan di Barat, maka pendekatan sejarah agama ini
menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam, di Barat.
Dengan dapat dipahami bahwa wajar kalau hasil kajian para orientalis tersebut
tidak menyentuh pada aspek internal pemeluknya, karena memang pendekatan yang
dipakai adalah pendekatan sejarah agama-agama (jika memakai pendekatan menurut
Asyumardi Azra).
Pada
perkembangan selanjutnya, setelah orientalis dikritik baik secara pendekatan
keilmuan maupun keburukan-keburukan (niat jahat) menjadi terbongkar, kini
orientalisme menjadi obyek kajian. Kajian orientalisme sebagai obyek yang dilakukan dibeberapa universitas Muslim pada tahapan-tahapan
selanjutnya mengilhami studi lebih lanjut akan budaya Barat yang dilihat dari
sudut pandang persepektif “selain Barat”.
Hanafi menulis mengenai oksidentalisme
sebagaimana di kutip oleh Asy Syaukanie bahwa :
“Oksidentalisme
adalah lawannya orientalisme. Ilmu yang sangat penting diwujudkan buat masa
sekarang, setelah Barat untuk yang kedua kalinya mulai menancapkan lagi
kuku-kolonialismenya…Bagaimanapun, oksidentalisme merupakan imbangan buat
kebudayaan manusia, karena dengan ini kelak akan tidak ada lagi bangsa yang
mendakwa dirinya sebagai bangsa yang superior.”[18]
Oksidatilesme
bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau orientalisme terbalik, atau
orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi atas westernisasi.
Oksidentalisme bertujuan untuk
mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai
pusat kekuatan serta meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme
Eropa untuk kemudian d ilakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata
lebih obyektif dan netral serta lebih bersikap adil terhadap andil seluruh peradaban manusia
dalam sejarah dunia.
D. Pengaruhnya Terhadap
Studi Islam
Studi
Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana
muslim tamatan universitas-universitas
Barat terhadap Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua
pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari
dua pendekatan tersebut pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan
dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin
traditional. Pertama, adalah
mereka yang berakar pada disiplin humaniora traditional, yang mencakup
filologi, filsafat, literature dan sejarah. Kedua, yang berakar pada disiplin teologi,
seperti sejarah kitab suci dam sejarah
institusi-institusi agama. Ketiga, yang berakar pada ilmu-ilmu sosial,
khususnya antropologi, linguistic dan psikologi. Dan Keempat, yang berakar pada studi-studi kawasan yang
menjadi salah satu titik tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya
kajian Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara).
Pertumbuhan
minat untuk memahami Islam lebih sebagai
“tradisi keagamaan yang hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan
doktrin”, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan
pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di
Amerika Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya
dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan
H.A.R. Gibb.[19]
Pada umumnya orientalis membahas Islam dengan pendekatan saintifik. Fenomena Islam
dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendakatan historis,
sosiologis, psikologis dan sebagainya.[20]
Pendekatan tersebut meskipun turut memberikan kontribusi bagi studi Islam,
namun kelemahannya yang besar adalah Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik
sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi
tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Lebih
lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga menganalisis bahwa
terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang
dilakukan oleh orientalis. Pertama,
kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat
“esensialis” yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan
muslim dalam rangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain berlaku
pada masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya, terdapatnya radikalisme
kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku
dan absah juga dalam masyarakat muslim di tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh
kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan
distortif tentang Islam dan masyarakat
muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang
Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang
dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf, sarjana-sarjana barat misalnya,
menggunakan kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah
tertentu dikalangan kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan kategori-kategori
Islam sendiri.[21]
Tetapi
bagaimanapun juga gambaran mengenai tradisi keilmuan tersebut sebenarnya telah
menjadi diskursus atau wacana ilmiah sejak dulu. Dan bila menelusuri
jejak-jejak muncul dan berkembangnya pemikiran dan pemikir modern dalam Islam, maka
akan didapati realitas bahwa semuanya itu muncul setelah bersentuhan dengan
Barat. Hampir tidak ada suatu negara yang mayoritas berpenduduk Islam dimanapun
yang melakukan modernisasi, tanpa sebelumnya mendapat “penetrasi” dari Barat.
Suatu kenyataan lain yang juga tidak bisa diingkari adalah hampir semua pemikir
modern Islam adalah juga produk Barat. Misalnya, Fazlur Rahman, Iqbal, Ali
Syari’ati, Sayid Qutub, Hasan Hanafi, Abdullah an Na’im, Muhammad Arkoun,
Riffat Hasa, Seyyed Hossein Nasr dan juga pemikir dari Indonesia sendiri,
misalnya, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan lain-lain. Mereka bukan saja
menguasai khasanah keilmuan Islam, tetapi juga keilmuan Barat sekaligus.
Kenyataan ini seolah memberikan suatu keniscayaan bahwa seandainya negara yang
berpenduduk muslim dan pemikirnya tidak bersentuhan dengan Barat, maka tidak
akan muncul gerakan dan pemikiran modern.[22]
Dengan
corak dan karakteristik studi Islam di Barat, seperti dikemukakan di atas,
jelaslah salah satu akar utama cara pandang sarjana-sarjana muslim yang
memperoleh pendidikan lanjutan tentang Islam di universitas-universitas di
Barat. Pendekatan historis terhadap Islam turut membentuk cara pandang mereka
yang sering disebut lebih “liberal” menyangkut Islam. Liberalisme pandangan itu
berkaitan dengan concern mereka pada
umumnya yang memang lebih pada kenyataan historis dan sosiologis Islam
ketimbang doktrin Islam itu sendiri. Di sini mereka kemudian sering dituduh
sebagai tidak atau kurang mempunyai “kesetiaan” kepada Islam, dan sebaliknya
menjadi pengikut “orientalis” belaka. Padahal masalahnya terletak bukan pada
soal setia atau tidak kepada Islam, melainkan pada pendekatan semata-mata. Hal
ini pula yang menjadi kekhawatiran para umat Islam sebagaimana di tulis oleh
Komaruddin Hidayat, bahwa :
“Kajian tentang orientalis sudah
memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun
orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun
cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan
imperalisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah
menimbulkan stigma dikalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana
Barat tentang Islam lalu dicurigai.”[23]
Lebih
dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan mengambil
program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai
sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena
citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka banyak akademisi barat yang
mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih senang disebut sebagai Islamist, bukannya orientalist.
Lebih
lanjut yang menjadi persoalan lagi adalah bagaimana dengan sarjana tamatan
Timur Tengah?. Dimana sarjana-sarjana muslim khususnya Indonesia tamatan Timur
Tengah sering dipandang secara beragam sebagai lebih “setia” dan mempunyai
“komitmen” yang tinggi terhadap Islam. Sehingga tamatan Timur Tengah
menggunakan pendekatan normatif dalam berpikir dan tidak liberal, dan bahkan
cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar seperti itu?
Memang
mengenai sejauhmanakah peran dan pengaruh dua kelompok benar sarjana terhadap
perkembangan Islam mengundang perdebatan yang cukup hangat. Dan hampir
dipastikan perbincangan sekitar masalah ini akan terus berlangsung di masa-masa
mendatang. Secara realita ada juga tamatan Timur Tengah yang liberal, seperti
yang disimbolisasikan oleh Mona Abaza dalam figur Abdurrahman Wahid. Dalam
sketsa biografi Wahid, Abaza tidak luput melukiskan kecenderungan kebebasan
ekspresi intelektual di Mesir; termasuk kekaguman Wahid pada penulis-penulis
liberal Mesir yang terlibat dalam perdebatan hangat dengan kelompok konservatif
dari kalangan Al Azhar. Namun liberalisme Wahid dalam banyak hal tidak dapat
diragukan lagi. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting apakah ia merupakan
representasi “alumni” Kairo.[24]
Corak kajian Islam, baik dengan pendekatan barat maupun Timur Tengah, adalah
bagian yang absah dan diskursus intelektualisme Islam di dunia Muslim. Kedua
corak ini tidaklah dipertentangkan melainkan harus dipandang sebagai
komplementer satu sama lain. Bahkan kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan
atau diharmonisasikan sedemikian rupa untuk mendinamisasikan pemikiran di dunia
Islam.
E.
Penutup
Dari
uraian tersebut diatas dapat di pahami bahwa garis besar, penulis berangkat
dari paradigma mengenai bagaimanakah respon sarjana muslim ketika bersentuhan
dengan Barat. Hal ini dimaksudkan agar dalam studi Islam di Barat tidak terlalu
jauh meninggalkan esensi dasar Islam itu sendiri, dan supaya umat Islam tidak
antipati terhadap sarjana-sarjana lulusan Barat. Ada tiga respon, yaitu pertama, mengambil model-model barat apa
adanya, tanpa mempertimbangkan akses-akses negatifnya. Kerangka berfikir Barat
digunakan untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kelompok ini beranggapan
bahwa ada aspek-aspek Islam yang disesuaikan dengan Barat. Dalam hal ini, kita
tidak perlu khawatir terhadap sarjana-sarjana muslim yang belajar dari keilmuan
barat, karena yang diterapkan dalam memahami Islam lebih lanjut adalah
metodologinya dan tentunya harus disesuaikan dengan Islam di dunia muslim
sendiri. Kedua, mereka yang hanya
mengambil aspek-aspek tertentu saja dari Barat, misalnya metodologinya untuk
memahami Islam. Kelompok ini berusaha melakukan akulturasi dan asimilasi antara
Islam dan barat. Hal ini diambil dengan pertimbangan adanya perbedaan sistem
nilai yang berlaku dalam dua latar kebudayaan tersebut. Pada kelompok ini
berlaku adanya suatu filter sehingga tidak semua ide-ide barat diterima. Ketiga, setelah bersentuhan dan sudah
lama makan asam garam Barat, bahkan menetap disana, tetapi justru menjadi
penentang world view Barat dan
cenderung menjadi “fundamentalis”. Kelompok ketiga ini tidak henti-hentinya
melakukan kritik terhadap barat dan enggan melakukan kompromi dan
mengharmonisasikan Islam yang bersumber dari inspirasi Ilahi dengan world view Barat, bahkan
mengkonfrontasikan antara world view
Islam dan Barat.
END
NOTE
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Asyumardi
Azra, Prof. Dr.., Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta. 1999.
Bassam
Tibi, The Cisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifis
Technological Age, alih bahasa Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan
Afandi Muchtar, Krisis Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam Era
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta,
1994.
Dr.
Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1994.
Hassan
Hanafi, Dr., Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme
: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta, 2000.
Ismail
yakub Tk. H., Orientalisme dan Orientalisten, CV. Faiza, Surabaya, t.t.
Komaruddin
Hidayat, Dr., Pengantar dalam Hassan
Hanafi, Muqaddimah Fi’Ilm al Istighrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme
: Sikap Kita Terhadap Barat, Paramadina, Jakarta, 2000.
Luthfi
Asy Syukanie, A., Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme, Ulumul
Qur’an No. 5 dan 6, vol. V, tahun 1994.
Mona
Abaza, Studi Islamika.
Muh,
Natsir Mahmud, Dr., M.A., Orientalisme :
Al Qur’an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang
(DIMAS), t.t.
Waryono
Abdul Ghafur, Kritik Seyyed Hossein Nasr Atas Modernisme dan Tawaran Neo-Sufisme,
Profetika, Jurnal Studi Islam, Program Magister Studi Islam Universitas
Muhammadiyah Surakarta, vo. I, No. 2 Juli 1999.
[1]Citra dan posisi
orientalis kelihatannya memang sulit untuk mengelak dari anggapan bahwa studi
dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan anak kandung
imperalisme dan kolonialisme. Apalagi dalam konteks Indonesia, orientalis
pernah dijadikan sebagai alat penjajahan Belanda melalui Snouck Hurgrounje
untuk mensiasati Aceh dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Lihat : Dr.
Komaruddin Hidayat, Pengantar dalam Hassan Hanafi, Muqaddimah Fi ‘Ilmal-Istighrab,
alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme ; Sikap Kita Terhadap Barat,
Paramadina, jakarta, 2000, hal. XV.
[4] Dr. Muh. Natsir
Mahmud, M.A., Orientalisme : Al Qur’an di
mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t.,
hal. 36.
[5] Tk. H. Ismail
Yakub, Orientalisme dan Orientalisten,
CV. Faiza, Surabaya, t.t., hal. 17.
[6] Dr. Muh. Natsir
Mahmud, op.cit., hal. 38.
[7] Menurut Edward
Said bahwa “Timur” dan “Barat” bukanlah berdasarkan letak geografis, Timur
menjadi “Timur” karena ia dibuat (orientized),
demikian juga Barat. Hubungan Timur dan Barat didasarkan pada kekuasaan atau
dominasi dan berbagai tingkat hegmoni yang kompleks. Lihat The Cisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The
Scientifs Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur
Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi,
terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, PT. Tiara Wacana
Yogya, Yogyakarta, 1994, hal. 35.
[8] Dr. Hasan
Hanafi, Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori,
Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta, 2000,
hal. 26.
[9] A. Luthfi Asy
Syukanie, Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme. Ulumul
Qur’an, no. 5 dan 6, vol. V, tahun 1994, hal. 123.
[10] Lain halnya
dengan oksidentalis sungsang (Istighrab
ma;kus) yang menurut Hanafi adalah hal dimana seorang pemikir atau sarjana
Timur mengkaji Barat tetapi masih memakai metode cara pandang Barat. Dikatakan
“sungsang” karena ia membuat dirinya melalui cermin orang lain (Barat) dan
bukan seperti yang seharusnya, yaitu melihat Barat melalui cermin diri (ru’yatul ‘akhar fi mir’ atil ana).
Istilah istighrab ma’kus) oksidentalisme sungsang pertama kali digunakan oleh
shadiq jalal al Adzan dalam bukunya Al
Istisyraq Wa al Istighrab al Ma’kus), lihat catatan kaki no. 17, dalam A.
Lutfi Asy Syaukanie, op.cit., hal. 131.
[11] Pengenalan
barat terhadap Islam mulai terutama di masa perang salib pertama (1096-1099 M).
akibat perang salib masyarakat Barat, khususnya intelektual mulai menaruh
perhatian terhadap Islam. Tetapi akibat perang salib itu pula menimbulkan
kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam. Lihat Dr. Muh. Natsir, op.cit., hal. 17.
[13] A. Luthfi Asy
Syaukanie, op.cit., hal. 119-192
[14] Tk. H. Ismail
Jakub, op.cit., hal. 21-26
[15] A. Luthfi Asy
Syaukanie, op.cit., hal. 120
[16] Dr. Amin
Abdullaj, Studi Agama : Normativitas atau
Historisitas ?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 212.
[17] Prof. Dr.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta,
1999, hal. 229.
[18] A. Luthfi Asy
Syaukanie, op.cit., hal. 124.
[19] Prof. Dr.
Azyumardi Azra, op.cit., hal. 230.
[20] Dr. Muh. Natsir
Mahmud, M.A., op.cit., hal. 236-237.
[21] Prof. Dr.
Azyumardi Azra, Op.cit., hal.
236-237.
[22] Waryono Abdul
Ghafur, Kritik Seyyed Hossein Nasr Atas Modernisasi
dan tawaran Neo-Sufisme, Jurnal Studi Islam, Profetika, Program Magister
Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, vol. I, No. 2 Juli 1999, hal.
272.
[23] Komaruddin
Hidayat, op.cit., hal. XV
[24] Mona Abaza, Studi Islamika, hal. 214.