SMA NU AL MA'RUF KUDUS

Kokoh dan Elegan, Jl. AKBP R. Agil Kusumadya No. 2 Kudus, Jawa Tengah

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU (PKG)

Penyelenggara oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tanggal 14-17 dan 26-27 Desember 2012 di Hotel Muria Semarang Jawa Tengah.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

LAGI SANTAI SEJENAK DI "SOLO PARAGON Hotel and Residence"

Dalam Acara Workshop "Implementasi Pendidikan Karakter dan Antikorupsi" Di Solo Paragon (Hotel and Residence) Solo Jawa Tengah. Diselenggarakan oleh Dirjen Dikmen, Kemendikbud Republik Indonesia tanggal 16 - 19 Nopember 2012.

Wednesday, 29 August 2012

Valentine's Days 2



  
Valentine's Day Dalam Pandangan Islam

  

    "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Isro: 36)

Hari Valentine (St. Valentine's Day) atau biasa disebut sebagai hari kasih sayang jatuh pada tanggal 14 Febuari. Hari tersebut sangat populer di negara-negara Eropa dan Amerika. Pada hari itu terutama kaum remaja merayakan dengan hura-hura. Mereka datang ke pesta-pesta, berdansa semalam suntuk, saling memberi hadiah coklat, dan kegiatan-kegiatan yang berbau maksiat lainnya. Bahkan hal-hal yang hanya boleh dikerjakan oleh pasangan suami-istri juga mereka lakukan. (Naudzubillah min dzalik)

Bagaimana di Indonesia? Tampaknya tidak jauh berbeda dengan remaja-remaja luar negeri sana. Mereka yang notabenenya muslim-muslimah, menjiplak habis-habisan perilaku permisif dan serba halal yang dilakukan oleh orang barat. Hal ini, tentu saja sangat memprihatinkan karena kalau dilihat dari latar belakang sejarah perayaan Valentine bukan bersal dari ajaran Islam. Tapi bukan hanya itu masalahnya. Akan tetapi perayaan Valentine selalu dibarengi dengan kegiatan-kegiatan yang mubazir, berbau jahiliah dan cenderung kepada kemaksiatan.

Secara etimologis Valentine berasal dari kata Valentinus yang artinya adalah suatu kartu ucapan selamat yang dikirimkan kepada orang-orang yang disayangi, baik yang benar-benar disayangi atau pura-pura disayangi.

Berdasarkan yang dikutip dari Webster's New 20th Century Dictionary perayaan Valentine berasal dari perayaan Lupercali. Yaitu upacara ritual yang dilakukan oleh orang-orang Romawi kuno setiap tanggal 15 Februari sebagai penghormatan kepada Lupercus dewa padang rumput yang dideskripsikan mempunyai tanduk, kaki, dan telinga seperti kambing. Pada perayaan itu nama-nama wanita dimasukkan kedalam jambangan bunga. Setiap pria yang hadir mengambil secarik kertas. Wanita yang namanya tertera dalam kertas itu menjadi teman kencannya semalam suntuk.

Kemudian pada tahun 469 pihak gereja yakni Paus Celecius merubah menjadi tanggal 14 Februari untuk mengenang kematian seorang pendeta yang bernama Saint Valentine yang tewas sebagai martir pada abad III (martir adalah istilah yang dipakai untuk orang-orang yang mati mempertahankan prinsip-prinsipnya) dan menetapkan menjadi Saint Valentine's Day. Pastor Valentine ditangkap dan dipenjara karena menentang kebijakan kaisar Romawi (Cladius II) yang melarang pemuda-pemudi untuk menikah. Sang kaisar menginginkan pemuda-pemuda yang lajang untuk menjadi tentara dan pergi berperang. Tetapi sang pastor malah dengan diam-diam menikahkan sepasang muda-mudi. Hal ini diketahui oleh sang kaisar. Bukan main marahnya sang kaisar, akibatnya sang pastor mengakhiri hidupnya dengan tanpa kepala (dipancung) pada tanggal 14 Februari 269.

Ketika pastor Valentine dipenjara, banyak surat-surat simpati dari para pemuda yang sedang kasmaran yang ditujukan kepadanya. Melalui surat itulah mereka mengungkapkan perasaan sayangnya kepada kekasihnya dan berharap mereka bila menikah.

Sebenarnya kalau kita menyadari apa yang sebenaranya terjadi dibalik perayaan Valentine tentulah kita tidak akan berminta. Allah telah berfirman dalam Al Baqoroh: 120.

    "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." ( QS. Al- Baqaroh: 120)

Jelas sudah bahwa mereka senantiasa benci kepada kita kecuali kita berpartisipasi pada acara ritual mereka, model pakaian dan pola pikir yang mereka miliki. Dan perayaan Valentine adalah salah satu sarana mereka untuk memurtadkan kita tanpa kita sadari. Dan media massa seperti koran, tabloid, televisi, radio, majalah dan lain-lain, adalah sarana yang sangat efektif untuk kampanye program-program mereka. Jika terlibat didalamnya kita akan dijerumuskan kedalam kemaksiatan tanpa kita sadari.

Valentine adalah kegiatan ritual yang bukan berasal dari Islam. Dalam pemahaman Islam, kegiatan ritual yang bukan berdasarkan syariat Islam dan tidak dicontohkan Rasulullah SAW seperti halnya Natal, Tahun baru Masehi, Imlek dan sebagainya maka harus kita sikapi seperti Rasulullah mensikapi tawaran kaum Quraisy untuk sama-sama melaksanakan ibadah secara Islam dan ibadah jahiliah secara bergantian. Tawaran tersebut dijawab oleh Allah dengan firmannya:

    "Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku". (QS. Al Kaafirun: 6)

Dalam masalah aqidah dan ibadah, Islam mengajarkan kita untuk bersikap tegas. Dengan begitu kemuliaan Islam dan umatnya akan terjaga. Dinul Islam sarat dengan nilai kasih sayang. Bahkan tegaknya Dinul Islam atas dasar kasih sayang. Coba simak firman Allah SWT berikut:

    "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS. Al-Fath:29)

Sejalan dengan itu Rasulullah juga pernah menyampaikan:

    "Belum sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri"

Kasih sayang dalam Islam bersifat Universal. Ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, ia juga tidak dibatasi oleh objek dan motif. Kasih sayang diwujudkan dalam bentuk yang nyata seperti silaturahmi, menjenguk yang sakit, meringankan beban tetangga yang sedang ditinpa musibah, mendamaikan orang yang berselisih, mengajak kepada kebenaran (amar ma'ruf) dan mencegah dari perbuatan munkar.

Sudah saatnya pemuda Islam sadar dari keterpurukan dan bangkit menyongsong masa depan yang sudah berada di tangan Islam. Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita, lalu siapa lagi.

Sumber: Sejahtera Bersama Umat (SBI)


From: Kusnadi_Dinata@indofood.co.id
To: is-lam@isnet.org
Sender: Kusnadi_Dinata/CKP/INDOFOOD@indofood.co.id
Date: Thu, 31 Dec 1998 15:15:54 +0700

  


Valentine's Days 1

Valentine Days versus Kasih Sayang dalam Islam

Oleh Marsudi Fitro Wibowo



Sumber: Harian Umum Pikiran Rakyat
Hari/Tanggal: Kamis, 12 Februari 2004
VALENTINE'S DAYS atau hari kasih sayang adalah sebuah tradisi bagi kaum muda mudi yang biasa diperingati setiap tanggal 14 Februari di berbagai negara yang secara realitanya bukan hanya remaja dan ABG (Anak Baru Gede) saja, tapi mereka yang sudah berkeluarga pun ikut memeriahkannya dengan berbagai cara serta keunikan tersendiri dalam mengungkapkan sebuah arti kasih sayang.
Dengan berlabelkan Cinta, Valentine's Days (baca VD) kian membudaya di Indonesia entah sejak kapan asal muasal VD datang dan dimeriahkan di negeri ini, yang jelas VD adalah sebuah prodak Eropa beberapa abad lalu yang kemudian diikuti oleh sebagian rakyat Indonesia.
Banyak versi yang menerangkan asal muasal VD. Versi Pertama, VD adalah sebuah tanggal untuk mengenang tokoh Kristen bernama Santa Valentine yang tewas sebagai martir, ia hukum mati dengan cara dipukuli dan dipenggal kepalanya pada tanggal 14 Februari 270 M oleh Kaisar Romawi yaitu Raja Cladius II (268-270). Versi Kedua, VD adalah sebuah tanggal untuk untuk menghormati Dewi Juno yang dikenal dengan Dewi perempuan dan perkawinan, adalah suatu kepercaayaan bangsa Romawi Kuno bahwa Dewi Juno adalah Ratu dari Dewa dan Dewi bangsa Romawi. Kemudian diikuti oleh hari sesudahnya yaitu tanggal 15 Februari sebagai Perayaan Lupercalia yakni sebuah upacara pensucian serta memohon perlindungan kepada Dewa Lupercalia dari gangguan Srigala dan ganguan-ganguan lainnya. Versi Ketiga, Ken Sweiger dalam artikel "Should Biblical Christian Observe It?" mengatakan bahwa kata "Valentine" adalah berasal dari kata Latin yang memiliki arti : "Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, dan Yang Maha Kuasa" yang ditujukan kepada Tuhan orang Romawi yaitu Nimrod dan Lupercus. Nah sekarang coba anda fikirkan apabila anda mengatakan "to be my Valentine" ini berarti anda memintanya menjadi "Sang Maha Kuasa" sesuatu yang sangat berlebihan sekali.
Apabila kita perhatikan beberapa versi di diatas, sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan hari kasih sayang, namun hanya sebagai penghormatan belaka. Apalagi di zaman sekarang dengan datangnya VD banyak orang yang memanfaatkannya dengan membuat produk-produk yang bernuansa Valentine, sebagai tanda kasih sayang yang dipersembahkan kepada sang kekasih, teman dan sebagainya, yang mengekor budaya barat dan tidak tahu asal muasalnya. Umumnya mereka saling mengucapkan "Selamat Hari Valentine", mengirim bunga dan kartu Valentine's Days, ada juga yang saling mencurahkan isi hati, bahkan menyatakan cinta dan kasih sayangnya yang mereka anggap "Inilah Hari Kasih Sayang". Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (H.R. Tirmidzi)

Kasih Sayang dalam Islam

Firman Allah swt.: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paing bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal." (Q.S. al-Hujurat:13).
Sebenarnya dalam Islam tidak mengenal Hari Kasih Sayang, kasih sayang dalam Islam terhadap sesama tidaklah terbatas dengan waktu dan dimanapun berada, baik untuk keluarga, kerabat, dan sahabat yang semuanya masih dalam koridor-koridor agama Islam itu sendiri. Nabi Saw., bersabda : "Cintailah manusia seperti kamu mencintai dirimu sendiri." (H.R. Bukhari). Islam sangat melarang keras untuk saling membenci dan bermusuhan, namun sangat menjunjung tinggi akan arti kasih sayang terhadap umat manusia. Rasulullah saw. bersabda : "Janganlah kamu saling membenci, berdengki-dengkian, saling berpalingan, dan jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Juga tidak dibolehkan seorang muslim meninggalkan (tidak bertegur sapa) terhadap sudaranya lewat tiga hari" HR. Muslim.
Disini jelas bahwa kita dianjurkan sekali untuk saling menjaga dan menghargai antar sesama sebagai tanda kasih sayang yang mesti dihormati. Hal ini untuk menghindari berbagai keburukan serta dapat mengenal antar sesama untuk memperkuat dan menjaga tali persaudaraan. Dalam hadits Nabi saw.: "Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal kecintaan, kasih-sayang dan belas kasihan sesama mereka, laksana satu tubuh. Apabila sakit satu anggota dari tubuh tersebut maka akan menjalarlah kesakitan itu pada semua anggota tubuh itu dengan menimbulkan insomnia (tidak bisa tidur) dan demam (panas dingin). HR. Muslim. Bahkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Baihaqi melalui Anas ra. Nabi bersabda : "Tidak akan masuk surga kecuali orang yang penyayang", jadi jelas bahwa yang masuk surga itu hanyalah orang-orang yang mempunyai rasa kasih sayang yang tanpa dibarengi dengan niat-niat jelek.
Dengan datangnya Valentine's Day dikhawatirkan bagi kaum muda-mudi yang tidak mengerti akan mampu terjerumus dalam hal-hal negatif dengan mentafsirkan kasih sayang di hari yang special ini. Firman Allah swt.: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. al-Israa':32), yakni perbuatan yang dilarang oleh agama baik secara terang-terangan maupun yang tersembunyi. Oleh karena itu kita mesti sadar apa arti yang sesungguhnya sebuah kasih sayang.
Selain itu pula dijelaskan dalam perkara mencintai seseorang tidaklah boleh untuk berlebihan yang akan mengakibatkan penyesalan dan sia-sia belaka, sebagai etika untuk seorang muslim Rasulullah saw. bersabda : "Cintailah kekasihmu (secara) sedang-sedang saja, siapa tahu disuatu hari dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci (secara) biasa-biasa saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi kecintaanmu." (H.R. Turmidzi) dan masih banyak lagi diantara hadits Nabi saw. yang menerangkan tentang kasih sayang yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Dengan demikian marilah kita mencontoh budi pekerti Nabi besar Muhammad saw., yang berdasarkan al-Qur'an dan Hadits sebagai jalan untuk kebaikan untuk di dunia dan hari kemudian.


Dari : Hj. Lathifah Umar (Email : lathifah_umar@yahoo.com) Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Saya ingin mengirim artikel di bawah ini tentang "Valentine Days versus Ajaran Islam" yang diambil dari Harian Umum Pikira Rakyat (Tgl. 12 Februari 2004). Mudah-mudahan dapat bermanfaat untuk kita semua. SEMOGA ISLAM TETAP JAYA. Amiin
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Hj. Lathifah Umar.


Harlah, Natal dan Maulid

HARLAH, NATAL, DAN MAULID

Oleh: Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Menggunakan ketiga kata di atas dalam satu napas tentu banyak membuat orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa itu karena bagi kebanyakan Muslimin, satu dari yang lain sangat berbeda artinya.
Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk pada saat kelahiran seseorang atau sebuah institusi.
Dengan demikian, ia memiliki "arti biasa" yang tidak ada kaitannya dengan agama. Sementara bagi Muslimin, kata Maulid selalu diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kata Natal bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan terlebih -lebih umat Kristen, memiliki arti khusus yaitu hari kelahiran Isa Al -Masih.
Karena itulah, penyamaannya dalam satu napas yang ditimbulkan oleh judul di atas dianggap "bertentangan" dengan ajaran agama. Karena dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan satu dari yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan lain, dari yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.
Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata harlah, hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran, seperti perawatan prenatal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran". Yang dimaksud dalam peristilahan 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh "perawan suci" Maryam.
Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena kaum Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia yang bernama Yesus Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang menjelma dalam bentuk manusia, guna memungkinkan "penebusan dosa" tersebut.
Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam Perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat.
Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya- karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk "menyambut kelahiran" itu.
Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing -masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat membantah hal ini.
Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al -khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan tidak dapat dimungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus dipakai untuk orang -orang Kristiani, sedangkan yang satu lagi dipakai untuk orang-orang Islam.
Natal, dalam kitab suci Alqur'an disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.
Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian Nabi Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu.
Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran-Nya, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.
Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen), penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu, enam abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, harus berperang melawan orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Prancis untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus, melancarkan Perang Salib ke tanah suci.
Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan itu, Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali tidak mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.
Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal- usul, dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.
Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang Lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan "ganjalan" bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan "dianggap" turut berkebaktian yang sama.
Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih.
Inilah "prosedur" yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti sebab musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal itu, dianggap "mengabaikan" aturan negara, sebuah masalah yang sama sekali berbeda dari asal-usulnya.
Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang pejabat datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan apapun untuk melakukannya.
Namun seorang pejabat, pada umumnya dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus mendatangi upacara-upacara keagamaan yang bersifat 'ritualistik', sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan dianggap 'mengecilkan' arti agama tersebut.
Itu adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara Berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk mendatangi peringatan Maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti kaum Muslimin-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen Coptic di Mesir).
Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, bukan pada hari Maulid Nabi SAW. Padahal di Indonesia pejabat beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan Maulid Nabi SAW akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini tentu berakibat pada karier pemerintahannya.
Apakah ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk, penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral maupun arti politis dari "kebiasaan" seperti itu.
Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang lain ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan "dibudayakan" oleh masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu yang "dibudayakan" lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia.
Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan agama. Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah manusia, bukan? *

Jerusalem, 20 Desember 2003
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB.



Tentang Manusia 3

Asal Manusia
Menurut Bibel, Al-Quran, Sains

oleh Dr. Maurice Bucaille
                                     Kompleksitas Cairan Pembuah


Ini  merupakan  suatu  konsep  yang  sangat tepat dan dengan gamblang diungkapkan dalam ayat-ayat Al-Quran berikut ini.

                                         [Tulisan Arab]

"Sungguh Kami telah membentuk manusia  dari  sejumlah  kecil
cairan yang bercampur." (QS 76 :2)

Istilah 'cairan-cairan yang bercampur' berkaitan dengan kata Arab amsyaj. Para pengulas terdahulu  mengartikan  kata  ini sebagai   suatu  cairan  laki-laki dan  wanita[9] sedemikian sehingga seakan-akan wanita juga menghasilkan  cairan-cairan yang  berperan  dalam reproduksi. Penafsiran seperti ini tak bisa dipertahankan lagi. Hal ini tak  lain  adalah  cerminan dari   gagasan-gagasan   yang  populer pada  saat  Al-Quran diwahyukan kepada manusia, suatu periode  yang  di  dalamnya
secara  amat  alami orang tak tahu apa-apa tentang fisiologi
atau embriologi wanita.  Hal  ini  menjelaskan  kenapa  para
pengulas terdahulu percaya pada kemaujudan suatu cairan yang
bersumber dari wanita yang berperan dalam proses  pembuahan.
Celakanya,  pendapat-pendapat  seperti ini, yang diungkapkan
oleh para pengulas yang tak syak lagi sangat  terkemuka  dan
memenuhi  syarat  untuk  berbicara  tentang  masalah-masalah
keagamaan,  terus  mempengaruhi  penafsiran-penafsiran  yang
diberikan oleh para ahli masa kini berkenaan dengan berbagai
macam masalah, yaitu gejala-gejala alam.  Oleh  karena  itu,
kita  mesti  menegaskan  fakta  bahwa sel telur wanita tidak
terkandung di dalam suatu cairan seperti sperma,  dan  bahwa
berbagai  keluaran  getah  yang benar-benar terjadi di dalam
vagina dan  lendir  rahim  sepenuhnya  tak  ada  hubungannya
dengan  pembentukan suatu manusia baru sejauh menyangkut zat
aktual mereka.

'Cairan-cairan yang bercampur' yang  dirujuk  oleh  Al-Quran
hanya  khas  bagi  cairan sperma yang kompleksitasnya dengan
demikian terpaparkan.

Seperti   kita   ketahui,   cairan    ini    terdiri    atas
keluaran-keluaran  getah dari kelenjar-kelenjar berikut ini:
buah   pelir-buah   pelir   benih   (mani),   prostat*   dan
kelenjar-kelenjar yang melekat pada saluran kencing.

Al-Quran  masih  menyebut  hal-hal lain. Ia juga menjelaskan
kepada kita bahwa unsur pembuah  pria  berasal  dari  cairan
sperma.

"(Tuhan)  menjadikan  keturunannya dari saripati cairan yang
hina." (QS 32:8)

Kata sifat 'yang hina' (mahin di dalam  bahasa  Arab)  mesti
diterapkan   tidak   saja  pada  sifat  cairan  itu  sendiri
melainkan juga pada  fakta  bahwa  ia  disemprotkan  melalui
saluran kencing.

Mengenai  kata  'saripati',  kita sekali lagi bertemu dengan
kata Arab sulalat, yang kepadanya kita  tadi  merujuk  dalam
memperbincangkan  pembentukan  manusia,  selama  Penciptaan,
dari 'sari pati' lempung. Hal  itu  menunjuk  pada  'sesuatu
yang diambil dari sesuatu yang lain', sebagaimana kita lihat
di atas, dan juga kepada  bagian  terbaik  dari  sesuatu  '.
Konsep  yang  diungkapkan  di sini tidak bisa tidak, membuat
kita berpikir tentang spermatozoa.

           Penanaman Telur Dalam Organ-Organ Kemaluan Wanita
------------------------------------------------------------

Penanaman sel telur  yang  telah  terbuahi  di  dalam  rahim
disebutkan  dalam  banyak  ayat  Al-Quran.  Kata  Arab  yang
digunakan dalam konteks ini adalah 'alaq, yang arti tepatnya
adalah  'sesuatu  yang  bergantung'  sebagaimana  dalam ayat
berikut ini.

                                              [Tulisan Arab]

"Bukankah (manusia) dahulu adalah sejumlah kecil sperma yang
ditumpahkan?  Kemudian  ia  menjadi sesuatu yang bergantung;
lalu  Allah  membentuknya  dalam  ukuran  yang   tepat   dan
selaras." (QS 75:37-38)

Merupakan suatu fakta yang kuat bahwa sel telur yang dibuahi
tertanam dalam  lendir  rahim  kira-kira  pada  hari  keenam
setelah  pembuahan  mengikutinya dan secara anatomis sungguh
telur tersebut merupakan sesuatu yang bergantung.

Gagasan tentang  'kebergantungan'  mengungkapkan  arti  asli
kata  dalam  bahasa Arab 'alaq. Salah satu turunan dari kata
tersebut adalah  'segumpal  darah,'  suatu  penafsiran  yang
masih  kita  temukan  sekarang  dalam  terjemahan-terjemahan
Al-Quran. Hal ini sepenuhnya merupakan terjemahan yang tidak
tepat  dari  pengulas-pengulas  zaman  dahulu yang melakukan
penafsiran  menurut  arti  turunan  kata  tersebut.   Karena
kurangnya pengetahuan pada waktu itu, maka mereka tak pernah
menyadari bahwa arti asli  kata  tersebut  sudah  sepenuhnya
memadai. Di samping itu, dalam hal ayat-ayat yang mengandung
pengetahuan modern, ada satu kaidah umum yang  terbukti  tak
pernah  salah,  yaitu bahwa makna paling tua dari suatu kata
selalu  merupakan  arti  yang   dengan   jelas   menunjukkan
kesetaraannya   dengan   penemuan-penemuan   ilmiah,  sedang
arti-arti  turunannya  secara  berubah-ubah  membawa  kepada
pernyataan-pernyataan  yang  tidak  tepat  atau  malah  sama
sekali tak punya arti.

                               Evolusi Embrio di Dalam Rahim
------------------------------------------------------------

Segera setelah berevolusi melampaui tahap yang dicirikan  di
dalam   Al-Quran   oleh   kata   sederhana   'sesuatu   yang
bergantung,' embrio, menurut Al-Quran, melewati  satu  tahap
yang  di  dalamnya  ia  secara harfiah tampak seperti daging
(daging yang digulung-gulung). Sebagaimana kita  ketahui  ia
terus  tampak  demikian  sampai  kira-kira  hari kedua puluh
ketika ia mulai secara bertahap  mengambil  bentuk  manusia.
Jaringan-jaringan  tulang  dan  tulang belulang mulai tampak
dalam  embrio  itu  yang  secara  berturutan  diliputi  oleh
otot-otot.  Gagasan  ini  diungkapkan dalam Al-Quran sebagai
berikut:

                                              [Tulisan Arab]

"Kami  bentuk  hal  yang  menjadi   segumpal   daging   yang
digulung-gulung, dan segumpal daging itu Kami bentuk menjadi
tulang-belulang,  lalu  tulang-belulang  itu  Kami   bungkus
dengan daging yang utuh." (QS 23 14)

Dua  tipe  daging  yang  diberi  dua  nama  berbeda di dalam
Al-Quran,  yang  pertama  'daging  yang   digulung-digulung'
disebut  sebagai  mudhraj,  sedang  yang  kedua 'daging yang
masih  utuh'  ditunjukkan  oleh  kata   lahm   yang   memang
menguraikan secara amat tepat bagaimana rupa otot itu.

Al-Quran   juga   menyebutkan  munculnya  indera-indera  dan
bagian-bagian dalam tubuh.

                                              [Tulisan Arab]

"(Tuhan) menganugerahkan bagimu pendengaran, penglihatan dan
bagian-bagian dalam tubuh." (QS 32:9)

Penunjukan  dalam  Al-Quran kepada organ-organ seksual mesti
juga  kita  perhatikan,  karena  perujukan  olehnya  sungguh
sangat tepat sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini.

                                              [Tulisan Arab]

"(Tuhan)    membentuk   berpasang-pasangan   laki-laki   dan
perempuan dari sejumlah kecil (sperma) ketika sejumlah kecil
(sperma) itu dipancarkan." (QS 53 :45-46)

Sebagaimana  telah  kita  lihat di atas, Al-Quran menekankan
fakta bahwa hanya sejumlah amat  kecil  cairan  sperma  yang
dibutuhkan   untuk  pembuahan.  Unsur  pembuah  pria,  yaitu
spermatozoa, mengandung hemicromosom  yang  akan  menentukan
jenis  kelamin  calon manusia itu. Saat-saat yang menentukan
terjadi ketika spermatozoa menembus sel telur  dan  kemudian
jenis kelamin tersebut tidak berubah. Ayat-ayat yang dikutip
di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin  manusia  ditentukan
oleh  sejumlah  kecil  cairan  pembuah.  Cairan  inilah yang
membawa  spermatozoa  yang  mengandung   hemicromosom   yang
menentukan  bentuk  seksual  manusia baru. Dalam konteks ini
teks Al-Quran  dan  data  embriologi  modern  secara  sangat
mencengangkan ternyata sama.

Semua  pernyataan  ini  sesuai  dengan fakta-fakta kuat masa
kini. Tetapi bagaimana  orang-orang  yang  hidup  pada  masa
Muhammad  dapat mengetahui berbagai rinci embriologi? Karena
data ini belum ditemukan sampai seribu tahun  setelah  wahyu
Al-Quran diturunkan. Sejarah sains membuat kita menyimpulkan
bahwa tak ada satu penjelasan  manusia  mengenai  kemaujudan
ayat-ayat ini di dalam Al-Quran.

     Transformasi-Transformasi Bentuk Manusia Sepanjang Abad
                                  dan Perkembangan Embrionik
------------------------------------------------------------

Bagi orang-orang yang  tidak  akrab  dengan  embriologi  dan
genetika,   tidak  segera  tampak  bahwa  setiap  dan  semua
modifikasi  yang  berlangsung  di  dalam  individu   manusia
berasal  dari  perubahan-perubahan yang terjadi pada gen-gen
yang diberikan kepada individu baru  oleh  kromosom-kromosom
yang diturunkan dari ayah dan ibunya. Sebagaimana dinyatakan
sebelumnya, satu pembagian berlangsung dalam setiap  warisan
genetis yang diikuti satu penyatuan unsur-unsur yang berasal
dari paruh masing-masing. Hal ini dengan  cepat  menimbulkan
awal  perubahan-perubahan  morfologis  selama kehamilan, dan
dengan demikian juga modifikasi-modifikasi  fungsional  yang
muncul  kemudian.  Dengan demikian transformasi-transformasi
terus  berlangsung  setelah  lahirnya  sang  bayi,  melewati
pertumbuhan  masa  kecil,  hingga individu tersebut mencapai
kedewasaan dan transformasi-transformasi tersebut sepenuhnya
sempurna.

Jika  konsep-konsep  ini  tidak  dipahami dengan benar, maka
kesalahan-kesalahan   bisa    terjadi    berkenaan    dengan
gagasan-gagasan   orang-orang   yang  biasa  berpikir  bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang  dikutip  dalam  bab  ini  berkenaan
hanya   dengan   perkembangan   bayi   di  dalam  rahim  dan
mengabaikan perkembangan morfologis berikutNya dari  manusia
itu.  Itulah sebabnya kenapa sangat penting untuk memasukkan
semua ayat yang merujuk pada reproduksi manusia dalam  studi
kita mengenai bagian -bagian teks Al-Quran yang- sejauh yang
dapat saya lihat berhubungan dengan transformasi-transformasi
bentuk manusia selama berabad-abad.

Untuk menjernihkan persoalan ini, saya akan memberikan  satu
contoh  berkenaan dengan transformasi patologis yang terdiri
atas suatu kerusakan bawaan yang khususnya umum  terjadi  di
antara   kesalahan-kesalahan   pembentukan   manusia:  yaitu
mongolisme.° Penemuan-penemuan telah menunjukkan  bahwa  hal
itu  disebabkan atau diakibatkan oleh berlipat tiganya suatu
kromosom yang telah diberi nomor 21, yang darinya  kerusakan
tersebut mengambil nama Trisomi 21. Pada masa kini diketahui
bahwa penyebabnya  terletak  pada  gen-gen  yang  terkandung
dalam  kromosom  dan bahwa kerusakan tersebut terjadi dengan
frekuensi maksimum ketika ibu sang bayi berumur  lebih  dari
40 tahun.

Penyakit  tersebut  dicirikan  oleh suatu perkembangan fisik
dan intelegensia kanak-kanak  dan  bentuk-bentuk  morfologis
khas  tertentu  yang  barangkali  tidak  tampak  jelas waktu
kelahiran tapi kemudian menjadi sangat nyata. Jadi,  kondisi
tersebut  dikenali, cepat atau lambat, sesuai dengan tingkat
keseriusannya.  Meskipun   demikian,   apa   pun   kasusnya,
karakteristik   dasarnya   diperoleh   selama  minggu-minggu
pertama kehidupan.

Modifikasi-modifikasi morfologis yang  bermacam-macam  dalam
diri  manusia  mengikuti  pola  yang  sama.  Proses tersebut
bermula selama kehamilan, dan secara bertahap menjadi  lebih
nyata  hingga  manusia  tersebut mencapai kedewasaan. Dengan
demikian,  selama  generasi-generasi  yang  berturutan  yang
memisahkan   Australopitecus   dari   manusia  modern  (yang
mencapai sepuluh ribu unit), masuk akallah untuk beranggapan
bahwa  tak  sedikit  modifikasi  yang  terjadi  dalam setiap
generasi, yang secara bertahap tertumpuk hingga menghasilkan
transformasi-transformasi     yang     melahirkan    manusia
sebagaimana kita kenali pada masa  kini.  Oleh  karena  itu,
adalah  mustahil,  berkenaan  dengan  hasil  akhirnya, untuk
memisahkan modifikasi-modifikasi  kecil  yang  selaras  yang
terjadi  atau  berlangsung  dalam  setiap  generasi di dalam
rahim dari transformasi-transformasi menyeluruh yang terjadi
atas  sejumlah  besar  generasi.  Penjelasan  ini diperlukan
untuk  memahami  cara  Al-Quran  mengungkapkan  konsep  ini,
sehubungan  dengan  evolusi  embrio  di dalam rahim, menurut
kehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dengan jelas di dalam
Al-Quran.

-------------  
Catatan kaki:

°  Mongolisme:  kepandiran  bawaan,  yang  dalam  kepandiran
bawaan itu seorang anak dilahirkan dengan  tengkorak  kepala
yang  pendek  dan  rata  (pesek), kedua mata yang sipit, dan
kelainan-kelainan lain -penyunting
                                                   (SELESAI)
    ________________________________________

Asal Manusia
Menurut Bibel, Al-Quran, Sains
oleh Dr. Maurice Bucaille
Penerbit Mizan, Cetakan VII, 1994
  

Islam dan Politik 3


 

       AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM                    
       Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni 
                                      oleh Nurcholish Madjid
 
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak  mungkin  diingkari
ialah  pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan   dan   perkembangan   sistem    politik    yang
diilhaminya.  Sejak  Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari
Mekkah ke Yatsrib  -yang  kemudian  diubah  namanya  menjadi
Madinah-    hingga    saat    sekarang   ini   dalam   wujud
sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik  Islam
Iran,   Islam  menampilkan  dirinya  sangat  terkait  dengan
masalah kenegaraan.
 
Sesungguhnya, secara  umum,  keterkaitan  antara  agama  dan
negara,  di  masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal
yang baru, apalagi hanya khas  Islam.  Pembicaraan  hubungan
antara  agama  dan  negara  dalam Islam selalu terjadi dalam
suasana yang stigmatis. Ini  disebabkan,  pertama,  hubungan
agama  dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan
sepanjang sejarah umat manusia.  Kedua,  sepanjang  sejarah,
hubungan  antara  kaum  Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen
Eropa) adalah  hubungan  penuh  ketegangan.  Dimulai  dengan
ekspansi  militer-politik  Islam  klasik yang sebagian besar
atas kerugian Kristen (hampir seluruh  Timur  Tengah  adalah
dahulunya    kawasan   Kristen,   malah   pusatnya)   dengan
kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa
dan  dunia  Kristen  saat  itu),  kemudian Perang Salib yang
kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan  oleh
Islam,  lalu  berkembang  dalam  tatanan dunia yang dikuasai
oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam  sebagai
yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia
Islam dan Barat yang traumatik  tersebut,  lebih-lebih  lagi
karena  dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi
"kalah," maka pembicaraan  tentang  Islam  berkenaan  dengan
pandangannya  tentang  negara  berlangsung  dalam  kepahitan
menghadapi Barat sebagai "musuh."
 
Pengalaman Islam  pada  zaman  modern,  yang  begitu  ironik
tentang  hubungan  antara agama dan negara dilambangkan oleh
sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya  sebagai
"kafir"  atau  "musyrik"  seperti  yang  terlihat pada kedua
pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam  Iran.
Saudi  Arabia,  sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali
aliran  Wahabi,  banyak  menggunakan  retorika  yang   keras
menghadapi  Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang
sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.
 
Iran sendiri, melihat Saudi Arabia  sebagai  musyrik  karena
tunduk  kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua
itu memberi gambaran betapa  problematisnya  perkara  sumber
legitimasi  dari  sebuah  negara  yang mengaku atau menyebut
dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan  legitimasi
masing-masing  antara  Saudi Arabia dan Iran mengandung arti
bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi
ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar,
atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah  sesuatu
yang  ketiga.  Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya
itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.
 
Eksperimen Madinah
 
Hubungan  antara  agama  dan  negara  dalam   Islam,   telah
diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah
dari Makkah ke Madinah (al-Madinah,  kota  par  excellence).
Dari  nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya
itu menunjukkan rencana Nabi  dalam  rangka  mengemban  misi
sucinya  dari  Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya
tinggi,   yang   kemudian   menghasilkan    suatu    entitas
sosial-politik, yaitu sebuah negara.
 
Negara  Madinah  pimpinan  Nabi  itu, seperti dikatakan oleh
Robert  Bellah,  seorang  ahli  sosiologi  agama  terkemuka,
adalah  model  bagi  hubungan  antara agama dan negara dalam
Islam.  Muhammad  Arkoun,  salah   seorang   pemikir   Islam
kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai
"Eksperimen Madinah."
 
Menurut  Muhammad  Arkoun,  eksperimen  Madinah  itu   telah
menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik
yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau
kekuasan  tidak  memusat pada tangan satu orang seperti pada
sistem diktatorial, melainkan kepada  orang  banyak  melalui
musyawarah)  dan  kehidupan  berkonstitusi  (artinya, sumber
wewenang dan kekuasaan tidak pada  keinginan  dan  keputusan
lisan  pribadi,  tetapi  pada  suatu  dokumen  tertulis yang
prinsip-prinsipnya   disepakati   bersama).   Karena   wujud
historis  terpenting  dari  sistem sosial-politik eksperimen
Madinah itu ialah  dokumen  yang  termasyhur,  yaitu  Mitsaq
al-Madinah  (Piagam  Madinah), yang di kalangan para sarjana
modern  juga  menjadi  amat  terkenal  sebagai   "Konstitusi
Madinah."    Piagam    Madinah    itu   selengkapnya   telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah  Islam  seperti  Ibn
Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).
 
Menurut   Al-Sayyid   Muhammad   Ma'ruf   al-Dawalibi   dari
Universitas   Islam   Internasional   Paris   "yang   paling
menakjubkan  dari  semuanya  tentang  Konstitusi Madinah itu
ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya  dalam
sejarah,  prinsip-prinsip  dan  kaedah-kaedah kenegaraan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal
umat manusia."
 
Ide  pokok  eksperimen  Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu
tatanan sosial-politik yang diperintah  tidak  oleh  kemauan
pribadi,   melainkan   secara   bersama-sama;   tidak   oleh
prinsip-prinsip  ad  hoc  yang  dapat  berubah-ubah  sejalan
dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang
dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar  semua  anggota
masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
 
Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)
 
Apa  yang  terjadi  pada kaum Muslim penduduk Madinah selama
tiga hari jenazah Nabi s.a.w.  terbaring  di  kamar  A'isyah
menjadi  agak  kabur oleh adanya polemik-polemik yang sengit
antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah.  Kaum  Sunnah  mengklaim
bahwa   dalam   tiga  hari  itu  memang  terjadi  musyawarah
pengganti Nabi, yang kemudian mereka bersepakat memilih  dan
mengangkat  Abu  Bakr.  Kaum  Syi'ah,  mengklaim  bahwa yang
terjadi  ialah  semacam  persekongkolan  kalangan  tertentu,
dipimpin  oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus
tugas suci Nabi.
 
Klaim  adanya  hak  bagi  'Ali   untuk   menggantikan   Nabi
didasarkan   antara   lain  pada  makna  pidato  Nabi  dalam
peristiwa  yang  hakikatnya  tetap  dipertengkarkan,   yaitu
semacam  rapat  umum  di  suatu tempat bernama Ghadir Khumm.
Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi  wafat,
ketika  beliau  dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan
(hijjat  al-wada')  meminta  semua   pengikut   beliau   itu
berkumpul  di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai
arah. Dalam rapat besar itu  beliau  berpidato  yang  sangat
mengharukan,  (karena  memberi  isyarat  bahwa  beliau  akan
segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum  Syi'ah  Nabi
s.a.w.  menegaskan  wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti
sesudah beliau.
                                            

Tapi kaum  Sunni,  sementara  mengakui  adanya  rapat  besar
Ghadir  Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak
klaim Syi'ah bahwa  disitu  Nabi  s.a.w.  menegaskan  wasiat
beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk
kebijaksanaan Nabi  yang  tidak  menunjuk  anggota  keluarga
beliau   sendiri  sebagai  calon  pengganti.  Ibn  Taymiyyah
menilai hal itu sebagai bukti nyata  bahwa  Muhammad  adalah
seorang  Rasul  Allah,  bukan  seorang yang mempunyai ambisi
kekuasaan atau pun kekayaan yang jika  bukan  untuk  dirinya
maka untuk keluarga dan keturunannya.
 
Jika  Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus
Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut  Ibn
Taymiyyah  kewajiban  para  pengikutnya  untuk  taat  kepada
beliau bukanlah karena  beliau  memiliki  kekuasaan  politik
(al-mulk),  melainkan  karena  wewenang  suci beliau sebagai
utusan Tuhan (risalah).
 
Dalam  teori  Ibn  Taymiyyah,  Muhammad  s.a.w.  menjalankan
kekuasaan  tidaklah  atas  dasar  legitimasi politik seorang
"imam." seperti dalam pengertian kaum  Syi'ah  (yang  sangat
banyak  berarti  "kepala negara"), melainkan sebagai seorang
Utusan  Allah  semata.  Karena  itu  ketaatan  kepada   Nabi
bukanlah  berdasarkan  kekuasan  politik de facto (syawkah),
melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban  misi
suci  (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang
hidup di masa beliau atau pun  yang  hidup  sesudah  beliau,
sepanjang  zaman. Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau
menunjuk seseorang yang  bukan  keluarga  sendiri.  Kenabian
atau  nubawwah  telah  berhenti  dengan  wafatnya Rasulullah
s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan  kewenangan  para
khalifah  adalah  berbeda  sama  sekali dari sumber otoritas
Nabi. Abu Bakr, misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul
(Pengganti  Rasulullah)  dalam  hal  melanjutkan pelaksanaan
ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan,
apalagi  hal  baru  (bid'ah),  terhadap ajaran itu. Ia tidak
bertindak sebagai manusia biasa.  Istilah  khalifah  sendiri
sebagai nama jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr
itu, adalah pemberian orang banyak  (rakyat),  tidak  secara
langsung  berasal  dari  Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia
tidak mengandung kesucian  dalam  dirinya,  sebab  ia  hanya
suatu kreasi sosial-budaya saja.
 
Prinsip-prinsip  Islam  diatas itu, yang oleh Bellah disebut
sebagai "nasionalisme partisipatif  egaliter,"  dengan  baik
sekali  dinyatakan  oleh  Abu  Bakr  dalam pidato penerimaan
diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu  oleh  banyak  ahli
sejarah  dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan
yang   pertama   sejenisnya   dengan    semangat    "modern"
(partisipatif-egaliter).
 
Pidato  ini  merupakan manifesto politik yang secara singkat
dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip  tatanan
masyarakat  yang  telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat
lebih  terang   oleh   Amin   Sa'id,   pidato   itu   memuat
prinsip-prinsip,  (1)  pengakuan  Abu Bakr sendiri bahwa dia
adalah  "orang  kebanyakan,"  dan  mengharap   agar   rakyat
membantunya  jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika
ia berbuat keliru; (2)  seruan  agar  semua  pihak  menepati
etika  atau  akhlaq  kejujuran  sebagai  amanat,  dan jangan
melakukan kecurangan yang disebutnya  sebagai  khianat;  (3)
penegasan   atas   persamaan   prinsip   persamaan   manusia
(egalitarianisme)  dan  keadilan  sosial,  dimana   terdapat
kewajiban  yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok
yang lemah yang harus diwujudkan oleh  pimpinan  masyarakat;
(4)  seruan  untuk  tetap  memelihara jiwa perjuangan, yaitu
sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh  ke  masa
depan;   (5)   penegasan  bahwa  kewenangan  kekuasaan  yang
diperolehnya   menuntut   ketaatan   rakyat   tidak   karena
pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena
nilai   universal   prinsip-prinsip    yang    dianut    dan
dilaksanakannya.  Dalam  istilah  modern, kekuasaan Abu Bakr
adalah  kekuasaan  konstitusional,  bukan  kekuasaan  mutlak
perorangan.
 
Menurut  Bellah,  unsur-unsur  struktural  Islam klasik yang
relevan dengan penilaian bahwa sistem  sosial  Islam  klasik
itu   sangat   modern  ialah,  pertama,  faham  Tawhid  atau
Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  (Monotheisme)  yang  mempercayai
adanya  Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam
raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak  berhakikat
menyatu   dengan  alam,  dalam  ilmu  akidah  disebut  sifat
mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta  dan  Hakim
segala  yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab
pribadi dan putusan dari Tuhan  menurut  konsep  Tawhid  itu
melalui  ajaran  Nabi-Nya  kepada  setiap  pribadi  manusia;
ketiga,  adanya  devaluasi  radikal  (penurunan  nilai  yang
mendasar)  -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut
"sekularisasi"- terhadap semua  struktur  sosial  yang  ada,
berhadapan  dengan  hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu.
Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti  penting
suku  dan  kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian
pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam);  keempat,  adanya
konsepsi  tentang  aturan  politik  berdasarkan  partisipasi
semua mereka yang menerima  kebenaran  wahyu  Tuhan,  dengan
etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini
(tidak menghindari dunia seperti dalam  ajaran  rahbaniyyah,
pertapaan),  yang  aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang
membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.
 
Politik  Sunni  melarang   memberontak   kepada   kekuasaan,
betapapun  dzalimnya kekuasaan itu, sekalipun mengeritik dan
mengecam kekuasaan yang  dzalim  adalah  kewajiban,  sejalan
dengan  perintah  Allah  untuk  melakukan  amar  ma'ruf nahi
munkar. Para teoritikus  politik  Sunni  sangat  mendambakan
stabilitas  dan  keamanan,  dengan adagium mereka: "Penguasa
yang dzalim lebih baik daripada tidak ada,"  dan  "Enampuluh
tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada
satu malam tanpa pemimpin."
 
Karena  kebanyakan  umat  Islam  Indonesia   Adalah   Sunni,
pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat
sekali di kalangan para ulama kita.
 
Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya  dalam
hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah
menunjukkan bahwa  agama  Islam  memberi  kelonggaran  besar
dalam    hal    bentuk   dan   pengaturan   teknis   masalah
sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada
sangkut  pautnya  dengan  masalah  legitimasi  politik  para
penguasanya.
 
Yang penting adalah isi  negara  itu  dipandang  dari  sudut
beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.
 
Apa    yang   dikehendaki   oleh   Islam   tentang   tatanan
sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah  apa  yang
dikehendaki   oleh   ide-ide   modern   tentang  negara  dan
pemerintahan  itu,  yang  pokok  pangkalnya  ialah,  menurut
peristilahan    kontemporer    egalitarianisme,   demokrasi,
partisipasi, dan keadilan sosial.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174


Islam dan Politik 2

Teori Politik Islam

oleh Dr. Dhiauddun Rais
 
 

Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam

 

Pendahuluan

Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.

Era Kenabian

Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.

Islam dan Politik

Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
  1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
  2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
  3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
  4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
  5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
  6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
  7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".

Bukti Sejarah

Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.

Catatan kaki:

(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.


Catatan Penterjemah:

Date: Thu, 10 Aug 2000 00:55:20 +0300
From: "alkattani" <alkattani@yahoo.com>
To: <is-lam@isnet.org>
Assalamu'alaikum wr. wb.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan telah menyelesaikan penerjemahan buku Nazhariyyat as Siyasiyyah al Islamiyyah (Teori Politik Islam) yang cukup tebal, yang ditulis oleh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, Guru Besar dan Ketua Jurusan Sejarah Islam Fakultas Darul Ulum -- Universitas Kairo. Banyak orang yang mengatakan bahwa buku ini adalah buku terbaik yang pernah ditulis dalam bidang Teori Politik Islam. Mudah-mudahan dalam beberapa bulan mendatang GIP bisa segera menerbitkan buku tersebut, sehingga bisa segera memberikan manfaat bagi kaum Muslimin Indonesia yang sedang amat membutuhkan guidance dalam berpolitik. Sebagai bahan sementara, berikut ini saya kirimkan beberapa halaman dari buku tersebut (dalam dua postingan). Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani