SMA NU AL MA'RUF KUDUS

Kokoh dan Elegan, Jl. AKBP R. Agil Kusumadya No. 2 Kudus, Jawa Tengah

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU (PKG)

Penyelenggara oleh LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tanggal 14-17 dan 26-27 Desember 2012 di Hotel Muria Semarang Jawa Tengah.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

LAGI SANTAI SEJENAK DI "SOLO PARAGON Hotel and Residence"

Dalam Acara Workshop "Implementasi Pendidikan Karakter dan Antikorupsi" Di Solo Paragon (Hotel and Residence) Solo Jawa Tengah. Diselenggarakan oleh Dirjen Dikmen, Kemendikbud Republik Indonesia tanggal 16 - 19 Nopember 2012.

Thursday 26 July 2012

PUASA


PUASA

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.


MARHABAN YA RAMADHAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban"  diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan  yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
Walaupun    keduanya    berarti    "selamat   datang"   tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan  ahlan  wa sahlan  untuk  menyambut  datangnya  bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".
Ahlan  terambil  dari  kata  ahl  yang   berarti   "keluarga", sedangkan  sahlan  berasal  dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran  rendah"  karena  mudah  dilalui,  tidak seperti  "jalan  mendaki".  Ahlan  wa  sahlan, adalah ungkapan selamat datang,  yang  dicelahnya  terdapat  kalimat  tersirat yaitu,  "(Anda  berada  di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."
Marhaban terambil dari kata  rahb  yang  berarti  "luas"  atau "lapang",  sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima  dengan  dada  lapang,  penuh  kegembiraan  serta dipersiapkan  baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang  diinginkannya.  Dari  akar   kata   yang   sama   dengan "marhaban",  terbentuk  kata  rahbat  yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat  datang  Ramadhan"  mengandung  arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak   dengan   menggerutu   dan   menganggap    kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban  ya  Ramadhan,  kita  ucapkan  untuk  bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada  lereng  yang  curam,  belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu,  agar  perjalanan  tidak  melanjutkan.  Bertambah tinggi  gunung  didaki,  bertambah  hebat  ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan.  Tetapi,  bila  tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu  jalan,  tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan  akan ditemukan  kendaraan  Ar-Rahman  untuk  mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.  Demikian  kurang  lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
Tentu  kita  perlu  mempersiapkan  bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus  kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan  malam  Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui  pengabdian  untuk  agama,  bangsa  dan  negara. Semoga  kita  berhasil,  dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran  menggunakan  kata  shiyam  sebanyak  delapan   kali, kesemuanya  dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum,  tetapi  maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:
Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26).
Demikian ucapan  Maryam  a.s.  yang  diajarkan  oleh  malaikat Jibril   ketika  ada  yang  mempertanyakan  tentang  kelahiran anaknya (Isa  a.s.).  Kata  ini  juga  terdapat  masing-masing sekali  dalam  bentuk  perintah  berpuasa  di  bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah   baik   untuk   kamu",   dan  sekali  menunjuk  kepada pelaku-pelaku  puasa  pria  dan  wanita,   yaitu   ash-shaimin wash-shaimat.
Kata-kata  yang  beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni  sha-wa-ma  yang  dari  segi  bahasa maknanya  berkisar  pada  "menahan"  dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan  dinamai  faras  shaim. Manusia  yang  berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apa pun  aktivitas  itu--  dinamai  shaim  (berpuasa).  Pengertian kebahasaan  ini,  dipersempit  maknanya  oleh  hukum  syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan, minum,  dan  upaya  mengeluarkan  sperma  dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan  tujuan  puasa,  menambahkan kegiatan  yang  harus  dibatasi  selama  melakukan  puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula  puasa dipersamakan  dengan  sikap  sabar,  baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Hadis   qudsi   yang  menyatakan  antara  lain  bahwa,  "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan  oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.
Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Ada  beberapa  macam  puasa  dalam  pengertian   syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.
     1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.    
     2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau  semacamnya.    
     3. Puasa sunnah.
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal  yang  berkisar pada puasa bulan Ramadhan.

PUASA RAMADHAN
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah  (2):  183,  184,  185,  dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru  diwajibkan  setelah  Nabi  Saw.  tiba  di Madinah,  karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan  menyatakan  bahwa  kewajiban melaksanakan  puasa  Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran  selama sebutan  penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang   seringkali   melakukan   penahapan   dalam    perintah-perintahnya,   maka   agaknya  kewajiban  berpuasa  pun  dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman  ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga  hari  dalam  sebutan  yang  merupakan  tahap  awal  dari kewajiban  berpuasa.  Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185:
Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam  ini  menjadikan  ayat-ayat  puasa  Ramadhan terputus-putus  tidak  menjadi  satu  kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa  Ramadhan  sebagai  satu  kesatuan,  penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa   Nabi  dan  sahabatnya  telah  melakukan  puasa  sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari  Al-Quran,  apalagi tidak  ditemukan  satu  ayat  pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang kewajiban  puasa  di  bulan  Ramadhan, dimulai  dengan  satu  pendahuluan  yang  mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan  baik,  tanpa  sedikit  kekesalan pun.
Perhatikan  surat  Al-Baqarah  (2):  185.  ia  dimulai  dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang  beriman,  diwajibkan kepada  kamu  berpuasa."  Di  sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa  itu, tetapi   terlebih   dahulu   dikemukakan  bahwa,  "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum  kamu."  Jika  demikian, maka  wajar  pula  jika  umat  Islam  melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan  yang  berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."
Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186  menjelaskan bahwa  kewajiban  itu  bukannya  sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan  bagi  yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa  sakit  atau  dalam  perjalanan," maka  dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari  yang  lain. "Sedang  yang  merasa  sangat  berat  berpuasa,  maka (sebagai gantinya) dia  harus  membayar  fidyah,  yaitu  memberi  makan seorang  miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."
Setelah itu disusul  dengan  penjelasan  tentang  keistimewaan bulan  Ramadhan,  dan  dari  sini  datang  perintah-Nya  untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan  bahwa orang  yang  sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan  memberikan  penegasan  mengenai   peraturan   berpuasa sebagaimana  disebut  sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan  "Allah  menghendaki  kemudahdn  untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa,  tetapi tentang  doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa  tentu  mempunyai  rahasia tersendiri.  Agaknya  ia  mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan,  dan  karena itu   ayat  tersebut  menegaskan  bahwa  "Allah  dekat  kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."  
Selanjutnya ayat 187 antara  lain  menyangkut  izin  melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang  harus  dikerjakan,  yakni  dari  terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Banyak   informasi   dan  tuntunan  yang  dapat  ditarik  dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan  puasa. Berikut  akan  dikemukan  sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum  maupun  hikmahnya,  dengan  menggarisbawahi  kata  atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:
  1.  Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia  wajib berbuka; dan    
  2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia  dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan  di  siang  hari  bukan  Ramadhan, dengan  alasan  jari  telunjuknya  sakit.  Betapa  pun,  harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks  ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt.  sengaja  memilih  redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia  berpuasa  atau  tidak.  Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan  tetap  harus  menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang  bolehnya  berbuka  puasa bagi  orang  yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa jarak  perjalanan  tersebut  sekitar  90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu,  sehingga  seberapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka  hal  itu  merupakan  izin  untuk  memperoleh   kemudahan (rukhshah).
Perbedaan  lain  berkaitan  dengan  'illat  (sebab)  izin ini. Apakah karena  adanya  unsur  safar  (perjalanan)  atau  unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari  satu  jam,  serta  tidak  meletihkan,  apakah  ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau  meng-qashar  shalat  atau tidak.  Ini  antara  lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka  juga  memperselisihkan  tujuan  perjalanan yang  membolehkan  berbuka  (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah  perjalanan  tersebut  harus  bertujuan  dalam kerangka  ketaatan  kepada  Allah,  misalnya  perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal  di  atas  sebagai  membolehkan berbuka,  lebih  kuat,  kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan  maksiat,  maka  tentu   yang   bersangkutan   tidak memperoleh  izin  untuk  berbuka  dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana  mungkin  orang  yang  durhaka   memperoleh   rahmat kemudahan dari Allah Swt.?
Juga  diperselisihkan  apakah  yang  lebih  utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik  dan  imam  Syafi'i menilai  bahwa  berpuasa  lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu,  tetapi  sebagian  besar  ulama  bermazhab  Maliki  dan Syafi'i  menilai  bahwa  hal  ini  sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti  apa  pun  pilihannya,  maka itulah  yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui  Anas  bin Malik  yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada  yang  berpuasa  dan  adapula  yang  tidak berpuasa.  Nabi  tidak  mencela  yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."
Memang ada juga ulama yang beranggapan  bahwa  berpuasa  lebih baik  bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik  dengan  alasan,  ini  adalah izin  Allah.  Tidak  baik  menolak  izin dan seperti penegasan Al-Quran  sendiri  dalam  konteks  puasa,  "Allah  menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."
Bahkan  ulama-ulama  Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat  di  atas, yaitu:
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama  keempat  mazhab  Sunnah   menyisipkan   kalimat   untuk meluruskan  redaksi  di  atas,  sehingga  terjemahannya  lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan   ia  tidak  berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada  hari-hari  yang lain."
Kalimat  "lalu  ia  tidak  berpuasa"  adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak  hadis  yang membolehkan  berpuasa  dalam  perjalanan,  sehingga  kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir  dan  orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan  semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka--  menjadi  wajib  bagi orang  yang  sakit  dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang  lain  seperti bunyi harfiah ayat di atas.
Apakah    membayar   puasa   yang   ditinggalkan   itu   harus berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah—yang menyatakan  demikian.  Tetapi  ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata  pada ayat   puasa   yang   berbunyi   mutatabi'at,  yang  maksudnya memerintahkan  penggantian  (qadha')   itu   harus   dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin   ukhar   mutatabi'at   yang   berarti   berurut  atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh  Allah  Swt.  Sehingga akhirnya  ayat  tersebut  tanpa  kata  ini,  sebagaimana  yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus   dilakukannya   pada   awal   Syawal,   ataukah   dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut?  Hanya segelintir  kecil  ulama  yang  mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak  mengharuskan  ketergesaan  itu,  walaupun diakui  bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak  sempat menggantinya,  apakah  ada  kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa  di  samping berpuasa,  ia  harus  membayar  kaffarat  berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu  Hanifah  tidak  mewajibkan kaffarat  dengan  alasan  tidak  dicakup  oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang beratmenjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak  ulama tafsir.  Ada  yang  berpendapat  bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni  bagi  kedua  kelompok  ini  terdapat  dua  kemungkinan: musafir dan orang  yang  merasa  berat  untuk  berpuasa,  maka ketika  itu  dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya  mampu  berpuasa,  tetapi  enggan  karena kurang  sehat  dan  atau  dalam  perjalanan,  maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan  mayoritas ulama.  Mayoritas  memahami  penggalan  ini  berbicara tentang orang-orang tua  atau  orang  yang  mempunyai  pekerjaan  yang sangat  berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam  kondisi  semacam  ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian  juga  halnya terhadap  orang  yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan  penggalan  ayat  di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil  dan  menyusui  wajib  membayar  fidyah  dan mengganti  puasanya  di  hari  lain,  seandainya  yang  mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya  yang  sedang  menyusui. Tetapi  bila  yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah  dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama  ia  tidak  berpuasa.  Ada  yang  berpendapat  sebanyak setengah  sha'  (gantang)  atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu  mud yakni   sekitar   lima   perenam  liter,  dan  ada  lagi  yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang  berlaku pada setiap masyarakat.  
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam  hari bulan  Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks  tidak  dibenarkan.  Termasuk  dalam  pengertian hubungan  seks  adalah  "mengeluarkan  sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak  melarang  ciuman,  atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak  dapat menahan  diri,  karena  dapat  mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah  r.a.,  Nabi  Saw.  pernah  mencium istrinya  saat  berpuasa.  Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain  berhubungan  seks,  kemudian  ternyata  "basah",  maka puasanya  batal;  ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan  yang  bersangkutan  membayar kaffarat,  kecuali  jika  ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini  berdasarkan  hadis  Nabi adalah  berpuasa  dua  bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga,  maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi  yang  melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar.  Ia  hanya  berkewajiban  mandi sebelum  terbitnya  matahari  --paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat  subuh  dalam  keadaan  suci  pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk  makan  dan  minum  (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada   zaman   Nabi,   beberapa   saat  sebelum  fajar,  Bilal mengumandangkan azan, namun beliau  mengingatkan  bahwa  bukan itu  yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas.  Imsak  yang  diadakan  hanya  sebagai  peringatan   dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun  bila  dilakukan,  maka  dari  segi  hukum  masih  dapat dipertanggungjawabkan  selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu  dingatkan,  bahwa   hendaknya   kita   jangan   terlalu mengandalkan  azan,  karena  boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu  sangat  beralasan  untuk  menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada  izin  untuk  makan  dan minum sampai dengan datangnya fajar.
Puasa  dimulai  dengan  terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama  adalah  pengertian  malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih  ada  mega  merah, dan  ada  juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya  kegelapan.  Pendapat  pertama  didukung  oleh banyak  hadis  Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail  yang  diterjemahkan  "malam". Kata  lail  berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi  Saw.  Untuk mempercepat  berbuka  puasa,  dan  memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan  sikap  kehatian-hatian  karena  khawatir magrib sebenarnya belum masuk.
Demikian  sedikit  dari  banyak  aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.

TUJUAN BERPUASA
Secara jelas  Al-Quran  menyatakan  bahwa  tujuan  puasa  yang hendaknya  diperjuangkan  adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun. Dalam  rangka  memahami  tujuan  tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw. misalnya,  "Banyak  di  antara  orang  yang   berpuasa   tidak memperoleh   sesuatu  daripuasanya,  kecuali  rasa  lapar  dan dahaga."
Ini berarti bahwa menahan diri dari  lapar  dan  dahaga  bukan tujuan  utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa  "Allah   menghendaki   untuk   kamu   kemudahan   bukan kesulitan."
Di  sisi  lain,  dalam  sebuah  hadis  qudsi, Allah berfirman, "Semua amal putra-putri Adam  untuk  dirinya,  kecuali  puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini  berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat  dikemukakan, misalnya  bahwa  puasa  merupakan  rahasia  antara  Allah  dan pelakunya  sendiri.  Bukankah  manusia  yang  berpuasa   dapat bersembunyi  untuk  minum  dan  makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk  makan  atau minum  pada  saat-saat  tertentu  dari  siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya  menahan  diri  dan  keinginan itu?  Tentu  bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian,  dia  dapat  saja  bersembunyi  dari  pandangan mereka.   Di  sini  disimpulkan  bahwa  orang  yang  berpuasa, melakukannya demi  karena  Allah  Swt.  Demikian  antara  lain penjelasan  sementara  ulama  tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada  yang  menegaskan  bahwa  puasa  dilakukan manusia   dengan   berbagai  motif,  misalnya,  protes,  turut belasungkawa,  penyucian  diri,  kesehatan,  dan  sebagai-nya. Tetapi  seorang  yang  berpuasa  Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.
Di  sini  Anda  boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada  takwa?"  Untuk  menjawabnya terlebih  dahulu  harus  diketahui  apa  yang  dimaksud dengan takwa.

PUASA DAN TAKWA
Takwa  terambil  dari  akar  kata  yang  bermakna  menghindar, menjauhi,  atau  menjaga  diri.  Kalimat  perintah  ittaqullah secara harfiah berarti, "Hindarilah,  jauhilah,  atau  jagalah dirimu dari Allah"
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari  Allah  atau menjauhi-Nya,  sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan  kata  atau  kalimat untuk  meluruskan  maknanya.  Misalnya  kata  siksa  atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung  arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
 a.  Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam  raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
 b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah,  diperoleh  dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa  yang  diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa  takut  ini,  pada mulanya  timbul  karena  adanya  siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."
Dengan demikian yang  bertakwa  adalah  orang  yang  merasakan kehadiran  Allah  Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari  bahwa  Allah  melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang  dapat  dilakukan  untuk  mencapai  hal tersebut,  antara  1ain  dengan  jalan berpuasa. Puasa seperti yang  dikemukakan  di  atas  adalah  satu  ibadah  yang  unik. Keunikannya  antara  lain  karena  ia  merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.

PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
Beragama  menurut  sementara  pakar   adalah   upaya   manusia meneladani  sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai  makhluk.  Nabi  Saw.  memerintahkan,  "Takhallaqu  bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
Di  sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu  makan,  minum, dan  hubungan  seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:
Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak  memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)
Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3).
Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,
Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi  sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika  berbuka  puasa),  dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
Tentu  saja  sifat-sifat  Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup  paling  tidak  sembilan  puluh  sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk  ilahi. Misalnya  Maha  Pengasih  dan  Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya  peneladanan  ini  dapat mengantarkan  manusia  menghadirkan  Tuhan dalam kesadarannya, dan  bila  hal  itu  berhasil  dilakukan,  maka  takwa   dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena  itu,  nilai  puasa  ditentukan  oleh  kadar pencapaian kesadaran  tersebut  --bukan  pada  sisi  lapar  dan  dahaga-- sehingga   dari   sini  dapat  dimengerti  mengapa  Nabi  Saw. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang  berpuasa,  tetapi  tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."

PUASA UMAT TERDAHULU
Puasa  telah  dilakukan  oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal  ladzina  min  qablikum  (Sebagaimana  diwajibkan   atas (umat-umat)  yang  sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama  menyatakan  bahwa  semua  agama  samawi,   sama   dalam prinsip-prinsip  pokok  akidah,  syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi  mengajarkan  keesaan  Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu  sebagai  pendekatan  kepada Allah   adalah  prinsip-prinsip  syariat  yang  dikenal  dalam agama-agama samawi.  Tentu  saja  cara  dan  kaifiatnya  dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?
Manusia  memiliki  kebebasan  bertindak  memilih  dan  memilah aktivitasnya,  termasuk  dalam  hal  ini,  makan,  minum,  dan berhubungan  seks.  Binatang   --khususnya   binatang-binatang tertentu--  tidak  demikian.  Nalurinya  telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu,  sehingga  --misalnya--  ada  waktu  atau musim  berhubungan  seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan,  dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat  pelaksanaan  fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan,  bukan  saja  menjadikannya  tidak  lagi menikmati makanan  atau  minuman  itu,  tetapi  juga  menyita  aktivitas lainnya  kalau  enggan  berkata  menjadikannya  lesu sepanjang hari.
Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi  semakin  haus bagaikan  penyakit  eksim  semakin  digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
Potensi dan daya  manusia  --betapa  pun  besarnya--  memiliki keterbatasan,  sehingga  apabila  aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan  kebutuhan faali  misalnya--  maka  arah  yang lain, --mental spiritual-- akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.  
Sebagaimana disinggung di atas, esensi  puasa  adalah  menahan atau  mengendalikan  diri.  Pengendalian  ini  diperlukan oleh manusia, baik secara individu  maupun  kelompok.  Latihan  dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau  bodoh,  untuk  kepentingan  pribadi  atau masyarakat.   Tidak   heran  jika  puasa  telah  dikenal  oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan  oleh Al-Quran.
Dari  penjelasan  ini,  kita  dapat  melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia  pemilihan  bentuk  redaksi pasif  dalam  menetapkan  kewajiban  puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu  puasa),  tidak  menyebut  siapa yang mewajibkannya?
Bisa  saja  dikatakan  bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya  sedemikian  jelas  dalam hal  ini  adalah  Allah  Swt.  Tetapi  boleh  jadi  juga untuk mengisyaratkan  bahwa  seandainya   pun   bukan   Allah   yang mewajibkan  puasa,  maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia,  bukan  semata-mata  atas  dorongan  ajaran agama.  Misalnya  demi  kesehatan,  atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula  kepentingan  pengendalian  diri  disadari  oleh setiap makhluk yang berakal?
Di  sisi  lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh  Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."

KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
Dalam  rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada  ayat  lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar,
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar  itu, yang  menurut  Al-Quran  lebih  baik  dari  seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun  seizin  Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian—bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung   pesan   tentang   kedekatan   Allah  Swt.  kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa  --siapa pun yang dengan tulus berdoa.
Dari   hadis-hadis  Nabi  diperoleh  pula  penjelasan  tentang keistimewaan  bulan  suci  ini.  Namun  seandainya  tidak  ada keistimewaan  bagi  Ramadhan  kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk  membahagiakan  manusia.[]